42. Melindungi

SELAMA 25 tahun hidupnya, Jade bisa menghitung dengan jari perihal konflik apa saja yang pernah dialaminya dengan wanita. Tidak banyak, tapi cukup menyumbang beberapa alasan mengapa hidupnya jungkir balik secara signifikan. 

Konflik terbesarnya terjadi tatkala Jade mengenal seorang gadis di tahun pertama SMA. Namanya Abigail Miller, atau orang-orang biasa menyebutnya Aby. Selain diam-diam naksir kepada Jade, Aby adalah pengidap mythomania yang cukup menyesatkan. Dia selalu menebar kebohongan di sana-sini demi membuat dirinya laksana putri berkelas yang layak mendapatkan semua keinginan. Dan semenjak bertemu Jade, kebohongan itu menjelma menjadi lumpur isap yang menjerumuskan orang-orang tidak bersalah.

Dusta besar pertama: Aby bercerita kepada beberapa teman sekelasnya bahwa dirinya dan Jade sedang berkencan.

Masalahnya, Jade tidak pernah serius menanggapi gosip miring yang terjadi ketika kabar tentang dirinya meledak ruah di lorong sekolah. Kesempatan ini dianggap Aby sebagai lampu hijau, yang memberinya akses lebih luas untuk menjalin delusi kencan mereka menjadi sebuah drama telenovela murahan. Gosip mengenai Jade semakin banyak, dari yang biasa saja sampai yang membuat anak-anak cewek cekikikan malu. Aby tampaknya tahu bagaimana cara membuat dirinya tampak seperti kekasih yang dielu-elukan, dimanjakan, dan dipuja oleh Jade. Walaupun kadang kebohongan yang dia tiupkan ke kuping-kuping terdengar mengada-ada. Seperti yang pernah Joseph sampaikan kepada Jade; “Kau tahu gosip terbaru mengenai dirimu? Aby bilang kau sudah menidurinya dan hampir memberinya anak.” 

“Dasar jalang.” 

“Kau bilang saja padanya.” Joseph terkekeh. Namun, Jade merasa tindakan itu terlalu sia-sia. Dia tahu Aby mengidap mythomania, dan dia pikir orang-orang di sekitarnya juga tahu akan hal itu. 

Namun semuanya berubah, ketika Aby mulai melancarkan dusta besar keduanya; Jade ingin menantang duel para anak-anak dari klub rugby sekolahan yang payah. 

Lantas pagi itu Jade datang ke sekolah seperti biasa, lalu rombongan kakak kelas tahu-tahu saja menghadangnya di pinggir lapangan. Mereka mengatakan bahwa Jade baru saja cari gara-gara setelah kedapatan berbohong mengenai status jagoannya. Anak itu tentu saja tidak tahu apa-apa, tetapi mendinginkan hati para badung SMA itu sesulit meredakan gejolak api yang membakar gedung. Pada akhirnya, cekcok tidak terelakkan. Jade terlibat perkelahian tidak jelas yang membuatnya terpaksa mengirimkan anak-anak badung itu ke rumah sakit. 

Masalah tidak berhenti sampai sana. Ibunya―Madeline―datang ke rumah sakit untuk meminta maaf kepada orangtua para korban. Namun, kondisi ibunya yang menggunakan kursi roda justru menambah gosip buruk yang menggelayuti Jade selama beberapa pekan berikutnya.

Selepas satu minggu mendekam di rumah untuk menjalani hukuman skors, Joseph tahu-tahu datang ke rumah Jade dan mengatakan bahwa ada kegemparan baru yang terjadi di sekolah mereka. 

Dusta terbesar Aby yang ketiga; “Semua anak di sekolah setuju kalau kau adalah bocah malang yang pernah membuat keteledoran sehingga ibumu jatuh lumpuh.”

Begitulah kata Joseph saat mengutip perkataan Aby. Tatapan prihatin Joseph tidak membuat Jade ciut. Kemarahan Jade kembali tersulut laksana semak-semak yang terbakar. Akhirnya, karena tidak tahan lagi, sore itu Jade menyelinap ke sekolah untuk mencari di mana si penyihir aneh yang beraninya menyebarkan gosip kurang ajar seperti itu. Dan, setelah interogasi sana-sini, Jade akhirnya bertemu dengan Abigail Miller. 

Satu lonjakan murka itu membuat Jade mengeluarkan kata-kata buruk saat mendamprat Abigail. Parahnya dia melakukan hal itu di depan seluruh murid kelas. Aksi tiba-tibanya bagaikan sebuah mata rantai yang menarik ekor rantai sisanya dengan kejam. Beberapa hari kemudian, Abigail yang telah remuk hatinya karena dipermalukan sebagai jalang bermulut kotor, akhirnya memutuskan pindah sekolah. Namun tidak berselang lama, berembus kabar dari kota tetangga bahwa Abigail bunuh diri di sekolah barunya karena terlalu malu lantaran ketahuan mengutil tiga kali di supermarket. Teman-teman di sekolah yang lama entah bagaimana menghubungkan kasus Abigail dengan apa yang pernah menimpa Jade dulu. 

Tiba-tiba saja, semua ini menjadi cambukan perih bagi Jade. Dia merasa menjadi pihak yang bersalah karena dulu malah mempermalukan Abigail di depan seluruh murid alih-alih menasihatinya pelan-pelan.

Dan, kendati ibunya sudah meyakinkan Jade bahwa kematian Abigail bukanlah kesalahannya, anak itu terus-terusan mencari celah untuk mengutuk dirinya sendiri.

“Ibu tahu aku melontarkan kata-kata buruk pada Aby sebelum dia pindah sekolah,” kata Jade di suatu malam, ketika sedang duduk santai bersama ibunya. Dia membocorkan lagi apa yang menjadi bebannya selama ini; tentang Aby. Gadis yang sebenarnya hanya butuh perhatian, tapi malah menjadi korban kerakusan tangannya sendiri. 

“Tidak ada yang bisa kau ubah dari masa lalu, Jade. Semua yang terjadi, terjadilah.” Ibunya berkata demikian. Di atas kursi rodanya yang sudah tua, Ibu masih tampak bersinar dan kalem. Kata-katanya lembut dan perhatian, kadang membuat Joseph yang sering berkunjung di rumahnya menjadi agak iri karena ibunya di rumah lebih mirip seperti penyihir jahat bersuara sumbang. 

“Tapi kau bisa memperbaiki diri,” kata sang Ibu lagi. “Jaga ucapanmu, terutama saat kau bicara dengan wanita. Kaum kami memiliki hati yang sensitif dalam menerima perkataan.”

“Aku tidak bisa mengubahnya. Sejak dulu aku memang seperti ini.”

“Tidak. Kau bukan tidak bisa. Kau hanya tidak mau,” kata sang ibu, merasa sedikit tersentil dengan betapa buruk watak Jade. Putranya satu ini betul-betul egois dan keras kepala. “Kalau kau tidak bisa menjaga mulutmu, orang lain akan membencimu, Jade. Tidak akan ada cewek yang mau denganmu.”

“Aku sudah sangat sabar dalam memperlakukan Aby,” kata Jade. “Berkali-kali dia membuat cerita buruk tentangku, dan aku hanya diam saja. Aku diam karena aku punya prinsip tidak akan memukul cewek.”

“Tapi kau berkata buruk padanya. Itu sama saja,” kata Ibu, lalu mendorong kursi rodanya agar mendekat pada Jade yang duduk santai di sofa ruang tengah. “Ibu tidak menyalahkanmu, Nak. Ibu hanya ingin kau tahu bahwa terkadang, perkataan bisa lebih menyakitkan daripada tinju dan tendangan yang kau layangkan.”

Jade terdiam. Bungkam. Dia tahu ibunya sedang menyinggung apa yang dia lakukan pada anak-anak berandalan tempo lalu sehingga membuat mereka masuk rumah sakit.  

“Apa itu yang Ibu rasakan?” tanya Jade, lirih dan ragu. “Apa kata-kata yang Ayah lontarkan kepada Ibu rasanya lebih menyakitkan daripada pukulan?”

Ibu menatap mata hijau Jade dengan sorot penuh sayang. “Kadang-kadang.”

“Kalau begitu aku mirip Ayah, iya, kan?” Jade merasakan dirinya kehilangan semangat. “Aku terlalu kasar dan tidak berpikir panjang, sama seperti Ayah.”

“Tentu tidak.”

“Aku tidak mau menjadi seperti Ayah yang sering menyakiti Ibu.”

“Kau selalu bisa memperbaikinya.” Lalu Ibu mengusap puncak kepala Jade dengan lembut. “Sebab kau berbeda, Jade. Kau selalu berada di sisi Ibu setiap waktu, itu sudah cukup. Ibu akan melindungimu dari siapa pun yang ingin menyakitimu, selamanya.”

Jade bangkit dari sofa dan mendekati Ibu, lalu merengkuh lehernya dengan lembut. Dia menyandarkan pipinya di ceruk leher ibunya seraya berkata lirih, “Aku juga akan melakukan apa pun untuk melindungimu, Bu.”

Lalu ingatan itu meranggas lenyap, meninggalkan Jade pada kenyataan yang dihadapinya saat ini. 

Sekarang, Jade sedang berdiri menghadap pintu kamar Cordelia yang tertutup. Joseph barusan membujuknya untuk menyusul dan minta maaf kepada Cordelia karena dia baru saja berkata sesuatu yang menyakitkan. Selalu saja. Lidahnya bagaikan cemeti tajam yang memecut hati orang lain. Jade sudah pernah gagal dalam melindungi ibunya, dan dia tidak mau mengulangi kesalahan kedua kepada Cordelia. 

“Cordy,” Jade berseru lembut seraya mengetuk pintu kamar gadis itu. Karena tidak mendapat jawaban, dia pun mendorong pintunya ke dalam. 

Kamar tampak remang karena Cordelia tidak mau repot-repot menyalakan lampu atau membuka kerai jendelanya. Gadis itu merebah di kasur sambil memunggunginya. Dia tidak bergerak, tapi Jade tahu bahwa Cordelia mendengarnya. Pemuda itu bahkan memahami sekelumit perasaan Cordelia yang menggaruk-garuk relung hatinya; kesedihan, rasa tersinggung, dan kesepian. Emosi-emosi itu berkelindan bagaikan kerikil yang menjatuhi jantungnya. Terasa pahit dan tidak nyaman.

“Cordy, aku minta maaf,” Jade duduk di tepi kasur, tetapi dia sengaja tidak melihat Cordelia. Dia hanya menunduk menatap lantai untuk mengatasi rasa berdebar dan bersalah yang merubungi pikirannya. “Aku tidak sengaja mengatakan hal tadi, sungguh. Aku hanya terbawa emosi saja.” 

“Kau tidak salah apa-apa, Jade,” kata Cordelia dengan suara lembut dan sedih. “Aku ini beban bagi keluargamu. Gara-gara perjanjian yang dipaksakan oleh ayahku, keluargamu harus menanggung sesuatu yang seharusnya bukan kewajiban mereka. Kau pasti membenciku. Andai aku sedikit bersabar, mungkin akan lebih mudah bagiku menghabiskan waktu di dalam lukisan itu.”

“Kau hanyalah gadis yang tidak tahu apa-apa. Kau tidak layak untuk dikurung dalam lukisan itu selama beratus tahun lamanya.” Kemudian Jade menengok pada Cordelia yang sedang berbaring miring di tempat tidur. Paras Cordelia tampak datar, tetapi menyiratkan kesedihan yang membengkak. “Maafkan aku karena aku terlalu sembrono dalam bicara, oke? Aku sama sekali tidak bermaksud menganggap kehadiranmu di sini sebagai beban. Aku hanya membenci kakekku, semata-mata karena dia tidak benar-benar menganggapku sebagai seorang cucu yang pantas diasuh.”

Cordelia tampak tercenung setelah mendengar kalimat itu. Sang gadis lantas bangkit duduk dan menyandarkan punggung di kepala ranjang. “Mengapa kau membenci kakekmu?”

“Kupikir Kakek terlalu sayang padaku sampai dia ingin mengambil hak asuhku, tapi ternyata ... dia hanya menganggapku sebagai seorang anak yang bisa menggantikannya dalam mengambil tanggung jawab. Jadi, bukan kau yang kubenci. Melainkan kakekku.”

“Kau menyayangi kakekmu?”

“Entahlah,” Jade tersenyum. “Sejak masih bayi, aku tinggal bersama ibuku. Rasa cintaku kepada Ibu sangat besar, karena kami terbiasa hidup ke mana-mana berdua. Aku sudah merasa cukup dengan kehadiran ibuku saja.” 

“Kau sepertinya kesepian.”

Jade tersenyum, lalu memegang tangan Cordelia dan mengusapnya lembut. “Jangan sedih lagi. Kau tidak sendirian di dunia ini. Kita berdua sama-sama makhluk yang kesepian dan ditinggalkan.”

“Kau bisa merasakan rasa kesepian di hatiku, hm?”

“Semuanya. Kesepian, ketakutan, rasa takut ditinggalkan, kerinduan yang besar kepada ayah dan ibu, duka dan kebingungan.” Entah bagaimana, saat meloloskan rentetan emosi itu, Jade menjadi lebih sedih berkali-kali lipat. Dia merasa ingin melindungi Cordelia seperti halnya Ibu yang melindungi dirinya dari keegoisan Kakek. Dia ingin memberikan Cordelia keadilan, seperti halnya Ibu yang memberi Jade ketenangan untuk hidup.

Lalu Jade bertanya memastikan, “Apa kau cemas aku akan meninggalkanmu?”

“Aku lebih takut bila aku mengganggu hidupmu. Kau seharusnya tidak bertemu denganku, Jade. Kau seharusnya menghabiskan waktumu bersama Cassie, menikah dengan wanita cantik itu, dan tidak tahu-menahu mengenai sejarahku yang menyedihkan. Hidupmu menjadi hancur setelah kau bertemu denganku. Bagaimana bisa aku berpura-pura tidak ada apa-apa?” 

Mula-mula, Jade hanya bergeming menatap Cordelia yang sedang mengoceh. Akan tetapi, setelah kata-kata terakhir itu menggelinding keluar dari mulut sang gadis, Jade tidak bisa menahannya lagi. Pemuda itu memajukan wajah dan mencium bibir Cordelia. 

Bukan kecupan singkat yang penuh rasa terkejut seperti yang pernah diterimanya di bilik kamar mandi kafe. Kecupan yang ini jauh lebih tulus dan hati-hati, walaupun kedatangannya tidak diperkirakan. Jade membiarkan kehangatan dari bibir Cordelia merambat ke sekujur tubuh sampai ke ujung-ujung jari, membuatnya mabuk dalam kenyamanan yang manis dan memabukkan. Dia melepas ciuman itu setelah beberapa lama, lalu menatap wajah Cordelia yang meredup sayu.

“Hidupku tidak hancur,” kata Jade, pelan dan menuntun. Atensi terpaku lurus pada dua mata Cordelia yang segelap malam. “Hidupku baru saja dimulai semenjak aku bertemu denganmu.”[]

-oOo-


.


.

.

.


Happy reaaadingg~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top