20. Belati
“NAMANYA abare.”
Kata itu digaungkan Caspian begitu dalam dan lirih, seperti merapal mantra kuno yang magis. Sementara ekspresinya menyatakan kesuraman seorang pendeta yang tertegun menyebut kata larangan. Barangkali hanya Jade saja yang suka menduga-duga, tetapi dia tidak mengada-ada melihat adanya kekhawatiran di wajah Caspian.
“Kau tahu … abare?” Jade menggumam lirih.
“Mereka dipercaya sebagai monster yang mendiami Ruswer, sama seperti wendigo yang mendiami Kanada, atau antropophagi yang mendiami Afrika. Orang-orang di sini menyebut mereka menyerupai vampir―bertubuh manusia, memiliki paras rupawan, berkulit putih pucat, tapi setiap malam mereka berburu darah manusia.”
Aneh rasanya mendengar penjelasan itu dari mulut seorang Caspian Pelleanore yang ketampanannya mungkin bisa menjadi tanda-tanda pengenalan abare itu sendiri. Namun, Jade pikir hal itu tidak mungkin. Bukan menilai berlebihan. Dia memang memikat, tetapi ketampanannya tidak bersifat klasik dan misterius seperti Cordelia.
“Dari mana abare ini muncul?”
“Itu cerita turun temurun yang lestari di Ruswer. Terjalin lewat berbagi versi dan tipe dongeng yang dikemas sesuai karakter masyarakatnya. Namun semua akarnya sama; di abad pertengahan dulu Ruswer sempat diduduki oleh masyarakat benua Eropa Utara. Di wilayah itu pernah ada mitos … tentang bangsa makhluk pengisap darah yang hendak kabur dari perang dan menyeberangi benua, tetapi mereka mendapat bencana karena diseret gelombang tsunami di Laut Hitam. Orang-orang di Ruswer percaya bahwa para abare yang selamat dari bencana, telah bersembunyi di kota ini selama ratusan tahun lamanya.”
“Ratusan tahun lamanya? Tapi bukankah pembunuhannya baru terjadi belakangan ini?” kata Jade. “Kau bilang, dalam dua tahun belakangan, sudah ada sekitar dua belas korban tewas.”
“Ya, itu memang benar. Sebab itulah banyak masyarakat sekarang yang mulai paranoid dan mengaitkan situasi mengkhawatirkan ini dengan kebangkitan abare dari zaman abad pertengahan. Sebelumnya kota ini memang aman-aman saja.”
“Tidak ada yang menjelaskan tentang alasan mereka bangkit atau apa pun?”
“Teka-tekinya belum lengkap.”
Jade mengangguk. Kini benaknya diliputi keterkejutan luar biasa tentang asal-usul abare. Sekarang dia mengerti bahwa Cordelia barangkali adalah salah satu mitos hidup yang diceritakan oleh Caspian. Hanya saja masih banyak pertanyaan tentang gadis itu yang belum terkuak―tentang lukisannya, tentang sejarah Liontin Evangeline, dan tentang hubungannya dengan keluarga Walthrop Bailey. Namun di antara banyaknya pertanyaan yang Jade jeritkan, rasa gelisahnya bercokol pada satu rahasia besar; kenyataan bahwa di Ruswer, masih ada abare lain yang bersembunyi entah di mana.
Lagi-lagi renungannya terpotong dengan gerak-gerik Caspian.
“Nah, sekarang kenapa kau diam saja? Buka, buka pintunya.” Caspian membujuk Jade untuk turun dari mobil.
-oOo-
“Selamat datang di rumahku, Jade.”
Suara Caspian lantang terdengar di seantero langit-langit tinggi yang dinaungi lampu kristal megah. Definisi rumah orang kaya sesungguhnya―bergaya futuristik, tetapi mengadopsi estetika klasik dari rancangannya yang simetrikal dan rumit. Jade menyusuri lantai marmer yang mengilat, diam-diam mematut bayangannya yang terpantul jelas di permukaan lantai. Benaknya berpikir kotor tentang nasib para wanita yang mengenakan rok pendek dan ikut menapaki tempat ini.
“Kau bilang tadi mau mengajakku berkeliling. Kenapa malah membawaku ke rumahmu?” tanya Jade seraya menatap Caspian yang menggeluyur pergi ke konter bar. Jade mengikutinya sembari menyapu pandang dekorasi ruangan, yang dari hasil penyelidikannya, rupanya dicekik oleh nuansa kolektor artefak akut; di setiap sudut, di sepanjang dinding, ada benda-benda asing yang sepertinya mengundang pertanyaan di benak Jade karena bentuk dan rupanya yang unik.
“Cuacanya sedang tidak bagus. Aku khawatir sebentar lagi hujan deras, jadi kubawa kau kemari,” kata Caspian, memperhatikan betapa serius Jade memandangi sebuah topeng etnis yang terbuat dari belulang.
Bentuk wajah topeng itu menyerupai rusa, dengan mata berupa rongga hitam cekung, dan dua tanduk besar menjorok di batas kening. Pemuda itu tidak memedulikan jawaban Caspian karena atensinya seolah tersedot masuk ke topeng.
“Wendigo,” kata Caspian, nyaris berbisik di telinganya. Jade terlonjak kaget sehingga tungkainya spontan mundur satu langkah.
“Mitos suku Indian?” kata Jade, lalu berpaling lagi pada topeng itu.
“Ya, namanya topeng Wendigo,” timpal Caspian. “Monster mistis yang dipercaya mendiami wilayah pegunungan di Amerika Utara. Mereka keluar setiap malam untuk memangsa manusia dan hewan ternak. Konon katanya, topeng ini dibuat dari pecahan belulang wendigo yang ditemukan secara misterius di dekat sungai Ottawa.”
Jade yang terus mengerutkan kening mendengar cerita itu, akhirnya tidak tahan untuk mendengkus. “Aku tidak tahu mengapa orang-orang seperti kalian senang mengoleksi benda menyeramkan begini.”
“Benda-benda ini memiliki sejarah hebat, dan aku senang menjadi satu-satunya yang menyimpan kenangan itu. Rasanya seolah menjadi bagian dari masa lalu yang misterius.”
“Kupikir orang-orang sepertimu menyukai arus dunia modern yang berkembang pesat.”
“Aku hidup di arus ini, tapi tidak menikmatinya.”
“Kenapa?”
“Jiwaku terjebak di masa lalu.”
Caspian menjejalkan kedua tangannya ke dalam kantong celana seraya menatap topeng wendigo itu, dengan kesuraman yang tidak dipahami Jade. Terjebak masa lalu? Jawabannya barusan, entah bagaimana membuat Jade teringat dengan dirinya sendiri. Tentang mimpinya di suatu malam ketika dia terluka dan sekarat. Tentang Cordelia yang menuangkan sebotol anggur di puncak kepalanya. Satu langkah mundur, dan dia akan jatuh ke lautan masa lalu yang mencekam. Apakah Caspian, tanpa Jade sadari, juga merasakan hal yang sama seperti dirinya? Apakah dia mengalami suatu peristiwa berat di masa lalu sampai-sampai kesulitan untuk menikmati masa sekarang?
“Jade,” Caspian tahu-tahu memecah belah lamunannya. Matanya melengkung ramah di balik kacamata hitam. “Kau mau melihat koleksiku yang paling hebat?”
Selewat beberapa menit kemudian, mereka turun ke ruang bawah tanah yang telah disulap menjadi ruang koleksi. Jade menyusuri setiap bidang lantai dan terdiam menatap artefak-artefak kuno yang dipajang di balik kotak kaca.
Berada paling dekat dengan pintu, ada sebuah pedang dari abad kedua, yang katanya merupakan pedang milik salah satu ksatria yang terlibat dalam Perang Salib di Mediterania. Caspian menjelaskan bahwa pedang itu adalah artefak pertama yang dia dapatkan dari memenangkan lelang, sekitar sepuluh tahun lalu. Kendati Caspian menjelaskan panjang lebar tentang betapa berharganya pedang ini, yang ada di pikiran Jade hanyalah keuntungan uang yang bisa dia raup bila melelang benda ini ke para kolektor obsesif.
Saat Jade menyerong langkah ke seberang ruangan, dia tidak sengaja melihat sebuah belati yang beberapa waktu lalu telah dibeli Caspian darinya. Crystal Dagger. Rupanya benda itu menjadi penghuni tempat ini.
“Aku hanya tahu sedikit asal-usulnya,” kata Jade saat Caspian menghampirinya. “Belati ini. Saat kulihat di internet, katanya digunakan untuk membunuh makhluk mistis, seperti roh.”
“Kau benar. Belati ini memang luar biasa.” kata Caspian. Jemarinya yang panjang menyentuh permukaan halus kotak kaca. Jade bisa melihat mata belati itu berkilau karena tempaan sinar ruangan. Dan entah bagaimana, ketika melihatnya terlalu lama, bulu kuduknya merinding. “Konon katanya, Jade, belati ini digunakan dalam ritual-ritual suku pedalaman. Para pejuang yang terpilih akan mendapatkan kesempatan untuk berburu makhluk mistis―monster, binatang gaib, iblis, atau roh orang mati. Saat dia sudah menunaikan tugasnya, dia akan menyerahkan intisari jiwa dari makhluk yang terbunuh tersebut kepada kepala suku.”
“Diserahkan untuk apa?”
“Untuk dikembalikan ke alamnya. Yang diampuni akan kembali ke surga, yang tidak diampuni akan ke neraka.”
Jade mengangguk, kemudian bergerak ke benda-benda lain yang menarik perhatian. Dia meninggalkan Caspian di hadapan belati itu dan menggeluyur pergi ke seberang ruangan, tempat berdirinya sebuah patung berbentuk burung yang terlihat tidak begitu utuh. Ketika Jade masih memeriksa setiap bagiannya, ponselnya yang tersimpan di celana berbunyi. Dia membaca nama Joseph tertera di layarnya.
Saat telepon diangkat, ternyata yang menyahut adalah Cordelia.
“Cordelia?”
“Jade, kau di mana?” Suara Cordelia terdengar sedikit aneh. Agak parau dan letih. “Kau harus cepat pulang.”
“Aku di rumah teman,” sahut Jade, lalu terkekeh. “Oh, sekarang kau sudah bisa menelepon pakai ponsel? Hebat. Ada apa?”
“Sepertinya ada yang aneh dengan Joseph.”
“Aneh kenapa?”
Terdengar berisik kecil dari ujung teleponnya. Saat Jade ingin bertanya memastikan keadaan, Cordelia membalas lagi, “Kalau di zamanku, ini disebut kesurupan.”
“Apa?” Suara Jade barusan terdengar melengking. Pemuda itu menyingkir dari kotak kaca artefak dan merapat ke tembok seberang. “Kesurupan bagaimana?”
“Dia minum sesuatu dari lemari es, lalu tingkahnya jadi sangat sensitif dan akhirnya menangis. Aku tidak bisa menenangkan bayi besar yang merengek. Kalau boleh, aku minta izin padamu untuk membenturkan kepalanya di tembok agar dia diam.”
“Tunggu, tunggu. Apa yang dia minum sebelumnya?”
“Minuman kaleng dari lemari pendingin. Warnanya biru.”
Lalu Jade menepuk jidatnya sendiri. “Itu alkohol. Joseph sedang mabuk, bukan kesurupan. Kau dengar aku?”
Tidak ada suara.
“Cordy?”
Jade menatap layar ponselnya yang ternyata masih tersambung. Kemudian dia menempelkan lagi ponsel itu ke telinganya, “Hei, kau di sana?”
Suara ponsel menjadi berisik, seolah seseorang di seberang sana sedang menggerutu dan bertengkar dengan sesuatu. Kemudian, sambungannya terputus tiba-tiba. Jade mengernyit memandangi layar ponsel yang menggelap. Dalam beberapa detik, akhirnya dia berasumsi hal tidak beres sedang terjadi di dalam rumahnya.
Sialan. Tidak bisakah aku bernapas tenang sehari saja?
Jengkel karena situasi yang tidak terjawab ini, Jade akhirnya menjejalkan ponsel kembali ke kantong celana, lalu berputar mencari Caspian.
“Cas, kurasa aku harus pergi sekarang. Ada sesu―”
Kalimat Jade tidak terselesaikan, lantaran Caspian tiba-tiba menebaskan belati kristal yang hampir merobek lehernya.[]
-oOo-
.
.
.
.
.
.
Pengin double update, soalnya ceritanya nanggung. Tapi liat nanti deh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top