21. Mabuk

JADE melihatnya. Belati itu. 

Sabetannya pasti akan merobek leher kalau saja Jade terlambat melangkah mundur sejengkal. Caspian tidak memberi waktu untuk berpikir. Pria itu menyerang lagi dengan brutal, tetapi Jade menghindar lagi dengan gesit.  

“Apa yang sedang kau lakukan!” sembur Jade seraya melompat ke kanan, menghindari sabetan berikutnya yang melayang tepat di dekat kepala. Tanpa merespons pertanyaannya, Caspian mengejar Jade seraya membuat gerakan menyabet dan menusuk bertubi-tubi. Semuanya dapat ditangkis Jade dengan mulus, tetapi dia berkejaran dengan waktu untuk berspekulasi tentang keanehan ini. Mengapa Caspian tahu-tahu ingin membunuhnya? 

Gelombang panik membuat otaknya buntu untuk berpikir. Jantungnya berdebar-debar lantaran dia tahu nasibnya akan tamat.

Cepat, cepat, cepat pergi dari tempat ini!

Lantas Jade berlari naik ke tangga dan hendak membuka pintu di ujung lorong.

Sialnya, terkunci.

Berengsek.

“Cas, berhenti!” Jade berputar. Gang tangga yang sempit membuat gerakannya amat terbatas. “Berhenti atau aku akan melukaimu!”

Namun Caspian seakan tuli. Wajahnya mendongak, terpaku pada Jade yang menatapnya terguncang. Ujung belati menyuruk ke depan, seakan membidik dada Jade. Seandainya kacamata hitam itu tidak terpasang di wajah Caspian, barangkali Jade bisa membaca jelas rautnya…. 

Ketika Caspian hendak melesakkan belati kristal ke dada Jade, pemuda itu mengambil risiko untuk melucuti kacamatanya. Jade memekik ketika lengannya tergores mata belati, tetapi jemarinya tetap meraup gagang dan menariknya hingga patah. Kacamata Caspian terpelanting jatuh. Di saat itulah Jade terperenyak.

Iris mata Caspian yang semula sebiru es, kini berubah semerah darah.

Dalam sekejap, Caspian berubah ganas; belati itu diayunkan ke atas seolah hendak menghunjam Jade yang kini berada tepat di hadapannya.

Tidak ada cara lain!

Spontan, Jade menabrakkan diri pada tubuh Caspian dan memasrahkan dirinya jatuh bergulingan bersama pria itu sampai ke dasar tangga.

Beberapa saat kemudian, kekacauan mereda. Belati itu telah terlempar jauh entah ke mana, sementara kedua orang itu sama-sama tergeletak dengan posisi bertumpuk. Caspian yang berada di bawah Jade tidak bergerak bahkan merintih sedikit pun.

Sambil terengah, Jade mengangkat kepala dengan hati-hati. Dia menyingkir dari tubuh Caspian dan memperhatikan wajah pria itu. Kedua matanya terpejam. 

Jade mengguncang kerah Caspian, lalu menampar-nampar pipinya. “Bangun, bedebah!”

Setelah beberapa kali tamparan, kelopak mata Caspian terbuka. Irisnya berubah seperti sedia kala―sebiru dan sedingin es. Mata yang menyatakan keheningan dari gelagatnya yang tidak bisa ditebak. Awalnya Jade merasa tidak nyaman menatap mata birunya, tetapi sekarang, dia merasa bersyukur. Setidaknya mata ini tidak memancarkan nafsu membunuh seperti tadi.

“Jade? Kenapa kau?”

Caspian mendorong dirinya bangkit perlahan. Seketika mengerang sambil memegangi pundaknya yang menghantam lantai. Tetapi dibandingkan kesakitan, ekspresi kebingungan lebih mendominasi. Setelah melihat sekelilingnya, Caspian menatap Jade, menuntut jawaban. “Kenapa aku berbaring di sini?”

“Kau baru saja mencoba membunuhku,” kata Jade. Darah dari lengannya yang robek merembes hingga ke lantai. Caspian menyipitkan mata.

“Kenapa lenganmu?”

“Kena belati.”

“Belati? Aku tidak tahu … apa yang terjadi sebenarnya?” 

Jade bangkit dan menepuk-nepuk celananya, kemudian mengulurkan tangan, membantu Caspian berdiri juga. Kebingungan pria itu akhirnya terbayarkan, sebab Jade menjelaskan apa yang tadi terjadi. Melihat betapa terguncangnya pria ini, Dia lantas berasumsi bahwa Caspian pun tidak ingat apa yang dia lakukan sebelumnya. 

“Aku berusaha membunuhmu? Bagamana mungkin?” Caspian berseru tidak terima. Sekarang mereka sudah kembali ke lantai atas, duduk di sofa dengan perasaan yang lebih tenang. Jade melinting lengan kausnya untuk menerima pengobatan dari Caspian.

“Memang itulah yang terjadi, Cas. Apa kau punya isu mental? DID, misalnya? Kepribadian ganda, atau skizofrenia? Kau bisa saja sedang ada di fase tidak sadar saat menyerangku dengan liar begitu.”

“Tidak, tidak. Selama ini aku baik-baik saja. Tidak mungkin mentalku mendadak terganggu dan langsung mengayunkan belati kepadamu.” Caspian menarik kedua ujung perban dan memastikan luka Jade sudah aman. Dia menatapnya lagi. “Bagaimana? Kau baik-baik saja?”

“Ya, tidak apa-apa.”

“Maafkan aku, Jade. Apa kita harus ke rumah sakit?”

“Tidak. Ini hanya luka kecil.” Kemudian Jade menatap mata Caspian, dan terlihat ragu sejenak. “Hei, tadi aku melihat sesuatu yang aneh. Waktu kau mau membunuhku, matamu berubah.”

“Berubah?”

“Iris matamu berubah merah. Aku tidak mau berspekulasi yang aneh-aneh, tapi kau betul-betul tidak seperti Caspian yang kukenal. Kau berubah lebih beringas, penuh amarah, dan tidak mendengarkan kata-kataku.”

“Maksudmu aku kemasukan sesuatu?”

Sambil mengenakan kembali jaketnya, Jade mengedikkan bahu. “Entahlah. Hanya kau yang bisa merasakannya.”

“Aku tidak merasakan apa-apa. Terakhir yang kuingat ... aku berdiri di kotak kaca tempat belati kristal itu tersimpan. Lalu … uh-hm.” Dia memijat pelipisnya dan berusaha keras mengingat. “Rasanya semuanya menjadi gelap saat itu juga.”

“Kau berusaha menikamku dengan belati kristal.”

"Sungguh, aku tidak bermaksud begitu."

"Kau tetap harus memeriksakan diri, Cas."

Caspian tidak menjawab apa pun. Hanya menunduk, entah ingin menghindari tatapan Jade ataukah sedang berpikir sesuatu yang lain. Beberapa saat kemudian, dia mendongak lagi, namun kali ini ekspresinya seperti gelisah.

“Kurasa aku harus istirahat. Kepalaku pusing.”

“Oke,” kata Jade, kemudian bangkit dari sofa. “Aku harus pulang sekarang. Mendadak teringat hal penting yang harus kuperiksa.”

“Aku akan memanggil taksi untumu.”

“Tidak usah. Aku akan mencari taksi sendiri.”

Selepas itu, Caspian menemani Jade sampai ke depan pintu dan menatap punggung pemuda itu sampai hilang ditelan gerbang tinggi.

Ketika keadaan kembali sunyi, Caspian masuk ke rumah. Tungkainya menuruni anak tangga ke ruang bawah tanah; ke tempat museum mungilnya didirikan. Dia melihat kekacauan yang terdampak di lantai dekat tangga―tempat darah Jade menetes dan mengotori permukaannya.

Kemudian, atensinya terpancing sesuatu. Belati kristal itu rupanya terlempar sekitar dua meter dari posisi berdirinya. Caspian berlutut untuk memungutnya. Dia sedang memeriksa bilah belati dengan saksama ketika menyadari sesuatu.

Tidak jauh dari tempat belati itu ditemukan, Liontin Evangeline tergeletak terabaikan. Cahaya lampu ruangan terlabur di permukaannya yang berwarna merah, menegaskan kilau misterius yang menyelubungi permatanya. 

-oOo-

Tidak sampai satu jam kemudian, Jade kembali ke rumah. Dia membuka pintu dengan kalap dan langsung menghambur masuk.

“Cordy?” 

Teriakannya disambut erangan malas seseorang yang muncul dari gundukan selimut di sofa. Jade menghampirinya, sudah siap melemparkan tinju dan kutukan serapah kepada sosok berantakan yang bersembunyi di antara selimut; Joseph, dengan setengah mata terbuka karena diliputi mabuk, menatap linglung.

“Sudah pulang?”

“Berengsek. Kenapa kau mabuk-mabukan di rumahku, Josh?”

Jade menggamit kerah pakaian Joseph dan diam-diam memeriksa kondisinya. Sebetulnya di perjalanan tadi, Jade dilanda kekhawatiran bahwa Cordelia akan menyerang kawannya hanya untuk membuatnya diam. Bukan salah gadis itu, sebetulnya. Joseph memang menyusahkan kalau mabuk. Tapi dia pasti akan membuat Cordelia merasa tanggung jawab bila Joseph sampai kenapa-kenapa. 

Jade menatap meja di dekatnya yang dipenuhi dengan dua kaleng minuman beralkohol. Semuanya tumpah dan mengotori karpet serta lantainya. Amarahnya tersentil, tetapi saat ini Jade tahu, ada sesuatu yang lebih besar untuk dikhawatirkan.

“Di mana Cordelia?” tanya Jade. Joseph menggerutu tidak jelas dan kembali menguburkan wajah di selimut. Dia terdengar seperti anak kecil yang ngambek dan siap tantrum.

“Josh!”

“Aku enggak tahuuuuu!” Joseph menangkis tangan Jade dan menggelung tubuhnya seperti janin. “Enyah sana, Orwen! Aku punya foto waktu kau dan Elena berpegangan tangan … akan kukirim foto itu ke istrimu … uh … supaya kalian cerai! Kurang ajar sekali kau memecatku … lain kali akan kukencingi sepatumu ….”

“Sial,” Jade meninggalkan Joseph bersekutu sendiri dengan halusinasinya. Dia mencari Cordelia ke berbagai belahan rumah; ke perpustakaan, dapur, kamar mandi. Namun, presensi gadis itu tidak ada di mana pun. Saat Jade hendak membuka pintu ke ruang bawah tanah, perhatiannya pecah. Entah bagaimana, firasat asing membuatnya mendongak melewati birai tangga.

Cordelia. Dia pasti ada di kamar Kakek.

Maka Jade menaiki tangga yang melingkar sampai ke lantai tiga. Dia pergi ke kamarnya di ujung lorong yang tidak tertutup, lalu menemukan, Cordelia sedang berdiri menghadap lukisan dirinya sendiri. Postur tubuhnya terlihat tegap dari samping. Gadis itu tidak menoleh ataupun bereaksi apa-apa saat Jade melewati ambang yang terbuka.

Dalam genggaman Cordelia, ada kaleng minuman yang sudah terbuka. Isinya menetes-netes di permukaan lantai. Jade tidak berani berasumsi yang tidak-tidak, tetapi ada kemungkinan bahwa Cordelia baru saja menghabiskan kaleng minuman itu. 

“Cordelia?” panggil Jade, hati-hati. Langkahnya mendekat satu demi satu. “Kau tidak apa-apa?”

Kemudian, lengan Cordelia terangkat. Gadis itu menunjuk dirinya sendiri di dalam lukisan. Suaranya lirih dan pekat dengan kesedihan;

“Di dalam situ, aku menunggunya.”

“Menunggu siapa?”

Cordelia menggeleng. “Aku tidak ingat. Tapi aku yakin aku sedang menunggu seseorang.”

“Oke. Kita bisa mengingatnya pelan-pelan,” Lalu Jade berdiri sangat dekat dengan Cordelia. Dia melihat paras gadis itu menekuk muram, seolah menahan kekecewaan sekaligus kejengkelan, entah pada siapa. Rambutnya yang panjang dan hitam terburai menutupi satu matanya. Timbul dorongan Jade untuk menyelipkan rambut itu di telinga Cordelia, dan dia melakukannya tanpa ragu.

“Kau tidak apa-apa, kan?” tanya Jade dengan lembut. Tangannya diam-diam menarik kaleng minuman beralkohol dari genggaman Cordelia, yang langsung tergelincir mulus.

“Aku merasa … mual.”

“Ya, ya, aku tahu. Ayo tidur saja.”

“Tenggorokanku terbakar.”

“Itu karena kau minum alkohol.”

“Kurasa aku butuh sesuatu … untuk meredakan sakit ….”

“Apa, katakan itu. Kau mau makanan hangat?”

Lalu Cordelia mendongak menatap Jade. Matanya terlihat cekung dan suram karena terliputi kekacauan akibat mabuk. Jemari gadis itu pelan-pelan merambat di leher Jade, sementara ekspresinya mendadak berubah seperti seseorang yang mendambakan sesuatu. 

“Jade,” kata Cordelia, selembut bisikan angin. “Aku ingin darahmu.”[]

-oOo-


.


.


.


.



Ngeri mintanya darah 😑

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top