3. Darah
JEDA waktu sebelum dia tidak sadarkan diri adalah memori samar yang memberinya luka menyakitkan.
Jade masih bisa merasakan dua bilah taring menusuk lehernya dan menyedot sesuatu dari dalam tubuhnya dengan rakus―darah, dia menyimpulkan demikian. Sebab bau khasnya melekat dan menjadi-jadi seiring kesadarannya berangsur menjauh. Di tengah tirai kelabu yang menutupi pandangannya, Jade masih sempat melihat makhluk itu―sang gadis yang keluar dari lukisan.
Bagaimana dia harus menyebutnya? Hantu? Monster? Tubuh yang bersentuhan dengannya terasa dingin, licin, dan agak kenyal―menyerupai manusia asli; jelas bukan hantu atau jelmaan makhluk halus. Barangkali dia monster pengisap darah, sebab perilakunya begitu liar dan membabi buta. Jade mengingat betapa panik dirinya sehingga dia memberontak dan menendang, tetapi tenaganya justru kalah oleh kungkungan monster itu. Dia merasakan jemari sang makhluk menjambak rambutnya dan menekan kepalanya ke lantai, sementara kaki kecilnya membelit pinggangnya seperti lilitan ular.
Sesaat sebelum kesadarannya benar-benar lenyap, tatapan pemuda itu terpaku pada dua manik kelam sang monster.
Jade menangkap seringai di wajah monster itu.
Kemudian, setelah lama tergelincir ke kegelapan, kini kabut muram yang meliputinya terangkat. Jade terbangun dan berusaha menggerakkan sendi-sendinya yang kaku luar biasa. Mengerang sembari mendorong dirinya dalam posisi duduk. Napasnya masih terengah―tercabik dalam emosi terkejut dan panik. Dia memegangi lehernya yang terasa nyeri, meraba kulit yang sebelumnya dirobek oleh dua taring tajam.
Memang benar, ada dua lubang kecil yang letaknya sejajar―seperti bekas ditusuk sesuatu. Jade menyeka lehernya dan memperhatikan telapaknya dengan cermat. Sisa darah masih menempel di jemarinya, dan fakta ini membuatnya gemetar sekaligus takut. Bila dia benar-benar digigit, apa yang berikutnya akan terjadi? Apakah monster perempuan itu menularkan virus padanya? Apakah dia akan terinfeksi dengan penyakit aneh, lalu tewas?
Entah berapa lama Jade duduk di lantai sambil memikirkan kemungkinan itu. Setelah akhirnya mampu menguasai diri, dia bangkit untuk mencari ke mana makhluk itu pergi. Jade menyapu pandang seluruh kamar. Tidak ada tanda-tanda perusakan. Barang-barangnya masih tergeletak rapi di tempat semula, yang menunjukkan arti bahwa makhluk yang menyerangnya kemarin juga bukan pencuri. Pemuda itu lantas menengok ke arah lukisan yang menjadi mimpi buruknya.
Anehnya, lukisan itu tidak kenapa-kenapa. Potret gadis berwajah pucat itu masih ada, dengan posisi yang tak berubah.
Apa-apaan ini? Apa monsternya sudah kembali masuk ke dalam lukisan?
Dilumuri pertanyaan dan rasa penasaran yang menjadi-jadi, Jade memutuskan keluar untuk mengecek situasi. Dia mengintip tiap ruangan yang terbuka dan tak menemukan apa pun, kecuali fakta bahwa kondisi rumahnya masih rapi seperti sedia kala. Langkahnya menuruni tangga, melongok ke bawah dari balik birai yang melingkar, lalu masuk dapur. Pemuda itu membuka laci terdekat untuk mencari pisau.
Jemarinya baru saja menyentuh gagang pisau tepat ketika suara perempuan muncul dari belakangnya.
“Kau sudah bangun?”
Pertanyaan itu membuat Jade menengok ke belakang dengan cepat. Wajahnya tercengang menatap seorang gadis yang menyerangnya sebelum ini, kini berdiri di hadapannya dengan paras tanpa ekspresi.
Penampilannya―anehnya―kelewat normal. Tidak ada lagi tubuh ringkih pucat dan berlendir, ataupun helaian rambut lebat yang menutupi wajahnya seperti spanduk gelap. Gadis ini lebih tampak seperti manusia, walaupun wajahnya terkesan pucat. Namun, mata kelamnya tidak mati seperti di lukisan, melainkan hidup dan menyala-nyala.
“Siapa kau?”
Jade menjaga suaranya tetap tenang. Dilihat dari sudut mana pun, badannya jauh lebih kecil dibandingkan ukuran tubuhnya―sekilas memiliki potongan tubuh yang sama dengan Cassie. Jade bisa dengan mudah membekuknya bila gadis ini berulah. Namun, dia harus menanyainya lebih lengkap. “Kenapa kau menyusup ke rumahku?”
“Menyusup ke rumahmu?” Gadis itu mengernyitkan alis yang sama gelap seperti rambutnya. “Sejak dulu aku sudah berada di sini. Seharusnya aku yang menanyai siapa kau.”
“Kau … kau ….” Jade memaksa dirinya bernapas pelan. “Kau sungguh keluar dari lukisan?”
Gadis itu tak menjawab apa-apa, tetapi secara subtil, tatapannya merambat pada leher Jade.
“Siapa namamu, kutanya!” Jade mendesak.
“Cordelia. Cordelia Mihaela.”
“Kau ini apa? Hantu?”
“Aku manusia sepertimu. Lihat ini,” Lalu Cordelia mengulurkan tangannya untuk menyentuh Jade. Namun, pemuda itu menepisnya dengan kasar dan langsung menodongkan mata pisau yang tajam ke wajah Cordelia.
“Aku serius,” Jade mendesis dingin. “Tidak ada manusia yang muncul dengan cara seaneh itu.”
Selama beberapa saat, Cordelia tampaknya tidak merasa terancam dengan pisau Jade. Dia hanya menatap ujung pisau yang berkilat tajam dengan sorot jemu, lalu menatap wajah pemuda itu lagi. “Kau yang membebaskanku dari lukisan. Seharusnya aku berterima kasih padamu, tapi melihat caramu memperlakukanku, bisa-bisa aku kehilangan selera untuk bersikap hormat.”
“Aku membebaskanmu?” Jade bertanya dengan raut bingung tanpa petunjuk. Namun ketekatannya membuatnya lebih tegas dan keras. Pemuda itu menodongkan pisau lebih dekat ke pipi Cordelia. “Aku tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan penyusup sepertimu mengada-ada. Lebih baik cepat jelaskan maksudmu.”
“Akan lebih sopan kalau kau menurunkan pisau itu dulu.”
“Kenapa aku harus berbuat sopan pada sosok yang melukaiku duluan?” kata Jade, menelengkan leher. Jemarinya yang bebas menunjukkan luka di lehernya. “Aku secara sadar ingat betul kau menggigitku, dasar kau makhluk aneh!”
“Baiklah, untuk soal itu aku minta maaf. Berada dalam lukisan tanpa makanan selama bertahun-tahun lamanya membuatku lapar dan hilang akal.”
Jade membuka mulutnya saking tercengang dengan jawaban aneh itu, sementara gadis bernama Cordelia cepat-cepat melanjutkan, “Sebelum kau mencaci maki dan menyumpah serapah pada apa yang kulakukan, kau perlu tahu kalau sebelumnya aku tidur tenang di tempat itu. Lalu tiba-tiba tercium bau darah, asalnya dari luar lukisan. Aku tak bisa mengendalikan naluri alami dan insting purba yang melekat di otakku. Kaumku sudah seperti ini sejak dulu tanpa kami minta. Singkat cerita, ragaku bereaksi secara otomatis untuk setiap tetes darah yang tercium, jadi aku merangkak keluar dari lukisan itu untuk menjemput hasrat lapar yang mencakar-cakar perutku. Jangan salahkan aku atas insiden ini. Secara teknis, kaulah yang memancingku untuk keluar dengan bau darahmu, bukannya aku yang keluar atas kehendakku sendiri.”
Spontan, Jade melonggarkan pegangannya pada pisau sehingga benda itu tergelincir jatuh dari tangannya. Pemuda itu mundur sejenak hingga tubuhnya membentur konter dapur di belakang. Dia berpegangan erat pada wastafel cuci dan memejamkan mata, berusaha meresapi penjelasan dari makhluk aneh ini.
“Aku tidak bermaksud membuatmu terkejut, tapi kukira kau sudah tahu aturannya,” kata Cordelia.
“Tak masuk akal,” desis Jade, lalu pelan-pelan mendongak. Tatapannya terpaut pada mata kelam Cordelia yang gelap dan kosong. “Darah, katamu? Kau bereaksi dengan bau darah? Hal apa yang kulakukan sampai aku harus memancingmu dengan dar―”
Lalu kata-kata Jade menghilang secepat dia mengingat apa yang terjadi sebelum insiden itu: Jarinya yang tergores serpihan kayu. Dia sedang menyeka darah dari telunjuknya ketika tahu-tahu saja terjadi sesuatu yang aneh.
Sial, sial, sial.
Jade mengusap wajahnya dengan tangan. Rautnya berubah gusar dan tidak tenang.
“Lalu bagaimana caranya?” Pemuda itu tahu-tahu menegapkan diri dan menghampiri Cordelia. “Bagaimana agar kau kembali ke dalam lukisan itu?”
“Kau mengusirku?” Cordelia menarik napas.
“Dengar, aku tidak sengaja memancingmu keluar,” Jade berusaha menjelaskan. “Saat sedang membersihkan pigura lukisan, jariku berdarah karena tertusuk serpihan kayu, lalu … kau tiba-tiba muncul―tanpa pemberitahuan sebelumnya. Aku sama sekali bukan orang yang kau harapkan. Bahkan sama sekali tidak tahu apa-apa soal rahasia lukisan itu. Jadi kuharap kau pun bisa―dan harus―memahami situasiku. Sekarang, aku minta kau kembali masuk, lalu ….”
“Aku tidak bisa masuk lagi,” Cordelia tahu-tahu berceletuk.
Jade terasa seperti ban yang mengempis. “Apa?”
“Karena aku sudah menandaimu, aku tidak bisa masuk lagi dalam lukisan itu.”
Mendengar kata “menandai” membuat Jade merinding lebih hebat. Pemuda itu menyugar rambutnya dengan frustrasi sambil berkacak pinggang, tak tahan dengan semua kekacauan ini. “Apa maksudmu dengan menandai?” dia bertanya nyaris membentak.
Untuk pertama kalinya, Cordelia melangkah mengitari dapur dengan pelan. Kedua tangannya saling ditautkan di belakang punggung, sementara wajahnya terangkat sehingga dia terlihat menyerupai putri kerajaan angkuh yang mondar-mandir dengan gaun tidur kuno. “Sudah kubilang tadi, aku tidak bisa menahan gejolak lapar yang menjadi-jadi. Sudah lama sekali sampai aku bisa kembali merasakan darah yang kurindukan. Saat aku keluar dari lukisan, aku langsung menggigitmu dan mengisap darahmu. Itu adalah cara kaum kami memberi tanda pada budak abadi.”
“Berengsek. Budak abadi, katamu? Dan memberi tanda? Lalu bagaimana―apa hubungannya itu dengan kau yang enggan masuk kembali ke dalam lukisan?”
Cordelia menghampiri Jade, yang sejak tadi mencoba menjaga jarak dengannya. Namun, pemuda itu berubah menjadi lebih berani daripada semula. Dia tak merasa gentar ketika Cordelia mengulurkan tangan ke lehernya.
Jade praktis merasakan sengatan perih tatkala ujung jari Cordelia menyetuh lukanya.
Gadis itu menjelaskan perlahan, “Saat abare menemukan budak abadinya, segel yang membelenggunya dari tidur panjang akan terlepas. Kau telah melepas segel itu dengan darahmu, sehingga aku tak bisa lagi masuk ke dalam lukisan.”
“Abare?” Jade mengerjap bingung.
“Makhluk pengisap darah,” kata Cordelia. “Nama kaumku.”
“Apa yang dimaksud budak abadi?”
“Itu adalah sebutan untuk sumber darah yang hanya boleh disediakan untuk seorang abare sepertiku. Dengan kata lain, setelah kau menerima gigitanku, kita sudah terikat secara adat abare. Ada sesuatu di dalam tubuhmu yang terhubung denganku. Ini membuatku dapat dengan mudah mengontrolmu … melakukan sesuatu … sesuai apa yang kumau.”
Mata Cordelia diwarnai sesuatu yang baru―kegetiran, atau hasrat. Pupilnya menggelap, dan warna hitam yang pekat berpusar ke luar sampai seluruh bagian putihnya lenyap.
Jade tak sempat menyingkir karena jemari Cordelia lebih tangkas mencengkeram lehernya. Sontak, perut pemuda itu kejang dengan sensasi aneh, merambat melalui ulu hatinya, dan naik ke sangkar rusuk. Kemudian, seolah-olah ada kantuk yang menyerbunya dengan tiba-tiba, kekuatan asing itu membuatnya meleleh dengan rasa mengawang seperti habis menenggak obat tidur. Matanya yang berat berkedip, dan konsentrasinya hilang-timbul.
“Tidak,” kata Jade, kacau dengan fokusnya yang terdistraksi. “Apa yang kau lakukan?”
“Seperti yang tadi kubilang,” Cordelia menangkup pipi Jade, mengusapkan ibu jarinya di sepanjang rahang dan bibir si pemuda dengan gerakan memutar lembut. “Kukira kau sudah tahu aturannya.”
Lalu Jade terjungkir ke depan dan menghantamkan keningnya ke lantai terlebih dahulu hingga berbunyi gedebuk keras. Badannya terasa berat dan lemah. Kepalanya sakit dan berputar-putar, seolah-olah dia dijangkit demam aneh secara mendadak. Pemuda itu menggeliat-geliut, mendesaukan napas yang tinggal sepotong-potong. Sementara Cordelia membungkuk, berlutut di dekatnya. Bibir ranum gadis itu terbuka dan tampaklah dua taring yang berkilat-kilat.
“Budak harus terus menyediakan darah untuk abare-nya, sampai abare-nya pulih seperti sedia kala,” bisik Cordelia, pelan-pelan merundukkan wajah di leher Jade, yang kini terbaring tak berdaya sekaligus dicengkeram rasa takut. “Dan aku merasa sangat lemah karena sudah bertahun-tahun tidak mendapat asupan. Jadi, maafkan aku, pria manis. Aku harus meminum darahmu lagi.”
Lalu Jade merasakan mulut gadis itu terbenam di ceruk lehernya, disusul sedetik kemudian, sengatan setajam belati membuatnya mengerang dalam penderitaan.[]
-oOo-
.
.
.
.
Sudah sejak lama aku pengin bikin cerita dark romance ala2 vampir gothic begini, hehe. Syukurlah terlaksana 🤣
Vote dan komentarnya gess~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top