33. Belati

TIDAK bisa dipercaya. Aku menjual belati itu dengan harga murah kepada Caspian!” 

Di tengah gerutuannya menelan informasi baru dari Isabel, Jade menuruni undakan tangga museum dengan ekspresi jengkel luar biasa. Cordelia dan Joseph melangkah di kedua sisinya, meningkahi ketidakpuasan itu dengan raut kesal dan sikap tubuh ogah-ogahan. Rasanya seolah mereka telah melewatkan kesempatan besar nan berharga untuk memiliki belati tersebut.

“Dasar dungu. Ini bukan perkara uang, ini perkara apa yang bisa kita lakukan terhadap belati itu,” Joseph mengutuknya dengan kasar. Dia berputar mendahului Jade dan menghentikan langkahnya. “Nah, omong-omong, berapa kau jual belati itu padanya?”

Cordelia tiba-tiba memukul kepala Joseph dari belakang. “Kau ini sama saja!” 

Selagi Joseph mengusap-usap ubun-ubunnya yang sakit, gadis itu berpaling pada Jade. “Jade, kalau apa yang dibilang Isabel soal abare yang belakangan ini meneror Ruswer itu benar, kau tahu belati itu bisa kita gunakan untuk menumpasnya.”

“Yeah, tapi jangan harap aku mau menjadi prajurit yang menghabisi pelakunya. Aku membutuhkan belatinya karena kupikir benda itu bisa membuatmu lebih tenang.” 

Cordelia menatapnya dengan kening mengernyit. “Apa maksudnya?”

“Coba pikir. Belati itu sangat berbahaya. Benda itu bisa memusnahkan ayahmu―Gustav. Dan mungkin menjadi senjata yang bisa membunuh kita berdua juga. Kalau belati itu ada di tanganku, setidaknya aku bisa menjamin keselamatan kita semua aman.”

Jauh di dalam hatinya, Cordelia tidak menyangka bahwa Jade akan peduli pada nasib ayahnya. Namun di sisi lain, dia sebal, pasalnya yang membuat belati itu berpindah tangan adalah Jade sendiri. Dan kemarahan pertama yang menjangkiti pemuda itu bukanlah perihal alasan keselamatan mereka berdua, melainkan tentang kerugian biaya lantaran dia telah menjual belati itu kepada Caspian dengan harga murah. 

“Jade, tidak mungkin uang yang kau terima sudah habis, bukan?” Joseph kembali bertanya. “Maksudku, kalau kau masih menyimpan sebagian uangnya, mungkin kau bisa bernegosiasi dengan Caspian untuk mendapatkan belati itu kembali.”

“Kurasa aku masih bisa mengusahakan untuk mengumpulkan uang lagi bila Caspian meminta nominal yang setara seperti perjanjian awal kami. Tenang saja, Pak Tua Walthrop masih punya banyak artefak kuno senilai fantastis.”

“Bagus. Sekarang kau telepon dia.”

Tanpa berbasa-basi, Jade merogoh ponsel di kantong celananya dan mencari kontak Caspian. Panggilannya terjawab di dering keempat. 

“Hai, Cas,” kata Jade. Terdengar samar-samar suara deru angin yang kencang di seberang sana. “Kau sibuk?”

“Ada sesuatu yang sedang kukerjakan. Ada apa, Jade?”

“Begini, sepertinya aku perlu bertemu denganmu untuk membicarakan sesuatu.”

“Kalung Evangeline?”

“Tidak, tidak. Tentang belati kristal yang waktu itu kujual kepadamu. Kau masih menyimpannya di ruang bawah tanah rumahmu, bukan?”

“Ya, masih ada. Aman seperti biasa.”

“Bagus, sebetulnya aku mau bernegosiasi tentang―”

“Jade, maaf,” Tiba-tiba Caspian memotong. Jade mendengar berisik kecil yang tidak jelas entah apa di seberang sana. “Sepertinya aku ada masalah. Bisa telepon lain waktu?” 

“A, tunggu. Kita ketemu saja, bagaimana?”

“Oke, nanti kuberitahukan kapan aku senggang. Sampai jumpa.”

Lalu sebelum Jade sempat menjawabnya, panggilan terputus secara sepihak. Pemuda itu menatap layar ponselnya dengan wajah tanpa ekspresi. Cordelia tiba-tiba mengguncang lengannya.

“Ada apa, Jade?”

Jade menjejalkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian memangkas langkah ke luar gerbang tinggi Ruswer History Museum. Di tengah deru angin sore yang membawa gerimis tipis, pemuda itu menjelaskan singkat, “Kelihatannya dia sedang sibuk dengan sesuatu, atau mungkin dia hanya tidak mau bicara saja.”

-oOo-

Tempat itu, bila Caspian dapat mendefinisikannya, merupakan lokasi yang kurang baik untuk mati. 

Sepatunya mengetuk lantai beton yang telah terlapis debu. Aroma samar mesin-mesin yang dibiarkan berkarat dan tiang-tiang berselimut jamur menusuk penciumannya. Namun, di antara aroma tajam itu, ada aroma lain yang terasa familier. Bau dari sesuatu yang Caspian tidak harapkan ada di sini, lantaran dia takut deru angin dapat mengundang para makhluk lain untuk datang dan berpesta-pora.

Caspian melangkah mendekat. Sorotnya turun memandang sosok pria paruh baya yang berkejat meregang nyawa di lantai. Kepala pria itu tengadah untuk menatapnya dari bawah. Mulutnya yang menganga mengeluarkan bunyi geluguk mengerikan dari tenggorokan, sementara kedua matanya membulat ngeri, seakan-akan sosok Caspian yang dilihatnya merupakan jelmaan dewa kematian. 

Pria itu berusaha berkata di antara erangan sekaratnya; “To ... tolong.”

Mata biru Caspian tidak memancarkan rasa iba ataupun pengharapan. Dia hanya memandang pria yang terbujur sekarat itu dengan keanggunan yang misterius. Dingin. Mematikan.

“... aku ... tolong aku....”

“Sudahi waktumu, Sir. Tidak akan ada yang bisa menolongmu di tempat ini.”

Bersama perkataan bernada malas itu, Caspian berputar, meninggalkan lokasi pabrik terbengkalai tersebut. Di tengah perjalanan menuju ambang gerbang yang terbuka, dia menatap kembali layar ponsel yang sejak tadi dipegangnya, lalu berhenti sebentar untuk mengetik sebaris pesan kepada Jade;

Caspian:
Maaf, Jade. Dalam beberapa
minggu ini aku akan sibuk terus. 
Kuharap kita bisa segera bertemu
untuk membahas belati itu.

-oOo-

Selepas dari Ruswer History Museum, mereka tidak langsung pulang, melainkan mampir ke pertokoan di pusat kota untuk makan malam. Jade mengajak kawan-kawannya membeli burger dan kentang goreng di kafe yang sama tempat dirinya bertemu Caspian. Selagi Joseph dan Cordelia menunggu di meja pengunjung yang dempet dengan jendela, Jade memesan sesuatu. 

Pemuda itu datang beberapa saat kemudian dengan tampang kuyu. Ketika pantatnya baru menyentuh kursi, keluhan itu melesat, “Sepertinya pegawai di kafe ini mulai membenciku karena bertanya tentang kalung itu terus.” 

“Mereka belum juga menemukannya?” tanya Cordelia.

“Tidak, dan kau tahu? Salah satu dari mereka malah protes karena aku mengabaikan pesannya terus-menerus.”

“Pesan?” Cordelia mengernyitkan kening. Jade menggaruk leher setelah sadar dia baru saja mengatakan sesuatu yang tidak penting. Ketika pemuda itu ingin mengganti topik, Joseph menyahuti pertanyaan Cordelia dengan gelagat geli dan meledek. “Ya, maksudmu cewek pelayan kafe yang bertampang Asia, itu, kan?” 

“Aaa, itu....”

“Aku melihatnya. Nama di tag dadanya adalah Chloe.” Joseph melemparkan beberapa potong kentang ke mulutnya. “Cewek itu melihatmu terus sejak kita datang ke kafe ini―kemungkinan besar tertarik padamu. Apa Chloe mengirimimu pesan tidak penting yang tidak ada hubungannya dengan kalung itu?” 

“Yeah, aku meninggalkan nomorku yang bisa bebas mereka hubungi apabila mereka menemukan kalung itu, tapi si pegawai bernama Chloe malah menggunakannya untuk mencari kesempatan.”

“Chloe tertarik padamu?” Cordelia berpaling ke belakang, menyapu konter layanan yang penuh dengan tiga pegawai kafe berlalu lalang sambil membawa pesanan. Salah satu di antara mereka berdiri mengawasi di dekat ambang masuk dapur umum; seorang gadis berperawakan tinggi semampai dan bermata sipit. Cordelia yakin orang itulah yang bernama Chloe, dilihat dari tatapan penasarannya yang terkunci pada punggung Jade. 

Ketika Joseph membalas Cordelia dengan gumam menyetujui, gadis itu mengajukan tanya lagi, “Kenapa dia harus menghubungimu duluan lewat telepon? Apa dia mau melamarmu?”

Jade, yang baru saja menyesap minum dari sedotan, hampir saja tersedak mendengar perkataan enteng itu keluar dari mulut Cordelia. Dia langsung menarik gelasnya menjauh dan berkata dramatis, “Tidak sampai seperti itu, Cordy! Bagaimana kau bisa langsung terjun ke soal lamaran?”

“Kurasa orang-orang di zamannya mengartikan ketertarikan sebagai sebuah ajakan berumah tangga,” Joseph berkata di sela-sela mengunyah. Dia tertawa geli melihat ekspresi Jade yang mengerut konyol. 

“Dia hanya tertarik padaku, bukan ingin mengajakku menikah sekarang juga,” kata Jade kepada Cordelia, lalu karena merasa harga dirinya sedikit tercuil, pemuda itu melanjutkan, “Dan lagi pula, aku bukan tipe orang yang suka dikejar. Pria memiliki naluri untuk memilih dan mengusahakan sendiri siapa pasangannya.”

“Artinya, kau mengejar wanita?”

“Sudah pasti.”

“Jadi kau juga yang mengejar Cassie?”

Pertanyaan Cordelia membuat sumbat di perut Jade terlepas. Pemuda itu menarik napas pelan-pelan karena barusan dia merasakan gejolak emosi yang berputar-putar di benak Cordelia. Jenis emosi ini serupa seperti emosi yang dipelihara Cordelia ketika gadis itu melihatnya bangun tidur dan bersaksi mendengar dirinya mengingaukan nama Cassie di dalam mimpi. 

Apa nama emosi ini? 

Kecemburuan.

“Agaknya aneh kalau dikatakan mengejar. Saat pertama kali bertemu dengannya, kami berdua sudah mencintai satu sama lain.”

“Ceritakan.”

“Apa?”

“Yeah, ceritakan kisah cintamu dulu dengan Cassie. Aku ingin mendengarnya.” 

Jade berpaling pada Joseph seraya melayangkan tatapan apa-yang-harus-kulakukan-? Tetapi pemuda itu hanya mengedikkan bahu dengan gelagat tanpa petunjuk.

Jade menatap Cordelia. “Kau bisa membaca seluruh masa laluku, bukan? Mengapa tidak menggalinya sendiri?”

“Aku ingin mendengarnya sendiri darimu,” kata Cordelia. Gadis itu berusaha menyembunyikan intensinya agar tidak terserap oleh Jade. Sebetulnya, dia melakukan ini karena ingin mengetahui lebih jelas tentang perasaan Jade yang asli; apakah dia masih mencintai Cassie atau tidak. Bila hanya memendam memori di dalam arsip pikiran, terkadang emosi sejati yang mengiringi kenangannya tidak bisa keluar. Sebab menyimpan kenangan dan merasakan kenangan adalah dua hal yang berbeda. 

“Aku menjalin hubungan dengannya selama tiga tahun,” kata Jade seraya mengejar saus tomat di piring dengan kentang. “Dia mahasiswa yang berbeda satu tingkat di bawahku. Kami bertemu di Beachcomber Cove―tempat makan yang waktu itu baru buka di sekitaran kampus. Pelayan memberikan pesanan yang berbeda dari apa yang kuminta. Ternyata baru ketahuan bahwa makananku dibawa ke meja Cassie, yang saat itu sedang sibuk mengetik sesuatu di laptop demi menyelesaikan jurnal kelulusannya. Kami terlibat obrolan canggung―saling minta maaf karena kekeliruan pesanan, lalu melanjutkan pekerjaan masing-masing. Walaupun itu percakapan singkat, entah mengapa aku langsung menyukainya, sehingga yang kulakukan sepanjang hari di tempat makan itu hanyalah memandanginya diam-diam. Dia murah senyum, sangat cantik dan bersinar. Restoran yang muram dan padat tahu-tahu menjadi berwarna karena keberadaan Cassie. Lalu, aku sengaja menunggunya pulang, dan mengajaknya berkenalan secara wajar. Kami bertukar nomor, mengobrol ini itu, dan seminggu kemudian aku menyatakan perasaan kepadanya.”

“Dia gadis yang ceria, iya, kan?” Joseph menimpali, kemudian menatap Cordelia. “Sekadar informasi, aku juga kenal Cassie semasa kuliah. Dia gadis yang cukup terkenal di kalangan para senior. Seorang ketua dari himpunan mahasiswa jurusan pernah menyatakan cinta padanya, tapi Cassie menolaknya karena saat itu dia sudah berpacaran dengan Jade.”

“Tidak, ayolah. Kenapa kau harus cerita bagian itu, sih?” Jade mengusap-usap pelipisnya dengan jemu. 

Joseph tampaknya tidak memiliki niat untuk mematuhi erangan kawannya, sebab dia meneruskan bercerita dengan seru. “Namanya Benedict―atau Big Ben, begitu panggilan lucu kami kepadanya. Big Ben dikuasai delusi bahwa dia adalah pemikat cewek sejati. Tapi gelar yang diklaimnya sendiri itu langsung luntur ketika Cassie menolaknya terang-terangan. Ah, aku masih ingat bagaimana hebohnya satu jurusan ketika mendengar hal itu. Big Ben menunggah foto-fotonya yang mabuk-mabukan di pantai dengan caption patah hati yang menjijikkan.”

“Yeah, dia kekanakan,” komentar Jade, dan Joseph menimpali, “Sejak saat itu, Jade menjadi terkenal di kampus jurusannya.”

Setelah cerita itu berakhir, Cordelia termenung sendiri di tempat duduk. Dia tidak memakan burgernya dan hanya mengaduk-aduk minuman dengan sedotan. Ekspresi datarnya yang tidak bisa diterjemahkan tiba-tiba membuat Jade muak sendiri.

“Ayolah, kau yang barusan menyuruhku cerita, mengapa kau tidak menunjukkan reaksi sedikit pun?”

“Kau masih menyukai Cassie, bukan?” Tiba-tiba Corderlia berkata. 

Baik Jade dan Joseph sama-sama terpaku di tempat duduknya masing-masing.

“Aku sudah memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengannya,” kata Jade, merasa sedikit jengkel. Entah bagaimana tebakan Cordelia barusan seperti menelanjangi dirinya  bulat-bulat. “Kurasa itu sudah cukup untuk menegaskan bahwa sekarang aku tidak memiliki perasaan apa pun kepadanya.”

“Kau memilih putus dengan Cassie karena kau khawatir gadis itu akan terpengaruh pola hidupmu yang berantakan,” Cordelia mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja, kali ini tidak berhenti menatap Jade, seolah-olah kedalaman mata hitamnya sanggup mencungkil dan menggali apa yang disembunyikan Jade sampai ke dasar. “Kau punya keinginan, seandainya hidupmu tidak jungkir balik seperti ini, kau mau menerima Cassie kembali. Kau memutuskannya bukan karena benci, melainkan karena peduli. Karena kau terlalu cinta kepadanya sehingga kau ingin memberikan yang terbaik untuknya.”

“Hentikan,” Jade menggenggam garpunya erat-erat. “Aku sudah bilang kepadamu agar berhenti melucuti semua masa laluku.”

Pernyataan Jade barusan diterakan dengan pedas. Cordelia mendadak sadar bahwa dia baru saja berbuat kelewatan lagi. Namun, gadis itu tidak meminta maaf. Dia hanya berpaling ke makanannya sendiri dan mengunyah dengan anggun, sama sekali tidak menghiraukan tatapan sinis Jade ataupun sorot canggung yang menggerogoti Joseph. 

Entah kenapa, Cordelia malah memilih untuk membongkar perasaan Jade. Kenyataan bahwa Jade masih mencintai dan bahkan peduli setengah mati kepada Cassie, dan bahwa Jade menghabiskan beberapa malam ditemani mimpi-mimpinya tentang Cassie, membuat dada Cordelia berdenyut sakit. 

Kendati dia telah hidup bersama Jade selama berbulan-bulan, dan merasakan setiap gram emosi Jade yang merasuk ke benaknya, bahkan menganggap salah satu gejolak perasaan itu sebagai bentuk kecemburuan dan sikap protektif Jade kepadanya, rupanya Cordelia keliru menyadari bahwa semua itu hanyalah selintas emosi sang pemuda yang berembus laksana siulan angin, sebab perasaan cinta Jade yang asli hanyalah untuk Cassie. 

Betapa aneh, saat perasaan Jade yang sesungguhnya telah terjawab, yang bisa Cordelia lakukan hanyalah diam. Padahal jantungnya sakit seperti disobek-sobek, tetapi gadis itu berusaha menelan mentah-mentah rasa kecewanya dengan melahap makanan seperti biasa.

Dia tidak memedulikan apa pun sampai bunyi garpu yang jatuh membuatnya sadar. Meja di dekatnya sedikit berguncang. Cordelia menengok ke sisi kirinya dan terkejut melihat Jade membungkukkan badan. Tangan kanannya meremas dada dengan kuat. 

Joseph yang duduk di hadapannya berkata heran, “Jade, kau kenapa?”

Jade tidak membalas apa pun. Hanya membungkukkan tubuh serendah mungkin sehingga keningnya hampir menyentuh meja. Gelagatanya jelas seperti kesakitan. Cordelia melihat tangan Jade mencengkeram dada kirinya, sementara napasnya tersengal-sengal seperti sesak napas. 

“Hei, apa yang sakit?” Cordelia menyentuh pundak Jade. Joseph bergeming sejenak, lalu setengah bangkit dari kursi. “Jade, ada yang sakit? Apa kita pergi ke rumah sakit?”

“Ti-tidak,” Jade mengangkat tangannya untuk mencegah kawan-kawan menyentuhnya. Sekejap kemudian, dia mendongak. Cordelia dan Joseph terkejut ketika melihat wajah Jade merah padam, seperti dijangkit demam. Air mata menggenang di pelupuknya, seperti hendak meledak. 

“Aku mau ke toilet.” Pemuda itu bicara seperti menggerutu, lalu bergegas keluar dari meja dan pergi ke toilet di seberang ruangan. Cara jalannya yang cepat namun sempoyongan membuat Joseph kepikiran untuk mengikutinya masuk ke dalam. Pemuda berambut cokelat pasir itu langsung menengok pada Cordelia dengan air muka khawatir. 

“Apa yang terjadi padanya?” 

Cordelia tidak membalas. Dia hanya terpaku menatap ambang toilet yang kosong. Joseph mengernyitkan kening, merasa lebih aneh setengah mati. Astaga. Sahabatnya barusan berlari ke toilet dengan gejala mirip seperti pengidap asma, dan sekarang Cordelia berlagak seperti patung yang tidak bernyawa. Rambut gelap Cordelia yang terurai melewati pipinya menghalangi Joseph untuk melihat parasnya, jadi pemuda itu mencondongkan tubuh sedikit untuk memeriksa.

“Cordelia, kau juga kenapa―astaga.”

Joseph terperenyak melihat sepasang mata Cordelia melelehkan air mata.[]

-oOo-


.


.


.


.



Yaaa begitulah, hubungan antara Jade sama Cordy itu rumit. FYI gejala sakit dada yang dialami Jade itu ada hubungannya sama kecemburuan Cordy. Bisa nebak apa yang sebetulnya terjadi? 😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top