43. Tuduhan

JAM menunjukkan angka tujuh pagi hari. Artinya, sudah semalaman penuh semenjak Joseph tidak melihat Jade turun dari lantai atas. Malam di luar telah meranggas dan menyisakan langit dengan pendar kuning yang sinarnya terpantul pada jendela-jendela rumah. Tidak ingin melewatkan waktu sarapan sendirian karena masih dibayangi teror abare yang menyerang kota, Joseph akhirnya memberanikan diri naik ke lantai dua dan mengetuk pintu kamar Cordelia.

Mula-mula tidak ada jawaban. Joseph sudah hampir menyerah di ketukan ketiga tatkala kenop pintu mendadak diputar dari dalam. Wajah Jade muncul dari celah yang terbuka. Tampak lesu, seperti baru bangun tidur. Rambutnya berantakan, dan kemeja yang dia kenakan kusut masai.

Kening Joseph mengernyit, tetapi kemudian dia ingat kamar siapa yang sedang diketuknya. Sekonyong-konyong, pikiran aneh menyembur keluar dari benak Joseph. “Di mana Cordy?” 

Jade berpaling ke samping dengan singkat. Joseph tidak bisa melihat apa yang Jade lihat karena terhalang pintu, tetapi dia berasumsi kawannya mengecek Cordelia.

“Dia masih tidur,” kata Jade seraya mengusap wajahnya yang kuyu. “Maaf, Josh. Aku juga ketiduran. Sekarang jam berapa?”

“Hei, serius. Apa yang kau lakukan? Kau tahu kan gadis itu masih di bawah umur? Maksudku ... kau menidurinya?”

“Astaga,” Jade menyugar rambutnya ke belakang dahi dan mengembuskan napas berat. “Aku tidak macam-macam, oke? Dia ... dia mengisap darahku, lalu aku tidur karena kelelahan.”

Kata terakhir membuat Joseph semakin curiga. 

“Kami tidak melakukan apa-apa, dasar bodoh. Lihat ini,” Jade menarik kerah pakaiannya yang bernoda darah kering agar Joseph melihatnya. “Dia butuh asupan darah demi bisa bertahan hidup. Sebagai budak darah yang baik, aku memenuhinya.”

“Dasar pasangan aneh.”

“Baiklah, terserah kau saja,” Lalu Jade melenggang keluar dari kamar dan menutup pintu sampai berbunyi klik, membiarkan Cordelia beristirahat sesuka hati. Dia menghabiskan hari Kamisnya dengan memasak sarapan, beres-beres, lalu menyalakan televisi di ruang keluarga untuk mengikuti berita terbaru.

Sejak ditemukannya mayat Abbey di pinggiran sungai di kawasan hutan, para jurnalis Ruswer sepertinya mulai gencar membangun narasi baru untuk meneror masyarakat. Sekarang pemerintah satuan wilayah semakin sering mengadakan patroli di malam hari. Mereka begitu ketat mengawasi sepanjang jalan dan tempat-tempat publik yang dekat dengan hutan. 

Jade sibuk menatap layar televisi yang menayangkan siaran ulang wawancara antara seorang reporter dengan salah satu pemilik unit mansion tua di dekat pinggiran kota. Sang narasumber mengaku bahwa dia merupakan tetangga Avery Kendall, gadis Amerika Latin yang beberapa minggu lalu mayatnya ditemukan terbunuh dalam keadaan kering seperti mumi.

“Avery gadis yang baik, aku tahu itu. Dia cukup sering membantuku menjaga unitku setiap kali aku pergi kontrol ke rumah sakit―kalau-kalau ada saudaraku yang datang, biasanya Avery yang menjadi penerima pesan. Mendengar berita kematiannya membuatku sedih setengah mati,” kata seorang nenek-nenek yang berdiri di muka pintu unit kamar yang tertutup. Dolores―nama nenek itu, menunjuk pintu di sebelah kanannya, yang langsung diikuti oleh gerakan kamera. Dari layar televisi, Jade melihat angka 97 pada palang kamar yang ditunjuk Dolores. “Ini kamar Avery. Di malam ketika dia ditemukan meninggal, aku mendengar suara berisik di dalam. Sepertinya dia sedang marah-marah dengan seseorang, aku tidak tahu siapa itu, tapi suaranya lenyap ketika Avery membuka pintu kamarnya.” 

“Membuka pintu kamar? Maksudnya Avery kedatangan tamu?” Sang reporter bertanya. 

“Ya, ya. Dia adalah pacarnya yang datang berkunjung. Aku sering melihatnya datang kemari.”

“Anda tahu dari mana?”

“Saat pria itu datang, aku baru saja pulang sehabis kontrol dari rumah sakit. Dia sedang berdiri di dekat pintu masuk. Namanya Noah Dalton―pria muda yang tinggi dan tampan. Beberapa kali aku kedapatan melihatnya bermesraan dengan Avery. Noah juga anak yang ramah. Dia pernah bertanya sopan kepadaku mengapa unit kamar Avery kosong, lalu kubalas bahwa saat itu Avery pasti belum pulang dari bar tempatnya bekerja.”

“Noah Dalton. Apa menurut Anda Noah adalah pelakunya?”

“Oh, soal itu aku tidak yakin,” kata Dolores. “Tapi mereka pasangan yang serasi dan tidak pernah bertengkar. Lagi pula, bila Noah adalah pelaku pembunuhan Avery, dengan cara apa dia melakukan aksinya sampai Avery-ku yang manis ditemukan dalam keadaan seperti itu?” Dolores kemudian terisak-isak sambil menotolkan ujung sapu tangan ke matanya yang keriput. Jade menyudahi menonton televisi dan kembali berpaling pada Joseph, yang masih melahap pastanya dengan gerakan malas seperti kambing mengunyah rumput. 

“Itu siaran ulang,” kata Joseph sambil menunjuk televisi dengan dagunya. “Setelah wawancara itu dilakukan, polisi memang mencari-cari orang yang bernama Noah Dalton, tapi mereka tidak menemukannya. Lokasi yang dipercaya sebagai rumahnya Dalton juga ternyata kosong. Hanya ada beberapa barang di dalamnya yang disinyalir menjadi bukti bahwa cowok itu memang menjalin hubungan dengan Avery.”

“Bukankah itu mencurigakan?” kata Jade.

“Ya, tentu saja mencurigakan. Sekarang Noah Dalton sedang dicari di seluruh negeri. Dia menghilang tepat setelah mayat Avery ditemukan.”

“Sampai sekarang belum ketemu?”

“Belum.”

“Noah Dalton.” Jade mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. “Kemungkinan dia adalah abare yang berbaur bersama masyarakat Ruswer. Aku punya asumsi dia tidak pergi jauh dari sini. Mungkin dia hanya mengganti identitas dan mengubah penampilan.”

“Yeah, sepertinya begitu. Bagaimana dengan Caspian? Semakin lama dia terlihat mencurigakan, hm? Aku khawatir dia memiliki niat buruk padamu.”

“Sesungguhnya, aku setuju kata-katamu. Dia memang penuh misteri. Dan satu-satunya kecurigaan terbesarku  adalah ketika dia berbohong soal Adrian Benvilloni. Kurasa Caspian tidak ingin aku tahu tentang rahasia kalung itu, makanya dia mengarang cerita.”

“Kenapa dia tidak ingin kau tahu tentang kalung itu?”

“Itulah yang aku tidak tahu.” Jade menyandarkan kepalanya di punggung sofa lalu menatap langit-langit ruang tengah yang tinggi. Mendadak saja dia teringat tentang Cordelia yang sempat menuduh Caspian sebagai dalam di balik hilangnya Liontin Evangeline. “Josh,” kata Jade lirih. “Ini hanya dugaanku saja. Tapi bagaimana kalau Kalung Evangeline itu sebetulnya tidak menghilang?”

“Maksudmu?”

“Bagaimana kalau sejak awal Caspian mencurinya dariku?”

Joseph terdiam beberapa saat. “Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”

“Untuk apa dia repot-repot mengarang cerita tentang Adrian Benvilloni, bukan? Dia pasti tidak ingin aku tahu sesuatu mengenai kalung itu, makanya dia membuat skenario seolah kalung itu tidak ada hubungannya dengan keluarga Bailey.”

“Benar juga,” kata Joseph. “Tapi apa kau tidak merasakan sesuatu kalau dia mencuri kalungnya darimu?”

“Ada sesuatu yang belum kuceritakan pada kalian,” kata Jade, berpaling menatap Joseph dengan keseriusan dua kali lipat. “Setelah makan di kafe dengan Caspian, orang itu mengajakku datang ke rumahnya dan membiarkanku melihat-lihat isi ruang bawah tanahnya yang memajang berbagai benda antik. Lalu ketika aku sedang menerima telepon dari Cordelia, Caspian tiba-tiba menyerangku dengan belati kristal itu.”

Mata Joseph membelalak terkejut. “Jade, kau―dasar sial! Mengapa kau baru menceritakan insiden sepenting itu sekarang?”

“Dengarkan dulu, oke? Yang menyerangku saat itu bukanlah Caspian yang asli. Dia terlihat seperti orang yang sedang dirasuki. Mata birunya berubah menjadi semerah darah. Saat dia mengayunkan belati dengan membabi buta, aku berusaha memanggil-manggil namanya, tapi dia seperti tidak mendengarku.”

“Caspian dirasuki sesuatu?”

“Ya, kemudian kami jatuh dari tangga bersama-sama,” kata Jade. “Aku membangunkan Caspian, lalu ketika pria itu sadar, dia sudah kembali seperti semula. Benaknya lupa dengan semua yang terjadi.”

“Maksudmu, dia tidak ingat sudah hampir membunuhmu?”

Jade mengangguk. “Lalu setelah itu aku pulang, dan baru kusadari beberapa jam setelahnya bahwa Kalung Evangeline di dalam sakuku sudah hilang. Aku menghubungi Caspian, tapi dia bilang dia tidak tahu kalungnya di mana. Bagaimana kalau saat itu dia berbohong? Bagaimana kalau dia memang menyembunyikan kalung itu dengan niat tertentu?”

“Menurutmu, apakah Caspian abare?” Joseph bertanya ragu. 

“Entahlah, tapi ....” Jade mengingat bagaimana penampilan Caspian selama ini. Pria itu memang terlihat memesona dengan seluruh wajah serta pembawaannya, akan tetapi....

“Seperti Cordy, abare seharusnya tidak berbohong,” kata Jade. “Tapi dia berbohong padaku. Kemungkinan besar dia bukanlah abare, walaupun dia memang memiliki wajah dan penampilan yang sangat menarik.”

“Kurasa konsep tentang abare yang tidak bisa berbohong itu hanya miskonsepsi antara kau dan Cordelia.”

“Bagaimana bisa?” Jade menatap Joseph dengan kening berkerut. 

“Dia hanya remaja, Jade. Ditambah lagi dia amnesia. Mungkin dia memang berpikir kalau abare tidak bisa berbohong, karena dulunya dia dididik seperti itu.”

Obrolan ini semakin ke mana-mana. Jade mulai jengkel ketika Joseph menunjukkan tanda-tanda ketidakyakinan pada Cordelia. Lantas pemuda itu bangkit dari sofa dan hendak keluar ruangan. Namun sebelum mencapai ambang, Joseph memanggilnya, “Kau mau ke mana? Diskusi kita belum selesai.”

“Aku akan ke rumah Caspian sekarang.” Sebenarnya saat ini pukul tiga sore. Masih terlalu pagi untuk makan malam, tapi Jade kepalang tidak sabar menemui Caspian untuk mendedah sendiri motif pria itu. 

“Bukankah kau harusnya mengajak Cordelia?” Joseph ikutan bangkit dari sofa.

“Mengajaknya bisa berbahaya,” Jade berbalik badan. Sorot matanya bergetar gelisah di balik rongga, seolah pemuda itu tahu potensi kekacauan apa yang sedang menantinya di belakang. Dia melanjutkan asumsinya pada Joseph, “Caspian memiliki belati kristal. Dan kita semua tahu belati itu bisa membunuh Cordelia dengan seketika. Kalau aku mengajak gadis itu datang, aku takut Caspian melakukan sesuatu terhadapnya.”

“Jangan buru-buru menuduh seperti itu. Aku tahu kita harus mencurigai Caspian, tapi orang itu pasti punya alasan di balik semua tindakannya. Kalau memang Caspian adalah musuh, dia punya banyak kesempatan untuk membunuh kalian berdua, oke? Tapi coba lihat. Selama ini kalian baik-baik saja.”

“Bisa saja sekarang dia akan mengakhiri semuanya.”

“Memangnya kau sudah yakin kalau dia adalah abare yang menyebarkan teror?”

“Abare atau bukan, dia sudah menyumbang banyak kecurigaan yang membuat kita percaya bahwa dia bukan orang sembarangan. Aku tidak mau membawa Cordelia. Biar aku pergi sendiri.” Lalu pemuda itu melenggang keluar.

“Jade, tunggu!” Joseph memprotes. Jade lagi-lagi berbalik dengan terpaksa.

“Apa lagi?”

“Kau juga bisa terbunuh,” kata Joseph tegang. “Dan kalau kau terbunuh, Cordy pun demikian.”

Pernyataan itu membuat Jade terhenyak sebentar―terpilin di antara ragu dan hasrat penuh tekad. Dia menatap mata cokelat Joseph dan menangkap percikan khawatir pada kedua maniknya. Lalu kawannya tersebut berkata pedih, “Kumohon Jade, lebih baik kau batalkan dulu pertemuanmu dengan Caspian. Kita buat rencana yang lebih matang sebelum siap menghadapinya.”

Joseph maju sejenak dan memegang lengan Jade dengan lembut. “Jangan pergi, oke?”

Pada titik ini, Jade nyaris tidak bisa berpikir jernih lantaran hatinya diliputi gelisah. Kecurigaannya kepada Caspian telah membengkak menjadi rasa tidak puas dan gejolak amarah yang bergelora. Belum lagi masalah teror pembunuhan yang semakin hari membuat keadaan kota semakin memanas. Jade tidak memiliki alasan untuk menunda-nunda, sebab dia takut kejadian demi kejadian akan bertambah parah sehingga membuatnya gagal.

Gagal lagi. 

Wajah Ibu. Terbayang di benaknya. Lembut dan anggun. Suaranya yang lemah dan penuh emosi tertahan; “Sebab kau berbeda, Jade. Kau selalu berada di sisi Ibu setiap waktu, itu sudah cukup. Ibu akan melindungimu dari siapa pun yang ingin menyakitimu, selamanya.”

“Jade,” Joseph mengguncang lengannya pelan. “Kenapa kau diam saja? Kau harus berkata pada Cordelia tentang masalah ini.”

Cordelia

Jade teringat janjinya kepada Cordelia semalam, bahwa dia ingin melindungi gadis itu seperti halnya dia melindungi ibunya sendiri.

“Aku akan tetap pergi.”

Joseph mengernyit protes “Sial―bagaimana kalau kau dalam bahaya? Kau tidak bisa melawan Caspian sendirian!”

“Kau mau tahu satu hal lagi yang kusembunyikan darimu?”

Kawannya menatap bingung. “Apa itu?”

Lalu suara Jade berdesir tegang di dekatnya;

“Aku menemukan pistol di kamar Kakek.”[] 

-oOo-


.

.

.


Bentar lagi kalian akan memasuki periode2 lebih seru di LIP. Kencangkan sabuuuukkkk 😎

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top