41. Catatan
JADE baru saja menginjakkan kaki melewati pintu kamar ketika melihat lukisan Cordelia telah dicopot dari dinding dan dihamparkan di kasur. Bagian mengejutkannya, lukisan itu tidak sempurna lagi. Cordelia telah merobek kanvas yang melapisi sisi belakangnya menggunakan pisau. Dari bekas sobekan itu, potongan-potongan catatan misterius mencuat keluar. Halamannya telah kaku dan menguning.
Jade menatap Cordelia dengan wajah ngeri bercampur kesal, “Apa yang kau lakukan?”
“Ada sesuatu yang disembunyikan di balik lukisan ini,” kata Cordelia, yang tampaknya tidak memedulikan pandangan tercela Jade ataupun ekspresi kebingungan Joseph. Gadis itu mengangkat dan membalik pigura di atas kasur, menampakkan sisi bagian depannya, yang rupanya baik-baik saja. Kanvasnya tidak ikut sobek ataupun tergores. “Lihat ini, lukisannya ternyata ditumpuk oleh beberapa lapis kanvas. Aku merasakan keanehan ini ketika mencoba meraba bagian belakangnya. Terasa seperti ruang penyimpanan, jadi kupikir pasti ada sesuatu yang disembunyikan.”
“Kertas apa ini?”
Joseph mengangkat pelan-pelan selembar perkamen berwarna kuning yang berceceran di kasur. Perkamen itu tidak kosong, melainkan berisi tulisan yang ditulis menggunakan tinta. Dia memperhatikannya sebentar, lalu menunjukkannya pada Jade dengan ekspresi terkejut. “Hei, ini―ini namanya perkamen, kan? Semacam kulit yang digunakan untuk menulis di zaman dulu. Tulisan di dalamnya pakai bahasa Inggris. Gila, orang siting mana yang menyimpan catatan di tempat seperti ini?”
“Sepertinya itu catatan yang ditinggalkan leluhurmu,” kata Cordelia.
Jade mengambil potongan perkamen dari tangan Joseph lalu membaca isinya. Tulisan yang terukir di perkamen itu berbentuk kursif dan teratur. Tidak sulit untuk dibaca, tetapi karena sebagian tintanya mengabur dan lengket dengan halaman di bawahnya, Jade harus menyipitkan mata untuk memahami kata demi kata. Air mukanya yang sebelumnya kecut karena kedongkolan kini melunak, digantikan dengan ekspresi tidak habis pikir yang ditandai dengan rahang membuka dan iris mata bergetar.
Setelah beberapa saat, dia menatap Cordelia dan Joseph secara bergantian.
“Sepertinya catatan ini dibuat oleh seseorang dari garis keturunan kakekku.”
“Benarkah? Dia menyebutkan nama?” tanya Joseph.
“Hanya nama keluarga saja―Bailey. Coba jadikan satu dulu. Aku perlu membaca halaman pertama.”
Lalu semua orang membantu Jade mengumpulkan potongan-potongan perkamen yang dihamparkan di kasur. Sebagian masih terselip rapi di sisi belakang pigura, sehingga Cordelia perlu merobek kanvas lebih banyak demi bisa menjangkau bagian terdalam. Jade diam-diam memperhatikan Cordelia dan sempat melontarkan sesuatu, “Kau tidak merasakan apa-apa saat lukisan ini kau robek?”
“Apa maksudmu?”
“Lukisan ini kan tempat kau bersemayam dulu. Kupikir kau terhubung dengannya. Misalnya ... kalau lukisannya disobek, bisa saja kau merasa sakit.”
“Sepertinya aku sudah tidak terhubung lagi dengan benda ini,” kata Cordelia seraya menyelipkan rambut gelapnya ke telinga. Dia terlalu sibuk mengeluarkan potongan perkamen sehingga tidak memperhatikan raut wajah Jade yang meredup khawatir. Sang pemuda lantas bertukar pandang dengan Joseph, yang kelihatannya lebih peka dalam membaca ekspresinya.
Joseph berkata pelan untuk meringankan kecemasan yang hinggap di hati Jade. “Kalem. Ini bukan berarti firasat buruk, Bung.”
“Dia merobek satu-satunya barang bukti!” desis Jade.
“Aku merobeknya dan menemukan sesuatu sebagai bahan penyelidikan,” Cordelia menumpuk sejumlah halaman perkamen yang berhasil dia ambil, lalu mendorongnya secara kasar kepada Jade untuk disusun ulang. Ekspresinya berubah dingin, seperti tersinggung, “Lagi pula apa yang kau pikirkan tentang lukisan ini? Kau berpikir kalau lukisannya rusak, maka aku tidak akan bisa kembali ke dalam sana? Kau berharap aku dikurung lagi?”
Pada saat itu, Jade sadar dirinya salah bicara. “Bukan begitu, Cordy.”
“Tidak usah berdebat macam-macam. Periksa semua catatan ini dan beritahu aku apa yang ada di dalamnya.” Kemudian Cordelia melengos pergi dari kamar Jade dan turun ke lantai bawah. Langkah kakinya yang cepat dan mengentak-entak kasar di lantai menunjukkan bahwa gadis itu sedang dikuasai kekesalan.
Jade dan Joseph sama-sama berdiri di dekat kasur dan menatap kepergian Cordelia sampai suara langkahnya hilang ditelan jarak. Kemudian, Joseph berpaling pada kawannya, berkata pasrah, “Sudah kubilang, dia masih muda dan labil. Gampang tersinggung dan meledak-ledak karena masalah sepele.”
“Tidak, Josh. Semua wanita memang seperti itu, tak peduli berapa usia mereka.”
Jade akhirnya memilih mengalah dan menelan sendiri kecerobohannya. Seraya membuka-buka halaman perkamen, dia mengajak Joseph turun ke lantai bawah.
-oOo-
Hanya membutuhkan sekitar lima belas menit untuk menata kembali semua potongan perkamen itu. Setelah yakin dengan urutannya, Jade mengambil halaman pertama catatan dan membacakan bagian paling awal dengan keras di depan Cordelia dan Joseph;
“Namaku Constantine Lucas Bailey. Saat surat ini selesai ditulis, kuharap engkau―keturunanku yang kuhormati, tidak menganggapku gila hanya karena aku berceloteh panjang lebar mengenai makhluk yang kau pikir adalah bagian dari imajinasi orang sakit ataupun dongeng masa lampau.”
Jade mendongak dari meja makan dan menatap dua orang yang duduk di seberangnya. “Ini tentang abare.”
“Teruskan, Jade.” Joseph memerintah.
“Makhluk itu pertama kali datang padaku pada musim panas bulan Juli, tahun 1716. Jauh-jauh menyeberangi benua Eropa dalam perjalanannya mencari tempat singgah baru di Ruswer, untuk para kaumnya yang difitnah terkutuk dan tabu. Si makhluk, yang kukenal sebagai sosok yang luar biasa gagah dan menawan, menyebut dirinya ... Gustav Marius.”
Cordelia menyipitkan mata mendengar nama itu.
“1716 ... Berarti Constantine adalah kakek dari kakek buyutmu?” Joseph menggosok-gosok dagu sambil berpikir.
“Sepertinya begitu. Kita lanjut saja,” kata Jade, lalu membaca lagi, “Aku adalah seorang pengrajin yang bertahan hidup dengan membuat perhiasan dari batu-batuan indah dan permata. Bukan pekerjaan yang sesederhana kelihatannya. Dalam membuat perhiasan, aku bekerjasama dengan ibuku yang seorang penyihir. Dia memiliki bakat untuk menanamkan mantra ke setiap perhiasan yang kubuat sehingga perhiasan itu dapat menjaga dan melindungi pemakainya. Tidak banyak yang mengenal siapa keluarga Bailey, atau apa yang kami lakukan setiap harinya. Tapi yang pasti, kabar tentang kami berembus sampai ke telinga Gustav, sehingga untuk pertama kalinya malam itu, beliau datang ke rumah kami dan meminta secara khusus agar dibuatkan sebuah kalung jimat, yang dikhususkan untuk istri tercintanya; Evangeline Anastacia.”
“Kalung Evangeline,” Joseph bergumam.
Cordelia tidak sengaja menggerakkan jari telunjuknya di atas meja ketika mendengar informasi itu. Dia berkata mendesis pada Jade, “Jadi yang membuat liontin itu adalah Constantine, leluhurmu.”
“Caspian membohongi kita!” Jade mendadak saja merasa jengkel tidak terima. “Dia bilang yang membuat liontin itu adalah seorang pengrajin bernama Adrian Benvilloni!”
“Bertambah satu lagi alasan untuk mewaspadai si pirang itu,” komentar Joseph.
Jade berusaha menyingkirkan kekesalannya dan kembali membaca, “Evangeline Anastacia adalah seorang gadis manusia yang keberadaannya tidak direstui oleh para kaum abare, sebab abare memiliki aturan untuk tidak membolehkan menikah atau berhubungan dengan manusia demi menjaga darah keturunannya. Status Gustav, yang merupakan salah satu dari tujuh pemimpin agung yang dianggap Dewa, memberinya tanggung jawab amat besar untuk menjaga kemurnian darah kaumnya. Belum lagi, Gustav merupakan abare terpilih yang dinyatakan dapat memberikan keturunan. Lantas Gustav tidak diperbolehkan menikahi manusia demi kelangsungan eksistensinya.”
“Tunggu, jadi hanya abare tertentu yang bisa memberikan keturunan?” Joseph menyela.
Cordelia mengangguk. “Ya. Aku sudah pernah cerita kalau jumlah abare itu sedikit, lantaran mereka hanya bisa menghasilkan segelintir keturunan tiap dekade. Pun yang bisa memberi benih keturunan hanyalah para abare terpilih. Dalam kasus ini, Gustav adalah abare terpilih tersebut. Dia jelas tidak diperbolehkan memiliki budak darah.”
“Apakah dia adalah abare terpilih karena statusnya yang merupakan dewa?”
“Tidak,” kata Jade. “Abare biasa juga bisa memberikan keturunan, tapi jumlah abare yang benar-benar subur memang sedikit.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Ada penjelasan mengenai budak darah di bawahnya,” kata Jade, lalu membaca perkamennya lagi, “Dalam dunia abare, ada satu larangan penting yang harus dijauhi oleh para abare terpilih; yaitu mereka tidak diperbolehkan memiliki budak darah. Budak darah adalah sebutan bagi manusia tertentu yang dipilih oleh abare untuk menjadi sumber darahnya. Para abare terpilih sangat terlarang memiliki budak darah karena dikhawatirkan mereka dapat menjalin hubungan dengan para manusia ini. Konsekuensi memiliki budak darah sangat besar. Selain merusak keturunan, para abare yang berhubungan dengan manusia dapat secara otomatis membagi usianya dengan manusia itu. Ini dapat mengancam eksistensi abare yang berumur lebih panjang dari rata-rata manusia.”
“Abare terpilih dilarang memiliki budak darah. Bagaimana dengan abare lainnya? Misalnya mereka tidak bisa memiliki keturunan, apakah mereka masih dibolehkan berhubungan dengan manusia?” Joseph bertanya sambil menggosok dagu.
“Mungkin boleh,” kata Cordelia. “Atau ... entahlah. Di dalam ingatanku, rasanya wajar bila ada abare yang ingin memiliki budak darah. Akan tetapi mereka harus paham risiko besar yang menunggunya di belakang, yaitu perihal pemendekan umur itu. Mereka dapat kehilangan keistimewaannya memiliki umur panjang karena hidup mereka tergantung dengan usia manusia yang menjadi budaknya.”
“Sebenarnya mengapa mereka memilih budak darah di antara para manusia?”
“Bisa jadi mereka mencintai manusia sehingga ingin menjalin hidup semati dengan manusia itu, atau bisa jadi mereka hanya tidak ingin meminum darah manusia lain secara random―maksudku, abare bertahan hidup dengan meminum darah. Kadang kala, mereka kesusahan mencari darah dari makhluk yang berbeda-beda, sehingga opsi memiliki budak darah yang selalu menyediakan darah untuk mereka menjadi pilihan yang menarik.”
“Baiklah, boleh aku melanjutkan?” Jade menyela penjelasan Cordelia. Lalu meneruskan membaca, “Akan tetapi, Gustav membangkang dari aturan itu dan menikahi Evangeline secara diam-diam. Dia memberikan Evangeline kalung jimat buatan keluarga Bailey sebagai upayanya untuk menjaga kekasihnya dari tangan abare lain atau ancaman tidak terduga yang mendekat. Kelak, kalung jimat itu diwariskan kepada putri mereka satu-satunya yang bernama ... Cordelia Marius.”
Jade terdiam sebentar sebab dia melihat ekspresi Cordelia meredup muram. Pemuda itu menyentuh tangan Cordelia yang terhampar di atas meja dan berkata lembut, “Kau mau aku melanjutkan cerita ini?”
Cordelia menelan ludah gugup seraya mengangguk. Dia tahu dirinya mungkin tidak akan kuat menghadapi cerita mengenai kedua orang tuanya, tetapi ini harus tetap dihadapi demi mengetahui kebenaran.
Lantas Jade melanjutkan, “Gustav memberitahuku banyak hal yang bahkan tidak pernah terpikirkan olehmu ataupun aku, dan menerangkan dengan jelas bagaimana dirinya telah dipuja sebagai dewa yang agung oleh sebagian besar masyarakat Moldova, tetapi di saat yang bersamaan, dianggap sebagai seorang pengkhianat sekaligus monster keji oleh sebuah organisasi ortodoks bernama Eufrement.”
“O, baiklah. Ini semakin menarik,” Joseph manggut-manggut antusias. “Isabel pernah berkata sesuatu mengenai Eufrement. Katanya yang mendirikannya adalah seorang pria bernama Dominic. Dan organisasi itu juga yang memiliki belati kristal―senjata untuk membinasakan abare.”
“Eufrement menganggap keberadaan Gustav telah merusak jiwa dan kepercayaan masyarakat terhadap keagungan Tuhan yang sesungguhnya, sehingga mereka memutuskan untuk memburu seluruh abare yang ada. Sejak saat itu, rakyat Moldova diguncang teror perburuan abare selama bertahun-tahun lamanya. Penangkapan dan pembunuhan dimana-mana. Kehancuran, kebakaran, hukuman cambuk, dan penjagalan di depan publik. Segala upaya telah dikerahkan untuk menghapus jejak abare. Gustav tahu dirinya tidak bisa melawan teror ini seorang diri, sehingga akhirnya dia mengomando abare yang tersisa untuk melarikan diri menyeberangi Laut Mati demi bisa kabur ke Ruswer, ke tempat dimana dia bersemayam.
“Di sisi lain, organisasi Eufrement amatlah berkuasa, sebab mereka melebarkan sayap kekuasaan dengan memasuki dan bergabung dengan perangkat pemerintah―menempati kursi politik, perekonomian, dan perdagangan luar negeri. Mereka pun memiliki akses yang lebih mudah untuk menjangkau dan melacak para abare hingga ke Ruswer.”
“Jadi itulah awal mula abare menempati Ruswer,” komentar Joseph.
“Gustav sendiri tidak sekalipun menganggap dirinya dewa, tetapi situasi yang menjepitnya tak pernah memberinya kesempatan untuk hadir di hadapan khalayak dan menjelaskan keluhannya. Selain itu, karena perburuan semakin mengganas, ditambah lagi kekhawatirannya tentang nasib istri dan anaknya, Gustav pun memohon untuk menyembunyikan keluarga istri dan anaknya di rumah kami selama beberapa bulan. Hanya saja keberadaan mereka tidak bertahan lama, sebab perburuan Eufrement merambat dari yang mulanya hanya membunuh abare, menjadi membabat habis para manusia tidak bersalah yang terlibat persekutuan dengan abare.
“Gustav memahami bagaimana takutnya kami dan keluarga Evangeline yang merupakan manusia biasa. Akhirnya, Gustav berusaha menyelamatkan harta terakhir yang dia miliki―putrinya satu-satunya. Lantas, pada malam itu, dengan dibantu oleh ibuku, kami semua mengadakan sebuah ritual sihir gelap untuk menyegel tubuh Cordelia ke dalam sebuah lukisan potret dirinya sendiri.”
Di titik itu Jade terdiam, merasa tidak sanggup untuk melanjutkan. Semua informasi ini membuatnya kewalahan. Rupanya yang mengurung Cordelia adalah salah satu leluhurnya.
“Kenapa, Jade?” kata Joseph, cemas menatap wajah Jade yang memucat.
“Kita bisa istirahat kalau kau belum bisa lanjut,” kata Cordelia, lalu ketika dia hendak menarik perkamen dari tangan Jade, pemuda itu menggeleng pelan.
“Biar kulanjut,” katanya, kemudian membaca lagi, “Penyegelan ini dilakukan sampai Eufrement berhenti melancarkan teror perburuan terhadap abare. Cordelia bisa dibebaskan kembali dengan menetesi lukisannya dengan darah ayahnya, sebagai sang pemberi garis keturunan, atau darah dari keturunan keluarga Bailey, sebagai penyelenggara utama ritual. Namun kedua opsi memiliki ganjaran masing-masing. Apabila darah ayahnya menjadi penyelamat kebangkitan sang putri, maka sang putri akan hidup seperti layaknya leluhur abare. Namun bila sang putri menerima darah dari keturunan Bailey yang merupakan manusia, artinya sang putri terpaksa menjadikan manusia tersebut sebagai budak darah, sehingga dia harus rela membagi usianya dengan manusia itu. Bila salah satunya mati, yang lain akan menyusul.”
“Ini persis seperti perjanjian di antara kalian berdua,” Joseph menyela pembicaran Jade lantaran melihat pemuda itu mulai terguncang dengan kertas di tangannya. “Kau melakukan kesalahan, Cordy. Kalau kau menunggu sedikit lebih lama, kau bisa saja diselamatkan oleh ayahmu sendiri.”
“Dia tidak salah apa-apa. Saat itu aku tidak sengaja melukai jariku. Akulah yang mengeluarkan dia dari lukisan.” Atensi Jade mendarat pada Cordy, dan dari kedua matanya berkilat-kilat rasa bersalah.
“Sudahlah, Jade. Kau tidak perlu merasa bersalah soal itu. Kita berdua sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Maukah kau melanjutkan?”
Jade menunduk lagi pada kertas di hadapannya. “Gustav melakukan perlawanan dengan membunuh pihak Eufrement, tetapi serangannya ini justru menjadi minyak yang dituang ke dalam api. Teror semakin memanas karena Eufrement terlalu membenci Gustav. Tidak lama setelah itu, Evangeline―istri Gustav―tidak sengaja keluar dari tempat persembunyian dan dibunuh langsung oleh Eufrement. Kalung yang dipakai Evangeline pun pindah ke tangan saudara-saudaranya, tetapi Eufrement entah bagaimana dapat menangkap sinyal bahwa kalung itu terhubung dengan Gustav. Jadilah organisasi tersebut terus memburu dan memburu sampai mereka bisa bertemu Gustav dan putrinya yang masih hidup. Hanya saja, setelah kematian sang istri yang tidak diinginkan itu, Gustav tiba-tiba menghilang. Tiada yang tahu dimana dirinya berada. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya, pria itu tidak muncul lagi. Kami percaya bahwa dia telah tewas dibunuh oleh Eufrement, sebab semenjak dia menghilang, berita perburuan Eufrement yang biasanya selalu dibacakan di siaran-siaran publik, berhenti secara mendadak.”
“Tidak mungkin,” Cordelia berceletuk. “Tidak mungkin ayahku sudah mati.”
“Mereka hanya berasumsi saja,” kata Jade. “Dan penjelasannya terpotong sampai sini.” Jade mengambil halaman berikutnya dan membacanya sekilas. “Dan halaman yang ini sepertinya membahas sesuatu yang lain.”
“Membahas apa?”
“Perjanjian,” celetuk Jade, pelan-pelan merasa merinding dengan apa yang dibacanya. “Sebelum Gustav menghilang, pria itu datang kepadaku dan ibuku lalu meminta kami berjanji sesuatu. Apabila teror Eufrement telah padam, dan dirinya tidak memiliki kesempatan untuk membangkitkan putrinya, dia memintaku untuk memberikan darahnya kepada Cordelia, demi bisa membangkitkan putri yang jelita itu sekali lagi. Namun aku yang terlalu pengecut, diam-diam diguyur keraguan. Saat Gustav menghilang, seharusnya aku segera memberikan darahku kepada Cordelia, tetapi aku tidak kuasa untuk mengingat-ingat lagi teror tersebut. Aku terjebak ketakutan dan paranoia, bila Cordelia bangkit, Eufrement dapat mencium keberadaannya dan membuat keluarga Bailey ada dalam bahaya.”
“Sial,” Joseph berdesis. “Jadi Constantine sengaja tidak melaksanakan janjinya.”
“Pada bulan Juli tahun 1730, ibuku meninggal, dan setahun setelahnya, aku menikah dengan seorang wanita cantik yang memberiku seorang putra. Aku menceritakan kepada istri dan anakku tentang perjanjianku dengan Gustav, bahwa suatu saat nanti, setetes darah keturunan Bailey harus dikorbankan untuk membangkitkan Cordelia. Namun karena terlanjur dikuasai takut dan trauma, tiada di antara kami yang mau melakukan itu. Pada tahun 1759, di usiaku yang sekarang, aku telah terlalu uzur untuk menangani lagi masalah itu. Maka aku memintamu, wahai keturunanku yang membaca catatan ini. Apabila di antara kalian ada yang bersedia memberikan darahnya kepada Cordelia, lakukanlah. Lunasi janjiku kepada Gustav, dan tolong maafkanlah sifat pengecutku yang tidak ingin menghadapi ini sendirian.”
Jade mengakhiri kalimat terakhir dengan nada terseret melamun. Selama beberapa saat, mereka semua terdiam di bangku masing-masing.
Joseph adalah yang pertama berceletuk, “Kakekmu―Walthrop Bailey, seharusnya bisa menyerahkan darahnya untuk membangkitkan Cordelia. Tapi dia pun sengaja tidak menjalankan tugasnya dan malah menumpahkan tanggung jawab itu kepadamu.”
Jade menunduk dan mengusap kepalanya yang terasa pening. Dia hampir tidak bisa berpikir jernih dan akhirnya menggumam, “Pantas saja ibuku sangat membenci Kakek. Sekarang aku tahu apa maksud Isabel yang mengatakan bahwa dulunya kakekku bersikeras meminta hak asuh atas diriku. Dia ingin mengorbankan aku untuk membebaskan abare di dalam lukisan. Dia ingin aku kembali membuka beban bagi semua orang!”
Mula-mula, keadaan di ruang makan terasa hening dan tegang. Namun mendadak saja kesunyian pecah, lantaran Cordelia menggeret kursinya menjauh dan langsung menyingkir dari tempat itu. Joseph menatap punggung Cordelia yang berlalu menaiki tangga dan masuk ke kamarnya sendiri, lalu menutup pintunya dengan jeblakan pelan. Pemuda itu lantas menyenggol lengan Jade, membantunya peka.
“Apa?” Jade berdecak kesal.
“Kadang-kadang bukan wanita yang gampang meledak-ledak, tapi mulut para laki-laki yang harus dijaga,” Joseph berdesis padanya. “Kau baru saja membuat Cordelia merasa tidak diperlukan, dasar bodoh.”
Dan Jade membutuhkan beberapa detik lebih lama untuk menyadari apa kesalahannya.[]
-oOo-
.
.
.
.
Happy reading gewsss~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top