40. Joseph
“KAPAN kau akan pergi dari rumahku?”
Pertanyaan itu dilesatkan Jade kepada Joseph, yang beberapa hari terakhir seakan menganggap bahwa keberadaannya di rumah Walthrop adalah bagian dari liburan. Tidak masalah sebetulnya, tetapi Jade kali ini memutuskan mengonfrontasi Joseph hanya untuk memastikan bahwa sahabatnya itu tidak akan terlibat masalah lebih banyak bila dekat-dekat dengannya. “Kau tahu kan kalau tinggal di sini tidak gratis?”
“Hei, ayolah. Jangan jahat dengan sahabatmu sendiri.” Joseph meringis, wajahnya tercabik antara tersinggung dan menahan tawa. Merasa tak ingin aktivitas menggulir ponselnya diganggu, Joseph hanya membiarkan Jade duduk di sofa sebelahnya sambil mengunyah roti isi.
“Josh, aku serius,” Jade berkata kecil. Saat tiada respons dari Joseph, pemuda itu akhirnya kesal sendiri dan langsung menarik ponsel dari tangan sahabatnya.
“Hei!” pekik Joseph.
“Kita harus bicara.” Jade meletakkan ponsel Joseph di lengan sofa lalu kembali berpaling pada sahabatnya yang balas menatap dengan raut jengkel. “Kau harus cepat pergi dari rumahku, Josh.”
“Kau mengusirku?”
“Ya.”
Jawaban tanpa ragu itu membuat Joseph menahan napas. Dia lantas menatap ke balik bahu Jade, ke ambang ruang keluarga yang kosong dan lenggang, dan tidak menemukan presensi Cordelia yang biasanya keluyuran. Kemungkinan gadis itu ada di kamarnya entah sedang melakukan apa. Lalu Joseph mengunci atensi pada Jade dan bertanya lagi dengan nada polos.
“Kenapa kau mengusirku? Kau pikir aku akan mengganggu hubungan cintamu dengan Cordelia?”
“Berhenti berpikiran aneh, dasar sial. Berada di rumah ini lebih lama bisa mengancam nyawamu.”
“Kau sadar tidak? Yang sering berbuat onar dan mendapat masalah itu kau!” Joseph melirik perban di lengan Jade yang menyembul sedikit dari balik kausnya―bekas luka tembak yang didapatkannya kemarin. “Beberapa hari lalu kau baru saja ditembak dengan pistol, sebelumnya perutmu kena tusuk para begal, sebelumnya lagi kau bertarung dengan para gelandangan dan mendapat luka robek di lutut. Lalu aku juga pernah mengira kau tewas di atas kasur dengan tubuh berlumuran darah karena seorang cewek siluman baru saja menusukkan taringnya di lehermu! Sebenarnya siapa yang perlu menjaga diri?”
Wajah Jade merah padam lantaran mendengar fakta-fakta itu bergulir lancar dari lidah Joseph. Bukan karena marah, melainkan malu. Sejak memutuskan tinggal di rumah sang kakek, konflik tidak pernah berhenti mencarinya. Apakah Jade memang terlahir sebagai pemikat masalah, atau dialah yang merupakan biang onar?
“Justru itu, Josh,” Jade berkata pelan. “Aku tidak mau kau kenapa-kenapa kalau berada di dekatku terus. Aku ini sumber masalah.”
Joseph terdiam sejenak. “Jangan berpikir seperti itu, bodoh. Aku tidak akan kenapa-kenapa.”
“Kau punya kehidupan yang lebih baik di Palmer. Kau punya kualifikasi bagus sebagai seorang editor, dan banyak di antara klienmu yang puas dengan hasil kerjamu. Sementara di Ruswer, kau tidak akan menjadi apa-apa. Kau hanya akan menghabiskan waktumu untuk menyaksikanku bertarung dengan keadaan yang tidak jelas.”
“Lalu kenapa? Ini hidupku. Aku berhak menentukan apa yang ingin kujalani.”
Jade kepikiran ingin membantahnya dengan sesuatu yang lebih pedas, tetapi dia urung. Sahabatnya yang satu ini sungguh keras kepala, dan dia tahu Joseph tidak bisa diatur untuk melakukan ini itu.
Saat Jade sedang merenungi pikirannya, tahu-tahu Joseph memegang lutut Jade untuk memberinya ketenangan. “Hei, kita ini sudah berkawan selama lima belas tahun. Aku tidak akan membiarkanmu melakukan semuanya sendiri, dan aku yakin kau pun akan melakukan hal yang sama kalau aku berada di posisimu.”
Joseph benar, tetapi Jade tidak ingin menambah alasan Joseph untuk terus berada di sampingnya.
“Jangan berbuat kelewatan, oke?” Jade menepuk bahu Joseph seraya mendesaukan napas. “Kalau kau merasa tidak kuat lagi, kau bisa kembali ke Palmer kapan saja.”
“Sebaiknya kau mengatakan hal itu pada dirimu sendiri. Kau ini rawan terluka dan selalu jadi incaran maut,” kata Joseph, lalu tertawa meningkahi wajah Jade yang bersemburat merah jambu karena malu. “Nah, omong-omong, kau sudah menelepon Caspian? Sepertinya kemarin kau bilang ingin segera mendapatkan kembali belati itu.”
“Yeah, aku sudah meneleponnya. Dia mengajakku makan di rumahnya besok lusa bersama Cordy.”
Joseph berjengit mendengar berita itu. “Bersama Cordy? Caspian mengundangnya juga?”
Jade mengangguk, lalu tersentil sesuatu. “Ah, aku lupa menanyakan tentangmu. Kupikir kau seharusnya bisa ikut kami untuk―”
“Tidak, tidak. Aku di rumah saja,” Joseph memotong cepat, seketika raut wajahnya berubah cemas. “Caspian itu ... sepertinya dia tertarik dengan Cordelia. Kau merasakannya juga, kan?”
“Justru aneh kalau ada orang yang tidak tertarik dengan Cordy.” Lalu Jade menatap Joseph dengan pandangan curiga. “Jangan bilang kau merasakan sebaliknya. Kau masih normal, kan?”
“Ah, sial kau. Tentu saja aku masih normal.” Joseph menyugar rambut cokelat pasirnya ke belakang kening seraya berdecak jengkel, memutuskan untuk mengakui semuanya. “Terus terang saja, aku memang terpesona waktu pertama kali melihatnya, tapi hanya sebatas itu. Dia masih terlalu muda untuk orang seumuran kita, tahu tidak? Di balik dandanannya yang serba suram itu, usianya yang asli paling-paling masih 16 tahun. Bocah SMA, labil dan penuh emosi.”
“Jangan bandingkan dia dengan bocah SMA zaman sekarang!” Jade tergelak tertawa sampai melempar kepalanya ke sandaran sofa.
“Yeah, tapi maaf-maaf saja, aku masih sayang dengan nyawaku sendiri. Dia itu berbahaya, kau tahu bukan? Sebetulnya, yang selama ini menyeretmu ke ambang maut itu Cordelia. Apa kau tidak sadar?”
“Aku tahu.”
“Kau yakin akan betah bersamanya terus?”
Jade terdiam. Benaknya tiba-tiba teringat dengan pengakuan Cordelia di toilet kafe pinggir jalan. Memang bukan momen yang pas untuk menyatakan cinta di tempat dan keadaan seperti itu, tetapi Jade masih berbesar hati untuk mengapresiasi keberaniannya. Lagi pula yang menjadi masalah bukanlah lokasinya, melainkan tentang perasaannya sendiri.
Tidak terelakkan lagi, semakin hari, Jade semakin yakin bahwa dia menyimpan perasaan yang sama kepada Cordelia. Akan tetapi, jauh di dalam lubuk hatinya, dia tahu sebentuk perasaan ini akan sia-sia saja bila diperjuangkan. Benar kata Joseph. Cepat atau lambat, maut akan mengincarnya kembali. Barangkali yang berikutnya akan benar-benar mendorongnya ke jurang kematian.
“Aku masih mencari cara agar bisa lepas dari kutukannya,” akhirnya Jade berkata.
“Maksudmu, perihal budak darah itu?”
“Ya. Cordelia dan aku yakin, ada cara untuk bisa melepaskan ikatan di antara kami. Itulah sebabnya kami harus segera mencari Gustav. Dia yang paling memahami semuanya.”
“Kalau ternyata tidak bisa, bagaimana? Selamanya kau akan terikat dengan Cordelia.” Kata-kata Joseph bernada muram dan ragu.
“Setidaknya itu lebih baik daripada harus tinggal denganmu selamanya,” kata Jade, lalu menunggu Joseph tertawa karena sarkasmenya. Akan tetapi, Joseph hanya menatapnya dengan raut murung. Tersungging senyum lemah di wajahnya, seakan dia memang betul-betul tersinggung dengan kata-kata Jade.
“Josh, ya ampun. Kau jangan menakutiku begitu, dong. Kau serius mau tinggal selamanya denganku?”
“Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya kepikiran sesuatu, Jade.”
“Katakan saja.”
“Kau sungguh-sungguh melupakan Cassie?”
Pertanyaan itu seperti menggiring Jade ke sumber kegelisahan baru. Mendadak dia merasa seperti pemuda sialan yang pernah mengacaukan hubungannya sendiri dengan mantan pacar hanya karena alasan egois. Sampai detik ini Jade masih merasa bahwa Cassie tidak layak bersandingan dengan orang sepertinya, yang selalu dilanda masalah, dan menjadi incaran maut.
“Aku tidak memikirkannya lagi. Hubunganku dengannya sudah selesai.”
“Begitukah?”
“Maumu apa, sih? Kenapa kau selalu mengungkit-ungkit hal itu?”
Mulanya, Joseph tidak menjawab. Dia hanya melengos dari wajah Jade dan kembali menatap layar televisi dengan pandangan melamun. Sorotnya seperti menyimpan beban yang tidak ingin diutarakan, dan Jade tidak cukup bodoh untuk menangkap keganjilan itu. Dia tahu bahwa Joseph sedang menyembunyikan sesuatu. Barangkali itu adalah sebuah rahasia yang tidak pantas. Barangkali ....
“Josh,” kata Jade, lirih dan cemas. “Kau menyukai Cassie?”
Joseph menunduk dan mengusap wajahnya seperti menahan rasa tidak enak. Jade yang melihat hal itu langsung merasa jantungnya tergelincir ke dasar perut.
“Astaga. Sejak kapan?” tanya Jade.
“Aku sama sekali tidak ingin mengganggu hubungan kalian, oke?” Joseph tahu-tahu berpaling memandangnya. Jade bisa melihat ekspresi Joseph merengus jengkel, menandakan bahwa selama ini dia memang sengaja menutupinya. “Ada hal yang jauh besar dibandingkan mendapatkan balasan dari orang yang kita cintai. Kau ini sahabatku yang sudah membantuku sejak dulu. Tidak mungkin aku mengobrak-abrik kebahagiaanmu―bahkan merebut Cassie darimu, hanya demi alasan yang menurutku egois. Rasa cinta itu tidak bisa dipaksakan, terutama untuk Cassie. Dia sempurna saat bersamamu.”
“Itu kan dulu,” Jade berkata lirih. “Dia tidak pernah bisa bahagia bersamaku.”
Joseph memandanginya dengan tatapan anak anjing yang malang. “Jade.”
Jade merasakan jantungnya bergemuruh dan menyerpih ke dasar perut. Perasaannya campur aduk. Dia merasa amat bersalah kepada Joseph dan juga Cassie, tetapi di saat yang bersamaan, secara konyol dia merasa patah hati mendengar pengakuan Joseph.
“Josh, kau bisa mendekati Cassie bila kau mau,” kata Jade, berusaha tidak memecahkan nada suaranya di akhir.
“Aku tidak akan melakukannya kalau kau masih mencintainya.”
“Aku sudah tidak mencintainya, sudah berapa kali kubilang padamu.”
“Kau ingat waktu kita bertiga makan burger di kafe pinggir jalan? Cordelia bilang kau masih mencintai Cassie. Apa kau masih bisa bilang bahwa Cordelia salah mengenaimu?”
“Dia hanya mengada-ada tentang perasaanku karena dia pikir aku terlihat seperti orang kebingungan yang putus cinta. Padahal yang membebani perasaanku bukan itu. Kau tahu, Josh ... aku bukan orang yang memegang teguh cinta. Maksudku, hal itu sungguh konyol. Tidak ada waktu untuk memikirkan orang lain saat hidupmu sendiri masih penuh luka dan trauma.”
Rupanya kata-kata Jade malah membuat Joseph terpicu sesuatu.
“Hei, kau tidak serius kan mengatakan begitu? Setelah berhubungan dengan Cassie selama bertahun-tahun lamanya, kau bilang yang terjadi di antara kalian hanyalah sebuah kekonyolan? Apa kau tahu sebesar apa rasa cinta Cassie kepadamu?”
Jade menggertakkan rahang, menahan mulutnya mengatakan kejujuran. “Maksudku bukan konyol―maaf kalau membuatmu tersinggung. Aku menghargai Cassie dan aku pernah mencintainya, tapi hubungan kami bukanlah sesuatu yang menjadi prioritasku sekarang.”
“Hati-hati dengan mulutmu, Bung.” Joseph memperingati, menuding wajah Jade dengan nada penuh ancaman. “Aku tidak akan tinggal diam kalau tahu bahwa selama ini kau bermain-main dengan Cassie.”
“Itu tidak mungkin. Maafkan aku, Josh.”
“Untuk apa?”
“Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sehingga tidak tahu-menahu tentang perasaanmu.”
“Tenang saja, itu bukan salahmu. Sejak awal akulah yang berniat menyembunyikannya.”
Jade menerima alasan itu lalu menepuk pundak Joseph. “Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Sudah berapa lama semenjak kau mencintai Cassie?”
“Terus terang saja, saat kau menceritakan gadis yang kau temui di Beachcomber Cove, aku sedikit terkejut. Ternyata kau juga tahu tentang Cassie. Aku kenal dia lebih dulu daripada kau, tapi aku tidak punya keberanian untuk mengajaknya berteman karena kupikir dia sudah bersama Big Ben―si ketua himpunan laknat itu. Ternyata aku kalah langkah duluan.”
“Lain kali kau harus mengambil langkah sebelum ada orang lain yang merebutnya,” kata Jade, lalu tertawa. Joseph hanya geleng-geleng makhlum sambil menatap layar televisi yang entah menyiarkan apa.
Ketika mereka masih sibuk menertawakan kejadian di masa lalu, tahu-tahu saja terdengar suara langkah dari ambang ruang tengah. Jade adalah yang pertama menengok ke belakang.
Rupanya Cordelia menghampiri mereka berdua. Eskpresinya menjelaskan betapa serius berita yang dibawanya kali ini.
“Kalian semua harus lihat apa yang aku temukan,” kata gadis itu.[]
-oOo-
.
.
.
.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top