34. Terikat

INI merupakan pertama kalinya Cordelia menangis semenjak keluar dari lukisan. Tidak jelas emosi apa yang dia rasakan, tetapi jantungnya terasa seperti disobek-sobek dan napasnya direnggut paksa. Dengan susah payah, gadis itu berdiri limbung di pinggir meja, mencoba mencerna keanehan apa yang terjadi, sementara Joseph yang sejak tadi berada di dekatnya mulai menunjukkan tanda-tanda khawatir.

“Hei, jangan menakut-nakuti begini. Sebenarnya apa yang terjadi pada kalian berdua?” Joseph memprotes lemah sambil ragu-ragu memegang pundak Cordelia. “A-apa kalian keracunan burgernya?” 

Dengan raut tanpa petunjuk, Joseph menyambar burger milik Jade yang masih sisa setengah dan menciumi aromanya. Tidak ada yang aneh. Pemuda itu masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain ketika mendadak saja Cordelia keluar dari bangku, lalu pergi ke toilet di seberang untuk menyusul Jade.

“Hei―”

Seruan Joseph terputus. Terlambat.

Ketika memasuki lorong kamar mandi, Cordelia melihat tiga deret bilik kamar mandi terbuka, sementara bilik yang paling ujung tertutup. Sudah pasti Jade ada di baliknya. Gadis itu berdiri di hadapan pintu, termenung sejenak. Otaknya masih belum jernih karena dadanya berdebar tak karuan; rasanya sakit, dan sesak. Dia berusaha mengambil napas sambil menghitung pelan-pelan dalam hati―entah metode penenangan diri ini dia dapatkan dari mana, tetapi rasanya tubuh dan pikirannya secara alami membaca data informasi dan pengalaman yang dahulu pernah dia pelajari.

Betapa memalukannya. Rasa sakit ini ... bermula ketika Cordelia mulai menaruh rasa iri hati kepada Cassie. Mantan kekasih yang masih dicintai, juga cinta pertama yang menduduki singgasana terakhir di hati Jade. Cordelia tidak tahu mengapa efeknya bisa membuat seluruh tubuhnya terguncang, dan mengapa pula Jade turut merasakan hal yang sama. Apakah saat ini ikatan batin di antara keduanya semakin erat?

Bukankah ini artinya buruk?

Tidak mau larut dalam masalah, Cordelia akhirnya mengetuk pintu bilik toilet pelan-pelan. “Jade, keluarlah.”

Selama beberapa detik, tidak ada suara. Kemudian, pintu ditarik terbuka dari dalam. Wajah Jade yang pucat dan berkeringat menatap Cordelia. Pemuda itu keluar dari bilik toilet dengan sisa napas yang masih terpotong-potong. 

“Apa yang kau lakukan?” adalah pertanyaan pertama yang dilesatkan Jade. Nadanya terdengar dingin, namun lemah.

Cordelia tidak tahu. Dia tidak pernah menyangka bahwa Jade akan merasakan api kecemburuan dan sakit hati yang sama sepertinya. Lantas hal apa yang bisa Cordelia lakukan untuk mengelak? Dia tidak memiliki pilihan selain mengakuinya. 

“Jade, aku ....”

“Kau menghukumku karena aku masih mencintai Cassie?” Kata-kata Jade barusan menusuk Cordelia, membuat gadis itu tersinggung bukan kepalang. 

“Aku tidak menghukummu,” desis Cordelia, tegas.

“Kau pernah hampir mematahkan tanganku ketika aku berusaha untuk tidak menurutimu. Dan sekarang, kau mencoba meledakkan jantungku hanya karena aku mencintai orang yang tidak salah apa-apa?” Kini Jade melangkah maju, sementara Cordelia mundur pelan-pelan hingga punggungnya membentur sudut dinding. Gadis itu tidak sedikit pun merasa takut, tetapi dia lebih khawatir bila reaksi darinya akan mementik amarah lebih besar dalam benak Jade. Bayang-bayang dirinya ditinggal sendirian dalam kegelapan membuat Cordelia cemas.

“Aku bersumpah aku tidak menghukummu. Kau tahu aku tidak pernah berbohong di hadapanmu,” kata Cordelia. 

“Lalu mengapa dadaku terasa sakit?” Jade menyentuh dadanya sendiri dan mencengkeramnya pelan. Kata-katanya tercekik dengan emosi dan kesedihan yang semakin meradang. “Di sini ... sakit sekali, seperti dirobek sesuatu.”

Cordelia berjinjit, menangkup pipi Jade dengan satu tangan, lalu mengecupnya lama di bibir. 

Jade mematung, lebih karena tidak tahu harus bereaksi apa. Kehangatan merambat di bibirnya, berpencar ke seluruh tubuh dan ujung-ujung jarinya. Seluruh rasa sakit itu tidak lenyap, melainkan mengecil menjadi subtansi yang samar dan tipis. Dia memejamkan mata dan kesadarannya menyelami emosi baru yang dia rasakan dari sentuhan Cordelia. Dari kehangatan di jemarinya dan kelembutan di bibirnya. Dari darahnya yang berdesir bagaikan aliran listrik, dan dari jantungnya yang berdentum dan menggema. Satu perasaan itu ... adalah alasan mengapa dadanya terasa sakit bagai dirobek; Perasaan mustahil yang dulunya Jade anggap omong kosong, kutukan, dan sumber kekacauan. Perasaan yang kini bercokol di jantung Cordelia dan juga jantungnya. 

Jade membuka mata, dan ciuman itu terlepas. 

Cordelia berkata lirih, “Kurasa aku mencintaimu.”

Jade melesatkan dengan sederhana dan melamun, “Sejak kapan?”

“Entahlah. Tapi aku mulai merasa sedih dan lesu ketika kau menyebut nama Cassie di dalam mimpimu.” Cordelia masih menatap bibir Jade. Perlahan, tatapannya merambat naik, pada ujung hidung Jade yang bangir, lalu pada dua matanya yang hijau dan juga sayu. Pemuda satu ini tampak kehilangan pegangan seolah baru saja mendengar berita yang mengejutkan. 

“Aku ... aku tidak tahu harus ....”

“Aku tidak menuntut apa-apa dari dirimu selain darah untuk kuminum. Perasaanku adalah tanggung jawabku, Jade. Akulah yang harus berhati-hati agar tidak melibatkanmu.”

“Maafkan aku, Cordy.”

Jade tidak tahu mengapa dirinya harus minta maaf, tetapi rasanya sangat tidak bijak bila dia membiarkan Cordelia mengungkapkan perasaannya seorang diri. 

“Kau tidak perlu minta maaf. Aku akan baik-baik saja meskipun kau tidak mencintaiku.”

“Aku tidak tahu apa yang sebetulnya kurasakan,” kata Jade terus terang. “Di satu sisi aku peduli dan terkadang tersipu atas kehadiranmu, tapi di sisi yang lain, aku tidak bisa mengelak perasaan cinta yang masih kusimpan untuk Cassie.”

Peduli. Kata itu bergema di benak Cordelia, membuatnya senang sekaligus merana. Rupanya selama ini Jade memang tidak pernah sedikit pun menyimpan perasaan untuknya.

“Aku tidak berhak untuk perasaanmu,” kata Cordelia, lalu saat melihat kening Jade yang mengerut, gadis itu melanjutkan, “Cepat atau lambat, aku akan segera bertemu keluargaku dan meminta pertolongan agar ikatan di antara kita segera lenyap. Aku sendiri yakin kau tidak akan mau menghabiskan seluruh hidupmu demi menjadi penyedia darah untukku, bukan?”

Jade tidak yakin dengan jawabannya, jadi dia hanya mematung.

Kemudian Cordelia mengganti topik, “Nah, bagaimana dengan perasaanmu sekarang? Kau sudah tidak sakit lagi, bukan?”

“Aku merasa aneh,” Jade mendekap jantungnya sendiri sambil terus menatap Cordelia. “Aku bisa merasakan rasa sakit hatimu, kesedihanmu, kemarahanmu, dan ... kepedulianmu.”

“Kita berbagi emosi, kau tahu itu.”

“Sebelumnya tidak seintens ini.”

“Aku tahu.” Lalu Cordelia menyentuh dada Jade dengan ujung telunjuknya. “Sebelumnya ... kita tidak pernah seterikat ini.”

“Lantas apa artinya?”

“Mungkin waktu kita tidak lagi banyak,” kata Cordelia. “Semakin mudah kau berempati terhadap emosiku, semakin sering kau menyerap perasaan-perasaan yang tidak perlu. Kau ... akan sulit membedakan mana emosi milikku atau milikmu sendiri. Bila dibiarkan lama-lama, kau bisa kelelahan, dan jiwamu akan semakin lemah.”

“Hal yang sama juga terjadi padamu, bukan?” 

“Ya.” 

Jade hanya membisu, lalu mengajak Cordelia keluar dari toilet. Seraya memandang punggung Cordelia yang maju mendahuluinya, diam-diam Jade membatin merana;

Kematian yang disebabkan akibat mengonsumsi emosi satu sama lain? Tidak pernah terpikirkan aku akan menghadapi ajalku sekonyol itu.

-oOo-

Baik Jade maupun Cordelia menyepakati aturan tidak tertulis bahwa mereka akan menyembunyikan rahasia ini dari Joseph. Jadi, ketika keduanya keluar dari kamar mandi dengan tampang kuyu dan berantakan, Joseph harus menelan pil pahit lantaran tidak mendapatkan jawaban di balik insiden tersebut. 

Namun toh Joseph tidak ambil pikir. Dia menaruh harapannya pada fakta bahwa kedua kawannya baik-baik saja, dan berterima kasih kepada Tuhan karena dia tidak harus memanggil ambulans atau menelepon polisi demi mengusut kasus kedua kawannya yang mendadak punya gejala seperti keracunan.

Mereka menaiki taksi dan akhirnya sampai di rumah pada pukul sembilan malam. Kawasan rumah Jade adalah daerah yang sepi dan suram. Jarak rumah tetangga terdekat mencapai sekitar tiga puluh meter dari gerbang terluar. Jauh, dan terlupakan. Terkadang dia berpikir mengapa kakeknya bisa betah untuk menempati rumah mengerikan ini seorang diri.

Selepas ketiganya turun dari taksi, mereka membuka kunci pintu depan dan langsung menggeluyur masuk ke dalam. Cordelia merebahkan diri di sofa ruang tengah, sementara Joseph langsung pergi ke dapur untuk mencomot minuman kaleng. Jade menuju kamarnya di lantai tiga untuk mengambil laptop lantaran ingin memeriksa daftar artefak yang tempo lalu masuk daftar penjualan. 

Saat Jade mendorong kenop pintunya ke dalam, mendadak saja tubuhnya mematung seperti disihir. Matanya terperenyak menatap seorang pria asing yang sedang berusaha menurunkan lukisan Cordelia dari dinding.[]

-oOo-

.



.


.


.


Sebenernya kalau jadi Jade kasian juga sih. Hidupnya tahu2 jungkir balik waktu dia kedatangan Cordelia 🤧

Tapi pas baca ulang adegan Cordy yang menyadari perasaannya ke Jade, aku juga kasian sama dia... Soalnya dia selama ini cuma sendirian dan kehilangan arah :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top