4. Budak
CORDELIA adalah gagak hitam yang menyergapnya tanpa ampun―memerangkapnya dalam kerangkeng, seperti tikus malang yang dipakai berulang kali dalam serangkaian percobaan keji. Jade bisa merasakan nasibnya kini tak ada bedanya dengan tikus itu.
Saat dia pikir kehidupannya sudah terbanting di dasar jurang, dia dijungkirkan lagi ke dasar yang lebih gelap dan dalam. Apa lagi yang jauh lebih buruk daripada menjadi tawanan monster pengisap darah? Sekarang yang Jade inginkan hanyalah keluar dari belenggu ini, kabur sejauh mungkin dari rumah kakeknya, dan kembali ke Palmer untuk menjadi satu dari sekian banyak penduduk bermasalah. Bukannya malah terjebak di rumah ini bersama Cordelia.
“Kau akan pulih dalam beberapa jam, jadi berhenti menatapku seolah aku ini beruang yang mau memangsamu.” Suara gadis itu mengusiknya. Kali ini nadanya dibasuh kejengkelan dan prihatin. Sempat terlihat wajah Cordelia memandangi Jade dari atas―tetap terlihat datar dan tanpa ekspresi. Mulut gadis itu masih dipenuhi darah dari leher si pemuda yang dikoyaknya dengan gigi.
Sementara Jade hanya bisa berbaring telentang di lantai dapur, dengan kondisi yang sama sengsaranya seperti manula yang mengalami kelumpuhan. Setelah darahnya diisap, dia kehilangan tenaga―bahkan untuk menggerakkan lengan saja sulitnya minta ampun. Keningnya pasti benjol karena menghantam lantai, sebab kini seluruh dunianya berputar dalam tirai kelabu yang berkedip-kedip seperti tayangan di saluran televisi kuno.
Namun, Jade berjuang menggerakkan bibir untuk berbicara, “Kau monster.”
“Orang-orang mengatakan demikian,” kata Cordelia enteng.
“Pergi dari rumahku, berengsek.”
“Kau tidak akan bisa mengusirku.”
Jade mengedipkan mata, bernapas terengah, “Kalau begitu … kau akan kubunuh.”
Kemudian, sunyi.
Cordelia mendekat pada Jade dan menatapnya dalam-dalam. “Aku ini tidak akan bisa kau bunuh.”
Si puan lantas menyapu darah di mulutnya dengan lengan, lalu berdiri dan pergi ke sudut lain ruangan, menenggelamkan tubuhnya yang mungil ke lorong-lorong rumah yang gelap. Sementara Jade melihat tungkai Cordelia yang kurus dan telanjang menjauh, perlahan mengabur dari jarak pandangnya yang terdistorsi. Dia memejamkan mata sebentar untuk menghilangkan sakit di kepalanya yang berdenyut-denyut.
Saat matanya terbuka untuk kali kedua, Jade sudah berada di kamar Kakek.
Pemuda itu mendorong dirinya duduk dengan linglung―seketika membuat selimut yang menutupi dadanya tergelincir jatuh ke perut, sementara lehernya terasa hangat tetapi sesak. Ketika disentuh, dia mendapati perban terbebat melingkari leher. Tangannya merambat lebih ke atas dan menemukan plester melekat di keningnya yang―sesuai dugaannya―benjol. Terbit pertanyaan dalam benaknya; siapa yang membawaku kemari dan mengobatiku? Apakah Cordelia? Tidak mungkin dia mengangkatku ke lantai tiga seorang diri!
Pemuda itu celingukan di kamarnya yang kosong, lantas menengok ke samping kiri dan menemukan segelas air mineral telah ditinggalkan untuknya di atas nakas.
Jade menyambar gelas itu dan meneguk isinya dengan rakus.
Sambil menyeka mulutnya, dia bertanya-tanya sudah berapa lama dirinya tidak sadarkan diri. Badannya terasa pegal, dan kandung kemihnya sudah membengkak. Saat mendongak ke jendela, pemandangan yang mengintip dari celah tirai di kamarnya memancarkan pendar lembayung senja yang lembut. Rupanya masih sore.
Maka Jade turun dari kasur dan masuk dengan sempoyongan ke bilik toilet di kamar sang kakek. Dia langsung mematut bayangan dirinya di cermin buram. Kondisinya terlihat kacau, seperti baru saja terserang demam dan baru bisa bangkit setelah berhari-hari tidur di atas kasur. Rambut cokelatnya acak-acakan, ekspresinya kuyu, dan bibirnya pucat kering. Jade mengelupas plester luka di tengah dahinya dan melihat lecet yang mengering. Kemudian dia memeriksa luka gigitan di leher―anehnya tidak separah yang dia bayangkan. Lubang itu sudah menutup sempurna dan hanya meninggalkan titik gelap seperti bekas gigitan nyamuk.
Setelah menyelesaikan urusannya, Jade keluar beberapa menit kemudian, dan langsung berhadapan dengan Cordelia.
Gadis itu masih tetap berpenampilan sama―bisa dibilang, nyaris telanjang di balik gaun tidurnya yang agak transparan. Dia duduk anggun di tepi kasur dan mendongak ketika Jade muncul dari ambang pintu kamar mandi.
"Aku menyeretmu ke lantai tiga sendirian. Kepalamu mungkin sakit karena di sepanjang perjalanan aku terus membenturkan kepalamu di anak tangga."
“Aku benar-benar serius,” Jade menghampirinya dan langsung menarik pergelangan tangan Cordelia, bahkan sebelum gadis itu sempat memprotes. “Kau harus benar-benar pergi dari rumah ini, Nona.”
“Kau sudah lupa dengan semua yang kukatakan padamu sebelum ini?” Cordelia membiarkan tubuhnya setengah diseret keluar dari kamar kakek Jade. Mereka menyusuri lorong dan menuruni tangga.
“Aku tidak lupa!” kata Jade, penuh kemarahan dan kejengkelan. “Tapi aku benar-benar tidak mau menjadi budakmu! Kau cari saja orang lain di luar sana yang bisa kau permainkan dengan fetish anehmu itu.” Fetish, benar. Dia hanya maniak aneh yang menyedot darah dari tubuh seorang pemuda.
Mereka baru sampai di pertengahan tangga lantai dua ketika Cordelia menyentak tangan Jade hingga pegangannya terlepas. Pemuda itu mengernyit keheranan dengan tenaga gadis itu. Dia berputar dan mendongak pada Cordelia yang berdiri dua anak tangga di atasnya.
“Aku tidak tahu sebodoh apa dirimu sampai menganggap ceritaku adalah bualan,” kata Cordelia. “Kalau kau memahami situasi, kau tidak akan sembrono menyeretku pergi dari sini. Itu hanya akan membuatku murka dan melakukan sesuatu yang lebih buruk padamu.”
Sebelum Jade sempat bereaksi apa pun, Cordelia menatapnya dengan luapan kemarahan yang membuat pupil hitamnya―lagi-lagi, berpusar dan melebar, memenuhi seluruh rongga matanya. Lalu seperti serangan kutukan sebelum-sebelum ini, Jade menggeram seiring ngilu menyerang tangannya; tulang pada sendi-sendinya berderak menyakitkan, lantaran telapak kanannya membengkok ke arah luar, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menekannya dengan tenaga besar.
Pemuda itu berkejat kesakitan dan secara spontan memegangi birai tangga dengan tangan satunya―benaknya baru sadar masalah apa yang mengancamnya.
“Hen-hentikan … hentikan…. mmgh!”
Cordelia menghentikannya dalam sekejap.
Ekspresi Cordelia kembali normal, dan Jade menatapnya sambil terengah-engah mengatur napas. Kewaspadaan mengentaknya bagai cemeti di siang bolong, membuatnya tersadar bahaya macam apa yang kini mengintai. Gadis ini tidak main-main dengan ancamannya.
“Cordelia,” itu adalah pertama kali Jade menyebut namanya. “Jadi kau serius menjadikanku budak?”
“Apa yang mau kau lakukan kalau aku mengatakan ‘iya’?”
“Kau akan kulaporkan ke polisi atas tuduhan pembobolan dan percobaan pembunuhan.”
“Kantor polisi?” Alis Cordelia bertautan seolah dia begitu asing mendengar nama itu. “Maksudnya kau mau melaporkanku pada gendarmeri―pasukan bersenjata?”
“Kau tidak tahu polisi?”
“Aku perlu waktu untuk memproses semua ini,” Lalu Cordelia meninggalkan Jade di undakan tangga. Gadis itu melangkah turun sambil jelalatan ke sekeliling rumah. “Sepertinya ini sudah berlalu bertahun-tahun lamanya semenjak aku dikurung dalam lukisan. Jadi, kau yang berpakaian aneh, tahun berapa ini?”
“Kau yang berpakaian aneh?” Jade tampaknya terlalu jengkel dengan panggilan yang disematkan Cordelia untuknya. Sekarang dia melupakan rencana awal untuk menendang gadis itu dari rumah ini dan beralih untuk menggali rahasia Cordelia. “Namaku Jade Cassio!”
Cordelia tidak menghiraukannya dan langsung melengos ke arah jendela di dekat ruang tengah. Dia melihat pemandangan pekarangan yang tak terurus dan berdiam lama, lalu, “Baiklah, Cassio. Sekarang tahun berapa?”
“2026.”
Cordelia berpaling cepat padanya sambil melotot, sementara Jade tak sadar memundurkan wajahnya dengan defensif.
"2026?" Cordelia berdesis pada dirinya sendiri. "Aku tidak mungkin sudah terkurung selama itu."
Ada yang aneh dengan gadis ini. Dari caranya terkejut, bukankah dia seperti dilalap kebingungan tentang informasi waktu? Apakah dia bukan berasal dari tahun ini? Bila dinilai dari gerak-gerik dan gaya berpakaiannya, Cordelia memang tidak kelihatan seperti masyarakat modern. Penyelidikan ini membuat Jade teringat potret yang bersarang di pigura kamarnya. Mulanya dia menganggap gadis dalam lukisan itu adalah bangsawan dari kerajaan kuno.
“Kau … berasal dari mana?” Jade bertanya ragu.
Cordelia menatap suramnya pekarangan lewat jendela yang kusam, kemudian membalas, “Moldova. Aku lahir di sana, kemudian di usia sepuluh tahun aku dibawa pergi ke Barrow.”
“Barrow? Jadi kau tinggal di Alaska?”
Pertanyaan Jade sepertinya meninggalkan lebih banyak kebingungan di benak Cordelia.
“Aku tidak tahu,” kata Cordelia, yang kini melunakkan nada suaranya. “Ingatanku agak kacau. Hanya potongan-potongan informasi yang kuingat tentang kehidupanku di masa lalu. Satu hal yang kuyakini adalah aku telah bersemayam di dalam lukisan itu untuk waktu yang lama. Aku tak bisa bergerak―hanya mampu mengintip bayangan yang berkelebat di luar lukisan, lewat celah di antara jaring-jaring yang membelengguku. Aku hanya mengikuti insting untuk keluar ketika kau memberiku darah.”
“Dengar, aku tidak memberimu dar―” Jade menahan ucapannya untuk tidak membentak, lalu dia melembutkan suara dan berupaya sabar, “Baiklah, Cordelia, mari kita luruskan ini. Kau adalah manusia dari masa lalu yang dikurung di dalam lukisan selama kurun waktu yang lama? Kau masih ingat tahun berapa kau lahir?”
Cordelia mengerutkan kening seolah berpikir, “Sepertinya … 1704.”
Rasanya Jade ingin mengumpat―tercabik antara terkejut dan semakin dibasuh antusias. Tapi ini bukan perasaan yang baik, mengingat siapa dirinya bagi Cordelia.
“Bagaimana―maksudku―siapa yang mengurungmu dalam lukisan itu, dan―kenapa dia melakukannya?” Salah satu kebiasaannya ketika panik menderai; semua omongannya terdengar kacau dan berbelit.
“Ayahku,” kata Cordelia cepat, seolah ingatan satu itu tak pernah lekang dari tempurung kepalanya. Sorot mata gadis itu seperti dibanjiri kemarahan dan kegetiran. “Dan aku tidak tahu kenapa dia melakukannya. Atau, bisa saja aku lupa. Sepertinya saat itu aku harus kabur dari sesuatu … atau bersembunyi, atau memang seperti itu adanya ….”
“Itu lukisan, kau tahu, bukan?” Jade berkata seolah-olah dia tak bisa menyingkirkan logika paling konyol di kepalanya. “Bagaimana bisa kau masuk ke dalam lukisan yang gepeng?”
Tapi Cordelia tak mampu memberikan jawaban masuk akal selain sorot mata datar dan tanpa petunjuk.
Jade membuang napas seraya menyugar rambutnya dengan frustrasi. Masih ada jutaan pertanyaan yang memenuhi kepalanya dan siap untuk disemburkan ke muka Cordelia, tetapi niatnya itu harus diurungkan karena mendadak saja dia menangkap pergerakan dari luar jendela.
Jade mendekati bingkai kaca yang kusam dan memperhatikan dengan cermat; gerbang pagar yang berjarak sekitar tujuh meter dari pintu rumah kakeknya didorong terbuka―bunyi deritnya samar-samar sampai ke telinga. Apakah ada seseorang yang datang? Apakah itu Dave?
Pertanyaannya langsung terjawab beberapa detik kemudian.
Cassie memasuki ambang pagar dengan raut gelisah bercampur jengkel. Dilihat dari kopor kecil yang dibawanya, gadis itu tampak seperti baru datang dari perjalanan jauh.
Keterkejutan di kepala Jade pecah―sontak membuatnya melongo selama beberapa detik. Saat mata Cassie merayap menjelajah fasik rumah, gadis itu nyaris saja bersinggung mata dengannya, tetapi Jade bergegas merapatkan diri ke dinding.
“Siapa dia?” Cordelia bertanya lirih. Jade cepat-cepat menarik tangan Cordelia dan menyeretnya menjauh. Bisa gawat bila Cassie tahu tentang keberadaan orang asing ini.
“Sembunyi,” kata Jade, menekan pergelangan tangan Cordelia. Dia meluruhkan nada suaranya hingga terdengar seperti memohon. “Ini gawat. Kalau kau tidak mau kuusir, kumohon sembunyilah sebentar. Ada ruang bawah tanah di belakang tangga. Masuklah ke sana―jangan buat suara apa pun.”
“Kau ingin aku bersembunyi? Dari orang itu?” Pandangan Cordelia bergeser pada pintu ganda yang masih tertutup rapat. “Memang siapa dia?”
“Aku akan menjelaskan padamu nanti. Jadi, maukah kau menurutiku sebentar saja?”
Cordelia menatap wajah Jade yang memandanginya dengan sorot seperti anjing kecil yang terluka. Padahal tubuh pemuda ini jauh lebih tinggi dan besar darinya, tetapi entah bagaimana ada pengharapan dalam suaranya yang membuatnya tampak perlu dikasihani. Gadis itu lantas menarik napas dan melepaskan cengkeraman Jade di pergelangannya.
“Aku akan masuk ke sana sendiri,” kata Cordelia, kemudian berputar dan menuju ke balik tangga, ke lorong yang lebih suram dan gelap.
Setelah memastikan Cordelia pergi, tepat saat itulah pintu utama di belakang Jade diketuk dengan canggung. Pemuda itu bergegas menghampiri dan membuka daun pintunya lebar-lebar.[]
-oOo-
.
.
.
.
Jadi, apa tanggapanmu tentang cerita ini? Diupload di platform sebelah sepi banget, kali aja di sini banyak yang suka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top