19. Mumifikasi

8 Juli, dua hari kemudian. 

JADE baru saja menerima secangkir kopi susu ketika kursi di depannya tahu-tahu terisi. Seorang pria muda jangkung yang berbusana kasual-formal tersenyum menatapnya dari balik kacamata hitam yang dikenakan.

“Maaf membuat Anda menunggu lama,” kata Caspian, melepas kacamata dengan gerakan anggun. Sorot mata birunya yang serupa es terpaku di antara kening Jade.

“Tenang saja. Baru kopi kedua yang saya pesan.” Jade membalasnya dengan sindiran halus, dan Caspian tertawa sopan mendengar hal itu.

“Astaga, maafkan saya. Saat datang kemari, mobil saya tiba-tiba mogok, jadi harus menelepon bengkel dan menunggu sedikit lama.”

“Tidak apa-apa, sebenarnya kafe ini tidak membosankan. Selama menunggu Anda, saya disuguhi banyak pelancong cantik yang berseliweran.” 

Caspian membalas kalimat itu dengan seringai bersekongkol, lalu Jade menanggapinya dengan cengiran tipis. “Yeah, di Ruswer memang banyak pelancong jelita. Nah, bagaimana kalau mulai sekarang kita berbicara dengan santai saja? Karena kau sudah kuanggap rekan dan teman yang sehati, mungkin aku bisa memanggilmu dengan hanya nama?”

“Tidak masalah.” 

Kemudian mereka memulai pertemuan dengan membahas beberapa barang antik yang dibutuhkan Caspian. Pria itu mengajukan beberapa nama artefak yang mungkin bisa diikutkan untuk acara lelang bulan depan. Saat percakapan mereka meregang, dan topik telah berubah menjadi pembahasan mengenai rutinitas dan hobi Caspian (ternyata pria ini memiliki hobi melakukan olahraga ekstrem yang berhubungan dengan ketinggian dan kedalaman tertentu―terjun payung, scuba, dan juga sea diving), Jade akhirnya memancingnya dengan pertanyaan yang dibawanya sejak semalam. 

“Caspian, waktu itu aku pernah bertanya padamu tentang sesuatu,” lalu Jade merogoh kalung di dalam jaketnya dan menunjukkannya pada Caspian. “Tentang kalung rubi ini. Apa kira-kira kau tahu asal-usulnya?”

“Ya, ya, tentu aku tahu.” Caspian meminta kalung itu dengan gerakan sopan dan lembut, kemudian menatap sejenak. Dalam jeda waktu itu, Jade diam-diam memperhatikan bagaimana sorot Caspian ketika memeriksa setiap sentimeter kalung. Cahaya dari luar kafe memunculkan kemilau samar pada bandul rubinya yang semerah darah. Kemilau itu terefleksi pada mata Caspian, sehingga dia tampak mendamba.

“Indah sekali,” kalimat dari Caspian barusan menegaskan penilaian Jade. “Ini batu rubi yang indah, dan sangat langka.”

“Jadi, kau tahu kalung ini?”

“Dibuat sekitar abad 1700 oleh seorang seniman terkenal―Adrian Benvilloni. Tidak salah lagi. Kau melihat ukiran emas yang mencengkeram kedua sisi liontinnya? Ini perhiasannya yang paling terkenal.” 

“Aku tidak begitu bisa menilai seni. Bagiku benda itu terlihat … yeah, indah saja.”

“Aku tahu, Jade. Maka simpan informasi ini baik-baik. Nama kalung ini adalah Liontin Evangeline.”

“Liontin Evangeline?”

“Ya. Benvilloni membuatkan kalung ini untuk putrinya Evangeline. Aku tidak tahu siapa nama putrinya, karena belum ada literatur sejarah yang pernah mencatat namanya. Kabarnya memang anaknya keburu meninggal sebelum lahir di dunia ini.”

Berita itu menghunus Jade dengan semacam perasaan berdebar yang aneh. Kalau apa yang dikatakan Caspian benar, bukankah ada kemungkinan bila putri Evangeline yang dimaksud itu adalah Cordelia? Lantas mengapa tidak ada referensi sejarah yang mencatat nama Cordelia? Apakah dia memang diberitakan mati di dalam kandungan?

Memikirkan kemungkinan-kemungkinan ini membuat Jade gelisah sekaligus penasaran. Tanpa sadar, pemuda itu mengetuk-ngetukkan kaki di bawah meja.

“Kau tahu dari mana informasi itu, Cas?” tanyanya. “Seharian kemarin aku mencari di internet, tapi tidak menemukan apa-apa. Bahkan nama Evangeline saja tidak muncul.”

Caspian terdiam sejenak. “Ada sejarahnya, kok. Kau sudah mencoba membaca literatur lama di perpustakaan nasional?”

“Eh, tidak.”

“Jangan pernah percaya dengan internet yang membuka luas akses kepada semua manusia untuk bisa menyunting dan menulis informasi seenaknya. Percayalah pada orang asli yang menuturkan cerita itu lewat tinta dan perkamen.”

“Baiklah,” Jade rasanya ingin memutar bola matanya, tetapi dia menahan diri. “Jadi, kalung ini―maksudnya, Liontin Evangeline betul-betul ada sejarahnya, ya? Apa Evangeline adalah seorang yang terkenal di masa lalu?”

“Dia berkerabat jauh dengan seorang bangsawan kerajaan dari Rumania. Tapi Evangeline terkenal bukan karena tali persaudaraan itu. Dia sendiri seorang pedagang yang cukup dikenal di Moldova.”

“Moldova?”

“Ada apa, Jade? Kau kelihatan kaget.”

“Tidak papa. Lanjutkan, Cas.” Dalam batinnya, Jade merutuk kesal pada dirinya yang sembrono mengatakan hal itu keras-keras. Moldova. Cordelia lahir di Moldova.

“Bagian menariknya, Jade, kalung ini terkenal bukan karena pemiliknya adalah Evangeline.” Caspian meletakkan kalung itu di atas meja dengan hati-hati, seolah benda itu adalah bom. “Kalung ini terkenal karena katanya benda ini menyimpan sebuah kutukan.”

“Kutukan?”

Caspian mengangguk. “Orang yang memiliki kalung ini, tidak akan hidup lama. Dan kabarnya, kematiannya juga berakhir dengan cara tragis.” 

Jade berusaha untuk tidak memotong penjelasan Caspian, sementara pria pesolek itu melanjutkan, “Sama seperti Evangeline. Dia meninggal dengan cara tragis yang luar biasa aneh untuk dijelaskan secara medis, bahkan di era seperti sekarang. Seorang pembantu di rumahnya menemukan Evangeline meninggal di dalam bak kamar mandi dengan kondisi tubuh yang mengempis. Setelah diperiksa, seluruh tulang dan organnya telah hilang seolah ada yang mencabutnya, atau menyihirnya―begitulah kepercayaan orang-orang kuno. Di zaman itu, praktik sihir gelap memang konon masih sering dilakukan demi urusan-urusan tertentu. Omong-omong, Evangeline ditemukan tewas dengan keadaan telanjang, dan hanya ada kalung ini di lehernya. Setelah kematiannya, kalung ini berpindah pada keponakannya yang saat itu masih berusia sembilan tahun. Dan kejadian yang sama menimpa keponakannya. Dia ditemukan meninggal sekitar satu bulan ketika menerima kalung Evangeline … dengan cara yang tragis. Kali ini jenazahnya ditemukan terpotong-potong menjadi tiga puluh bagian. Potongannya sangat bersih dan rapi, seolah baru saja dimasukkan ke alat pemotong daging.”

Tengkuk Jade merinding. Sorot matanya tidak terpaku pada Caspian, melainkan pada sebentuk liontin yang digeletakkan di atas meja. Kalau saja kalung ini memang dikutuk, apakah artinya kini dia memiliki kutukan itu juga? Atau jangan-jangan, kematian kakeknya pun disebabkan oleh kalung terkutuk ini?

Pemikiran itu membuat tenggorokannya kering, sehingga Jade menyesap kopinya yang sejak lama dianggurkan. Dia menunggu Caspian untuk meneruskan ceritanya. Namun, ternyata pemuda itu hanya diam saja. 

Seraya menatapnya.

“Ada apa?” Jade bertanya sambil mengeritkan kening.

“Aku penasaran dari mana kau memiliki kalung ini, Jade.”

“Milik kakekku, tentu saja. Aku menemukannnya ada di antara artefak-artefak lainnya.”

Caspian mengangguk sambil menggosok dagunya. “Jadi, bagaimana? Kau percaya sejarah Liontin Evangeline?”

“Kau tidak sedang menjebakku untuk berkata ‘tidak’, bukan? Aku merasa kau memiliki tanda-tanda untuk melihat reaksiku mendengar cerita serammu.”

“Aku tidak mengada-ada saat bercerita. Aku adalah pria yang berkata apa adanya.”

Kali ini Jade mengetuk-ngetukkan jemari di atas meja. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan Caspian, dan dia mengerti kegelisahan macam apa yang sedang bergelayut di dalam kepalanya sendiri. 

“Sejujurnya aku bukan orang yang mudah percaya dengan takhayul,” kata Jade hati-hati. “Tapi setelah mendengar ceritamu barusan, aku tidak bisa berhenti mencemaskan tentang kematian yang dialami kakekku. Apakah menurutmu kakekku meninggal karena dia adalah orang terakhir yang memiliki kalung terkutuk ini?”

Caspian tahu-tahu menyungging senyum, seolah sejak tadi menunggu pertanyaan itu keluar dari bibir Jade.

“Untuk soal itu aku tidak tahu, Jade. Fakta bahwa kakekmu memiliki kalung ini saja menurutku adalah sesuatu yang sedikit mustahil, mengingat aku tidak mendengar berita tentang kalung ini lagi semenjak dua ratus tahun lalu―maksudku, begitulah yang tertulis di sumber. Maka dari itu, saat kemarin kau bilang memiliki kalung ini, aku semakin penasaran bercampur ragu. Dan keraguan ini datang dari sisi ilmiahku sebagai seorang kolektor. Benarkah kalung ini asli? Atau jangan-jangan ini hanyalah replika yang dibuat semirip mungkin dengan maha karya Benvilloni?”

“Menurutmu bagaimana?”

“Entahlah. Tapi mungkin kita bisa sama-sama menganalisisnya. Bukankah tadi aku bilang, siapa yang memiliki Liontin Evangeline akan meninggal dengan kematian yang tragis dan aneh?”

“Kau benar.”

“Lalu sekarang pertanyaannya kukembalikan padamu, Jade,” kata Caspian, menatap Jade lurus-lurus. “Saat kakekmu meninggal, apa yang terjadi padanya?”

“Dia meninggal … begitu saja. Dokter pribadinya menemukan Sir Bailey meninggal di atas meja kerja, diduga kelelahan dan kena serangan jantung. Tidak ada tanda-tanda kematian lain yang mencurigakan, sebab semua diagnosisnya jelas.” 

Caspian menatap Jade tanpa berkedip.

“Jadi,” kata Jade, “ini bisa disimpulkan kalau kutukan Liontin Evangeline hanyalah cerita palsu, bukan?”

“Atau mungkin kalungnya yang palsu,” kata Caspian. 

Jade mengangguk, kendati dalam hatinya, dia tidak percaya bahwa kalung itu palsu. Ini kalung yang sama dengan yang dipakai Cordelia di dalam lukisan, jadi usianya pasti sudah lebih dari tiga ratus tahun.

Ketegangan yang merambat di antara mereka mendadak saja pecah, sebab Jade mengambil kalung dengan gerakan kelewat kasar―terdengar bunyi jedukan meja yang membuat Caspian langsung mengedip, seolah-olah kegiatan merenungnya diinterupsi. 

“Ya, kemungkinan kalung ini palsu,” kata Jade, entah bagaimana merasa bahwa berdusta lebih baik untuk mengakhiri percakapan ini. “Sulit dipercaya kakekku memiliki artefak palsu. Kudengar dia seorang kolektor yang terkenal, bukan?”

“Ya, itulah anehnya. Sir Bailey tampaknya terlalu ceroboh untuk mengoleksi artefak palsu. Dia adalah yang paling senior di antara komunitas kami.” 

“Mungkin dia ditipu.”

“Mungkin beritanya sudah sampai ke telinga kami.”

“Bisa saja dia merahasiakannya dari kalian,” kata Jade, diam-diam merasa sebal. Sehebat apa sih komunitas mereka sampai-sampai semua anggotanya harus mengetahui prestasi dan kegagalan satu sama lain? Caspian tampaknya paham bahwa kata-kata Jade barusan menyatakan kesinisan pada komunitasnya, sebab raut pria itu berubah lebih muram. Dia lantas menegapkan punggung dan merogoh rokok dari kantong mantelnya. 

Jade menegur pelan, “Kafe ini bebas rokok.”

“Aku tahu.” Lalu Caspian berpaling sejenak pada jendela di samping mejanya. “Mau pindah ke suatu tempat? Aku bisa mengajakmu berkeliling kota, mumpung hari ini tidak sibuk.”

“Mm, sepertinya aku harus pulang….”

“Kenapa?” Caspian memotong, menatap Jade dengan sorot menyelidik. Sinar matahari membias pada mata birunya sehingga tampak transparan. Di situasi seperti ini, para wanita pasti akan meneguk ludah menatap betapa indah wajah Caspian di bawah siraman cahaya. “Kau ada janji dengan Cordelia?”

“Tidak,” Jade menaikkan satu alisnya. Saat menyebut nama Cordelia, ada seringai samar yang muncul di wajah Caspian, tetapi pria itu melengos lebih cepat dan berderap ke luar ruangan. Jade mengikutinya dari belakang. 

“Kalau begitu ikut saja denganku, Jade. Kita akan mengobrol lebih banyak mengenai artefak.”

“Baiklah.”

Bugatti Caspian sangat mudah ditemukan di area parkir kafe, karena terlihat mencolok―berwarna hitam mengilat, dan fasiknya futuristik. Jade bisa melihat seluruh refleksinya di badan mobil saat mereka mendekat dan membuka pintu. Bila dipikir-pikir, dia juga memiliki mobil klasik―salah satu peninggalan Kakek. Hanya saja mobil itu selalu disimpan di garasi, dan sepertinya mogok lantaran sudah lama tidak digunakan. Dave pernah bilang padanya kalau sang kakek selama satu tahun terakhir memang tidak pernah lagi keluar rumah―hanya memercayakan semua urusan pada asisten yang sesekali datang berkunjung. Jadi, mobil itu otomatis menjadi rongsokan, dan Jade selalu disela oleh kemalasan setiap kali turun ke garasi untuk membetulkannya. Aneh, padahal dulunya dia merupakan teknisi mesin.

Mobil membelah jalanan kota Ruswer yang lenggang―hanya diapit oleh bangunan-bangunan pertokoan lama yang menarik nostalgia tahun sembilan puluhan. Saat Caspian membelokkan mobil ke sebuah tikungan dan melewati kantor polisi, atensi Jade terkuras pada gerombolan orang yang mengerubungi teras depannya. Dia berpaling pada Caspian dan bertanya, “Kira-kira ada apa di tempat barusan?”

“Di mana?”

“Di kantor polisi. Ramai sekali.”

Sorot mata Caspian masih terpaku kalem pada jalanan. “Oh, mungkin kasus mumifikasi itu. Kudengar keluarga korban sampai saat ini masih menuntut kepolisian untuk mengurusnya, tetapi―kau tahu sendiri, sedikit sekali yang bisa diinvestigasi.”

“Mumifikasi … maksudmu kasus seorang perempuan yang meninggal dalam keadaan mengering itu?”

“Ya,” Caspian menengok pada Jade. “Kau dengar kasusnya juga, kan? Belakangan ramai sekali di Ruswer.”

Mendadak Jade mengingat tentang apa yang dibahasnya bersama Cordelia beberapa waktu lalu. Sampai saat ini mereka memang berusaha untuk menyelidiki sendiri tanpa menimbulkan kecurigaan perihal sangkut pautnya dengan Cordelia. Caspian sepertinya adalah sosok yang tepat untuk dimintai pendapat.

“Aku belum melihat berita lagi, karena sepertinya … televisi juga tidak banyak memberitahukan kelanjutan kasusnya,” kata Jade sungguh-sungguh.

“Orang-orang terlalu takut melihat kasus itu-itu terus. Saat diselidiki lewat kantor polisi, mereka juga tidak memberikan keterangan apa pun. Ada beberapa warga yang curiga bahwa polisi menyembunyikan sesuatu, tetapi sepertinya para aparat bersikap bungkam hanya karena mereka malu dihina tidak becus menyelidiki sesuatu.”

“Sebesar itukah kasusnya? Memangnya sampai sekarang sudah ada berapa korban?”

“Dimulai sejak dua tahun belakangan … totalnya dua belas korban yang tewas dengan cara yang sama; terlihat seolah mereka mengalami mumifikasi―darahnya terkuras habis dan  tubuhnya kering seperti kulit pohon mati. Padahal usia kematiannya kebanyakan hanya dua sampai tiga hari saja.”

“Jadi sampai sekarang pembunuhnya belum ketemu?”

Caspian menggeleng. “Ada media koran yang menyangkutpautkan berita ini dengan pembunuhan vampir, tapi di zaman sekarang … terlalu banyak orang yang sudah tidak percaya dongeng. Orang-orang butuh spekulasi ilmiah, bukan tebak-tebakan mistis.” 

“Pasti mereka pikir itu membuang waktu,” Jade mendengkus sinis. Para warga di sini tidak tahu bahwa ada monster pengisap darah yang tinggal dengannya sekarang.

“Menurutmu sendiri bagaimana?” Caspian menengok lagi pada Jade. Terbit raut ingin tahu yang terkesan jail di wajahnya. “Kau percaya kalau pembunuhnya adalah vampir?”

“Aku tidak tertarik hal-hal mistis.”

“Begitukah?” Caspian berkata dengan nada tidak habis pikir. “Bagaimana kalau kubilang vampir itu benar-benar ada di Ruswer?”

“Ada buktinya?” 

“Kematian yang sering terjadi belakangan adalah bukti yang tidak bisa disangkal.” 

“Aku butuh konspirasi selain vampir.”

“Tidak ada,” kata Caspian. “Kecuali kita mengenal mereka dengan nama berbeda.”

“Kenapa disebut dengan nama berbeda?”

“Karena terlalu janggal bila disebut vampir.” Caspian mengetuk-ngetukkan jemarinya di setir mobil. “Di dongeng-dongeng yang sering kita dengar, Jade, vampir tidak bisa mengubah korbannya menjadi mayat kering. Sebagai penguatan asumsi ini, beberapa kali muncul berita kematian misterius dimana korbannya ditemukan meninggal pada saat siang hari, di tempat terbuka yang sepi. Tidak ada vampir yang keluyuran di tengah sengatan matahari demi mencari darah mangsanya.”

“Kau benar,” kata Jade. “Jadi makhluk ini bukan vampir?”

“Bukan. Mereka punya nama lain.”

Spontan, Jade menelan ludah.

Mendadak saja raut ramah yang selama ini sering muncul di wajah Caspian luntur, bagaikan tersiram es dingin. Pria itu memberhentikan mobilnya di depan sebuah rumah bergaya victoria yang megah, dengan pagar-pagar tinggi menjulang. Besar rumah ini dua kali lipat dari rumah Walthrop Bailey. Jade menengok ke luar jendela―nyaris tidak bisa menyembunyikan ekspresi tercengangnya saat melihat kediaman Caspian, tetapi kemudian dia dengan cepat mengembalikan fokus ke pertanyaan awal. 

Caspian menatap Jade, “Kau mau tahu sebutan para makhluk itu?” lalu bibirnya melecutkan kata itu bagai kepingan kaca yang membentur bebatuan.

“Namanya abare.”[]

-oOo-

.

.

.

.

Aku terpesona sama Caspian. Dibandingkan Jade, dia punya aura tokoh utama yang lebih kuat (dari segi fisik dan sifat) awkwkwk. Tipe2 cool, kalem, ganteng. Sementara Jade lebih blangsak dan bad boy 😭😭😭

Tapi aku tetep suka sama Jade, karena dia... yah, dia cinta pertamaku di buku ini 😃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top