29. Lutut
PEMANDANGAN itu, rasanya bagaikan deja vu bagi Jade.
Jade mengingat kengerian pertama ketika menyaksikan Cordelia memangsa isi perut anjing dengan rakus. Saat itu, jantungnya seolah mencelus keluar dari sangkar. Satu-satunya yang Jade pikirkan adalah keyakinan mutlak bahwa dirinya akan menjadi korban berikutnya.
Begitu juga dengan sekarang; ketika Jade memperhatikan kepala si pria gelandangan menggelinding di dekat kaki Cordelia, hal utama yang terbersit di pikirannya adalah kemantapan hati bahwa dia akan mati.
“Jade, aku ... aku hanya bermaksud melawan.” Cordelia berbicara patah-patah. Tungkai gadis itu mendekati Jade, tetapi sang lawan bicara justru mundur dengan waspada.
“Berhenti,” desis Jade. Wajahnya berubah pucat dan sorotnya gemetar. Goyah saat melihat darah dari perpotongan leher pria gelandangan itu merembes ke lantai, semakin lama semakin banyak, membuat tubuh buntungnya berkubang dalam darahnya sendiri. Betapa aneh menyaksikan seseorang tewas di depan, padahal baru beberapa menit lalu orang ini digerakkan dengan subtansi jiwa dan ambisi yang sama sepertinya.
Biasanya, Cordelia akan memandanginya dengan ekspresi angkuh seolah-olah apa yang dia lakukan adalah kenormalan alami seorang abare. Namun kali ini, gadis itu mematuhi perintah Jade untuk diam. Dia hanya terpaku seraya menunggu reaksi berikutnya.
“Mengapa kau melakukannya?” Jade bertanya heran. Suaranya diliputi gemetar tak wajar yang asalnya dari kepanikan dan ketakutan.
“Aku tidak bisa mengontrolnya. Semua itu ... terjadi begitu saja.” Darah menetes-netes dari ujung jari Cordelia yang berlumur darah, mengilat oleh cahaya senter. Wajah gadis itu coreng-moreng oleh cipratan darah. Sekilas tampak seperti malaikat kematian yang datang dari neraka.
“Kau membunuh manusia, Cordy,” lirih Jade. “Manusia.”
“Aku tahu, tapi aku tidak bisa melawannya. Dia membuatku marah....”
“Apa kau akan menyerangku juga?”
“Tidak.” Cordelia menggeleng. Tersirat dari sorot matanya yang kelam, perasaan sakit hati dan penyesalan. Jade bisa mencium emosi Cordelia yang mulai melunak. Kemarahan dan kebencian yang sejak tadi menggerogoti pikirannya kini terguyur habis.
Pada saat itu, alarm kewaspadaan Jade kembali; mereka harus cepat pergi dari tempat ini sebelum orang lain mencium pembunuhan tragis di dalamnya.
“Kemari,” Jade mengulurkan tangan, yang langsung disambut oleh Cordelia. Pemuda itu agak berjengit merasakan kulit Cordelia yang licin oleh darah. “Ayo pulang.”
Kemudian mereka keluar secara sembunyi-sembunyi dari bangunan terbengkalai tersebut. Jade melepas jasnya dan menyuruh Cordelia mengenakannya untuk menutupi gaun yang ternoda darah. Gadis itu mematuhinya tanpa berisik. Mereka muncul di jalan raya besar dan langsung mencegat sebuah taksi, menghabiskan sekitar dua puluh menit untuk membeku diam dan tidak menarik perhatian, memicu percakapan, atau mendorong kondisi ke situasi mencurigakan. Dilihat dari betapa sepi suasana di dalam mobil, sang sopir kelihatannya hanya menduga bahwa mereka adalah pasangan yang sedang bertengkar. Sebab ketika mobil taksi berhenti di depan gerbang rumah Jade, pria paruh baya itu menerima pembayarannya seraya berceletuk, “Berhenti bersikap seperti bocah, Nak. Gadis itu menunggumu bicara sesuatu untuk meminta maaf.”
“Ya?” Jade mengernyitkan alis dan terheran-heran. Namun sopir itu malah membalasnya dengan kedipan bersekongkol sebelum kembali melanjukan mobilnya menjauh.
“Orang aneh,” gerutu Jade, kemudian ikut menyusul Cordelia ke dalam rumah. Saat Jade menyela masuk dari pintu, dia telah disambut Joseph yang berdiri membeku di dekat ruang televisi.
Wajah Joseph tercabik antara kebingungan dan curiga. Jade bisa menduga apa yang sedang Joseph bayangkan. Kawannya itu pasti baru saja melihat Cordelia melenggang masuk seraya menutupi gaunnya yang berlumuran darah.
“Apa yang terjadi padanya?” Joseph bertanya selagi atensinya mengikuti Jade yang langsung pergi ke dapur dan membuka lemari pendingin.
Pemuda itu mencomot satu botol mineral dan langsung meneguk isi di dalamnya dengan rakus. Dia mendesau sejurus kemudian.
“Aku akan menjelaskannya besok. Sekarang aku harus menemui dia dulu. Ke mana Cordy?”
“Di kamarnya seperti biasa, tapi tunggu―” Joseph membuntuti Jade yang menaiki tangga dengan buru-buru. “Hei, aku baru saja mendapat perkembangan kasus dari Kalung Evangeline.”
Jade langsung berhenti melangkah dan berbalik pada Joseph. “Apa?”
“Ya, temanku berhasil mendapatkan informasinya. Tidak banyak, tapi, kau harus lihat ini. Kemarilah.” Kemudian Joseph mengajak Jade turun. Dia mengambil ponselnya yang digeletakkan di sofa ruang tengah, kemudian menunjukkan foto Kalung Evangeline yang digambar dengan sketsa pensil. Gambar itu tampaknya difoto dari sebuah literatur lama yang lembarannya sudah menguning dan kaku. “Apakah Kalung Evangeline yang kau maksud seperti ini?”
“Ya, benar!” Jade mendekat dan menatap foto itu dengan cermat.
Joseph menggeser layarnya dan memperlihatkan beberapa lembar halaman yang ditulis dengan hieroglif kuno, sambil menjelaskan, “Temanku tidak pandai membaca aksara kuno, jadi dia tidak terlalu bisa menerjemahkan bagian ini. Tapi, menurut translasi sederhana yang bisa dia simpulkan, Kalung Evangeline disebut juga dengan jimat dewa, sebab yang memilikinya adalah seseorang yang dahulu kala dianggap sebagai keturunan dewa oleh masyarakat pagan di zaman itu.”
“Keturunan dewa?”
“Kami belum tahu mengapa pemiliknya disebut keturunan dewa.”
“Tunggu,” Jade terdiam sejenak. “Caspian bilang kalung ini adalah milik Evangeline yang seharusnya diberikan kepada putrinya. Tapi dari literatur yang dibaca temanmu, kalung ini adalah milik seseorang yang dianggap keturunan dewa? Mana informasi yang benar? Apakah artinya Evangeline dulunya dianggap dewa?”
“Rasanya tidak mungkin. Kalau sampai masyarakat menganggapnya sebagai keturunan dewa, seharusnya dia tidak diceritakan seperti layaknya manusia biasa. Maksudku, kau bilang Caspian bercerita padamu bahwa Evangeline adalah seorang saudagar kaya yang meninggal secara tragis, bla bla bla. Bila Caspian tahu sejarah yang sebenarnya, Jade, seharusnya dia mengatakan kepadamu bahwa Evangeline adalah sosok yang dianggap dewa.” Joseph menggosok-gosok dagunya dan mulai berpikir keras, kemudian dia menatap memicing pada Jade. “Kau yakin kalau Caspian berkata jujur kepadamu?”
“Aku....” Jade kebingungan untuk menjawab. Selama ini dia sudah memercayai Caspian begitu dalam. “Dia bilang, Kalung Evangeline dibuat oleh seorang seniman pahat batu yang terkenal. Namanya Adrian Benvilloni. Dia tidak mengatakan apa-apa tentang julukan dewa yang disematkan untuk Evangeline.”
“Bukan Evangeline.”
Suara itu tiba-tiba muncul dari ambang pintu belakang. Jade dan Joseph berputar dan menatap Cordelia, masih mengenakan gaun bersimbah darah yang dilapisi jas hitam, berdiri di ambang lengkung ruangan. Gadis itu menghampiri mereka berdua lalu mengambil ponsel dari tangan Joseph. Kedua pemuda tidak berkata apa-apa lantaran terlalu tekejut dengan kehadiran Cordelia yang serba mendadak.
“Julukan dewa itu tidak disematkan untuk Evangeline,” kata Cordelia, lalu mendongak pelan-pelan dari layar ponsel yang menyala. Ekspresinya menajam ketika berkata pada Jade dan Joseph. “Julukan dewa itu disematkan untuk Gustav.”
“Apa?” Jade mengernyit terkejut.
Cordelia menodong Jade dengan pertanyaan, “Jade, bagaimana Evangeline tewas?”
“Caspian bilang, seorang pembantu menemukan Evangeline tewas di bak mandi dengan kondisi tubuh mengempis ... seolah darahnya terkuras....”
Mata Jade tahu-tahu membalalak terkejut ketika mengingat kembali fakta itu. Benar! Pemuda itu baru sadar sesuatu yang besar yang selama ini dia lewatkan.
“Evangeline adalah manusia. Itulah sebabnya dia tewas dengan cara seperti itu. Darahnya mungkin diisap oleh abare!” kata Jade.
Cordelia mengangguk. “Kalau Evangeline manusia, dia tidak mungkin melahirkan aku yang seorang abare. Kecuali bila....”
“Ayahmulah yang seorang abare,” Joseph menebak dengan mantap.
“Tepatnya leluhur abare,” kata Cordelia. “Leluhur kami adalah sosok yang sangat agung karena imortalitas yang mereka miliki. Ini mendukung keyakinan kita bahwa Gustav masih hidup di zaman ini, entah berada di mana dirinya. Belum lagi, karena dianggap sebagai sosok yang agung, dahulu Gustav pasti dipuja-puja oleh masyarakat di zaman itu. Dianggap dewa.”
“Tapi dia adalah monster pengisap darah!” Joseph berseru tidak habis pikir. “Mana ada monster pembunuh yang dipuja sebagai dewa?”
“Sebetulnya, itu bisa saja terjadi,” Jade menyela. “Masyarakat pagan adalah jenis masyarakat yang sangat tumpul tentang ilmu pengetahuan dan teosofi. Mereka belum bisa memahami dan membedakan hal-hal yang sifatnya moralitas dan adat, karena kondisi hidup mereka sendiri masih sangat dipengaruhi kepercayaan mistis dan sihir. Di zaman abad pertengahan, sangat mungkin iblis yang jahat dianggap sebagai dewa pelindung.”
“Baiklah,” Joseph setuju dengan penjelasan Jade. Pemuda itu berkacak pinggang sambil manggut-manggut paham. “Kalau begitu, Kalung Evangeline sebenarnya adalah milik Gustav, si abare yang dianggap dewa di zaman itu?”
“Ya, dan Gustav memberikannya kepada istrinya, Evangeline, yang seorang manusia.”
Joseph mengulum lidahnya di pipi, lalu menunjuk Cordelia, “Dan Cordelia sebenarnya adalah anak hasil perkawinan antara manusia dan abare?”
“Kemungkinan begitu,” kata Cordelia, yang langsung mendapat serangan ekspresi terkejut dari Jade dan Joseph. Fakta ini menyerang mereka telak. “Aku sendiri tidak begitu tahu apakah perkawinan antara manusia dan abare diperbolehkan. Menurut pengetahuanku, abare harus menjaga kemurnian darahnya dengan menikahi sesama abare. Tapi kalau sampai Gustav menikahi ibuku dan melahirkan aku ... sepertinya dia memang punya alasan tersendiri.”
Cordelia kembali memandangi layar ponsel di hadapannya dengan wajah mengerut samar. “Baiklah, bagian itu biar kupikirkan nanti. Omong-omong aku sepertinya juga tidak asing dengan tulisan ini. Bisa kubaca sedikit-sedikit.”
“Kau bisa membaca hieroglif?” Jade berseru spontan.
“Ini seperti bahasa rahasia yang digunakan oleh kelompokku. Entahlah.” Cordelia lantas menghadap Joseph. “Bisakah kau mencetak buku itu untukku? Sepertinya aku akan mempelajarinya malam ini.”
“Yeah, akan kuberitahu temanku untuk mengirimkan foto hasil scanning-nya.” Lalu Joseph memandang Cordelia dari atas sampai bawah, baru sadar dengan keganjilan yang seharusnya dia rasakan sejak tadi. “Omong-omong kenapa kau pulang dengan keadaan seperti itu, sih? Tidak mungkin itu adalah darah orang yang kau bunuh, bukan?” Pertanyaan itu lantas diakhiri dengan kekehan enteng.
Baik Jade dan Cordelia tidak menjawab apa-apa.
Tawa Joseph memelan seiring waktu. Pemuda itu menatap mereka bergantian, dengan wajah yang berangsur-angsur serius.
“Hei, kalian bercanda, kan?”
-oOo-
“Kau membunuh pria itu?”
Setelah Jade mengakui tragedi yang terjadi sepulangnya dari pesta makan malam, Joseph membelalak tidak percaya kepada Cordelia. Cengiran yang dia upayakan untuk mendukung dugaan konyolnya sebelum ini lenyap, tergantikan dengan kengerian luar biasa yang hanya bisa ditemukan di wajah para mangsa predator. Hiperbolis itu tampaknya efektif untuk menegaskan kemelut ketakutan pada tubuh Joseph; pemuda itu gemetar sendiri di sofa. Rona merah pada wajahnya terkuras, menyisakan kulit wajah pucat seperti orang kurang darah.
“Dia tidak sengaja,” tekan Jade, yang mulai takut Joseph akan melakukan sesuatu di luar kendali. Menodongkan pisau pada Cordelia, misalnya. Seperti yang pernah dia lakukan dulu.
“Kau tahu apa yang baru saja kau lakukan, kan?” Joseph membentak lagi sambil melotot.
Cordelia, yang masih belum mengganti gaun berlumuran darahnya, membalas tegas, “Aku tahu apa yang kulakukan, dan aku tahu risiko macam apa yang akan kudapatkan kalau orang lain melihat tragedi itu. Aku hanya ingin kalian semua tidak luput pada kenyataan bahwa aku menghukumnya atas dasar pembelaan diri. Orang itu berniat melecehkanku.”
“Ya, dia berniat melecehkannya,” Jade menambahkan.
“Lalu kau pikir hukuman yang tepat untuknya adalah dengan memisahkan kepalanya dari badan?”
“Dia mengganggu makhluk yang salah,” kata Cordelia. Kendati kata-katanya berkesan keji, tetapi Jade bisa merasakan bahwa Cordelia sebetulnya merasa segan untuk mengakui betapa menyesal dirinya. Kesaktiannya sebagai abare memang tidak bisa diragukan; gadis ini kuat, berbahaya, bagaikan elang yang bersembunyi di balik kedok gagak hitam―satu ironi yang mengganggunya adalah fakta bahwa kekuatan itu sulit dikendalikan, terutama bila pemiliknya belum bisa mengelupas dekadensi amoral yang dianutnya, sebagai bawaan genetik dari sisi abare-nya yang buas.
Sial. Jade kira kekuatan Cordelia hanyalah sebatas mengendalikan pikiran budak darah sepertinya, tetapi rupanya lebih dari itu. Gadis itu memiliki keganasan serupa beruang grizzle.
Selagi Joseph tidak sanggup berkata-kata, Jade menyela percakapan itu dengan berkata hati-hati pada Cordelia, “Cordy, aku tahu kau membunuh pria itu tanpa pikir panjang, tapi apakah kau bisa memastikan bahwa tindakan keji itu tidak akan kau lakukan lagi?”
Cordelia menarik napas dalam-dalam, kelihatannya berupaya untuk terlihat tenang. “Baiklah.”
“Bagus,” kata Jade. “Bisa sangat berbahaya bila polisi mencium kecurigaan dari peristiwa itu, mengingat eksistensimu di kawasan ini terancam―maksudku, sebagai seorang abare, kau tahu bahwa kau sedang diburu oleh kepolisian. Ruswer memiliki rumor dan kepercayaan aneh yang menceritakan kaum kalian sebagai pembunuh tidak bermartabat yang mengisap darah manusia dengan kerakusan selevel mesin penyedot debu.”
“Aku minta maaf atas kebodohanku,” kata Cordelia, sungguh-sungguh.
“Sudahlah. Kita anggap saja itu pembelaan diri,” kata Jade, lalu menatap Cordelia lebih lama. “Pria itu belum sempat menyentuhmu, kan?”
Cordelia menggeleng. Jade mengangguk lega, tetapi Joseph langsung menyahut, “Bagaimana kalau polisi menemukannya?”
“Kurasa kita seharusnya menyembunyikan mayat itu,” kata Cordelia.
“Benar, tapi sepertinya sudah terlambat. Para kroninya pasti sedang berpencar mencari kawannya yang tiba-tiba menghilang. Kalau kita kembali ke sana, kita hanya akan memperparah situasi. Mereka bisa menyerang kita lagi, atau yang lebih parah, mereka bisa melaporkan kita karena dugaan pembunuhan. Omong-omong aku perlu istirahat,” Jade menyandarkan punggung pada sofa dan meluruskan kakinya di lantai. Ada kernyitan mendalam di tengah keningnya ketika dia melakukannya, dan Cordelia yang menangkap ekspresi kesakitan itu langsung menanyainya.
“Ada apa, Jade? Kau terluka?”
“Yeah.” Jade menggulung celana panjangnya sampai sebatas lutut. Joseph yang duduk di sampingnya langsung membelalak terkejut saat melihat luka robek yang cukup dalam di sisi lututnya. Pantas saja sejak tadi Jade berjalan agak pincang.
“Astaga, apa yang terjadi padamu?”
“Salah satu gelandangan itu menyerangku menggunakan pisau. Aku bisa berkelit, tapi dia berhasil mengoyak lututku saat aku lengah sebentar.”
“Kukira kau jagoan. Ternyata kau bisa kalah juga dari para bandit,” kata Joseph.
“Mereka berjumlah tiga orang, dan semuanya roboh karena pukulanku. Mengapa kau tidak melihat sisi baiknya?”
“Kau tidak terkalahkan waktu SMA dulu, Bung.” Lalu Joseph memukul lengan atas Jade dengan main-main. “Nah, biar kubawakan kotak P3K. Di mana kau menaruhnya?”
“Ada di kotak peralatan di dekat perpustakaan. Laci nomor dua.”
Joseph mengacungkan jempol seraya menggeluyur keluar dari ruang tengah. Sementara itu, Cordelia berdiri menjulang di dekat Jade, menatap luka di lututnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Entah itu adalah ekspresi berhasrat, atau ngeri, atau bahkan keduanya.
Jade berceletuk heran, “Kenapa kau melihatku seperti itu?”
Tanpa membalas apa-apa, Cordelia berlutut di lantai. Jemari telunjuknya praktis terangkat untuk menyeka darah yang merembes di lutut Jade―membuat pemuda itu berjengit kaget. Tindakan selanjutnya malah mengundang kejat heran, lantaran si gadis, dengan sikap naif, menjilat jemarinya yang berlumur darah Jade seperti mengulum lelehan cokelat.
“Cordy!” Jade menarik kakinya dengan buru-buru. Kepalanya berpaling menatap ambang lengkung ruang tengah―cemas kalau-kalau Joseph melihat pemandangan tidak etis ini. “Apa yang kau lakukan?”
“Sayang sekali bila darahmu jatuh terbuang.”
Pemuda itu menarik tangan Cordelia agar segera berdiri, “Kau tidak boleh melakukannya. Tidak di situasi ini.”
“Kenapa?”
“Apa kau masih bertanya alasannya? Kau tidak lihat ada Joseph yang berkeliaran ke sana kemari? Dia sudah cukup terkejut dengan tingkah gilamu yang memenggal kepala orang. Jangan tambah penderitaannya dengan mengisap darahku secara terang-terangan!”
“Tapi Joseph sudah tahu kalau aku suka mengisap darahmu, bukan? Kau menceritakan semua kepadanya.”
Lalu tanpa menunggu jawaban Jade, Cordelia berlutut lagi di lantai dan langsung menyambar lutut Jade dengan mulut dan lidahnya. Pemuda itu sontak mendongakkan kepala karena sengatan rasa sakit serupa sambaran kilat―membuat pandangannya menggelap selama beberapa sekon. Dia berpegangan pada lengan sofa, sementara tangan yang satu mencengkeram pahanya dengan gemetaran. “Cordy―sial!”
Tidak menghiraukan ratapan dan erangan Jade, Cordelia sibuk membersihkan seluruh jaringan yang rusak di lututnya―menjilat lapisan tipis darah di setiap inci kulitnya yang robek. Jade tidak sanggup menanggung malu dan rasa sakit yang berkelindan di benaknya. Ironis sekaligus aneh. Ini bukan situasi yang tepat untuk merasa malu, tetapi melihat wajah Cordelia yang sedang menyedot darah dari atas sini membuat sekujur tubuhnya meremang. Jantungnya berdegup cepat, dan udara di sekitarnya tiba-tiba panas.
Jade merasakan telinganya pengar seolah dia berada di tempat yang super berisik. Maka pemuda itu melempar kepalanya di punggung sofa dan berharap jatuh pingsan saja untuk menghindari perasaan-perasaan terlarang yang merusak akal sehatnya.
“Jade?” Cordelia menyebut namanya dengan halus.
Selama beberapa detik, Jade tidak menjawab apa pun. Dia hanya duduk setengah merosot di atas sofa dengan dada naik-turun, sementara wajahnya tengadah ke langit-langit.
“Kau pingsan, ya?”
Cordelia mendorong diri untuk bangkit. Gadis itu membungkuk di atas sofa untuk memeriksa raut Jade―mengira pemuda ini pingsan lantaran menahan sakit. Akan tetapi, Cordelia malah mendapati ekspresi Jade yang merona semerah kepiting rebus. Sang pemuda menutup mulutnya dengan lengan, seolah-olah enggan dilihat dalam keadaan seperti itu.
“Ada apa?”
“Jangan dekat-dekat.”
Jade mendorong bahu Cordelia dengan canggung.
“Maafkan aku,” kata Cordelia.
Jade, yang berhasil mengumpulkan kewarasannya, menjawab heran, “Sudahlah.”
Kemudian Cordelia mundur lebih jauh. Ekspresinya menunjukkan adanya rasa tidak nyaman, yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Apabila Jade bisa berasumsi seenak pusar, dia akan terjun ke kesimpulan bahwa Cordelia pun merasa malu dengan sikapnya. “Seharusnya aku tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kau menderita karena luka itu, tapi yang kulakukan―sungguh memalukan.”
“Aku bisa memahami rasa laparmu,” kata Jade.
Ketika mereka masih bertatapan-tatapan dan berusaha menerjemahkan emosi satu sama lain, Joseph tahu-tahu saja datang dari arah ambang yang terbuka sambil membawa kotak P3K.
“Kau tidak bilang kalau kotak ini ada di bilik rak, bukannya di dalam nakas, dasar sial―eh?” Pemuda itu mendekati Jade dan melihat luka di lututnya yang sudah bersih dari darah. Dengan kernyitan orang bodoh, menggumam;
“Apa aku melewatkan sesuatu? Kenapa lukamu mendadak saja sudah bersih?”[]
-oOo-
.
.
.
.
Hmmm 😞 aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak merusak buku ini dengan deskripsi aneh. Sebenarnya aku pun ngerasa canggung nulisnya awkwkw. Karena Jade seorang cowok, rasanya wajar kalau dia melihat aksi Cordy ke arah sana. Tapi aku beneran nggak bermaksud ke sana huhu. Jujur adegan ngisap luka di lutut itu ngalir aja pas aku nulis 🙂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top