24. Kebohongan
PUKUL 23.09, Ruswer Barat.
Malam itu, hujan turun begitu liar. Air memerciki jendela bagai serbuan jarum yang rapat dan cepat. Bunyi ketukannya meningkahi kesunyian yang menyelubungi sebuah kamar di unit apartemen milik seorang wanita, mengaburkan suara denyut jantung yang berdetak menggebu di rongga dadanya.
“Aku sudah bilang, aku tidak mau berurusan lagi denganmu!” Wanita itu membentak di ponsel sambil menyugar rambut pirangnya dengan frustasi. Dia melangkah mondar-mandir seraya tidak henti memandang ke bawah, pada pemandangan jalanan beraspal di balik jendela. “Malam ini hujan deras. Jangan berbuat konyol datang kemari!”
Seseorang di seberang ponsel berkata sesuatu. Lantaran dilalap amarah, wanita itu menutup telepon dengan kasar dan membantingnya di kasur.
“Bedebah sial. Berani-beraninya dia memerasku malam-malam begini. Akan kutelepon polisi kalau dia sungguh-sungguh datang kemari!” Makian itu keluar selagi sang wanita berdiri di depan jendela kamarnya seraya menggigiti kuku. Rautnya mematut kaca dengan gelisah bercampur takut, seolah-olah takut bila seekor serigala keluar dari belukar yang tumbuh di antara barisan pepohonan, belasan meter di bawah unit apartemennya.
Tiga, sampai lima menit kemudian, kepanikannya mencapai ubun-ubun. Wanita berparas latin itu menyambar kembali ponsel di atas kasur dan mengetik nomor polisi di layar. Dia sudah hampir menekan tombol panggilan ketika tahu-tahu saja bel di pintu apartemennya berbunyi.
Sang wanita menatap pintu dengan takut.
Ponsel itu digenggam erat, sementara tungkainya menuju pintu. Saat mengintip dari lubang kunci, dia melihat seorang pria jangkung berdiri di apartemennya.
Raut wajah sang wanita yang semula pekat dengan rasa gundah sekonyong-konyong berubah lega, seolah mendapat curahan pertolongan dari Tuhan. Pintu dibuka dengan jeblakan keras, dan wanita itu langsung memeluk si pria.
“Kau datang kemari tepat waktu! Barusan ada orang gila yang berusaha memerasku,” wanita itu merengek seraya menguburkan pipinya di dada bidang sang pria. Kepalanya terangkat beberapa detik kemudian. “Bagaimana kau bisa tahu kalau aku ada di sini? Padahal aku tidak meneleponmu.”
“Aku selalu tahu apa yang terjadi padamu.”
Suara pria itu lirih dan dalam, tipe suara rendah yang membuat wanita mana pun jatuh dalam rangkulan hasrat sensual. Dia menarik sang pria masuk ke unit apartemen, lalu mengunci pintu sampai berbunyi klik samar.
Seketika, wanita itu menghadap sang pria. “Aku takut pria itu datang lagi. Dia sudah memerasku tiga kali dalam sebulan ini.”
“Kenapa kau belum juga lapor polisi, Sayang?”
“Karena dia tahu aibku.” Sang wanita mengusap rahang si pria dengan lembut, kemudian tubuhnya yang mungil bergelayut lagi di pelukannya. “Aku tidak mau kehidupanku di Ruswer berantakan. Aku memiliki ibu dan adik-adik yang bergantung padaku. Kalau sampai dia memberitahu mereka, mereka bisa kecewa padaku.”
“Kau memang putri yang baik.”
“Ya, dan kau pria yang luar biasa.” Wanita itu berjinjit dan mengecup bibir sang pria dengan singkat. “Mm, kenapa kau berbau aneh? Apa kau baru ganti pasta gigi?”
“Berbau aneh?”
“Ya, seperti ....” Kening sang wanita berkerut memandangi wajah memikat si pria di hadapannya. “Entahlah. Baunya mirip ... darah.”
“Darah? Bagaimana bisa aku berbau darah?”
“Itulah. Mungkin penciumanku yang aneh. Aku tidak bisa membedakan apakah itu bau darah atau hanya logam berkarat.”
“Kau takut karena bauku?”
“Aku lebih curiga dengan apa yang kau lakukan sebelum ini.”
Sang wanita mulanya membuat ekspresi keras dan dingin, tetapi sekejap kemudian paras manjanya keluar lagi. Dia mengalungkan kedua lengannya pada leher si pria. “Uh, tapi aku mengenalmu luar dalam. Kau tidak mungkin melakukan sesuatu yang buruk, bukan? Kau ini pria manis yang terlalu lembut untuk melukai seekor anjing. Bagaimana bisa bau aneh yang melekat di badanmu membuatku ketakutan seolah-olah kau baru saja tiba dari pekerjaan membunuh?”
“Ya, kau benar.”
“Aku tahu. Kau memang pria manis.”
“Maksudku tebakanmu barusan.”
Wanita itu tercenung sejenak. Pelan-pelan, tangannya yang melingkar di leher sang pria dia lepaskan. Ekspresinya berubah menjadi seraut keraguan. “Apa maksudmu?”
“Kau tahu aku tidak terbiasa menjelaskan dua kali.”
“Sayang,” Wanita itu melangkah mundur. Cengiran tipisnya kini mengandung kegelisahan bercampur harapan. “Jangan bertele-tele, dong. Apa yang kau lakukan barusan?”
“Seharian ini aku lapar, Avery.” Pria itu melangkah mendekati Avery. Jemarinya yang panjang merayap naik dan tertaut ke rambut pirang Avery yang bergelombang ikal bagai boneka. “Seharian ini aku sudah membunuh anak anjing dan memangsa ternak warga, tapi tidak ada yang bisa memuaskanku. Aku butuh darah yang lebih segar ... darah seorang wanita muda sepertimu.”
“Da-darah?” Avery meremang kaku. Dia menepis tangan sang pria dengan kasar. “Kau ini bicara apa? Kau ini siapa sebenarnya? Jangan macam-macam padaku!”
“Bukannya kau bilang kau menginginkanku?”
“Dasar bodoh. Aku menyukaimu sebagai kekasih!”
“Sayang sekali.”
Bagaikan kilat, pria itu menyambar pergelangan Avery dengan kuat, menahannya bagai binatang yang hendak diberi tali kekang. Avery memberontak, tetapi pegangannya semakin menguat. Suaranya mendadak saja tidak keluar lantaran lumpuh oleh ketakutan. Sementara sang pria pelan-pelan mendekati wajah wanita itu, mengendus aroma lehernya yang harum. “Aku menyukaimu ... bukan karena kau wanita. Tapi karena kau menarik perhatianku untuk menjadi mangsa.”
“Apa maumu, berengsek?”
“Darahmu.”
“Tidak, lepaskan!”
Avery diguyur kepanikan. Jantungnya berdebar saat sang pria yang menjadi kekasihnya itu mencengkeram tengkuknya dengan kuat. Mulutnya menjerit, tetapi jeritannya seketika putus ketika dia merasakan dua taring tajam melesak dalam-dalam di kulit lehernya. Pria itu menjambak rambut belakang Avery dan mendorong kepalanya agar maju, sementara wajahnya sendiri terkubur di ceruk leher sang wanita yang terkoyak akibat gigitan. Dia mengisap dengan rakus, tidak memedulikan tubuh kecil korban yang mengejang dan menggeliut seperti serangga yang sayapnya dipatahkan. Kulit lengan Avery berubah kisut. Nadi kebiruannya bertonjolan mengerikan di balik pergelangannya yang kini sekurus kerangka. Darah itu terus dikuras sementara ajal Avery perlahan pudar dari cangkang manusianya yang rapuh.
-oOo-
“Jade, ayahku mungkin masih hidup di luar sana.”
Selepas kalimat itu dilesatkan, ketegangan merembes di kamar Jade bagaikan asap kelabu yang tidak nyaman.
“Maksudmu, ayahmu masih hidup meskipun itu sudah beratus-ratus tahun lamanya?”
“Abare adalah makhluk yang berusia panjang. Beberapa di antara mereka bisa hidup abadi seperti dewa. Ayahku bisa jadi adalah salah satunya.”
“Kau tidak bisa merasakan keberadaan ayahmu?”
Cordelia terperenyak sebentar. Rautnya berubah muram. “Tidak bisa, atau mungkin aku tidak tahu kalau keberadaannya bisa dideteksi. Kau harus berada di jarak yang bisa kujangkau bila ingin kutemukan. Mungkin ayahku demikian. Kami harus berada di lokasi yang sama-sama bisa mengirimkan sinyal keberadaan satu sama lain.”
“Mungkin dia jauh dari sini.”
“Tapi selalu ada cara untuk mencarinya, bukan? Kita bisa melakukan sesuatu. Mencari petunjuk, atau mengikuti jejak.”
“Jangan gegabah dulu, Cordy,” Jade membalas lirih. Pemuda itu mendorong dirinya dari kasur dan menampakkan raut berpikir.
Gagasan mengenai ayah Cordelia yang masih hidup, entah mengapa menyiratkan keresahan sekaligus kelegaan. Jade tidak terlalu cakap untuk menjelaskan apa kaitan semua ini dengan fenomena kematian yang selama ini terjadi di Ruswer, tetapi dia pasti akan menaruh kecurigaan besar pada ayah Cordelia. Bagaimana bila selama ini, abare yang menjadi buah gosip di antara masyarakat adalah sosok sang ayah yang bersembunyi di peradaban?
Tidak ingin berasumsi seenaknya, Jade pun memberitahu Cordelia tentang sekelumit informasi yang sempat dia dapatkan dari Caspian―kenyataan bahwa sejak dua tahun terakhir, sudah ada sekitar dua belas mayat yang selalu ditemukan di penjuru Ruswer dengan kondisi yang sama; seluruh tubuhnya mengerut lantaran darahnya terkuras habis. Dia menyampaikan tentang rumor abaree yang memang menjamur di kota ini semenjak ratusan tahun lalu, dan reaksi Cordelia menyatakan keterkejutan.
“Di kota ini ada abare selain aku?”
Jade mengangguk.
Cordelia tidak menunggu waktu lama untuk tahu ke mana arah pembicaraan ini. Nada suaranya terdengar tersinggung, “Lalu kau menuduh ayahkulah yang melakukan semua pembunuhan itu?”
“Barangkali pelakunya orang lain. Tapi selama tidak ada petunjuk yang jelas, ayahmu bisa menjadi tersangka yang patut dicurigai,” kata Jade dengan berat.
Cordelia merenung di tepi kasur. Mata kelamnya mematut lantai dengan luapan rasa jengkel karena tidak mendapat petunjuk. Selang beberapa detik kemudian, dia menyuarakan kegelisahannya lagi, “Apa menurutmu ayahku jahat? Bagaimana kalau dia benar-benar seorang monster pemangsa?”
“Setidaknya masih ada rahasia yang belum terjawab. Itu tugas kita untuk mencarinya.” Kemudian Jade menengok ke belakang untuk menyambar jaketnya yang teronggok di atas nakas. Sambil menggeledah seluruh isi kantongnya, dia bercerita pada Cordelia tentang kalung Evangeline. “Aku sudah menanyakannya kepada Caspian, dan pria itu rupanya sangat berguna. Dia bilang, kalung itu adalah milik seorang saudagar kaya bernama Evangeline. Seharusnya kalung itu diturunkan untuk anaknya, tapi anaknya meninggal sebelum lahir ke dunia ini.”
“Evangeline?”
“Dia pasti ibumu. Ayahmu bernama Gustav, ibumu bernama Evangeline. Mereka adalah pasangan yang tinggal di Moldova―tempat kelahiranmu. Kalung ini dibuat untukmu, tapi setelah Evangeline meninggal, kalung ini tiba-tiba menjadi benda terkutuk. Orang yang memilikinya katanya bisa meninggal. Mayatnya ditemukan dalam keadaan―tunggu, di mana kalungnya?”
“Mayatnya ditemukan dalam keadaan apa?”
“Dalam keadaan tragis. Seperti terjerat sihir aneh. Itu pulalah yang terjadi pada Evangeline.” Jade membolak-balik jaketnya dan mengibaskannya di udara. Dia merogoh ulang tempat yang sama, dan tidak menemukan apa pun. “Dan sekarang kita punya masalah baru. Kalung itu hilang.”
“Jade!” Cordelia melotot terkejut. “Yang benar saja!”
“Aku serius! Seingatku aku sudah mengambilnya di meja kafe....”
Kemudian Jade mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Caspian sempat menyerangnya dengan mendadak. Mereka jatuh bergulingan dari atas tangga.
“Mana ponselku?” Jade menggeledah seprai di dekatnya dan menemukan ponselnya tergeletak di bawah bantal. Dia mencari kontak Caspian dan meneleponnya dengan cepat. Pada sambungan ketiga, pria itu mengangkatnya.
“Hai, Jade. Ada masalah?” Suara Caspian terdengar serak. Barangkali pria itu baru bangun tidur.
“Cas, uh, maaf mengganggu istirahatmu. Apa kau melihat kalung Evangeline?”
“Kalung?” Tercipta jeda sejenak. “Tidak.”
“Kemungkinan jatuh di museum ruang bawah tanahmu. Mungkin di dekat tangga. Bisa bantu mencarinya untukku?”
“Jade, sebelum tidur aku sudah membereskan ruang bawah tanah. Tidak ada apa pun di sana. Apa kau tidak lupa membawanya dari kafe?”
“Tidak. Aku ingat jelas sudah memasukkannya di kantong.”
Perasaan gelisah dan rasa bersalah kini bercokol di dasar perutnya. Jade menatap wajah Cordelia yang melihatnya dengan raut was-was, lalu merasa jauh lebih kacau. Seharusnya dia tidak ceroboh. Karena kesalahannya, kalung fenomenal yang penuh kutukan itu sekarang menghilang. Bukan soal ganti rugi yang Jade pikirkan, melainkan nasib Cordelia ke depannya. Kalung itu adalah salah satu benda penting yang bisa mengantarnya ke penyelidikan lebih jauh lagi.
“Jade, bagaimana?” Cordelia bertanya dengan nada harap-harap cemas. Jade menutup panggilannya dengan Caspian dan menyugar rambut dengan frustrasi.
Dia menggeleng putus asa. “Untuk sementara waktu, kita cukup berdoa agar kalung itu tidak dicuri orang bodoh.”[]
-oOo-
.
.
.
.
God, this story is so messy! I finished it for about 3 months, kinda pressed by time. It didn't matter whether the story was good enough for readers. The most important thing was that I could finish it and get paid by the platform.
And when I reread now it feels like I should've put more efforts 😭
I don't have time to revise, so please enjoy your messy salad here. Promise I'd give you a better story next time 😞🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top