30. Pembunuh

MIMPI itu datang lagi, kali ini serupa kabut perak yang menyela setiap lorong kegelapan dalam arsip ingatannya. 

Di dalam mimpi itu, Jade duduk di pinggir ranjang rumah sakit, menunggu ibunya sambil terkantuk-kantuk. Dia mendengar dan merasakan, tetapi dia tidak duduk di kursi yang sama. Dirinya yang asli ada di suatu tempat, melihat semuanya dalam adegan ganjil dalam layar televisi. Pemuda di kursi itu, adalah dirinya beberapa tahun lalu. Lebih muda, lebih tenang, lebih ... normal.

Sementara itu, Ibu sedang berbaring di atas ranjang, dipenuhi peralatan medis yang menyokong kehidupannya yang telah nyaris di ujung. Sang putra tidak beranjak dari kursi tunggu sejak tiga sampai empat jam lalu. Dia setia menanti, kendati dia tahu ibunya mungkin tidak akan bangun lagi. Dokter toh telah membicarakan kenyataan pahit itu kepadanya, dan dia hanya diminta untuk sabar dan merelakan. 

Saat dirinya masih terkantuk-kantuk, pintu ruang rawat di belakangnya terbuka. Cassie masuk sambil membawa buket bunga yang indah. Gadis itu amat cantik dalam balutan blazer dan celana panjang formal―kemungkinan baru pulang dari kantor. Dia menghampiri Jade yang menunduk sambil memejamkan mata, lalu mencium leher belakangnya. 

Sontak, pemuda itu terbangun.

“Maaf karena baru bisa menjenguk,” kata Cassie, menyerahkan buket bunga di atas nakas yang kosong. Jemari Cassie merambat naik, mengusap pipi Jade. Dia mengecup singkat bibir sang kekasih dan setengah memeluknya. “Bagaimana keadaan ibumu, Jade?”

“Kemungkinannya kecil untuk selamat.” 

Cassie melepas pelukannya lalu beringsut ke dekat ranjang. Dia mengusap tangan ibu Jade dengan lembut, lalu menatap Jade.

“Kau sudah menanyakan dokter―meminta mereka melakukan segalanya? Apa benar luka tembak itu tidak bisa disembuhkan?” 

“Ibu mengalami pendarahan dalam. Pembuluh di kepalanya juga pecah karena sempat terjatuh saat evakuasi. Tidak ada lagi yang bisa menyokong kehidupannya.”

“Jade.”

“Ibuku tidak bisa diselamatkan.”

“Pasti ada cara, iya, kan?”

“Kalau ada, aku pasti sudah mengusahakannya sejak kemarin.” Mata Jade yang cekung dan memerah melirik ibunya yang terbaring di ranjang dengan pandangan berat dan kosong. Pemuda itu berceletuk lirih, “Aku bahkan rela memberikan nyawaku untuknya, Cassie.”

Cassie menarik Jade dalam pelukan, berkejat menangisi fakta pahit yang akan menerornya sebentar lagi. Dia menguburkan wajah pada dada Jade, mendengarkan degup jantung kekasihnya yang ritmis dan pelan. Tidak ada kesedihan dalam wajah Jade. Bukan berarti empatinya hilang, melainkan karena seluruh tangisannya telah dikuras sampai di titik kehancuran yang tidak sanggup dibayangkan. Cassie membenci kematian ini, sama halnya saat dia membenci Jade yang kehilangan alasan untuk hidup. Dia mendongak dan menangkup wajah Jade dengan telapak tangannya yang bergetar. 

“Jade, berjanjilah padaku,” kata Cassie. “Jangan kehilangan dirimu sendiri.”

Kemudian dia mencium Jade di bibir. Kecupan yang lama, hangat, dan terasa asin lantaran bercampur air mata. Pemuda itu tidak membalasnya, sebab dia tersihir oleh kegamangan dan tekanan batin yang luar biasa. Ibunya. Ibunya yang dia cinta, sebentar lagi akan tiada.

Mimpi itu pudar laksana pasir yang tersapu. Saat Jade berkedip, tempat itu berubah. Bukan lagi kamar rawat rumah sakit yang suram, melainkan sebuah ruangan sempit di kantor polisi.

Hanya ada meja dan kursi. Kegelapan samar-samar terasa bagaikan awan dingin yang meremangkan bulu kuduk. Jade duduk di salah satu kursi. Tangan kanannya diborgol dan ujung rantainya dikaitkan ke meja. Wajah Jade lebam oleh pukulan dan goresan. Satu matanya nyaris tertutup karena bengkak, sementara bibirnya robek dan berdarah. 

Dia tidak mungkin melupakan momen itu. Kejadiannya masih segar dalam labirin memorinya―sekitar tiga minggu setelah ibunya meninggal; ledekan iseng membuatnya murka di tengah-tengah kafe. Jade menonjok muka seorang pengunjung yang mengacungkan jari tengah kepadanya. Pertengkaran tidak bisa dielak. Hanya berselang tiga puluh menit, polisi tiba-tiba datang dan menyeretnya pergi.  

Pintu ruangan terbuka. Seorang petugas menghampirinya dan membuka kunci borgol.

“Kau dibebaskan, Sir,” kata polisi itu, kemudian setengah mengangkat Jade agar pemuda itu berdiri tegak. Dia memukul dadanya seolah memberi penguatan, “Aku tahu kau sedang mengalami hari buruk, tapi dunia ini bukan berpusat padamu saja, bukan? Cobalah untuk memahami sekitarmu. Rendahkan egomu. Kau akan membuat semua orang membencimu.”

“Bukan urusanmu, dasar sialan,” Jade menggeram murka. 

“Yeah, kau harus merasakan bagaimana rasanya jadi polisi yang membekuk orang-orang bermasalah sepertimu. Kau pikir hanya kau saja pemuda depresi yang mampir kemari untuk dibebaskan?” 

Rahangnya menggertak. Dia sudah siap melempar tinju lagi untuk menyasar hidung polisi ini, akan tetapi niatnya urung. Polisi itu menarik lengannya dan menyuruhnya menghadap pintu. “Pacarmu datang menjemputmu. Dia yang membebaskan hukumanmu.”

Kemudian Jade menatap Cassie berdiri di ambang pintu ruang interogasi. Gadis itu menghambur masuk ke dalam dan langsung merengkuhnya erat, seperti anak kecil yang tidak mau kehilangan boneka beruangnya. 

“Dasar bodoh,” kata Cassie, yang berjinjit sambil bergelayut di lehernya. “Aku sudah bilang, kalau kau merasa kesepian, datanglah ke rumahku. Jangan berbuat ulah!”

Kata-kata itu entah bagaimana membuat Jade malu dengan dirinya sendiri. Dia menarik diri dari pelukan erat itu, menatap wajah Cassie lamat-lamat. Mata birunya diselubungi air mata yang siap jatuh untuknya. Cassie. Cassiopeia kekasihnya. Seketika saja, semua keegoisan itu mengempis. Penyesalan meradang dengan cepat. Jade menangkup pipi Cassie dan menyurukkan ciuman permintaan maaf untuknya. 

Tidak seperti kali terakhir mereka melakukannya, ciuman kali ini tidak diselubungi rasa asin dari air mata, melainkan rasa tajam besi, yang datangnya dari darah di bibir Jade.

Selama beberapa waktu, dirinya terombang-ambing dalam kegelapan mimpi yang fana. Sosok Cassie memudar menjadi abu. Ruang interogasi dan petugas polisi itu lenyap bagai asap. Jade terperanjat beberapa detik kemudian, lantaran benaknya terpanggil di dunia nyata.

“Cassie?” Suara Jade menggema lirih. 

Dia menatap langit-langit kamar kakeknya yang tinggi dan suram. Sinar dari matahari menyusup melalui celah di antara kerai jendela yang terbuka, memberi cahaya pada kasur berantakan yang ditempatinya. 

Ingatannya tentang kejadian semalam mengguyurnya dengan sengatan perasaan campur aduk. Mayat tanpa kepala itu mengganggu fokusnya―membuatnya ingin muntah. Lantas Jade berguling ke samping untuk mengubah posisi.

Dia terkejut pada Cordelia yang menatapnya lekat-lekat.

“Apa yang kau lakukan di kamarku?” 

“Aku berniat membangunkanmu,” kata Cordelia, bangkit pelan-pelan dari posisi rebah. 

Entah apakah hanya perasaan Jade, ataukah dia memang menangkap ekspresi tidak nyaman di wajah Cordelia? Gadis ini selalu pandai menyembunyikan emosi, tetapi Jade mampu menembus tabir yang menghubungkan dirinya dengan perasaan Cordelia―emosinya, gelagatnya, hasrat dan rasa laparnya. Karena sudah berminggu-minggu tinggal satu atap bersama Cordelia, koneksi batin itu menjadi semakin mudah terbaca dan dikendalikan. 

Jade termenung sejenak. Sambil menatap wajah suram Cordelia yang terlihat angkuh dan sinis, dia menjelajahi segumpal emosi asing yang ikut bercokol di hatinya―menilai dan menganalisis dengan hati-hati.

Perasaan ini mirip....

Kecemburuan?

“Kau menyebut nama wanita itu dalam tidur.” Kata-kata Cordelia menyentaknya bagai cemeti. Jade berkedip dan seketika emosi asing itu lenyap dari genggamannya. 

“Apa?”

“Kau menyebut namanya. Berulang-ulang,” kata Cordelia. “Cassie, Cassie, Cassie. Cassiopeia.”

“Oh, itu ... aku bermimpi dirinya.”

Seraya menyugar rambutnya dengan jemari, Jade menjilat bibirnya yang kering. Entah bagaimana, pertanyaan Cordelia seperti menekannya dengan halus. Memang apa yang harus dia khawatirkan, sih? 

“Yeah, aku juga melihat mimpimu.”

Jade langsung mengernyitkan kening. “Kau bilang apa?” 

“Kubilang aku melihat mimpimu.”

“Kau juga masuk ke dalam mimpiku?” Suara Jade naik satu oktaf. Kenyataan ini membuatnya dijangkiti perasaan marah dan tidak habis pikir. “Apa kau tidak tahu kalau mimpi itu sesuatu yang privasi?” 

Tampaknya jawaban itu membuat Cordelia sadar. Gadis itu menciut akibat semburan Jade. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud jail. Kau mengingau dalam mimpi, jadi aku pergi untuk melihatnya karena aku khawatir kepadamu.” 

“Kau khawatir padaku hanya karena aku bermimpi tentang Cassie?”

“Sebelumnya kau juga mengingau soal ibumu.”

Kemudian percakapan itu hening sejenak. Jade menarik napas dalam-dalam, berusaha mengambil jalan kesabaran untuk menghadapi Cordelia. “Aku tidak ingin membicarakan hal itu dengan siapa pun.”

“Kau tidak perlu membicarakannya.”

Jade sudah membuka mulut dan hendak mengucap terima kasih, akan tetapi dia baru sadar bahwa Cordelia saat ini pun pasti sudah menjelajahi arsip pikirannya. Bahkan tanpa perlu memberitahukan cerita yang sebenarnya, gadis itu pasti sudah tahu apa yang dia pikirkan dan rasakan.

“Kau tahu,” kata Jade, mengalah dengan keadaan. “Ini sia-sia. Aku tidak bisa menyembunyikan apa-apa darimu.”

“Kau tidak perlu menganggapku orang asing. Kalaupun kau ingin aku tutup mulut, aku akan diam dan pura-pura tidak mengetahui apa-apa. Kalau kau ingin bicara dan meminta pendapatku, aku bisa membantumu.”

“Sekarang kau terdengar seperti terapisku.” Jade mendengkus sinis. Cordelia tidak bereaksi apa-apa atas komentarnya, dan saat itu Jade tahu tentang apa yang dipikirkan gadis itu. 

“Apa yang mau kau tanyakan?” kata Jade serayam mendesau pasrah. 

“Ibumu meninggal, dan kau jatuh ke lubang depresi yang parah?”

“Apa aku kelihatan seperti pria malang kalau menjawab ‘ya’?”

“Tidak,” kata Cordelia. “Kurasa, sangat wajar untuk merasa sedih. Tapi tindakanmu cukup ekstrem, kau tahu, bukan? Kau menghajar banyak orang dan keluar masuk penjara karena ketidakstabilan emosi dan kemarahan sesaat. Depresimu menyeretmu ke perilaku membangkang dan aksi kriminal; melukai, merusak, mematahkan, dan ... membunuh.”

Jade merasakan tengkuknya meremang saat Cordelia mengatakan hal terakhir.

“Kau pernah membunuh?”

“Ya,” kata Jade. 

Dia tahu tidak ada gunanya lagi untuk berkelit. Cordelia telah sukses membedah masa lalunya yang kelam dan penuh rahasia. Bahkan saat gadis itu bertanya untuk kali berikutnya, Jade tidak ubahnya seperti boneka yang mengikuti kemauan tuannya.

“Siapa yang kau bunuh, Jade?”

Pemuda itu menjawab lirih, “Ayahku.”[]

-oOo-

.

.

.

🥀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top