31. Museum
CORDELIA memperhatikan Jade yang duduk agak membungkuk di ranjang. Mata hijau yang mengintip dari balik rambut cokelatnya menyiratkan selapis perasaan aneh―kegelisahan, dan ketakutan; trauma yang merusak dua tahun hidupnya yang telah disokong dengan keberanian palsu. Ayah Jade telah dibunuh dengan tangannya sendiri. Inilah jawaban yang dicari-cari Cordelia sejak dulu―alasan atas emosi aneh yang dia rasakan setiap kali menggali kedalaman masa lalu Jade, tragedi yang terkunci di balik pintu tertutup, yang tidak goyah sekalipun Cordelia mengerahkan segenap kekuatan untuk membukanya.
“Kau membunuh ayahmu?” Pertanyaan itu bergantung di langit-langit, menimbulkan getaran yang menusuk dada Jade tanpa ampun. Pemuda itu tidak bisa menyembunyikannya lagi.
“Tidak sengaja.”
“Kau membunuhnya tanpa sengaja?”
“Ya,” kata Jade. “Dia memukuliku di pinggir jalan karena mabuk berat, lalu aku mendorongnya ke jalan, di mana sebuah truk kargo tiba-tiba lewat dan melindas tubuhnya.”
Cordelia terperenyak sejenak dan tidak mampu berkata-kata. Jade meneruskan dengan suram, “Aku sempat dipenjara selama beberapa bulan dan mengikuti serangkaian sidang, tapi akhirnya bisa bebas karena apa yang kulakukan terbukti sebagai tindakan membela diri. Ayahku meninggalkan memar di dada dan perutku, sementara aku hampir tidak menyentuhnya sedikit pun kecuali sedikit dorongan yang membuatnya terjungkal di jalan.”
“Apa orang yang mabuk memang bisa melakukan hal sekejam itu?”
“Dia menjadi lebih agresif saat mabuk. Tetapi di hari-hari biasa, dia juga kasar dan sering melempar tangan.”
“Mengapa?”
“Karena dia membenci aku dan ibuku,” katanya. Saat Cordelia mengerutkan kening dengan serius, Jade memundurkan ceritanya, “Tidak, sebenarnya bukan benci. Mungkin dia pun jatuh ke depresi parah yang membuatnya kehilangan kewarasan. Setelah ibuku kecelakaan dan mengalami cacat di kakinya, bisnis ayahku bangkrut. Dia jadi tidak memiliki kendali untuk mengatur rumah tangga, sehingga hal terbaik yang bisa dilakukannya adalah meninggalkan kami berdua―aku dan ibuku, untuk hidup sendiri. Situasi tidak membaik. Ekonomi kami jatuh ke titik memprihatinkan, dan aku sempat dirudung gelisah antara ingin putus sekolah atau tidak. Kami pikir saat itu keadaan sudah tidak bisa lebih buruk lagi, tetapi rupanya insiden yang lebih mengerikan masih datang. Ayah terlibat banyak utang dengan kelompok mafia dan akhirnya menyeret ibuku lagi, padahal saat itu mereka berdua sudah cerai. Ayah selalu memiliki cara untuk menyelinap masuk ke rumah kami dan mencuri harta benda ibuku. Dia sering tiba-tiba mengamuk, menghancurkan rumah, memukuli aku dan ibuku. Aku sering melawannya, tetapi upayaku tidak cukup keras untuk membuatnya berhenti. Karena tidak tahan, akhirnya aku melaporkannya. Di penangkapan pertama, ayahku bilang dia menyesali perbuatannya dan tidak akan melakukannya lagi. Tapi ternyata dia kembali sekitar tujuh tahun kemudian, saat ibuku baru saja meninggal. Dia berbuat masalah di lokasi kerjaku―memaksaku untuk meminjaminya uang. Aku terpaksa menyeretnya pergi. Aku ingat kapan persisnya―20 Desember. Di bawah hujan salju. Ayah berusaha memukuliku di pinggir jalan dalam keadaan mabuk, dan akhirnya aku mendorongnya.”
Cerita itu meninggalkan keheningan sesaat yang muram. Cordelia memegang tangan Jade yang terhampar di selimut, meremasnya pelan. “Aku tidak tahu kalau hidupmu serumit itu.”
Jade mendengkus samar. “Kenapa, kau bilang kau bisa membaca masa laluku? Bukannya kau juga bisa menyelinap ke mimpi-mimpiku dan mencaritahu dari sana?”
“Aku memang bisa, tapi untuk hal satu itu aku kesulitan. Pintu itu tidak bisa kutembus karena kau pun tidak mengizinkan siapa pun masuk ke dalamnya.”
Jade sedikit-sedikit paham tentang maksud Cordelia. Selama ini dia memang berusaha menutupi tragedi itu, tetapi bukan berarti dia melupakannya. Masa lalu itu terlalu kelam untuk dipanggul di pundaknya sehingga satu-satunya cara yang terpikir untuk lepas dari jeratannya adalah dengan menguburnya di dasar ingatan yang gelap, tidak tersentuh, berpura-pura bahwa semua itu tidak pernah terjadi dan akan selamanya seperti itu―kondisi ekonomi yang kritis, kematian ibunya, ayahnya yang tukang pukul, dan sikap teledornya yang berujung pembunuhan.
Akan tetapi, seakan itu semua belum cukup menghancurkannya, sekarang Jade harus kedatangan Cordelia dan membiarkan dirinya terseret dalam masalah baru. Teringat pula kenangan manakala Isabel memberitahunya sesuatu yang janggal tentang rahasia Walthrop Bailey―kakeknya, yang kemungkinan besar ada hubungannya dengan teka-teki sejarah dari lukisan Cordelia. Rasanya, nyaris tiada celah untuk bernapas. Sejak kapan hidupnya terseret ke masalah pelik seperti ini?
Oh, andai Tuhan memberi Jade kesempatan untuk memohon doa yang langsung dikabulkan, dia pasti sudah memilih untuk lepas dari semua ini dan pergi tidur selama mungkin.
“Kau kelihatannya perlu istirahat,” Cordelia, seperti halnya cenayang yang mengetahui seluk beluk pikirannya, tahu-tahu berceletuk hal yang sedang dia pikirkan sejak tadi.
Istirahat, yeah. Siapa yang tidak butuh istirahat?
Namun Jade bukan orang yang menyerah begitu saja dengan masalah. Petugas polisi yang muncul di mimpinya mengatakan bahwa dunia tidak hanya berpusat kepadanya, bahwa bukan dirinya saja yang menjadi korban atas keruntuhan semesta dalam hidup. Asumsi itu adalah fakta yang tidak terbantahkan. Berdiam diri tidak akan membuat hidupnya tenang. Masa lalu masih akan terus menerornya sampai ajal menjemput. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah menghadapinya.
Menyelidikinya.
“Aku berutang kepadamu cerita Isabel,” tahu-tahu Jade berceletuk.
“Ah, teman ibumu yang kemarin, kan?”
“Ya. Saat pergi ke toilet, aku bertemu dengannya. Kami mengobrol sebentar, dan aku mendapatkan sedikit informasi tentang keluarga kakekku di masa lalu. Apa yang diceritakannya, Cordy, menurutku memiliki benang merah dengan asal-usulmu.”
Cordelia tampaknya kembali bergairah untuk mendengarkan hal ini.
“Isabel mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan perjanjian, sesuatu yang sakral―pengorbanan, perintah dari dewa, dan juga kutukan. Kau ingat apa yang kita bicarakan semalam saat kau melihat gambar yang dikirim oleh temannya Joseph? Kau bilang, leluhur abare dianggap sebagai dewa dari masa lalu yang dipuja serta disembah oleh masyarakat. Salah satu leluhur itu adalah ayahmu, bukan?”
Cordelia mengangguk, lalu Jade menekankan maksud perkataannya. “Begini, Cordy, Isabel mengatakan bahwa kakekku menuntut ibuku untuk mengambil hak asuh diriku begitu aku lahir, karena katanya hal itu berhubungan dengan perjanjian yang telah terjadi beberapa ratus tahun lalu. Perjanjian apa? Aku belum mengerti, tetapi aku sangat yakin itu semua ada hubungannya dengan sejarah milikmu. Perintah dari dewa―perintah dari Gustav.”
“Kakekmu mendapat perintah dari Gustav untuk mengambilmu dari ibumu?”
“Ya, dan kakekku kemungkinan sudah berjanji tentang hal itu.”
“Bagaimana dengan ibumu? Ibumu tahu masalah ini, dan dia tidak menceritakannya kepadamu sedikit pun masalahnya?”
“Tidak. Ibuku menolak mentah-mentah perintah Kakek, lalu dia minggat dan menikah di Palmer dengan ayahku. Kata Isabel, ibuku tidak membiarkanku untuk bertemu kakek, bahkan menginjakkan kaki di rumahnya. Itu menjadi sebab mengapa selama ini ibuku menutup-nutupi tentang asal-usul keluarganya. Dia tidak mau melibatkan aku pada perjanjian Walthtrop. Tapi lihat kecerobohanku sekarang, Cordy. Aku justru masuk dalam jebakan kakekku sendiri dan menjadi ahli waris dari rumahnya.”
“Kakekmu ... licik sekali,” Cordelia berbisik tidak percaya.
“Yeah, begitulah dia. Isabel sepertinya juga bisa mencium kecurigaan saat aku datang. Dia mulanya tidak menyangka bahwa akan ada keturunan Walthrop yang akan menggantikannya. Dia kira aku memalsukan identitas, tapi saat melihat wajahku, dia yakin bahwa aku adalah anak Madeline.”
“Madeline?”
“Ibuku.”
Cordelia hanya menatapnya dengan raut berpikir-pikir, kemudian berceletuk, “Jade, omong-omong, bukankah Walthrop memiliki tiga putri selain ibumu? Mengapa dia hanya menuntut hak asuhmu saja?”
“Aku juga tidak tahu.” Jade mengedikkan bahu. “Sesungguhnya aku juga tidak tahu mengapa Dave hanya memberikan seluruh warisan itu kepadaku. Katanya, di dalam wasiat, Walthrop memang hanya menyebut nama ibuku dan namaku. Sejak tiga puluh tahun lalu, keberadaan saudara-saudara ibuku juga tidak diketahui. Entah apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal. Terlalu banyak teka-teki yang masih belum kuselidiki mengenai Walthrop.”
Mendengarkan keseluruhan cerita Jade membuat Cordelia tercabik di antara berbagai lapisan perasaan―gelisah, lega, dan gamang. Apabila ayahnya Gustav memang menautkan sebuah perjanjian dengan Sir Walthrop, apakah itu artinya Jade memang ditakdirkan untuknya? Atau justru sebaliknya, takdir itu dibentangi oleh hubungan yang buruk―timbal balik yang jauh lebih mengerikan daripada sekadar menjadi budak darah? Apakah Jade akan baik-baik saja selama bersamanya? Pemikiran-pemikiran itu bergulung tanpa jawaban di benak Cordelia. Gadis itu tidak bisa menemukan spekulasi tepat untuk menerka ke mana semua ini bermuara. Ke jawaban baik atau buruk? Ke keselamatan atau kematian?
“Kurasa, ini saatnya kita mencaritahu sendiri tentang Gustav,” Jade tahu-tahu berceletuk. Dia menarik tangan Cordelia dan membimbing gadis itu turun dari kasur.
“Apa rencanamu selanjutnya, Jade?”
“Kali ini kau yang menyelidiki, Cordy. Kau bisa membaca huruf hieroglif pada buku yang kemarin diberikan Joseph. Aku yakin, kalau kau membacanya lebih banyak, cepat atau lambat kita akan mengetahui rahasia Gustav, dan perjanjian apa yang dia rencanakan dengan kakekku.”
-oOo-
“Apakah Ruswer memiliki museum daerah?”
Cordelia bertanya hal itu tanpa repot-repot mendongak dari tumpukan kertas yang sedang dia baca. Jade dan Joseph yang berada di dekatnya hanya saling menatap seraya berpikir-pikir.
“Entahlah, tapi kemungkinan ada,” kata Jade, yang langsung disahuti anggukan setuju dari Joseph. “Iya, kan? Kota ini lumayan bersejarah. Rasanya aneh bila mereka tidak punya museum. Kenapa kau bertanya itu?”
Cordelia menunjuk barisan paragraf hieroglif di kertas-kertas, mendengung sejenak. “Berabad-abad lalu, masyarakat pagan membuat tujuh buah patung untuk menghormati para dewa abare, yang dipercaya sebagai entitas mistis bersaudara yang melindungi negeri. Di sini tertulis mereka menamai patung-patung itu dengan tujuh sebutan berbeda pula―Talon, Osiris, Mjorva, Eliot, Gustav, dan Klevi.”
“Gustav,” celetuk Jade dengan mata menyipit terkejut. “Jadi Gustav betul-betul menjadi dewa di masa itu?”
“Dia dianggap sebagai dewa karena imortalitasnya.”
“Dan dia memiliki enam saudara lain?” Joseph menimpali sambil menggosok-gosok dagunya. “Sulit dipercaya.”
“Enam saudara itu dikatakan telah hilang ditelan waktu. Tidak ada yang tahu persis di mana mereka, tetapi masyarakat percaya bahwa semuanya masih hidup―barangkali bersembunyi di langit untuk mengintai dan menjaga pengikutnya. Hanya Gustav satu-satunya leluhur yang masih hidup bahkan sampai patung itu dibuat dan diletakkan di semacam kuil penyembahan. Katanya setiap beberapa tahun sekali, Gustav datang untuk memberi nubuat kepada orang-orang terpilih.”
Saat Jade dan Joseph menyimak, Cordelia melanjutkan, “Aku yakin kuil penyembahan itu masih ada di Ruswer. Dan kalaupun kita tidak menemukan kuilnya, kemungkinan kita masih bisa menemukan peninggalannya―ketujuh patung abare bersaudara. Biasanya mereka menyimpan artefak masa lalu di museum, bukan?”
“Kau benar.” Jade menyambar ponsel di meja ruang tengah dan langsung mengutak-atik peramban pencarian. “Mari kita lihat apakah di Ruswer ada museum ... mm, yeah, hanya ada satu―Ruswer History Museum. Lima kilometer dari sini. Ini museum swasta yang dikelola oleh keluarga Allende ... apa?”
“Apa?” Joseph ikut mengintip layar ponsel Jade.
“Allende.” Jade mendongak menatap Cordelia yang turut memberikan raut tanpa petunjuk. Dia menekankan lagi, “Allende. Itu nama keluarga Isabel. Isabel Allende ....”
“Maksudmu, teman ibumu yang kau ceritakan kemarin?”
“Yeah, oh, astaga, dunia ini sungguh sempit. Kenapa belakangan ini aku sering ketemu orang-orang dari keluarga elite, sih?” Jade menggulir-gulir layar ponsel seraya melihat foto-foto Ruswer History Museum yang berupa bangunan berbentuk koloseum―tampaknya sedikit terinspirasi dari bentuk arsitektur romawi kuno yang dikelilingi pilar beton dan kubah. Di antara banyaknya bangunan di Ruswer yang mengadopsi budaya abad pertengahan dari zaman Victoria, baru kali ini Jade melihat seni fasik museum yang mengikuti tren dari abad penutupan.
“Itu pengaruh kakekmu. Dia benar-benar orang penting.” Joseph menepuk-nepuk pundak Jade, kemudian dia berpaling pada Cordelia yang sedang duduk sambil memelototi kertas.
“Kita ke sana sekarang, bagaimana?”
-oOo-
“Jade, kurasa kau harus gunakan waktu kosongmu untuk mengutak-atik mobil Walthrop. Sial, kita tidak bisa terus-menerus menghabiskan uang untuk mengendarai taksi umum.”
Joseph berbisik-bisik sambil menggerutu di sela-sela perjalanan mereka menuju Ruswer History Museum, terjepit di antara Jade yang duduk mengapit pintu keluar yang satu, dan Cordelia di sisi seberang. Situasi ini mereka dapatkan lantaran sejak tadi tidak ada yang mau mengalah untuk duduk bersama sang sopir yang berbau asam keringat. Dan Joseph, yang mengibaratkan posisi tengahnya sebagai kutukan, hanya mampu membungkuk sedikit sambil menyempitkan dua bahunya, berusaha berpaling dari kenyataan bahwa tubuhnya yang bongsor akan membuat tragedi baru dengan menyentuh dada Cordelia yang terlarang. Dia tidak mau menjadi sasaran mayat tanpa kepala berikutnya.
“Aku tahu, aku tahu. Kapan-kapan aku periksa,” kata Jade, yang sepertinya merasakan penderitaan yang sama. Terganggu dengan tubuh besar Joseph, dia merasa tidak nyaman karena sabuk di celana Joseph menekan-nekan sisi perutnya. Dia tidak bisa banyak bergerak di situasi ini.
Cuaca siang ini kelam oleh awan kelabu yang siap memuntahkan badai, tetapi Jade dan kawan-kawan memutuskan untuk pergi saja mengunjungi museum demi mendapatkan penyelidikan baru mengenai Gustav. Karena pengap dan sempit, mereka memilih untuk menghentikan pembicaraan demi menghemat oksigen. Kesunyian di dalam mobil itu ujung-ujungya terpecahkan karena sang sopir menyalakan radio yang membacakan berita terkini;
“Pemirsa, pada Jumat malam, 15 September 2025, penemuan mayat laki-laki tanpa kepala yang diduga adalah seorang gelandangan membuat geger warga di kawasan Ruswer Utara. Sampai saat ini, belum ada petunjuk mengenai pembunuh yang telah melakukan pembantaian keji tersebut―motif, ciri-ciri umum, termasuk alat yang dipakainya untuk memenggal. Petugas forensik dan detektif yang bertugas berusaha menganalisis ulang tentang prosesi kematiannya, tetapi mereka sama-sama dikejutkan dengan dugaan sementara bahwa korban tersebut dibunuh dengan cara yang tidak manusiawi. Adanya trauma dentikula ditemukan di robekan pada leher kiri korban―kemungkinan didapatkan dari bekas gigitan yang langsung memecahkan pembuluh darah. Berdasarkan dari bekas pemotongan yang diselidiki, diduga korban mengalami tekanan ekstrem yang setara cengkeraman makhluk buas seperti serigala atau beruang, sehingga mengakibatkan letusan darah dari lubang pada mata dan telinganya. Anehnya, kondisi ini cukup aneh bila dinyatakan sebagai pemangsaan predator, sebab selain pada lehernya yang terpenggal, tidak ditemukan jejak makhluk buas di tempat kejadian....”
“Wah, akhir-akhir gila sekali.” Suara sopir itu meningkahi pembacaan berita yang dibawakan reporter radio. “Kurasa Ruswer telah berubah menjadi sarangnya para makhluk buas misterius. Dalam dua minggu ini sudah ada tiga kasus pembunuhan yang keji.”
“Yeah. Apa sampai sekarang mereka belum menemukan pelakunya?” Jade bertanya pada sopir di bangku depan, mengabaikan Cordelia yang menunduk saja dan berpura-pura tidak mendengar berita barusan.
“Belum,” Sopir itu menggeleng, sekilas menatap ketiga penumpang dari spion di atas dasbor. “Media tidak menyerah untuk mencari, tetapi sepertinya polisi sudah kewalahan untuk menyelidiki. Pembunuhannya selalu terjadi di tempat dimana tidak ada saksi mata atau kamera pengawas yang bisa dijadikan bukti. Memang yang seperti itu bisa dilakukan binatang buas? Tidak. Menurutku pembunuhnya sudah jelas manusia―sosok cerdas dan tidak kehabisan akal untuk membangun alibi. Kemungkinan pelakunya adalah keparat yang sama yang melakukan kekejian dengan tingkat ekstremitas yang berbeda.”
“Anda tahu abare?” Joseph yang melecutkan pertanyaan itu.
Cordelia diam-diam menegang di tempatnya.
Sang sopir menanggapi, “Mitos makhluk pengisap darah itu, bukan? Ya, itu dongeng masa kecil yang belakangan sepertinya menjadi topik favorit untuk digosipkan. Peristiwa pembunuhan yang terjadi belakangan katanya memiliki keterkaitan kuat dengan mitos itu sendiri.”
“Polisi pernah menyinggung soal abare?”
“Mereka itu orang realis, tidak akan terpengaruh dengan sesuatu yang sifatnya mitos dan mustahil. Apalagi selama ini tidak ada bukti yang bisa dikumpulkan. Abare itu adalah rumor yang berkembang di kalangan masyarakat, diceritakan dari mulut ke mulut dan dilebih-lebihkan.”
“Bagaimana dengan Anda? Percaya dengan mereka?” tanya Joseph.
“Aku tidak terlalu percaya sampai aku melihat sendiri, Nak,” kata sopir itu, lalu kalimat berikutnya terdengar prihatin sekaligus penuh dendam, “Tapi bila abare itu betul-betul ada, mereka harusnya dipasung di tengah-tengah publik atau dibakar hidup-hidup seperti penyihir di zaman dulu. Keberadaan mereka tidak lebih rendah daripada belatung yang merayap di sampah. Bisanya hanya menyulut masalah saja. Andai aku menjadi walikota, aku akan memberikan hadiah banyak bagi mereka yang bisa menangkap abare hidup-hidup.”
Jade melirik Cordelia di sebelah Joseph. Gadis itu terlihat mengabaikan pembicaraan dan malah berpaling menghadap jendela, memperhatikan pemandangan yang berkelebat cepat di baliknya. Tampaknya dia bingung bagaimana untuk bereaksi. Betapa aneh, masyarakat di zaman sekarang telah menganggap abare sebagai jelmaan iblis yang harus dibinasakan, berbeda dari masyarakat zaman dahulu yang justru menganggap abare sebagai dewa.
Taksi telah sampai di lokasi yang dituju. Jade membayar sopir dengan sejumlah uang, kemudian mereka bertiga turun dari mobil.
Di hadapan mereka, berdiri sebuah museum yang bergambar persis sama seperti foto yang tadi dilihat Jade. Tidak banyak pengunjung yang datang di siang yang mendung seperti ini, entah kenapa. Barangkali kemuraman cuacalah yang membuat suasana kali ini terasa berkali lipat lebih mengerikan. Rasanya seolah badai bisa tiba-tiba datang dan menyemburkan gunturnya di puncak kubah.
“Ayo masuk,” kata Jade, memimpin rombongan.
Saat menaiki undakan museum, mendadak saja Jade melihat seorang wanita yang bersetelan blus hijau mendekat dari serambi pintu masuk. Dia berhenti sejenak, membuat Joseph yang berada tepat di belakangnya bertanya heran.
“Kenapa kau berhenti?” Pemuda itu ikut mendongak dan menatap sosok yang menghalangi jalan Jade.
“Oh, Nak. Aku sudah menunggumu datang sejak dulu.”
Isabel tahu-tahu datang menyambutnya dengan senyum yang lebih mirip seringai terselubung.[]
-oOo-
.
.
.
.
Moga kalian nggak bingung ya sama alurnya hehe 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top