25. Undangan
LAYAR televisi pagi itu menayangkan berita terbaru tentang penemuan seorang mayat perempuan bernama Avery Kendall, di sebuah unit mansion tua di sebelah barat Ruswer. Hasil autopsi menunjukkan adanya kesamaan kondisi mayat dengan beberapa korban yang pernah ditemukan sebelumnya, di beberapa titik lokasi berbeda.
Jade dan Joseph, yang sama-sama duduk di depan sofa ruang tengah, termangu menatap potret Avery semasa hidup yang ditampilkan di layar. Avery adalah seorang wanita cantik berusia dua puluhan yang memiliki paras latin. Rambutnya pirang kecokelatan. Senyum lebarnya memancarkan rona kebahagiaan yang dipertegas dari matanya yang menyala. Sungguh ironis membayangkan siapa atau apa yang Avery lakukan di masa lalu kini menjadi tidak begitu penting, karena mulai sekarang dan seterusnya, dia akan diidentifikasi sebagai jenazah kisut buruk rupa―korban dari para makhluk mitos yang rakus, bukan sebagai wanita cantik yang senyumnya secerah matahari.
“Korban ketiga belas.” Joseph berpaling pada Jade yang masih memperhatikan televisi dengan tampang serius. “Bagaimana pendapatmu soal ini, Bung?”
“Hanya dalam jangka waktu satu minggu, korban berikutnya sudah jatuh. Mengapa berita kematian semakin sering muncul? Alasannya menurutku ada di antara dua pilihan; yang pertama, populasi abare semakin banyak sehingga intensitas perburuan mereka sejalan dengan jumlah korban yang bertambah, dan yang kedua; si pelaku abare ini hanya semakin terang-terangan menunjukkan kebuasannya untuk membuat masyarakat takut.”
Jade menatap Joseph, lalu menelurkan spekulasinya dengan tegas, “Namun aku lebih percaya pada opsi kedua, Josh, sebab opsi pertama kelihatan meragukan. Cordelia pernah bilang padaku bahwa abare hanya dapat diturunkan dari perkawinan yang hanya terjadi setiap satu dekade sekali. Mereka tidak seperti vampir yang bisa menularkan virus monsternya lewat gigitan. Jadi, rasanya tidak mungkin bila populasi abare tiba-tiba membengkak dan mendorong lebih banyak korban.”
Joseph mengangguk seraya menggosok dagunya. “Jadi kau yakin yang membunuh tiga belas korban tidak bersalah ini adalah abare yang sama?”
“Sembilan puluh persen.”
“Apa kau mencurigai ayahnya Cordelia yang melakukan semua ini?”
“Saat pertama kali terbangun di dunia ini, Cordelia mengatakan padaku bahwa yang mengurungnya di dalam lukisan adalah ayahnya sendiri―belakangan baru kutahu nama ayahnya adalah Gustav. Sekarang aku perlu lebih banyak petunjuk masa lalu untuk menggali siapa dan di mana ayahnya sekarang. Pria itu jelas seorang leluhur abar yang agung.”
“Apa maksudnya leluhur yang agung?”
“Makhluk immortal. Usianya bisa jadi lebih tua daripada bangsa mistis apa pun yang bisa kau temukan pernah bersemayam di bumi ini.”
“Kalau begitu, Cordelia adalah keturunan makhluk agung? Apa dia juga immortal seperti ayahnya?”
“Kurasa tidak.”
“Kenapa?”
“Karena Cordelia bilang kelemahannya adalah aku. Kalau aku mati, Cordelia juga mati.”
“Apa?” Mata Joseph membelalak terkejut. “Hei, jangan bicara ngawur! Kau tidak bilang padaku kalau kalian berdua terhubung sampai ke tingkat kematian!”
“Kalau begitu jangan percaya dulu. Aku belum bisa mengonfirmasi kebenaran ini, Josh. Begitu juga Cordelia. Masih ada pertanyaan besar tentang asal-usulnya.”
“Tapi kalau sampai benar―”
“Sudahlah, daripada kau hanya mengeluh dan protes tidak jelas tentang apa yang kualami, bisakah kau melakukan sesuatu yang lain? Mungkin kau bisa membantu mencari informasi tentang dimana keberadaan kalung Evangeline. Aku sudah mendatangi kafe dan melaporkan polisi tentang kehilangan itu, tetapi sampai sekarang belum ditemukan.”
Joseph terlihat menciut di sofa. Pemuda itu membenamkan punggung di sandaran dan langsung mengeluarkan ponsel. Sambil menggulir sesuatu di layar ponselnya, dia berkata, “Aku sudah mencoba meminta bantuan temanku yang bekerja di New York Published Library. Kuminta dia mencari beberapa literatur parapsikologi tentang abare, atau kalung Evangeline yang kau maksud itu. Kau harus mentraktirku kalau sampai dia bisa menemukannya.”
Jade meninju lengan Joseph dengan cara bersahabat. “Ayolah. Jangankan mentraktir. Kau bisa tinggal di rumah ini sesukamu, asalkan kau sanggup membiayai setengah dari tagihan listrik dan internet.”
“Dasar gila uang.”
“Ini caraku untuk bertahan hidup.” Kemudian Jade bangkit dari sofa sambil menyapu ruangan sekitarnya. “Omong-omong ke mana Cordy? Aku tidak melihatnya sejak tadi pagi.”
“Belakangan ini sepertinya dia mulai menempati kamar di lantai dua. Kemarin malam aku melihatnya masuk ke kamar dan menutup pintu.”
Selepas jawaban tersebut, Jade meninggalkan Joseph di ruang tengah dan menaiki tangga untuk menuju kamar yang dituju. Terletak tepat di dekat bordes tangga ke lantai berikutnya. Pintunya masih tertutup rapat, jadi Jade mengetuknya. “Cordy?”
Tidak sampai satu menit, terdengar suara berisik dari dalam, lalu pintu di hadapannya didorong sedikit. Jade melihat Cordelia mengintip dari balik celah. “Hai, Jade.”
Kalau ekspresi Cordelia yang biasanya terlihat muram, kali ini dia tampak berkali lipat lebih suram dan tidak bisa didekati. Namun Jade berusaha tidak memikirkan keganjilan itu dan bertanya, “Boleh aku masuk?”
Cordelia mempesilakannya masuk ke kamar tidur yang sebelum ini luput dari perhatian Jade. Mungkin dulunya ruangan ini milik salah satu putri kakek. Dindingnya dilapisi kertas berwarna merah hati dan berpola garis-garis rimpel, seperti rumah boneka. Meja riasnya, terlihat mewah. Menyatu bersama laci-laci susun yang ditata berimpitan dengan sebuah meja belajar. Jade melihat tumpukan pigura yang sepertinya baru dikeluarkan dari laci, tetapi dia memilih abai dan menghampiri Cordelia yang sedang duduk di kasur. Di atas selimut, ada beberapa novel lama yang dicomot dari perpustakaan di lantai bawah. Cordelia sendiri sepertinya sedang membaca Mansfield Park karangan Jane Austen, dilihat dari kondisi buku itu yang digeletakkan dengan halaman terbuka.
“Apa ada kau kemari?” Pertanyaan Cordelia mengusik Jade.
“Aku hanya khawatir padamu.”
“Khawatir?”
“Kau tidak keluar sejak pagi tadi. Kau juga melewatkan sarapan.”
“Oh.” Cordelia mencabuti serat seprai di bawah pangkuannya, tampak ogah-ogahan. “Yeah, aku tidak begitu selera. Kurasa seharian ini aku mau di kamar saja.”
“Kau terlihat sedih, Cordy.”
Cordelia mendongak. Keduanya menatap dalam kebisuan. Lalu, gadis itu akhirnya mengakui perasaan sedih sekaligus jengkel yang menggerogoti hatinya, “Aku hanya kepikiran tentang kata-katamu kemarin. Aku bertanya-tanya ke mana ayahku, tetapi yang paling menggangguku adalah kenyataan bahwa ibuku telah tiada. Maksudnya, mengapa dia harus menjadi korban atas kutukan kalung misterius itu?”
Jade memegang tangan Cordelia.
“Maafkan aku.”
Cordelia semakin muram. “Aku semakin gelisah tentang masa lalu, Jade. Aku takut ... bila aku menggalinya lebih dalam, aku semakin terpuruk dengan kenyataan yang ada. Bagaimana kalau kehidupanku di masa lalu tidak sesuai dengan apa yang kukira selama ini?”
Kenyataan bahwa Cordelia terkurung di dalam lukisan selama tiga ratus tahun saja sudah menambah kekhawatiran Jade bahwa gadis ini barangkali hidup dalam masalah tragis dan mengguncang. Jade memikirkan hal ironis itu, tetapi dia memilih untuk tidak mengutarakannya demi menjaga perasaan Cordelia.
“Puzzle-nya belum lengkap,” kata Jade. “Jadi, jangan putus asa. Yang kau ketahui selama ini hanyalah secuil gambar yang belum utuh.”
“Tapi bagaimana bila aku tidak sanggup menghadapi gambar utuhnya? Bagaimana kalau menjadi lupa adalah cara paling benar untuk lepas dari jerat masa lalu?”
“Bila untuk lepas dari jerat masa lalu hanya dibutuhkan upaya untuk melupakannya, di masa depan nanti kau tidak akan sanggup menghadapi tragedi yang serupa."
"Mengapa begitu?"
"Sebab kehancuran akan selalu muncul dalam pola yang sama, dan akan melukaimu di tempat itu-itu lagi."
"Jadi? Penderitaanku tidak akan berhenti?"
"Sampai kau menyembuhkan apa yang perlu disembuhkan.”
Jade terdiam lama, menunggu Cordelia meresapi kata-kata itu. Sementara di pangkuannya, Jade membelitkan jemarinya pada tangan Cordelia.
“Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu?” Cordelia bertanya lambat-lambat. “Kau sendiri tidak seperti orang yang telah sembuh dari masa lalu.”
“Memang belum.” Jade terkekeh tipis. “Saat ini aku masih terjebak di masa lalu, Cordy. Aku seperti seekor tikus yang disekap di dalam labirin. Tugasku adalah berlari kabur dari ular besar yang semakin lama semakin meregang dan memanjang untuk menggapaiku. Ular itu menyimpan kunci ke dunia di luar labirin. Aku harus merebutnya agar bisa keluar, tapi aku belum benar-benar siap untuk melawan monster yang mencoba melahapku bulat-bulat.”
“Mengapa?”
“Karena aku kecil, rentan, dan tidak memiliki petunjuk. Dan kau sama persis sepertiku.”
“Aku sama persis sepertimu?”
Cordelia memasang wajah merengus yang naif. Jade nyaris tidak tahan untuk mencubit pipinya karena gadis ini mirip bocah tersesat. Syukurlah dia tidak jadi melakukannya, sebab dia keburu ingat bahwa Cordelia sanggup meruyak dan mendedah isi perut anjing dengan tangan kosong. Gadis ini juga sepertinya bukan tipe yang suka diperlakukan bak bocah manja.
“Ya, dalam beberapa hal. Kau melupakan masa lalumu, sementara aku berusaha mencari masa laluku,” kata Jade, seketika melengos dari wajah Cordelia. Entah bagaimana, dia merasa bersalah karena menatapnya terlalu lama. Mengapa tiba-tiba dirinya teringat Cassie?
“Maksudmu?”
“Tentang rumah ini. Tentang siapa Walthrop Bailey. Tentang alasan mengapa ibuku membenci kakekku sampai-sampai merahasiakan semua sejarah dan harta peninggalan keluarganya kepadaku.”
“Oh,” Cordelia menaikkan alis gelapnya. “Bagaimana dengan penyelidikanmu sejauh ini? Kau belum mendapat petunjuk apa pun tentang keluarga kakekmu?”
“Sejujurnya, aku belum sempat memikirkan penyelidikan itu karena selama ini aku terdistraksi dengan masalahmu.” Jade menangkap ekspresi Cordelia yang agak terpukul, lalu buru-buru menambahkan, “Tapi itu tidak papa. Saat ini yang paling penting adalah mencari ayahmu agar kau merasa tenang. Aku tahu sejak dulu kau gundah masalah itu. Kalau aku menjadi dirimu―maksudku, terbangun di sebuah tempat antah-berantah dalam keadaan amnesia, dan menjadi satu-satunya orang yang ketinggalan zaman selama tiga ratus tahun lamanya, kurasa aku akan gila.”
“Mengapa kau sangat peduli padaku?” Dan sebelum Jade membalasnya, gadis itu menebak telak, “Kau ingin aku segera pergi dari sini, bukan?”
“Kau tahu aku tidak bisa berbohong di hadapanmu.”
“Jadi itu benar.”
“Bukan berarti aku membencimu. Aku hanya menginginkan yang terbaik untuk kita berdua,” kata Jade. Cordelia tampaknya bisa mendeteksi ketulusan dalam nada Jade, jadi dia hanya mengangkat bahu tidak acuh, walau hatinya digelayuti emosi campur aduk.
Di antara rasa tidak terimanya karena terbangun di dunia yang asing, Cordelia harus menghadapi fakta bahwa bangsanya saat ini dianggap sebagai monster keji yang diburu oleh masyarakat Ruswer. Lantas apa yang akan terjadi bila suatu saat nanti jati dirinya sebagai abare diketahui publik? Akankah masyarakat akan memenggal kepalanya seperti seorang kriminal, atau membakarnya hidup-hidup seperti penyihir? Dan, di atas semua ketakutan itu, buah kecemasannya membengkak pada satu fakta yang tidak bisa dielak; siksaan apa pun yang terjadi pada dirinya, sudah pasti Jade akan bernasib serupa.
Ah, tunggu. Sejak kapan Cordelia memikirkan Jade lebih dari seharusnya? Padahal sebelum ini, dia hanya menganggap kehadiran Jade sebagai sekantong darah yang kadang-kadang diperlukan. Namun belakangan, setiap momen yang dilaluinya bersama Jade, entah bagaimana justru menimbulkan denyut tidak biasa di jantungnya. Cordelia pikir itu hanyalah sekadar kepedulian yang sah-sah saja diberikan kepada satu-satunya orang yang memberinya darah, tetapi sekarang, kepedulian itu menjelma menjadi perasaan yang terlarang untuk diterima.
Kasih sayang.
Uh, melafalkan dua kata itu saja membuat Cordelia muak. Dia tidak sudi keagungannya ternodai oleh perasaan-perasaan konyol manusia di abad sekarang. Sepertinya dia harus mulai mengurangi menonton televisi atau membaca novel balada cinta.
“Hei.”
Lamunan Cordelia pecah karena mendadak Jade menyentuh bahunya.
“Apa?”
“Kau diam saja sejak tadi. Apa yang kau pikirkan?”
“Sesuatu yang membuatku merasa jijik dengan diriku sendiri.”
“Kedengarannya tidak menyenangkan. Kau terlihat seperti mau menonjok orang.”
“Aku sudah pasti akan melakukannya bila tidak ada hal-hal yang perlu kubatasi.”
Jade terkekeh. “Oh, ayolah. Jangan bilang kau mau meninjuku.”
Cordelia tidak membalas dengan tawa―cengiran tipis saja tidak. Ini membuat Jade pelan-pelan melunturkan sikap bodohnya dan beralih ke pertanyaan lain, “Hei, Cordy, boleh aku bertanya sesuatu?”
“Apa?”
“Kau pernah bilang kalau aku terluka, kau akan ikut terluka. Lalu apa yang terjadi saat kau menemukanku terkapar di jalanan dengan perut robek karena pecahan beling? Apa saat itu fisikmu juga terluka sepertiku?”
“Fisikku tidak ikut terluka, tapi aku merasakan sakitmu,” kata Cordelia, lalu cepat-cepat mengoreksi. “Bukan. Hal paling utama yang kurasakan adalah penderitaan, kebingungan, dan keputusasaanmu. Emosi depresif yang meronta-ronta dari dalam benakmu, menular padaku jauh lebih kuat dampaknya dibandingkan empati alami yang dialami orang normal. Pada tingkat yang lebih tinggi, aku baru dapat merasakan rasa sakit di tempat lukamu bersarang, tetapi biasanya itu terjadi saat lukamu sudah terlalu parah. Saat kau sudah tidak sanggup menanggung beban untuk melanjutkan hidup.”
“Dan bila itu terjadi, artinya kau akan ....”
“Kalau kau memutuskan menyerah. Secara otomatis aku akan menyerah bersamamu.”
Kemudian percakapan itu meninggalkan kabut keheningan yang menyesakkan. Betapa aneh mendengarkan Cordelia berbicara enteng perihal benang kematian yang terhubung di antara keduanya. Bagi Jade, rasanya seperti menyaksikan kisah tragis Romeo dan Juliet yang diceritakan ulang dengan latar serta kondisi yang sama sekali berbeda. Kematian mereka tidak dijembatani dengan cinta dan pengorbanan seperti mahakarya Shakespeare. Kematian mereka dihubungkan dengan tali perbudakan dan keterpaksaan.
“Tragis, ya?” Cordelia tahu-tahu memecahkan dinding di ketegangan. Cengiran sinisnya kembali untuk meledek Jade. “Seperti kematian Romeo dan Juliet.”
Sial. Lagi-lagi terjadi.
“Aku sudah bilang kepadamu untuk berhenti membaca pikiranku,” protes Jade.
“Kau membiarkan pikiranmu lengah sesaat.”
“Sudahlah. Lebih baik aku keluar,” Jade praktis bangkit berdiri. Beban kasur langsung mengembang ke ukuran semula.
“Jade,” Cordelia berseru sesaat sebelum Jade keluar dari ambang pintu.
“Ya?”
“Terima kasih karena sudah membantuku,” kata Cordelia. Tidak ada senyuman di wajahnya yang cantik sekaligus galak secara alami. Namun Jade, entah bagaimana, merasakan kesungguhan dari nada suaranya.
Dia membalas dengan pendek, “Tidak masalah.”
Kemudian tungkainya melewati ambang.
Di luar kamar Cordelia, Jade berderap cepat di sepanjang lorong. Dia menangkup mulutnya dengan tangan dan berusaha menahan percikan aneh yang sejak tadi meletup-letup tidak wajar di dasar perutnya. Perasaan ini tidak asing―sesuatu yang sering dirasakannya, yang muncul setiap kali dirinya bertemu seseorang yang menarik sumbat serotoninnya; seperti ketika dirinya berjumpa dengan Cassie, atau mantan kekasihnya sebelum Cassie, atau sebelumnya lagi.
Namun, kecil sekali kemungkinan untuk ikut mendukung reaksi ini sebagai akibat dari menatap wajah Cordelia, atau mendengar suaranya, atau merasakan sentuhannya. Sebab Jade tahu, di atas perasaan tersipu ini, akal sehatnya meyakinkan sisi dirinya yang lemah agar terus berlindung dan memijak batas aman. Dia adalah manusia, sementara Cordelia adalah abare.
Perasaan cinta yang timbul di antara keduanya adalah sesuatu yang layak untuk dibinasakan.
Jade memegang baik-baik prinsip itu, lalu gejolak yang terjadi dalam tubuhnya mereda. Dia menghela napas dalam-dalam lalu menuruni setiap anak tangga dengan pelan. Mencapai pertengahan tangga, ponselnya berbunyi. Jade melihat nama Pelleanore di layarnya.
“Halo, Cas,” kata Jade.
“Hai, Jade. Bagaimana kabarmu? Kalung Evangeline sudah ketemu?”
“Aku baik, dan kalungnya masih belum ketemu.” Jade mengusap tengkuk seraya membuang napas. “Tapi kemarin aku sudah mendatangi kafe yang waktu itu dan berpesan pada penjaganya untuk menghubungiku bila menemukan kalungnya. Aku juga sudah membuat laporan di polisi, kalau-kalau ada orang asing yang mengembalikannya ke pos.”
“Baguslah, semoga kalung itu cepat ketemu. Itu benda yang amat berharga.”
“Yeah, berapa kira-kira harganya?”
“Mungkin tiga sampai empat kali lipat dari harga belati kristal.”
Jade langsung menaikkan kedua alis seraya memasang ekspresi syok. Sementara itu, Caspian menyahut lagi, “Hei, Jade. Tujuanku meneleponmu sekarang bukan untuk membahas kalung Evangeline itu. Begini, kau ada waktu untuk Sabtu depan?”
“Kurasa tidak. Aku pengangguran kaya raya.”
Terdengar kekeh Caspian di ujung telepon. “Sial. Percaya dirimu besar sekali.”
“Haha, ada apa, Cas?”
“HEC akan mengadakan acara tahunan. Kalau kau lupa, HEC adalah nama komunitas yang diikuti oleh para kolektor, termasuk mendiang kakekmu. Mereka membuat pesta makan malam dan pesta dansa di antara para tamu. Katanya, panitia acaranya akan menyediakan agenda khusus untuk penghormatan kepada Sir Walthrop Bailey. Kurasa ada bagusnya bila aku mengundangmu datang ke sana sebagai perwakilan beliau.”
“Oh, itu terlalu ....” Jade mengerjapkan mata seraya memikirkan kata-kata yang tepat. “Terlalu berlebihan buatku. Aku tidak kenal siapa pun. Kuyakin aku akan jadi monyet bodoh yang sedang belajar mengeja kalau memaksa datang ke acara penting seperti itu.”
“Tidak, tidak. Ini bukan acara yang sangat formal. Kami terbuka dengan siapa pun. Beberapa tamu undangan juga biasanya mengajak sanak keluarga dan anak-anaknya.”
“Kau serius mengundangku ke sana?”
“Kalau tidak serius, kenapa aku harus repot-repot meneleponmu sepagi ini? Ayolah, datang saja. Akan kukirimkan undangannya sebentar lagi.”
Jade menggaruk kepalanya dan berpikir-pikir. Dia tidak begitu suka pesta. Orang-orang kaya yang mengoceh dan memuja barang-barang rongsokan dari masa lalu....
Caspian tahu-tahu menyela, “Kau mungkin akan bertemu orang-orang yang mengincar artefak kakekmu dan berani membayar mahal untuk memilikinya. Yakin tidak mau ikut?”
Satu kalimat itu menyentil telak kelemahannya.
“Oke. Kurasa ada baiknya aku memahami bagaimana orang-orang kaya seperti kalian melihat dunia dengan cara berbeda. Sabtu depan, bukan? Aku akan datang.”
“Bagus,” kata Caspian. “Ajaklah juga Cordelia.”
“Apa?”
“Temanmu yang cantik itu. Dia bisa saja menjadi primadona dalam pesta, kalau kau mengizinkan.”
“Dia ... entahlah, aku tidak yakin dia mau pergi ke tempat yang penuh orang.”
Caspian terkekeh lagi, seolah barusan Jade mengatakan hal konyol. Kemudian panggilan diakhiri dengan bujukan diselingi ledekan dari Caspian;
“Ajak dia, Jade. Aku sedikit memaksa. Kau tidak mungkin akan muncul di pesta seorang diri, bukan?”[]
-oOo-
.
.
.
.
Yeay pestaaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top