27. Isabel

"WANITA itu, yang namanya Isabel, adalah teman ibuku."

Jade menunduk di atas piring makannya sambil berbisik lirih, sementara matanya melirik sekilas seorang wanita yang duduk di meja seberang, tidak jauh darinya.

Isabel Allende, kalau Jade bisa mendeskripsikan lewat pengetahuan sederhananya mengenai fashion, adalah seorang wanita yang berpenampilan layaknya api. Pakaiannya berupa gaun ketat berwarna krimson, senada dengan rambutnya yang menyala merah di bawah siraman lampu kristal yang super terang. Kulitnya seputih susu, terlihat pucat, tetapi gerak-geriknya menyatakan seberapa sering dia berlatih di gimnastikโ€•tegap, kuat, dan berlapis otot yang pas untuk ukuran wanita di usia hampir kepala lima. Kendati di sudut matanya sudah muncul jejak kaki burung gagak, tetapi Isabel terlihat tidak keberatan bila Jade membujuknya untuk loncat dari atap gedung.

"Siapa? Wanita berambut merah yang tadi berkenalan dengan kita?" Cordelia melahap sepotong daging dengan anggun, tanpa repot-repot menatap Jade. Dia hanya fokus pada bistik daging domba yang disiram saus rempah di piringnya.

"Yeah. Masa kau lupa? Dia wanita yang sama dengan yang kita lihat di foto ibuku."

"Aku ingat, tapi aku tidak begitu terkejut," kata Cordelia. Saat Jade mengerutkan kening, gadis itu berkata lagi. "Aku sudah menduga bahwa di pesta ini kau akan bertemu orang-orang yang tidak terduga. Barangkali kenalan kakekmu, atau saudara-saudara yang selama ini kau anggap enyah dari dunia."

Jade kembali menegapkan punggung dan berupaya keras menenggelamkan rasa penasarannya kepada Isabel. Saat bersalaman dengannya, wanita itu tampaknya tidak memiliki intensi khusus untuk mengajak Jade mengobrol. Barangkali karena suasana pesta saat itu sedang ramai dan banyak orang berseliweran yang ingin berkenalan satu sama lain. Atau barangkali, Isabel memang tidak begitu peduli dengan keberadaan Jade.

Tidak peduli? Bagaimana bisa? Apabila ibunya sendiri memilih foto Isabel untuk diletakkan di kamarnya, bukankah hubungan keduanya sangat dekat?

"Jade," Tahu-tahu saja Caspian menyentuh lengannya sehingga pemuda itu terperanjat. Caspian memandang Jade dengan cemas. "Ada apa, Kawan? Kau kelihatan muram."

"Ah, tidak papa." Jade menyeka mulutnya dengan saputangan. Seketika saja, rasa daging domba ini seperti karpet di mulutnya. Dia tidak berselera makan karena benaknya terus-menerus memutar pertemuannya dengan Isabel. "Aku mau permisi ke kamar mandi."

"Sepertinya kau harus cepat," kata Caspian. "Setelah acara makan malam ini, pembawa acara mungkin mau memperkenalkanmu kepada khalayak. Aku yakin, kau sudah menyiapkan pidato pendek, bukan?"

"Tidak mungkin! Pidato? Dasar sialan. Aku bahkan tidak pernah berpikir harus berdiri di tengah orang-orang dan mengoceh omong kosong!"

"Ayolah, ini malam milikmu."

"Kau tidak mengatakan apa-apa soal ini."

"Aku sudah mengatakannya kepadamu waktu itu. Pesta ini diadakan untuk mengenang kakekmu yang sangat kami hormati." Lalu seakan tidak merasa bersalah, Caspian merunduk di dekat Jade sambil berbisik, "Kau mungkin akan mendapat eksposur besar setelah ini, Kawan. Sejak tadi, ada banyak orang yang mendekatiku untuk bertanya lebih banyak soal dirimu. Mereka memuja kakekmu, karena beliau adalah orang yang melakukan ekspedisi terbanyak dan terekstrem di antara kami."

Jade kira kedatangannya ke pesta ini hanyalah untuk menghadapi celotehan segelintir orang yang berbelasungkawa tentang kematian kakeknya. Dia tidak menyangka bahwa Caspian akan memaksa dirinya untuk berpidato di hadapan orang-orang ini, yang tatapan matanya seakan menelanjangi Jade luar dalamโ€•para maniak obsesif yang mendedikasikan hidup untuk berburu sampah masa lalu dan menganggap bahwa sebagian mitos adalah kenyataan. Rasanya seperti hendak disiapkan untuk pergi ke altar kematian.

"Sudahlah," kata Jade, kemudian bersiap bangkit. "Izinkan aku ke kamar mandi untuk menyiapkan diri."

"Siapkan pidato yang sesuai dengan karaktermu yang manis," Caspian mengatakan dengan nada halus yang menggoda, dan Jade tiba-tiba menjadi merinding.

Dia pergi dari kursinya, tetapi Cordelia menahan lengannya. "Mau ke mana?"

"Ke toilet sebentar," kata Jade. Tampaknya Cordelia enggan ditinggal sendirian. "Kau mau ke toilet juga?"

"Akuโ€•"

"Ah, sepertinya ini waktu yang tepat bagiku untuk mengobrol bersama Nona Cordelia." Caspian tahu-tahu menyerobot percakapan bisik-bisik di antara mereka. Jade mengernyit menatap ekspresi Caspian, entah merasa sebal karena pria itu kelewat lebih tampan darinya atau karena tak mau memasrahkan Cordelia berduaan saja dengan Caspian. Suasana hatinya sejak tadi sudah kacau, dan bila dibiarkan saja, mungkin Jade akan meledak-ledak.

Kenapa pesta ini seakan mengerangkengnya dengan tanggung jawab semu?

"Jade, kau tidak keberatan bukan, untuk meninggalkan Cordelia bersamaku?" Caspian mendongak menatap Jade. Dia tersenyum, yang lebih mirip seperti seringai. "Aku berjanji tidak akan macam-macam."

Lalu mengapa Cordelia tidak mengatakan sesuatu yang membuatnya tenang?

"Baiklah," kata Jade, lirihโ€•sedikit terpaksa. Pemuda itu lantas berbalik dan pergi ke restroom yang terletak di lantai dua.

-oOo-

Setelah mengosongkan kandung kemihnya, Jade mencuci tangan di wastafel mewah restroom. Beberapa pria berseliweran di dekatnya. Dari gelagat mereka yang mencuri pandang menatap Jade, sepertinya semua orang yang ada di pesta ini tahu bahwa dirinya bukanlah anggota HEC. Aneh. Padahal kata Caspian, pesta ini cukup banyak dihadiri oleh sanak keluarga, tetapi apa buktinya? Sejak tadi Jade tidak melihat satu keluarga berkumpul dalam satu meja makan, tuh.

Selepas Jade mencuci tangan, dia melenggang pergi. Langkahnya langsung berhenti ketika berpapasan dengan Isabel yang baru saja keluar dari toilet juga.

"Oh," Jade kebingungan untuk bereaksi. Mengapa dia harus terperanjat?

"Halo, maafkan aku karena tadi tidak menyapamu secara benar." Isabel mendekati Jade. Aroma parfum wanita ini mengingatkan Jade dengan bau bunga hutan. "Kau menyukai makan malamnya?"

"Ya. Sesuai selera saya."

"Mau mengobrol sebentar?"

Satu pertanyaan itu, entah bagaimana laksana sebuah perintah yang tidak terperikan. Bukan karena Jade tergoda untuk mengenal Isabel lebih jauh, tetapi karena dia merasa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menggali sesuatu mengenai rahasia keluarganya. Persetan dengan kata-kata Caspian yang menyarankannya untuk segera kembali. Setidaknya dia harus berbicara dengan Isabel dahulu.

Mereka berdiri di balkon lantai dua sambil memandangi pemandangan para tamu yang berseliweran di lantai bawah. Jade merasakan jantungnya berdebar, entah karena alasan apa. Sementara Isabel tampaknya tidak terpengaruh apa-apa. Wanita itu mengambil segelas anggur dari salah satu pelayan yang berkeliling, lalu menyesapnya sedikit.

"Aku tidak menyangka akan bertemu putra Madeline di sini," kata Isabel.

"Anda sungguh-sungguh teman ibu saya?"

"Ya, kami teman SMA sampai kuliah. Setelah lulus, Madeline memutuskan untuk pindah ke Palmer dan bekerja di sana, sementara aku mengelola museum daerah di Ruswer."

"Saya sudah lama mencari info tentang orang-orang yang mengenal ibu saya. Tidak menyangka akan bertemu Anda."

"Saat pertama kali melihatmu, aku sudah tahu bahwa kau adalah cucu Walthrop Bailey. Dari kejauhan, aura kakekmu terpancar jelas. Apalagi wajahmu mirip dengan ibumu." Isabel menyerongkan tubuh sedikit sehingga dia dapat menatap Jade. "Tapi omong-omong, mengapa kau bilang kau mencari info tentang orang yang mengenal ibumu?"

"Karena sepanjang ibu saya hidup, beliau tidak pernah bercerita mengenai keluarga atau teman-temannya." Lalu Jade membocorkan sedikit tentang alasannya menyetujui datang ke Ruswer. Isabel tampaknya sedikit terkejut karena Jade rupanya tidak tahu bahwa sejak dulu dia adalah cucu orang terkenal. Namun, wanita itu terbiasa membawa diri. Ada sesuatu dalam ekspresinya yang juga menyatakan kelegaan, atau perasaan puas seolah dirinya sudah menduga jauh-jauh hari.

"Sepertinya ucapan Madeline kepadaku serius," kata Isabel.

Saat mengucap kembali nama sahabatnya yang telah meninggal, wajah wanita itu menekuk muram. "Aku turut berbelasungkawa atas kematian Madeline, Jade. Sejak dulu aku menyangka dia hidup berbahagia di Palmer sana. Terus terang saja, aku sempat mengetahui kabarnya setahun sebelum dia meninggal. Kami sempat berkirim pesan lewat e-mail, lalu selanjutnya pesan-pesanku tidak terjawab lagi. Saat aku mengirim kotak pertanyaan di universitas tempatnya bekerja, aku baru tahu bahwa Madeline telah meninggal. Maafkan aku karena selama ini aku tidak perhatian dengan putra yang ditinggalkan Madeline."

"Itu bukan salah Anda. Ibu saya memang orang yang tertutup, jadi saya yakin dia sendiri tidak banyak bercerita tentang keluarga kami. Maksudku, tentang suaminya dan juga saya."

"Kau benar. Dia memang tertutup," kata Isabel. "Aku bisa mengerti mengapa dia bersikap seperti itu. Sejak dulu Madeline memang tidak berniat memperkenalkan suami dan anaknya kepadaku, bahkan kepada saudara-saudara dan orang tuanya sendiri."

Kalimat itu seperti menarik sumbat dalam perut Jade. "Mengapa seperti itu?"

Isabel menatapnya lama, seolah menimbang-nimbang apakah dia harus mengatakannya atau tidak.

"Apa kau tidak tahu bahwa Madeline cekcok dengan keluarganya sendiri?"

"Saya tahu, tapi saya tidak tahu apa penyebabnya."

"Oh, Nak," Isabel memegang lengan Jade dengan kuat. "Kalau kau tahu alasannya, mungkin kau akan berpikir seribu kali untuk menggantikan posisi kakekmu di sini."

"Apa yang terjadi?"

"Dahulu, sebelum memutuskan menikahi ayahmu, ibumu berkata kepadaku bahwa Walthrop Bailey ingin mengasuh bayi Madeline secara pribadi, tanpa campur tangan ibu kandungnya."

"Maksudnya, kakekku ingin mengasuhku?"

Isabel mengangguk, lalu mulai bercerita.

"Musim panas tahun 2004, malam hari, sekitar pukul sebelas malam. Mady datang ke rumahku sambil menangis. Katanya, ayahnya baru akan membolehkan Mady menikah asalkan dia dapat memperoleh hak asuh anak pertamanya. Mady tidak mengatakan apa alasan ayahnya memberi tuntutan tidak masuk akal seperti itu, tetapi aku sangsi dia sebetulnya tahu sesuatu. Dilihat dari betapa kacaunya Mady ... hampir kusangka dia berubah gila dalam semalam, Jade. Dia mendatangi rumahku dan memohon kepadaku untuk membantunya minggat. Saat itu, kutahu pasti ada sesuatu yang buruk sedang berlangsung di rumahnya. Aku menanyakan apakah permintaan ayahnya ada hubungannya dengan pekerjaan ayahnya sebagai kolektor benda kuno, tetapi Mady menggeleng. Sambil menangis, dia berkata bahwa aku tidak akan mengerti, karena sesuatu itu sudah berlangsung ratusan tahun lalu. Dia meracau hal-hal aneh tentang perjanjian, sesuatu yang sakral ... pengorbanan, perintah dari Tuan Dewa, dan juga kutukan."

Selama mendengarkan ocehan Isabel, Jade hanya dapat terperenyak di tempat dan tidak sanggup berkata-kata. Otaknya mendadak buntu untuk berpikir niatan terselubung macam apa yang sedang direncanakan kakeknya. Tidak mungkin bila itu hanya ratapan delusi seorang manula yang telah hidup sendiri selama bertahun-tahun. Apabila kelahirannya dikaitkan dengan perjanjian sakral, pengorbanan, dan kutukan, apakah sejatinya semua ini mengarah kepada lukisan Cordelia yang telah berumur ratusan tahun? Apakah kakeknya, sedang menyiapkan dirinya untuk sesuatu, sebab itulah dia menginginkan Jade untuk hidup terpisah dari ibunya?

"Ide untuk minggat ke Palmer adalah ideku. Dia kawin lari bersama pacarnya dan meninggalkan secarik pesan kepada ayahnya. Sejak saat itu, hubungan keduanya renggang. Setiap kali aku menghubunginya lewat email, Mady berusaha sebisa mungkin menghindari percakapaan tentang ayah dan keluarganya. Dia bilang dia sudah mencoba putus hubungan dan berjanji tidak akan melibatkan anaknya ke dalam keluarga itu." Kemudian Isabel menatap Jade sambil menyungging senyum sedih, "Itulah sebabnya, Jade, sebelum mendapat kabar dari Caspian bahwa kau akan datang kemari untuk menggantikan Sir Walthrop Bailey, sesungguhnya aku sudah dilanda skeptis dahulu. Jangan-jangan kau ini bukan anak asli Madeline, sebab aku yakin sekali bahwa Mady tidak akan membiarkan anak tercintanya datang ke tempat ini. Namun aku tertipu dengan pikiranku sendiri. Kau memang benar Jade, anak Madeline. Wajahmu, gerak-gerikmu, dan matamu ... adalah mata Madeline."

"Saya tidak tahu apa yang terjadi sampai Anda memberitahu saya seperti ini," kata Jade, mendadak merasa tenggorokannya kering. Entah bagaimana sekarang dia yakin telah melakukan kesalahan besar. Ibunya tidak mengizinkannya untuk datang ke Ruswer, tetapi dengan bodohnya dia justru datang kemari dan membuka sebuah tragedi baru.

"Ya, Mady pun pasti tidak menyangka bahwa ayahnya telah menyiapkan namamu sebagai pewaris berikutnya."

"Tapi bagaimana dia bisa tahu informasi saya? Maksudnya, bila ibu saya menyembunyikan diri dengan baik, kakek kami tidak akan...." Jade mendadak berhenti bicara karena dia meraba celahnya. Mata hijaunya terpaut pada wajah Isabel. "Kakek saya diam-diam mengawasi Ibu."

"Walthrop Bailey selalu punya cara tidak terduga untuk memenangkan permainan," kata Isabel, kemudian menyesap gelas anggurnya dengan anggun. "Walaupun cara itu berkesan licik dan curang, baginya kemenangan adalah kemenangan, tidak peduli diperoleh dengan cara seperti apa."[]

-oOo-

.

.

.

.


Happy reaading~

Ternyata yang bermasalah nggak cuma Cordy, melainkan juga Jade ๐Ÿ™‚

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top