17. Berita

BAGAIKAN dihantam bom kesadaran, reaksi Jade bekerja lebih spontan daripada akal; pemuda itu memundurkan wajah sehingga ciuman Cordelia terlepas dari bibirnya.

Kedua mata mereka terpaut. Kilat aneh yang bersemayam dalam sorot mata Cordelia yang kelam, tetapi Jade tak mampu menerjemahkan setiap tindakan serta tutur katanya yang misterius. Atas kebuntuan ini, benaknya justru mengingat kata-kata Joseph; 

“Aku mewaspadainya, Jade. Dan kau juga harus hati-hati kepadanya. Dia bukan terlihat seperti orang yang tulus. Dia jelas menginginkan sesuatu darimu.”

“Jade?” Suara Cordelia terdengar sejuk dan manis, seperti permen yang dikudap di musim dingin. “Ada apa?”

“Apa kau mabuk?” Jade bukannya marah. Dia hanya merasa terlalu terkejut dengan aksi tiba-tiba ini. Apakah abare memiliki nafsu dan hasrat yang sama seperti manusia? Apakah mereka menganggap sentuhan di bibir sebagai manifestasi hasrat seksual, ataukah serupa gairah lapar seperti halnya mereka menginginkan darah?

Pertanyaan-pertanyaan itu menyesaki kepala Jade, meresahkannya. Betapa malang dirinya. Menangani wanita normal seperti Cassie saja dia tak mampu, sekarang dia harus memahami perilaku makhluk pengisap darah seperti Cordelia. 

“Tidak,” Cordelia menggeleng. Dibandingkan merasa malu, Cordelia sangat ahli membuat ekspresi yang sulit ditebak. Kecupan singkat barusan semata-mata dilakukan untuk menutupi rasa tidak enak karena telah secara lancang masuk ke dalam mimpi Jade. 

“Maafkan aku. Kau pasti terkejut,” kata gadis itu. Yah, andaikan Jade tahu hal buruk apa yang dilakukan Cordelia kepadanya sebelum ini, dia pasti marah besar.

“Kau menginginkan darahku?” tanya Jade. Tangan terangkat meraba leher. 

“Aku tidak lapar.”

“Tidak lapar? Kau serius?” Kemudian Jade berhasil menjernihkan pikirannya kembali. Pemuda itu duduk tegak sambil mengingat-ingat sesuatu. “Aku tak pernah melihatmu makan sebelum ini, Cordelia. Lalu tadi, saat kita bertiga menonton film, aku baru menyadari kau makan keripik kentang. Apa sekarang hasrat laparmu sudah kembali?”

“Ya ….” 

“Itu bagus. Kalau begitu aku tak perlu menyediakan darah untukmu, bukan?”

“Sebetulnya aku sudah meminum darahmu sebelum ini.” Cordelia memandang mata hijau Jade yang serupa lumut, menanti pemuda itu membuat reaksi murka, lalu berakhir membencinya. Namun, Jade hanya menatapnya terkejut selama beberapa saat, dengan kening mengernyit, seolah-olah tengah berusaha mengingat sesuatu. Cordelia memberinya penjelasan jujur, “Saat kau terluka, Jade, aku membawamu ke tempat tidur dan meminum darahmu di sana.”

“Kau meminum darahku…?”

“Maaf karena tidak meminta izin. Saat itu aku juga terlalu lemah.”

Jade menekan sisi lehernya dan berusaha mengumpulkan kepingan ingatan, tetapi yang dia ingat hanyalah rasa sakit yang menusuk-nusuk … mimpi yang aneh … anggur pekat berwarna merah … apa dia benar-benar larut dalam ketidaksaran sampai-sampai tak merasakan taring Cordelia yang terbenam dalam lehernya?

“Kau tidak mengingatnya karena saat itu kau tidak sadar,” kata Cordelia, seolah memahami apa yang sedang dipikirkan Jade. "Lagi pula aku tidak mengisap darah dari lehermu. Aku meminum darah yang merembes dari luka di perutmu."

Jade mengerutkan kening, tidak repot menunjukkan ekspresi mual.

"Itu tidak sakit, kan?" kata Cordelia.

“Sepertinya aku ingat rasa sakitnya.”

“Seberapa buruk?”

“Buruk sekali, tapi ... sudahlah, sekarang aku sudah tidak apa-apa.” 

Rangkaian kejadian buruk yang selalu menimpa Jade selama ini membuatnya semakin yakin bahwa mengeluh adalah pekerjaan dungu dan sia-sia. Sejak bertemu Cordelia, Jade tahu bahwa kehidupannya tak lagi sama, bahwa dia akan mengalami pasang surut yang membuat emosinya bergejolak, bahwa dia harus siap menjadi budak darah yang sepanjang waktu harus selalu menyediakan sumber makanan untuk abare. 

Dahulu, fakta ini membuatnya terguncang secara emosional, sehingga rasanya Jade ingin melempar kemurkaan pada apa pun di sekitarnya. Namun sekarang, setelah memberi kesempatan untuk tinggal bersama Cordelia, rasanya seolah tugas menjadi budak tidak terlalu berat untuk dipikul. Jade tidak tahu apakah sikapnya ini adalah bentuk keikhlasan atau keputusasaan.  

“Cordelia, boleh aku bertanya sesuatu?”

“Ada apa?” 

“Apakah darah selain dariku tidak bisa menggantikan rasa laparmu?” 

“Ada perbedaan antara rasa kenyang dan puas. Aku bisa memakan makanan jenis apa pun sampai perutku kenyang, tetapi rasa puasnya tidak akan sama seperti saat aku meminum darah dari budak.” 

“Jadi, saat kau memangsa anjing itu ….”  

“Hanya untuk meredakan rasa laparku,” sahut Cordelia. “Aku memilihnya karena kupikir itu mirip seperti darahmu yang biasa kuminum, tetapi rasanya tetap berbeda.” 

Untuk sekilas, tampak raut pedih Cordelia. Gadis itu menurunkan pandangan dan berkata dengan nada lemah. “Jade, semakin mengenalmu, semakin aku terbuka dengan seluruh emosi dan isi hatimu. Aku tidak tahu pasti sejak kapan perasaan ini berkembang, tetapi setiap kali memikirkanmu, aku merasa menjadi satu-satunya orang kejam yang menjebakmu di sini. Aku ini bersalah, tapi aku tidak tahu bagaimana cara untuk berhenti. Aku tidak ingin mengisap darahmu, tetapi tubuhku tak mengenal penyesalan itu.”

Kata-kata tersebut membuat Jade termenung dengan suatu cara yang sulit dijelaskan. Wajah Cordelia yang terimbas sinar bulan tampak bercahaya; memberi Jade kesempatan untuk menggali kebenaran di dalam dua kelereng hitam itu. Entah apakah ini suatu kebetulan ataukah hanya khayalan, tetapi iris mata gadis itu memantulkan kemilau yang mirip seperti kolam permata. Bukan sumur yang penuh kekosongan. Barangkali ini adalah ekspresi Cordelia yang paling tulius dan jujur.  

“Kau tidak perlu merasa bersalah,” kata Jade. “Seperti katamu waktu itu. Ini bukan kehendakmu maupun kehendakku, melainkan takdir. Dan kita akan terus mengupayakan cara untuk membuat ingatanmu kembali.”

“Tetapi tetap saja aku mematahkan janjiku di awal. Seharusnya aku menunggu izin darimu.”

“Tidak perlu menunggu izin dariku. Karena sekarang kita terikat satu sama lain, kau boleh meminta padaku kapan pun kau mau.”

-oOo-

Sambil menggigit roti gulung sosis dengan satu lahapan besar, Jade menghadap laptop seraya mengetik barisan pesan di layar. Sama sekali tidak memperhatikan Joseph yang sibuk mengoceh tentang film horor maupun presensi Cordelia yang mondar-mandir di sekitar dapur. Kesadaran Jade tersentil ketika mendengar Joseph memanggilnya berkali-kali.

“Oh, ada apa?” Jade melepas earphone di telinganya sambil mendongak pada Joseph yang berdiri di dekat kulkas.

“Astaga, apa kau tidak dengar ceritaku sejak tadi?”

“Tentang mantan bosmu di Palmer?”

“The Conjuring!” 

“Ya, oke. Kau tidur di satu jam pertama film itu tayang.”

“Yeah, aku memang tidur, tapi pagi tadi aku menonton lanjutannya sampai habis. Jangan ketawa!” Dia menggerutu sewot pada Jade yang menyemburkan tawa mirip batuk palsu. “Demi Tuhan. Ini masih terlalu pagi untuk marah-marah. Omong-omong sepertinya di hadapanmu ada sesuatu yang lebih menarik dariku. Apa yang sedang kau kerjakan?”

“Oh, aku baru membalas pesan Caspian.”

“Caspian?” Joseph dan Cordelia sama-sama menyerukan nama itu. 

“Ya, Caspian Pelleanore, kolektor barang antik yang kukenal.” Jade menatap Cordelia dan entah mengapa berniat menjelaskan panjang lebar pada gadis itu. “Dia mengirimkan pesan untuk mengajakku bertemu minggu ini di sebuah kafe dekat pusat kota … membahas beberapa artefak, begitulah. Katanya ada seorang teman yang sedang mencari sesuatu dari koleksi Walthrop.”

“Lalu kau akan datang?” Joseph mengerutkan kening. 

“Tentu saja. Hanya orang bodoh yang menolak uang.” 

“Materialistis.” 

Cordelia menatap Joseph, dan pemuda itu langsung melotot. “Apa? Kau tidak tahu kosa kata itu?” 

“Hei, hei, sudahlah,” Jade mencopot earphone, menutup laptop, lalu bangkit dari kepala meja makan. Atensinya praktis berpaling pada pemandangan di luar jendela, yang berupa langit biru cemerlang tanpa awan. Entah bagaimana, setelah menghabiskan obrolan hangat bersama Cordelia, kini hati Jade tidak digelayuti awan kelabu yang membuatnya diliputi ketakutan. Dan melihat langit cerah membuat semangatnya terpetik lagi. 

“Bagaimana kalau kita keluar?” Tawaran Jade membuat Joseph dan Cordelia terkesiap. 

“Ke mana?” tanya Cordelia. 

“Entahlah, mungkin ….” Jade menatap Cordelia dari atas sampai bawah, tampak terkesan dengan rok balon selutut yang kali ini dikenakannya, sekaligus merasa sedikit sesak. Cordelia memang selalu tampil memesona laksana boneka antik yang menyimpan misteri, tetapi tetap saja dandanan seperti ini akan sangat menyita perhatian publik.

“Menurutku, Cordelia, kalau kau ingin tinggal di Ruswer, kau juga harus terbiasa dengan budaya modern yang ada. Maksudku, aku tidak keberatan membelikanmu dua atau tiga potong setelan yang lebih trendi.”

-oOo-

Ruswer tidak seperti Palmer yang bisa dibilang memiliki intensitas keramaian yang sama seperti New York. Kota ini sedikit lebih konvensional―jarang, atau bahkan tidak mengadopsi keramaian pusat kota yang kental dengan budaya modern dan bermewah-mewahan. Sebagian besar toko-toko yang mengisi gang sempit masih dibangun seadanya dari beton atau bata, dengan palang-palang nama yang sedikit kumuh dan sudah miring atau penyok. 

Tanpa kehadiran Joseph (yang memilih beristirahat di rumah lantaran sibuk memasukkan resume pekerjaan baru ke beberapa perusahaan via online), Jade dan Cordelia memasuki sebuah toko pakaian yang menyempil di antara tempat minuman dan toko kelontong. Ruth, sang pemilik toko, luar biasa kaget (lebih tepatnya kagum) saat melihat Cordelia, yang masuk ke tokonya menggunakan potongan gaun dengan rok mengembang sebatas lutut. Dia mengira Cordelia masih berusia empat belas tahun, dan memanggilnya dengan sebutan “Anak manis”, tetapi Jade mengoreksi kesalahpahaman itu dan memberitahu apa yang mereka inginkan.

“Oh, jadi kau butuh pakaian biasa?” 

Ruth menatap Cordelia dari atas dan bawah, menilai-nilai setelan seperti apa yang cocok untuknya.

“Terus terang saja, kau sepertinya cocok mengenakan model apa pun. Tapi karena tubuhmu kurus, kau bisa memilih potongan yang lebih besar dari ukuran asli … ini dia.” Ruth mengambil beberapa pakaian dari rak gantung. “Kusarankan menggunakan pakaian berbahan rajutan dan denim. Pegang ini, Nak. Sweater hitam cocok untukmu, tetapi supaya tidak kelihatan kurus, kupilihkan yang sedikit bermotif … lalu mantel ini hangat dan tebal. Kaus cokelat beaver ini bisa menyamarkan warna pucat kulitmu ….”

Selagi Cordelia masih sibuk dengan Ruth, Jade pamit keluar untuk mampir sebentar ke toko elektronik yang hanya berjarak beberapa langkah saja. Dia membeli ponsel baru sebagai ganti ponsel lamanya yang telah dirampas, dan memastikan kali ini tidak ada tangan bedebah yang berniat buruk lagi. Selepas mengantongi ponsel, Jade kembali ke toko Ruth. Dia baru saja mendorong pintu kaca ketika melihat Cordelia sudah berdandan dengan setelan barunya.

Gadis itu mengenakan gaun musim panas selutut yang bercorak alam, dilapisi atasan jaket denim berwarna hitam. Rambutnya sebagian ditahan di belakang mengenakan jepit mungil yang cantik. Penampilan Cordelia dalam busana gaun klasik kelihatan elegan dan dewasa, tetapi penampilannya yang sekarang terlihat lebih segar dan manis. Kendati sudah tinggal beberapa hari bersama gadis belia ini, Jade masih saja kesulitan mengendalikan ekspresi wajah. Padahal dia tidak mau kelihatan seperti pemuda tolol yang gampang terpesona hanya karena menatap fisik lawan jenis. 

“Bagaimana penampilanku?” Cordelia berputar anggun untuk meminta pendapat Jade mengenai pakaiannya. 

Jantung Jade berdebar tanpa permisi saat menyaksikan gerakan gemulai Cordelia. Rambutnya tersibak sampai menampakkan leher putihnya yang jenjang, dan Jade harus membuat alasan agar dirinya tak kebanyakan memandangi titik yang sama terus-menerus. Akhirnya pemuda itu jelalatan di sekitar lantai sambil menggaruk-garuk tengkuk.

“Dia cantik, kan?” 

Ruth memegang kedua lengan atas Cordelia seakan sedang memperkenalkan putrinya. Ditatap oleh dua orang ini menimbulkan desakan halus di perut Jade. Dia ingin melewatkan sesi tanya jawab dan langsung membayar saja pakaiannya. 

“Ya, cantik,” kata Jade, tetapi tidak mau repot-repot menatap Cordelia. Pemuda itu langsung pergi ke meja kasir dan mengeluarkan kantong kain kecil yang sementara waktu ini menjadi pengganti dompetnya yang dirampas. “Berapa pakaian yang harus kubayar?”

“Dia mengambil tiga potong pakaian, dan aku memberinya bonus syal putih,” lalu Ruth menyebutkan nominal harga yang bagi Jade sama sekali tidak mahal. Jade dirubung keseganan karena merasa tak layak menerima potongan sebesar ini, tetapi Ruth tersenyum keibuan seraya membalas riang, “Tidak apa-apa. Aku senang bertemu dengan gadis itu … siapa namanya tadi?”

“Cordelia.” Jade menengok sekilas pada Cordelia yang saat ini masih mematut di hadapan cermin sambil memperhatikan penampilannya yang baru. 

“Ya, Cordelia. Pesona gadis itu mengingatkanku pada seseorang yang sebelumnya datang kemari juga.”

“Oh, ya? Dia wanita cantik juga?” 

“Bukan, bukan,” Ruth mengibaskan tangannya di udara dan raut wajahnya berubah seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. “Dia seorang pria, dan namanya … astaga, aku lupa menanyakannya. Pokoknya dia memiliki ketampanan yang unik. Rasanya seperti bukan berasal dari dunia nyata.” 

“Aku berharap kau akan mengatakan dia tampan seperti aku,” Jade nyengir kecil hanya demi basa-basi. 

“Kau juga sangat tampan, tapi orang ini berbeda.” Ruth tertawa sambil menepuk-nepuk permukaan meja, diam-diam merona juga saat menatap wajah Jade lama-lama. Kemudian wanita itu menghela napas lega, “Ya sudahlah, pokoknya aku senang kalau tokoku menjadi destinasi orang-orang seperti kalian. Kapan-kapan mampirlah lagi kemari.” 

“Terima kasih, Ruth,” lalu Jade mengajak Cordelia pergi dari toko pakaian. 

Perjalanan mereka tidak berhenti sampai sana. Karena sudah hampir jam makan siang, Jade menggiring Cordelia memasuki tempat makan sederhana yang jaraknya tak begitu jauh dari toko elektronik. Mereka memesan burger dan pasta, lalu menunggu pesanan di salah satu bangku yang dempet dengan jendela kaca besar.

Cordelia, masih dengan gayanya yang anggun, secara kalem menyapu pandang seluruh kedai makan. Jade mengantisipasi hal-hal yang secara naluriah akan dia lakukan―menjelaskan segalanya. Namun, ditunggu beberapa lama, ternyata Cordelia tak memunculkan daya penasaran seperti biasa. 

“Apa kau kurang bersemangat saat kuajak kemari?” tanya Jade, sambil sedikit-sedikit menatap layar ponsel. Dia memanfaatkan sedikit waktu luang ini untuk mengunduh beberapa data lamanya dari email

“Tidak,” Cordelia menggeleng. “Aku senang. Pakaian ini pas di tubuhku.” 

Dua pengunjung yang duduk tiga baris di depan mereka tampaknya mendapat perhatian khusus dari Cordelia. Jade yang menyadari hal itu bertanya lagi, “Kenapa kau melihat mereka?”

“Seperti itukah penampilan gadis di masa ini?” Cordelia memperhatikan pakaian sepasang anak muda di seberang meja. Keduanya mengenakan tank top crop yang dipadukan dengan celana jins ketat yang panjangnya tidak sampai separuh paha. “Ini musim dingin, kenapa mereka menggunakan pakaian yang kurang bahan?”

“Kau sudah pernah melihatnya di televisi. Seharusnya tidak perlu kaget.”

“Melihatnya secara langsung begini … tetap saja aneh,” kata Cordelia, lalu berpaling pada Jade. “Yang menjadi masalah adalah mereka tidak malu untuk menggunakan seperti itu di muka publik.” 

“Orang-orang di abad dua puluh ini sudah tidak relevan dengan budaya berbusana pada zaman abad pertengahan,” kata Jade, menjejalkan kembali ponselnya ke dalam saku. “Sama halnya seperti teknologi, gaya berbicara, sampai serangkaian aturan di level sosial masyarakat dan politik. Kalau kau ingin berbaur di lingkungan dan zaman yang berbeda, berhenti melempar protes dan terimalah dunia ini apa adanya.”

“Apa yang biasanya dibicarakan oleh gadis-gadis seumuranku?” 

“Mm,” Jade berpikir sebentar. “Di zaman sekarang, kebanyakan anak muda menyukai pembicaraan tentang popularitas dan status sosial. Mereka melakukan hal-hal tidak penting di internet hanya untuk mendapatkan apresiasi dan aktualisasi diri.”

“Apresiasi dan aktualisasi diri? Maksudmu seperti penghormatan?”

“Ya, semacam itu. Kebutuhan untuk dihormati, diakui, dan didukung secara moral. Mungkin di zamanmu, penghormatan seperti itu hanya bisa didapatkan oleh orang-orang yang sejak kecil terlahir dengan sendok emas―maksudnya, para bangsawan dan aristokrat, atau orang tertentu yang memiliki hubungan khusus dengan para petinggi dan kelas royal. Tapi sekarang, hampir semua orang bisa mendapatkan penghormatan lewat cara apa pun. Tergantung bagaimana orang lain melihatmu sebagai apa, kalau kau berguna bagi mereka, mereka akan menghormatimu.”

“Sepertinya itu juga berlaku di zamanku.”

“Oh, tidak, yang ini berbeda. Kau bisa naik ke status paling atas hanya karena memosting tubuh telanjang atau mencari sensasi di media sosial.”

Cordelia membeku beberapa detik lebih lama dari biasanya. “Serendah itu?”

“Harga diri bisa dengan mudah diangkat atau dijungkirbalikkan lewat aksi sekecil apa pun.”

“Aku tidak percaya kau hidup di zaman seperti ini!” Kemudian Cordelia melirik dua pengunjung di seberang, lalu bertanya lagi dengan nada rendah, “Jadi, apakah gadis-gadis berpenampilan nyaris telanjang di sana juga sedang melakukan―apa tadi katamu? Apresiasi dan aktualisasi diri?”

“Ya, tapi jangan terlalu mudah menganggap semua orang rendah hanya karena mereka berpakaian minim. Dinamika dunia ini rumit, Cordelia. Seperti halnya kau yang memiliki kerangka berpikir di abad pertengahan, orang-orang di zaman ini memiliki prinsip dan penilaian sendiri atas kebebasan. Amerika adalah negara liberal―orang-orangnya menjunjung tinggi kemerdekaan batiniah dan menolak segala bentuk pembatasan. Jadi sudah wajar bila kau menemukan orang lain telanjang di tengah publik hanya karena mereka berpikir pakaian adalah sampah yang mengganggu.” 

Cordelia menggeleng tidak habis pikir, lalu beberapa detik kemudian menyembur tawa lebih lebar dari biasanya. Jade dibuat terkejut karena reaksi tiba-tiba ini. “Kenapa kau tertawa?”

Cordelia menutupi cengirannya dengan tangan, lalu berusaha mengumpulkan kendali. “Wajar, katamu? Kurasa itu konyol, Jade. Menjunjung tinggi kebebasan dan menolak pembatasan? Maksudmu, di sini semua orang bisa berbuat sebebas mungkin?”

“Kebebasan itu tetap diatur oleh hukum, tapi intinya sama; kebebasan kita sangat luas.”

“Baiklah, kalau aku telanjang di sini, apakah aku akan ditangkap polisi?”

Kata-kata yang meluncur spontan itu membuat Jade seketika membayangkan yang tidak-tidak. Dia menarik napas dalam-dalam dan berusaha menahan dirinya untuk tidak berbuat salah tingkah. 

“Aku pun dapat memaklumi kalau kau tidak bisa menerima penjelasanku semudah orang lain. Kau kan bukan bagian dari peradaban ini. Dan sebenarnya aku bukan seorang liberalis. Jadi, yeah, sepertinya aku sangat paham mengapa kau bilang penduduk Amerika itu konyol.”

Obrolan mereka secara alami berhenti ketika seorang pramusaji datang memberikan pesanan. Tepat saat itu, televisi yang diletakkan di dinding atas kedai makan berganti saluran. Seorang pembawa acara perempuan memberitakan sebuah kasus yang semalam terjadi di Ruswer, tidak jauh dari kawasan tempat mereka bermukim. Jade membaca judul berita pada teks bergulir di layar, dan langsung terperenyak kehilangan kata-kata;

“Mayat Wanita Ditemukan dalam Keadaan Kering; Monster Pengisap Darah Kembali Beraksi”[] 

-oOo-

.

.

.

.

.

Eeeey, buku ini isinya bukan tentang Jade sama Cordy aja yaak. Kedepannya bakalan banyak misteri yang harus diungkap 😃👍🏼

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top