36. Rahasia
SETELAH menerima perawatan akibat luka tembak yang dideritanya, Jade kembali pulang bersama Cordelia dan Joseph. Tidak ada satu pun yang repot-repot membahas tentang pencuri lukisan bernama Abbey, sebab situasi mereka terjepit oleh kelelahan yang mendera.
Jade menutupi jendelanya yang berlubang dengan kerai seadanya, lalu jatuh tertidur seperti gajah yang dibius, sementara Cordelia dan Joseph melakukan hal yang sama di kamar masing-masing. Ketiganya terbangun keesokan hari dengan perasaan suram dan berkabut. Butuh waktu beberapa lama sampai seluruh ingatan semalam kembali menganak sungai di pikiran, dan membuat mereka menjadi pundung dan gelisah. Siapa pun orang yang berani merangsek masuk ke dalam rumah Walthrop Bailey, kemungkinan dia memiliki intensi yang berhubungan dengan sihir atau kutukan gelap di balik lukisan Cordelia.
Kemudian, bagaikan sinkronisasi takdir, ketiga penghuni rumah pun keluar dari kamar di waktu yang bersamaan. Jade melongok ke bawah birai tangga, menatap Cordelia yang balas menatapnya dari ambang pintu kamar di lantai dua. Sementara di kamar paling bawah, Joseph mendongak dan menyuruh keduanya turun.
“Kalian harus lihat berita pagi ini,” kata Joseph, tegas dan tegang.
Ketiganya buru-buru berkumpul di depan televisi yang menampilkan seorang reporter kota, sedang melaporkan penemuan mayat terbaru.
“... ditemukan di pinggir sungai dekat dengan hutan perbatasan kota Ruswer. Mayat kali ini diduga merupakan seorang pria berusia 34 tahun bernama Abbey Houssel, yang sepak terjangnya cukup dikenal luas di kalangan kolektor barang antik. Houssel ditemukan tewas dengan kondisi tragis, dimana tubuhnya dicabik binatang buas. Kedua kakinya terpisah dari tubuh, dan isi perutnya terburai mengenaskan, berceceran di sekitar tepi sungai sampai radius tujuh meter dari lokasinya ditemukan. Tim forensik dan kepolisian menduga kejadian ini merupakan ulah beruang liar yang tinggal di kawasan hutan Ruswer. Tampaknya, kejadian ini....”
Dari layar televisi, para jurnalis tampak berdiri mengelilingi garis kuning polisi yang dibentangkan, sementara kilat dari jepretan kamera, polisi yang berlalu lalang, serta suara interogasi yang bersahut-sahutan memberi kesan betapa sesak tempat itu dari incaran media yang haus informasi. Kamera kemudian menyorot gundukan kantong mayat yang masih belum dipindahkan dari lokasinya di dekat semak gambut dekat sungai. Pada bagian ritsletingnya yang masih belum tertutup, lengan mayat mencuat keluar melewati lubang kantong. Jade melihat setelan hitam yang sama seperti yang dikenakan oleh pencuri semalam.
Kenyataan itu seketika membuat Jade hampir terpuruk lemas.
Tidak salah lagi, tidak salah lagi; Orang yang dilihatnya semalam, rupanya memang Abbey.
“Bagaimana mungkin Abbey meninggal secepat itu?” Joseph berteriak protes sambil menatap televisi dengan pandangan mencalang.
“Setelah tidak berhasil mencuri lukisan, Abbey tiba-tiba ditemukan tewas di dalam hutan. Apakah dia sungguh-sungguh dibunuh binatang buas?” Pertanyaan Jade pekat oleh kebingungan dan gelisah yang memuncak. “Ini aneh, bukan? Kelihatannya dia seolah dibunuh untuk sebuah alasan. Dan siapa pula makhluk yang membunuh sesadis itu?”
“Kurasa dia dibunuh oleh abare,” kalimat itu datang dari Cordelia, yang kini menunjukkan raut serius seakan sanggup mengeluarkan laser dari matanya. “Ingat tentang pria yang kubunuh sesaat setelah kita pulang dari pesta makan malam? Televisi memberitakan pria itu tewas dengan leher terpenggal karena gigitan makhluk buas seperti serigala atau beruang. Kejadian yang sama juga dialami Abbey. Jenis potongan yang mirip dengan caraku membunuh. Siapa lagi kalau bukan abare?”
Jade lantas melirik televisi lagi, dimana sang reporter mulai mengoceh banyak hal tentang latar belakang Abbey Houssel. “Kalau begitu, yang membunuh Abbey adalah abare pula. Namun mengapa makhluk itu tidak mengisap darah seperti biasa? Apa artinya?”
“Artinya dia membunuh bukan karena lapar,” kata Cordelia. “Mungkin dia marah.”
Jade entah kenapa menahan napas mendengar hal itu. “Maksudmu, setelah tidak berhasil mencuri lukisan di kamarku, Abbey dibunuh oleh orang yang marah kepadanya karena misinya gagal?”
“Kemungkinan begitu,” Cordelia manggut-manggut. “Atau bisa saja dia dibunuh karena terlibat pertarungan dengan sesama abare. Bukankah kau berpendapat Abbey adalah abare? Dia berlari cepat dan sulit untuk dikalahkan, bukan? Abare cenderung memiliki kemampuan bertarung di atas rata-rata, karena mereka lebih kuat dan gesit, dan beberapa di antaranya bahkan memiliki kesaktian. Abare tidak bisa mengisap darah abare lain. Jadi jalan satu-satunya untuk memusnahkan mereka adalah membunuhnya sampai tewas.”
“Bukankah mereka hanya bisa dibunuh dengan belati kristal?” tanya Joseph.
Jade menggeleng. “Belati kristal itu digunakan untuk membunuh abare dari golongan yang terkuat, seperti Gustav. Kau ini bagaimana, sih? Isabel sudah menjelaskan hal itu dengan amat detail.”
“Yeah, jangan salahkan aku. Ada terlalu banyak informasi yang harus kuterima, padahal baru beberapa bulan aku berada di kota ini,” Joseph mengedikkan bahu tidak peduli. “Baiklah, jadi para abare ini kemungkinan saling membunuh, dan tidak ada yang tahu apa alasan mereka―tunggu. Bagaimana kalau ... bagaimana kalau semua abare yang ada di Ruswer sedang mengincar lukisan Cordelia?”
“Memang apa yang mereka incar dari lukisan itu?”
Joseph tampaknya mulai semangat lagi. Dia menggosok kedua tangannya seolah hendak mempersiapkan diri menangani sebuah kasus besar. Dengan lagaknya yang serius, pemuda itu menjelaskan pikirannya, “Begini, kawan-kawan. Cordelia adalah putri Gustav, bukan? Dan kita tahu sendiri bahwa Gustav adalah salah satu dari tujuh sosok dewa yang dahulunya dipuja dan disembah. Kita bisa membayangkan sekuat apa kekuatan Gustav, serta pengaruh apa yang diberikan Gustav kepada para pengikutnya dahulu. Namun sayang, tidak ada di antara kita yang saat ini tahu berita Gustav―di mana atau bahkan bagaimana keadaannya, apakah dia masih hidup atau jangan-jangan sudah tewas duluan karena dibunuh dengan belati kris―”
“Gustav belum tewas,” potong Cordelia, yang mulai menampakkan raut tersinggung atas kata-kata Joseph. “Aku melihatnya dalam potongan penglihatanku sendiri. Aku merasakannya, dengan sekujur tubuh dan pikiranku. Dia masih ada di suatu tempat, entah di mana. Mungkin dia bersembunyi atau sedang pergi jauh untuk menyelesaikan sebuah urusan.”
“O, maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengatakan Gustav sudah tewas,” Joseph menunjukkan paras menyesal sekilas, “Yeah, tapi begini. Saat ini Gustav masih hilang, bukan? Nah, bagaimana bila ... para abare yang bersemayam di Ruswer ini―entah bagaimana―tahu bahwa putri Gustav telah keluar dari lukisan. Sehingga mereka belakangan ini mulai mengincarnya entah untuk urusan apa. Mungkin mereka mengincar Cordelia untuk ... memperebutkan kekuasaan, kesaktian, atau ... menjadikannya dewa selanjutnya, sebagai pengganti Gustav? Kalau kita memikirkan cermat, teror abare di televisi belakangan ini muncul bersamaan dengan hari-hari ketika Cordelia keluar dari lukisan. Bisa saja keluarnya Cordelia menjadi tanda bahwa akan ada sesuatu yang membuat para abare ini berbondong-bondong datang.”
“Kau menyeret kami ke konspirasi yang terlalu membingungkan,” kata Jade, dengan raut gelisah. "Tapi aku dapat poinnya. Teorimu bagus juga."
“Yeah, karena aku penggemar film fantasi dan horor, imajinasiku liar. Namun kita tidak bisa begitu saja percaya. Harus ada orang yang bisa membimbing kita untuk tahu cerita yang sebenarnya.”
“Masalahnya sekarang kita tidak bisa begitu saja percaya pada Isabel ataupun Caspian. Aku tidak bisa sembarangan bercerita kepada mereka bahwa ada lukisan Cordelia yang bersemayam di dalam kamar, atau mengatakan bahwa gadis dari lukisan itu sekarang tinggal serumah denganku.”
Jade menatap Cordelia, yang hanya terdiam serius seperti gagak yang mengawasi mangsa.
-oOo-
“Media sepertinya berusaha menghilangkan rumor tentang abare.”
Kalimat itu datang dari seorang wanita yang berdiri anggun di depan sebuah jendela besar yang menghadap kolam. Gaun merahnya jatuh licin sampai ke lantai, menyapu betis indahnya yang berwarna gelap. Dia mengayunkan gelas sampanye di jepitan jari, dan kerlap-kerlip menyenangkan tampak dari gelasnya yang digosok berkilau. Saat likuid anggur dari dalam gelas bergerak turun menyentuh bilah bibirnya yang merekah merah, pria yang berdiri di belakang tahu-tahu saja melingkarkan lengan di pinggang si wanita dengan lembut.
“Karena mereka tidak bisa memikirkan jawaban masuk akal dari semua pembunuhan yang terjadi,” kata pria itu, dengan suara yang lirih dan agak parau. Bibir pria itu menyapu leher si wanita, menghirup aromanya dengan sekali pelepasan napas panjang. Lidahnya terjulur keluar dan menjelajah ceruk leher, seolah-olah dia sedang mencicipi permen cokelat yang adiktif.
“Oh, hentikan itu. Kau bisa menikmatiku nanti,” kata wanita itu, lalu berbalik badan. Dia menumpangkan satu tangannya di pundak sang pria seraya berkata lirih, “Caspian, aku menunggumu sejak kemarin. Mengapa kau baru datang sekarang?”
“Maafkan aku, Lula,” Caspian menarik tangan sang wanita―Lula, lalu mencium buku-buku jarinya dengan lembut. “Aku sedikit terlambat karena ada sesuatu yang harus kubereskan.”
Lula menatapnya dengan perpaduan sorot sayu dan kesedihan.
“Siapa lagi yang kau bereskan kali ini?”
“Jurnalis bodoh yang berpikir bahwa menguping pembicaraan orang lain bisa membuatnya naik jabatan.”
Tawa kecil lolos dari bibir Lula. Suaranya merdu dan manis. “Hanya dia saja?”
Caspian terdiam sejenak. Mata birunya menatap wajah Lula dengan sorot mendamba, nyaris seperti anak kecil yang takut kehilangan mainannya. Pertanyaan itu dibalas dengan gelengan samar. “Satunya lagi adalah seorang kawan lama. Dia tidak bisa melakukan pekerjaan dengan bagus.”
“Kawan lama?”
“Abbey.”
Lula membulatkan mata terkejut. Wanita berkulit hitam itu mundur sejenak dengan wajah dipenuhi teror. “Caspian, kau sadar apa yang kau perbuat, bukan? Abbey adalah sahabatmu sendiri!”
Kendati suara Lula bergetar dengan ketidakpercayaan dan rasa tidak habis pikir, kecantikannya bagaikan batu abadi yang tidak pernah luntur. Lula masih saja membuat hati Caspian berdebar, sekalipun yang dilakukan wanita ini sekarang adalah kontradiksi dari nyala cintanya yang membara. Pria itu tidak bergerak. Bukan karena dia merasa takjub melihat kemarahan menggebu dari wajah Lula, melainkan karena nyata-nyata baru sadar bahwa dirinya memang sejahat itu. Abbey. Abbey Houssel. Temannya yang patuh dan menyenangkan....
“Aku harus membunuhnya,” kata Caspian, melangkah mendekati Lula. “Kurasa dia memang pantas mendapatkannya, Lula. Dia tidak patuh padaku.”
“Dia temanmu, bukan pembantumu.”
“Aku tahu.” Caspian merengkuh pinggang Lula dan meraihnya dalam pelukan singkat. Pria itu menjauh lagi, tetapi jemarinya mengusap separuh wajah wanitanya yang cantik. “Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada diriku belakangan. Aku merasa mudah marah dan tersulut pada hal-hal yang sepele.”
“Kau memang agak berubah belakangan ini. Aku khawatir bila perubahan ini terjadi karena kau merasa terintimidasi dengan seseorang.”
“Siapa? Maksudmu Jade?”
“Yeah, katamu namanya itu. Dia yang memiliki Kalung Evangeline, kan? Kalung terkutuk itu.”
“Kutukan itu hanya cerita yang kuada-adakan demi membuatnya takut,” kata Caspian. “Aku juga berbohong mengenai Adrian Benvilloni―si pemahat batu yang mendesain kalungnya. Kukatakan seperti itu agar anak bodoh sepertinya tidak curiga besar mengenai siapa orang di balik pembuatan Kalung Evangeline. Kalau dia sampai tahu ... kemungkinan besar langkahku akan disusul. Aku tidak mau berlomba dengannya untuk mencari tahu di mana keberadaan Gustav.”
Lula bergelayut di pelukannya dan mulai menangis. “Cas, aku tidak tahu kalau kau seambisius ini. Dahulu kau adalah pria manis yang penuh cinta. Kau tidak pernah memikirkan yang lain selain aku. Kau masih mencintaiku, bukan?”
“Oh, tentu saja aku masih mencintaimu.” Lalu Caspian menyentuh dagu Lula dan mendekatkannya ke wajahnya. Dia mencium singkat bibir Lula, lalu menatap mata wanita itu dalam-dalam. “Kau tetaplah orang yang paling kucintai di dunia ini. Lula-ku, bidadariku.”
“Aku suka saat kau memanggilku itu. Jangan panggil aku dengan sebutan budak darah lagi. Kau tahu aku membencinya. Rasanya seolah hidupku di sini tertekang dan diinjak-injak oleh adat dari kaummu yang mengerikan.”
“Maafkan aku, sayang.” Lalu Caspian merengkuh Lula lebih erat lagi.[]
-oOo-
.
.
.
.
Nggak cuma chemistry jade sama cordy yang kalian dapetin di buku ini, tapi juga caspian dan lula 👀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top