22. Ketahuan

AKU ingin darahmu.”

Cordelia tidak menanti jawaban untuk mendahului tindakannya; gadis itu mendorong Jade dengan lembut ke atas kasur, merebahkannya seperti sebuah boneka, lalu mengempit kedua sisi perut Jade dengan kedua tungkainya. Dia menunduk, melebur dalam nafsu lapar yang tidak terperi. Di balik helaian rambut hitam yang tergerai jatuh ke wajah Jade, raut Cordelia bersemu merah, entah karena mabuk atau hasrat lain. 

“Andai kau mengizinkannya, aku pasti sudah meminum darahmu setiap hari, Jade.” 

“Cordelia,” kata Jade, terbenam di atas kasur dalam selubung emosi malu dan takjub. Ada yang salah dari posisi ini, tetapi Jade tak memiliki daya untuk melawan. Seluruh tubuhnya tunduk pada sihir gelap Cordelia yang nyaris mematikan semua alarm defensif dan jerat kepanikan di kepalanya. Dia membiarkan jemari gadis itu meraba pipinya, menggerayang di antara leher dan tulang selangkanya. 

“He-hentikan,” kata Jade, digelitik gelisah. Beberapa hari lalu dia memang mengizinkan Cordelia untuk meminum darahnya kapan pun gadis itu mau. Namun, Jade tidak pernah menduga bahwa kesempatan itu datang di saat-saat sekarang―tatkala Cordelia diliputi kekacauan karena mabuk. Orang-orang bisa berubah dua sampai tiga kali lebih gila saat mabuk. Bagaimana bila makhluk ini malah berbuat kelewatan dan mengisap darahnya sampai kering? Jade tidak mau menjadi mayat berikutnya yang ditemukan oleh media. 

“Cordelia, tunggu sebentar, kau sedang mab―”

Mengabaikan peringatan itu, Cordelia membuka rahang, disusul dengan dua taring yang memanjang di kedua sisi mulut. Jade belum sempat protes ketika tahu-tahu wajah Cordelia terbenam di lehernya―bersamaan, setelah itu, kedua taringnya melesak dalam-dalam laksana kalajengking yang menyengat mangsa. 

Barangkali karena kondisinya yang dilanda mabuk, Cordelia mengisap dengan rakus, melebihi kebiasaan-kebiasaannya yang dahulu. Darah dari leher Jade merah menyala, mengalir dari sela mulut Cordelia dan turun ke leher, membasahi pakaian, bantal, dan seprai di bawah tubuh mereka yang saling bertumpuk. Jade berusaha tidak berjengit maupun berteriak, sebab dia tahu itu hanya akan menghabiskan tenaga dan membuatnya semakin lemas. Kendati demikian, otot-ototnya menegang dan bergelenyar oleh sensasi campur aduk―nyeri, kram, dan hasrat asing yang membuatnya melayang. Rasanya seperti baru saja menenggak obat batuk yang dicampur bius. Anehnya, sensasi aneh satu ini tidaklah terlalu buruk. Setidaknya dia terjebak dalam halimun hampa yang menumpulkan sebagian besar rasa takutnya.

Tangan kanan Jade memegangi kepala Cordelia untuk menahan gigitan lebih dalam, sementara lengan kirinya dipakai untuk merangkul pinggang Cordelia begitu erat, demi pelampiasan rasa sakit yang setiap detiknya bertambah. Walau kabut tipis itu memerangkapnya dalam bius, tetapi itu tidak sepenuhnya memudarkan semua rasa sakitnya. Mata Jade terpejam, rintihan bisiknya berubah menjadi geraman pedih, sementara makhluk kecil rakus dan berambut hitam di lehernya terus menyuruk lebih dalam, mengisap darah sebanyak mungkin. 

Jade merasakan kepalanya semakin ringan dan pandangannya berkunang-kunang. Di detik-detik terakhir, tenaganya terkuras juga. Maka lepaslah rangkulannya dari pinggang Cordelia. Dia lantas terbujur lemas di atas kasur, memasrahkan jiwanya tunduk total pada upaya dominasi abare. 

Tidak berselang lama, Cordelia akhirnya mengangkat wajah dari leher Jade. Ekspresi kepuasannya kentara dari rautnya yang bersinar dan merona, seolah darah barusan telah mengembalikan inti sari jiwanya yang berkabut akibat alkohol.

Gadis itu pelan-pelan merebahkan diri di samping sang pemuda yang menatapnya dengan sorot hampir kosong.

“Kau puas?” tanya Jade lirih. Tersungging cengiran letih di wajahnya. 

“Apa aku menyakitimu?” 

Pemuda itu berkedip lemah dan bernapas lambat-lambat. “Ya, tapi aku lumayan terbiasa.”

“Peningku sudah hilang,” kata Cordelia. “Sekarang aku malah kekenyangan.”

“Aku kebalikannya.”

Cordelia mendorong dirinya setengah duduk. Gadis itu mendekatkan bibirnya pada wajah Jade, lalu mengecup sepanjang rahangnya dengan lembut.

“Tidurlah, Jade.” 

Jade menutup mata, dan hanya kurang dari beberapa detik saja kegelapan menghampirinya.

Sebetulnya, ada peristiwa aneh yang belum diberitahukannya pada Jade. Sambil mengingat kembali memori yang tadi, Cordelia menggenggam tangan sang pemuda dan membawanya ke pipinya. Gadis itu membelai buku-buku jari Jade, lalu menangkupnya di bibir. Memerangkap suhu hangat dari tubuhnya agar tidak lekas habis. 

Saat mengisap darah Jade tadi, Cordelia melihat kilasan-kilasan masa lalunya di kepalanya. Dia merasa yakin bahwa ingatan itu menyimpan sebuah tragedi yang tidak bisa dijelaskan. Gadis itu memejamkan mata, mencoba memanggil kembali apa yang dia lihat. Segalanya bagai gambar buram dari kaset lama; Cordelia berada di sebuah ruangan tertutup dengan langit-langit tinggi. Dia mengapung di atas, sementara raganya yang lain berada di bawah―hanya mengenakan tunik tidur berwarna putih. 

Tubuh Cordelia dibaringkan di atas meja persembahan yang telah digambari simbol rune atau hieroglif. Entah apakah itu sebuah mantra atau kutukan. Ada yang aneh dengan ekspresi Cordelia yang sedang berbaring itu. Dia kelihatan lebih mirip boneka alih-alih manusia. Matanya terpancang terbuka, kosong dan gelap, seolah-olah seluruh jiwa dan ingatannya telah dikuras ke titik nol. 

Sementara itu, orang-orang berbaris mengelilinginya. Semuanya mengenakan jubah hitam. Wajah-wajah di balik jubah itu gelap, seperti berbayang oleh ingatan yang padam. 

Ruangan tampak penuh sekaligus hampa; Cordelia telah pergi ke tempat yang tidak bisa dijangkaunya. Tidak penting apakah dia bisa mendengar pembicaraan mereka atau tidak. Namun yang jelas, dia tahu di antara orang-orang berjubah hitam itu ada orangtuanya; sosok paling jangkung di antara para pengunjung―seorang pria berkulit pucat yang mengenakan kalung rubi merah di atas jubahnya. 

Kemudian, saat kalung itu dilepas dari leher sang pria, Cordelia merasakan jilatan api membakar tenggorokan. Yang merasakannya bukanlah Cordelia yang sedang berbaring di meja persembahan, melainkan Cordelia yang mengapung di langit-langit. Nyeri mendadak yang menyerangnya sekonyong-konyong memutuskan ingatan masa lalu begitu saja.

Dan, kembalilah gadis itu di alam nyata.

Dia menyaksikan Jade bernapas lembut di atas kasur. Langit-langit kamar yang muram entah bagaimana membuatnya aman. Setidaknya, dia tidak berada di ingatan aneh itu, melihat tubuhnya dikelilingi oleh sosok-sosok berjubah misterius.

Cordelia merentangkan lengan untuk memeriksa bekas gigitan di leher Jade. Lubang itu sudah tertutup lagi seperti sedia kala―hanya meninggalkan memar gelap yang mirip seperti gigitan serangga. Gadis itu bangkit duduk. Dia terperangah terkejut ketika melihat seprai dan bantal di dekatnya terasa lembab, berlumur darah.

Lengan panjang sweater yang dikenakannya terbasuh darah. Punggung tangan yang dia gunakan untuk mengusap bibirnya pun terdapat bekas sapuan darah. Cordelia baru saja turun dari kasur dan hendak membersihkan diri di toilet, ketika tiba-tiba Joseph datang menghampiri mereka di ambang pintu.

“Hei, Bung, kepalaku pusing ... kau punya aspirin―eh?” 

Joseph mematung memandang kamar yang penuh kekacauan seperti lokasi pembunuhan; bercak darah di mana-mana, melumuri bantal dan seprai yang tergelincir ke lantai. Jade tergolek di atas kasur dengan leher dan pakaian yang berlumuran darah.

Cordelia, yang kelihatannya tidak memiliki alibi masuk akal untuk membela diri, tersihir bagai seekor gagak yang tertangkap basah melakukan kejahatan. Gadis itu sedang berdiri di samping kasur, dengan mulut belepotan darah.

Tidak ada alasan baik yang bisa meredamkan salah paham itu.

Cordelia menuntun kalem, “Joseph, aku―”

“APA YANG KAU LAKUKAN PADA JADE?”

Dengan langkah menggebu, Joseph mendorong Cordelia dengan kasar hingga gadis itu terjerembab jatuh di lantai. Kemarahan pemuda itu terlihat jelas dari rautnya yang berlapis rona ungu. Dengan panik, Joseph menarik kerah Jade dan langsung menampar temannya dengan keras.

“Bangun, Jade! Bangun!” Plak! Plak! “Ayo bergerak! Kau tidak boleh mati!” Plak! Plak! Plak! 

"Josh, dia tidak apa-apa...."

"APA YANG KAU LAKUKAN DI SANA? CEPAT TELEPON RUMAH SAKIT!"

Joseph menekankan telinganya pada dada Jade dan mendengar denyutnya yang masih sehat. Tepat sebelum Joseph mengirimkan tamparan maut berikutnya, Jade terbangun sambil merintih kesakitan.

“Josh ... uh, apa yang kau lakukan?”

“KAU YANG HARUSNYA KUTANYA BEGITU!” 

Joseph menyentak cengkeramannya dari kerah Jade dan menyapu pandang seluruh ruangan dengan sorot ngeri sekaligus kebingungan. Sementara Cordelia, bangkit perlahan dari lantai, tidak merasa kesakitan atau terganggu. Ekspresinya tidak menyatakan kepanikan atau rasa bersalah. Namun, gadis itu justru memandangi Joseph dengan kemuraman datar laksana seorang psikopat yang diam-diam merencanakan skenario pembunuhan.

“Kau ... sebenarnya apa?” Joseph menuding wajah Cordelia dengan telunjuknya. Dia berpaling lagi pada Jade yang kini memasang ekspresi panik bercampur heran. "Kau baik-baik saja, hah? Kau sungguh baik-baik saja?"

"Ya, ya, tenang dulu...."

"Tenang, katamu? Kau tahu apa yang kurasakan barusan? KUPIKIR KAU MATI!"

"Aku tidak papa. Aku hanya tidur sebentar, Josh."

"Tunggu―sial, tempat ini benar-benar aneh. Dan cewek ini sudah pasti bukan saudaramu. Sebenarnya hubungan sialan apa yang sedang kalian jalani?” 

“Dengar, aku bisa menjelaskan semuanya. Kau tenang dulu,” Jade sendiri dilanda lelah dan bosan. Adegan ini sangat mirip dengan apa yang pernah dialaminya bersama Cassie waktu itu. Oh, jangan sampai Joseph menjadi korban kedua yang meninggalkannya. 

“Apa yang ada di bajumu darah betulan?” Joseph menatap pakaian Jade yang kusut dengan sorot bergetar. 

“Tidak. Maksudku, ini memang darah, tapi aku ....”

“Jadi ini salah satu permainan kalian?” Joseph menatap Jade dan Cordelia secara bergantian. Kengerian yang meliputi wajahnya tidak lenyap, bahkan setiap detiknya terasa lebih mencekam, seolah-olah Joseph siap meledak seperti bom. Kata-katanya berubah seperti racauan tidak jelas;

“Kalian―memainkan sesuatu―hiburan orang dewasa―fetish? Menggunakan darah palsu?” 

“Kenapa kau selalu buru-buru menyimpulkan?”

“Aku tidak menyangka kau seaneh ini, Jade.”

“Minggir dari sana.” Terdengar suara Cordelia yang menahan degup kesal di dadanya. Kedua pemuda itu tidak sempat bereaksi ketika mereka melihat Cordelia menghampiri Joseph dengan langkah secepat kilat. Satu lengannya terangkat naik. Kemudian dengan gerakan gesit, gadis itu mengayunkan tinju di udara dan menyasar sisi kepala Joseph dengan keras.

Tubuh Joseph seketika terbanting di lantai dengan bunyi gedebuk menyeramkan. Pemuda itu tidak bergerak lagi.

“Sudah kubilang,” kata Cordelia, memandang Joseph dengan perasaan puas. “Aku perlu izin untuk membuat orang ini diam.”

"Dari mana kau belajar pukulan barusan?"

"Dari film horor yang kita tonton kemarin."[]

-oOo-

.

.

.

.

.

Thank you for reading, gaesss 💚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top