23. Ayah
SEBELUM tindakan Cordelia berujung ke pembunuhan, Jade memperbaiki situasi dengan membawa Joseph ke kamarnya. Tidak sampai setengah jam ketika kawannya yang bawel itu akhirnya melenguh bangun. Setelah cukup pulih, satu jam berikutnya menjadi momen mendebarkan Jade yang menceritakan semua yang pernah terjadi di rumah ini, tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Tersisalah Joseph yang kini memandanginya dengan raut keheranan.
“Kau serius mengalami kejadian seperti itu?” adalah pertanyaan sama yang sudah dilontarkan Joseph sebanyak sembilan kali selama mendengarkan keseluruhan cerita Jade, yang baginya, tidak masuk akal. Bagaimana bisa ada makhluk yang keluar dari lukisan, lalu menodong orang lain agar bersedia memberikan darahnya untuk diisap?
“Kau tidak sedang terjebak di ritus penyembahan setan, bukan?” Joseph memastikannya dengan ragu, takut kalau-kalau sahabatnya bukan lagi sahabatnya yang dulu. Jangan-jangan otak Jade sudah dicuci hingga membuatnya percaya halusinasi yang tidak-tidak.
“Aku sudah berprasangka buruk jauh lebih banyak sebelum kau menuduhku. Tapi, seperti yang kau lihat, Josh, jawabannya tersaji sejelas ini di hadapanmu. Aku tidak mengikuti apa pun―ritual penyembahan, sihir hitam, atau okultisme. Cordelia muncul sendiri dari lukisan di kamarku, dalam keadaan amnesia separuh. Sampai saat ini pun aku masih mencari jawaban siapa dia sebenarnya.”
“Kau bilang dia adalah abare.”
“Ya, maksudku, tentang asal-muasalnya. Kalau dia abare, dia pasti punya koloni, atau keluarga, atau pasangan. Aku harus mengembalikan Cordelia ke keluarganya yang asli dan membebaskan diriku sendiri dari ikatan ini.”
Joseph menekan kedua pelipisnya sehingga wajahnya berkerut-kerut. Selama beberapa detik yang menegangkan, dia terdiam, seolah meresapi semua informasi aneh ini. Lamunannya mendadak pecah, bukan karena Jade yang mendadak bersuara, melainkan karena pintu kamar terbuka.
Cordelia melenggang masuk sambil membawa nampan berisi potongan apel, dua cangkir teh hangat, sebatang cokelat, dan roti isi daging.
Ekspresinya menunjukkan keresahan yang amat subtil. Cordelia menaruh nampan di atas nakas, tepat saat Joseph menyelanya dengan pertanyaan, “Jadi kau ini manusia atau bukan?”
“Kalau yang dimaksud manusia adalah makhluk yang memiliki naluri dan akal, maka aku adalah manusia,” kata Cordelia.
“Tapi kau mengisap darah manusia lain untuk bertahan hidup.”
“Itu hanya syarat tambahan saja.”
“Kau juga berumur panjang dan bisa melukai tanpa berpikir.”
“Di dunia ini ada banyak manusia yang seperti itu.”
Joseph melirik Jade seolah ingin mencari pembelaan. Tidak menemukan alasan bagus, pemuda itu akhirnya mendesau, “Mau dikatakan seperti apa pun, kau ini tetaplah monster, dan aku tidak bisa diam saja karena kau sudah membahayakan nyawa temanku!”
Cordelia kelihatan bereaksi berbeda saat Joseph menyinggung keselamatan Jade. Seperti ada emosi terselubung yang menyatakan kegelisahan atau rasa bersalah.
“Joseph,” kata Cordelia. “Aku tidak bisa memilih takdirku sendiri sebagai seorang abare. Lahir di dunia ini sebagai seorang makhluk pengisap darah bukanlah kehendakku. Seandainya sejak awal aku diberi pilihan, aku juga ingin hidup normal seperti kalian semua.”
Dua orang pemuda di hadapannya saling menatap dengan perasaan tidak enak. Tidak ada yang bisa―atau mungkin tidak berani―menimpali pendapat Cordelia yang terkesan jujur sekaligus menyedihkan.
Pada akhirnya, percakapan itu usai. Kesetiaannya pada Jade membuat Joseph memutuskan untuk ikut campur urusan gelap yang bersinggungan dengan keberadaan Cordelia. Menurutnya, fenomena makhluk pengisap darah ini ada hubungannya dengan kepercayaan kuno kota Ruswer yang masih kental dengan urusan okultisme dan klenik. Dia juga menaruh kecurigaan besar pada pekerjaan Walthrop Bailey sebagai seorang kolektor barang antik. Maka ketika Cordelia undur diri dari kamar itu, Joseph kembali mengajak Jade berdiskusi mengenai kasus ini lebih dalam.
“Dia pasti tahu sesuatu tentang lukisan itu, Jade,” kata Joseph, dengan nada seperti memulai kasus. “Coba bayangkan ini. Betapa anehnya. Kakekmu menyimpan lukisan itu di dalam kamar selama bertahun-tahun tanpa membuka segelnya. Sementara kau, belum ada dua hari kau menempati rumah ini, tapi kau sudah berurusan dengan makhluk aneh itu.”
“Darahku membuatnya bangkit. Katanya itu sebagai pembuka segel.”
“Oke, dan apakah selama bertahun-tahun, kakekmu tidak memiliki alasan untuk membuat ujung jarinya terluka dan mengundang kebangkitan Cordelia?”
“Mungkin darahnya bereaksi hanya bila diteteskan ke dalam lukisan. Jariku saat itu memang terluka akibat serpihan kayu di gagang pigura.”
Joseph menyugar rambutnya dan menatap dengan serius. “Aku tidak bisa, Jade. Aku tidak bisa meninggalkanmu seorang diri di tempat ini. Aku akan membantumu untuk mencaritahu siapa Cordelia sebenarnya. Bagaimana dengan penyelidikanmu selama ini? Kau tidak menemukan jawaban atau petunjuk sedikit pun?”
Kepercayaan diri Jade kembali mekar. Setelah berminggu-minggu merasa tersudutkan dengan fakta bahwa hanya dialah yang harus membantu dirinya sendiri, sekarang keberadaan Joseph menambah satu dukungan yang mendorongnya untuk terus meneliti. Tanpa berlarut-larut, Jade memberitahukan informasi yang dia dapatkan dari Caspian―kenyataan bahwa di kota ini terdapat abare lain yang melakukan pembunuhan terhadap masyarakat Ruswer, juga sejarah tentang Kaling liontin Evangeline.
“Kalung ini yang menurutku paling aneh. Katanya, setiap orang yang memilikinya akan meninggal dengan tragis.”
“Ow, ada kalung terkutuk? Kau punya kalungnya? Biar aku bantu mencari informasi lengkap. Jangan remehkan kekuatan seseorang yang pernah berkontribusi banyak di urusan literatur.”
Jade merogoh saku celana dan terhenyak sebentar. Setelah mencari di seluruh kantong, tidak ada yang dia dapatkan selain dompet dan beberapa keping uang receh.
“Sial,” desisnya.
“Ada apa?”
“Kalungnya tidak ada. Mungkin kutinggalkan di jaket.”
Kemudian Jade keluar ruangan dan naik ke tangga lantai tiga. Seingatnya, dia menanggalkan jaketnya di dalam kamar kakek. Saat Jade melewati pintu yang terbuka, dia melihat Cordelia sedang membereskan seprai dan sarung bantal. Gadis itu mendongak padanya.
“Kenapa kau kelihatan buru-buru, Jade?”
“Ada yang kucari―oh, itu dia.”
Jaketnya teronggok di dekat nakas. Namun, langkah Jade mendadak goyah saat dia hendak menggapainya. Pemuda itu limbung ke depan dan buru-buru berpegangan pada tepi kasur sebelum wajahnya mencium lantai. Cordelia membantunya berdiri tegap.
“Kau kenapa?”
“Entahlah, aku ....” Jade memegangi kepalanya yang berputar-putar. Sebetulnya dia sudah merasa pusing semenjak menggotong Joseph ke lantai bawah. Sekarang, seluruh tubuhnya tidak bisa menoleransi rasa sakit lebih jauh. “Mungkin anemia?”
“Kau belum pulih benar setelah darahmu kuisap.” Cordelia menuntunnya ke kasur. “Kau sudah makan cokelat di kamar Joseph? Cokelat itu kusiapkan untukmu, sebagai makanan penambah darah.”
Jade mendengkus geli. “Dari mana kau tahu itu?” Di atas rasa tidak nyaman yang menyerang kepalanya, dia cukup terkesan karena belakangan ini Cordelia menunjukkan tanda-tanda melek teknologi yang lumayan signifikan.
“Itu tidak penting. Sekarang berbaringlah.”
Tidak memiliki alasan untuk menolak, Jade akhirnya berbaring. Dia merasa seluruh kepalanya berubah menjadi jantung kedua yang berdenyut mengerikan. Sementara itu, Cordelia pergi ke kamar mandi dan kembali sambil membawa handuk yang sudah dibasahi dengan air. Sebagian handuk itu dihamparkan menutupi kening dan mata Jade, yang kini bernapas terengah seperti habis berlari jauh. Kondisinya yang mendadak drop membuat Cordelia cemas, dan gadis itu tahu siapa yang sepatutnya disalahkan atas hal ini.
“Seharusnya aku tidak mabuk,” kata Cordelia, lirih. “Belum ada satu minggu semenjak aku mengisap darahmu, tapi yang tadi aku melampaui batas.”
“Sudahlah. Kau juga tidak bisa mengontrolnya, bukan?”
“Kau seharusnya memukulku bila aku berbuat kelewatan. Sadarkan aku dengan cara apa pun, sebab aku tidak diperbolehkan rakus dan berlebihan kepada budak darahku sendiri. Keselamatanmu adalah keselamatanku juga.”
“Aku sudah berusaha menahanmu, tapi tidak bisa. Saat kau menggigit leherku seperti ada kekuatan yang membuatku patuh. Rasanya seperti kena sihir.”
Kekuatan, sihir, atau hasutan batin yang membelenggu Jade adalah kehendak yang tidak bisa Cordelia kontrol. Dia tahu, selama Jade masih terikat kontrak sebagai budak darahnya, pemuda itu tidak akan bisa lari dari jerat nafsunya yang tidak terperi. Pihak yang harusnya mengendalikan semua itu adalah Cordelia, tetapi dia malah membiarkan sifat penasaran mengambil alih akal sehatnya. Andai saja Cordelia tidak tergiur untuk mencicipi alkohol, dia tidak akan berubah menjadi monster serakus ini. Dan Jade akan baik-baik saja.
“Maafkan aku,” kata Cordelia. Terselip nada permohonan dalam suaranya.
“Lain kali aku akan menjauhkan rokok dan alkohol darimu,” kata Jade, tetapi dia mengatakannya sambil menyungging cengiran miring.
“Jade,” Cordelia yang duduk di tepi kasur mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke pangkuan. “Saat mengisap darahmu tadi, aku mendapat potongan kilasan masa lalu.”
Jade langsung menyibak handuk di matanya. “Apa?”
“Kurasa ... semakin sering aku mengisap darahmu, ingatanku bisa kembali.”
“Kau serius?”
“Bukan berarti aku membujukmu untuk lekas memberiku darah seperti tadi. Maksudku, kita bisa melakukannya pelan-pelan. Waktu kita masih panjang, iya, kan?”
“Baiklah. Lalu kilasan apa yang kau dapatkan tadi?”
“Aku melihat diriku sendiri berbaring di sebuah ... altar. Entah di mana itu. Suasananya agak gelap. Ada beberapa orang yang mengelilingiku. Semuanya mengenakan jubah yang menutup wajah dan tubuh. Mereka seperti melakukan sebuah ritual yang melibatkan aku sebagai subjeknya.”
“Maksudmu, kau melihat dirimu dijadikan persembahan?”
“Kurasa seperti itu.”
“Kau tahu siapa orang-orang berjubah itu?”
Cordelia menggeleng ragu. “Tidak semua. Aku hanya mengetahui satu di antaranya.”
“Siapa?”
“Ayahku.”
“Ayahmu? Kau ingat wajahnya?”
Cordelia memejamkan mata dan mencoba menggali ingatannya lebih dalam. Wajah-wajah yang melayang di benaknya tidak begitu jelas, tetapi dia tahu orang itu adalah ayahnya dari postur dan tinggi tubuhnya.
“Dia mengenakan kalung permata rubi itu,” kata Cordelia sambil terus meraba labirin ingatannya. “Kalung itu disalurkan kepadaku yang sedang dibaringkan di atas altar. Kemudian, orang-orang di dalam ruangan mulai berbicara sesuatu. Seseorang memanggil ayahku. Menyerukan nama ayahku.”
“Siapa nama ayahmu, Cordy?”
“Gustav.” Cordelia seketika membuka mata, dan tahu-tahu semua ingatan itu luntur kembali seperti air. Dia menunduk menatap Jade yang sedang berbaring. “Aku hanya mendengar nama itu di ingatanku.”
“Tidak papa, tidak papa. Tidak perlu buru-buru.”
Lalu Cordelia menatap lukisan dirinya yang terpajang di dinding kamar.
“Satu hal lagi, Jade. Sebelumnya aku mengatakan kepadamu bahwa selama ini aku sedang menunggu seseorang, iya, kan? Sepertinya aku tahu siapa yang kutunggu. Itu adalah ayahku. Aku sedang menuggu ayahku selama ini.”
Jade mengikuti arah pandang Cordelia dan termenung sebentar.
“Cordy, dulu kau pernah bilang bahwa ayahmulah yang mengurungmu di dalam lukisan. Lalu sekarang kita tahu bahwa kau menunggu ayahmu untuk mengeluarkanmu dari sana. Apakah itu berarti ....”
Mereka berdua saling menatap seolah berbagi pesan rahasia. Cordelia meneguk ludah dan membalas lirih, “Ayahku mungkin masih hidup di luar sana.”[]
-oOo-
.
.
.
.
.
Happy readiinggg 🌱💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top