16. Film

HASRAT seksual” adalah pemilihan kata yang keliru untuk menjelaskan sudut pandang Joseph mengenai Cordelia. Namun, bila yang dimaksud Joseph adalah hasrat Cordelia untuk membunuh, atau hasrat untuk menjadikannya mangsa untuk memuaskan dahaganya terhadap darah, Jade tentu setuju. 

“Kau ini benar-benar …,” Bibir Jade merapat menjadi segaris tipis penuh kemurkaan, seolah-olah siap menerjang menghajar mulut Joseph sampai semua giginya rontok. “Bersihkan otakmu yang cabul itu! Bagaimana bisa kau berpendapat serendah itu tentang saudaraku?”

“Yang ini serius.” Joseph merundukkan kepala dan berbicara dengan nada bersekongkol. “Kau tahu aku ini ahli dalam membaca gerak-gerik. Ada sesuatu yang berbeda ketika aku melihat Cordelia, Kawan. Aku tidak bisa menjelaskan secara ilmiah tentang firasat batin yang kurasakan ini … dia―gadis itu―terlihat seperti … menyimpan obsesi terhadapmu.”

Obsesi. Jade mengulang kata itu sambil mendengkus sinis. Obsesi menjadikannya budak darah.

“Kau hanya merasa aneh dengan dandanannya.” 

“Dandanannya memang sedikit unik, tapi menurutku gerak-geriknya yang paling mencurigakan,” kata Joseph. “Yeah, walau kuakui dia tampak memesona dalam balutan gaun-gaun klasik victorian itu. Seperti boneka antik, tapi seram dan sulit didekati. Entah karena boneka itu disimpan terlalu lama di dalam lemari atau karena boneka itu sudah mengalami banyak pengalaman mengerikan. Dia seperti … kuno secara alami. Dan caranya bertindak serta berkata-kata juga membuatku lebih ngeri lagi. Kau juga merasakannya, kan?”

“Jangan ngawur.” Jade mengibaskan tangan di udara dan lanjut meneguk minuman sodanya. “Dia hanya cewek biasa yang menyukai berdandan seperti boneka antik.”

Joseph mengetuk-ngetukkan jemari pada permukaan kaleng yang sudah kosong, sementara pikirannya berputar seperti katrol.

“Kau tahu, Jade," celetuknya, "sejak ibumu meninggal, aku mulai khawatir padamu.”

Jade tidak membalas apa pun dan memutuskan mendengarkan kawannya.

“Aku setuju dengan Cassie yang mengatakan kalau kau berubah. Kupikir itu hanya kondisi sementara yang akan segera hilang, karena―kau tahu, sewaktu ayahku meninggal, aku juga sempat stres dan kacau. Namun, waktu menyembuhkan semua duka yang kurasakan. Aku menyangka kau akan mengalami hal yang sama sepertiku. Aku kira kau juga akan lambat laun menerima kematian ibumu dan melanjutkan langkah, tetapi ternyata….”

“Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu, Josh?” Jade berpaling menatap kawannya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Apa aku masih saja terlihat menyedihkan di matamu?”

“Kau tidak seperti Jade yang dulu.”

“Memang bukan, karena aku hidup di masa sekarang.”

“Tidak. Kau terjebak di masa lalu.”

Kemudian, hanya terdengar detik jam yang mengiringi kehampaan di antara mereka. Joseph akhirnya mengakhiri pembicaraan itu dengan berkata tegas, “Apa pun yang terjadi, kau harus menjaga dirimu. Jangan sampai menyeret-nyeret dirimu ke berbagai masalah yang tidak bisa kau selesaikan. Dan, soal gadis itu ….”

“Cordelia?”

Joseph mengangguk. “Aku tidak membencinya, tapi aku mewaspadainya. Dan kau juga harus hati-hati kepadanya. Dia bukan terlihat seperti orang yang tulus. Dia jelas menginginkan sesuatu darimu.”

Kemudian Joseph melenggang pergi dari ruangan, meninggalkan Jade duduk malas di sofa sambil memandangi karpet dengan pandangan kosong.

-oOo-

Malam berikutnya, Joseph mengajak mereka untuk menonton film. 

“Tidak, lebih baik aku tidur saja,” Jade yang baru saja berendam dari kamar mandi, mengerang berat. Sementara Joseph hanya menggerutu sambil tertawa sinis, seolah itu adalah cara lazimnya untuk melayangkan protes. Pemuda itu menunduk di atas rak kaca mungil yang memuat berbagai macam DVD horor. 

“Ayolah, Jade. Kau butuh hiburan sekali-sekali. Coba lihat … bagaimana bisa kau tak memberitahuku tentang kaset-kaset lama ini? The Exorcise? Wow, aku belum pernah nonton ini. Katanya ini horor paling seram sepanjang sejarah.”  

“Yeah, sepanjang sejarah di tahun 1976, lebih dari lima dekade lalu.”

Jade mengempaskan diri di sofa ruang tengah sambil menggusak rambutnya yang basah dengan handuk, sementara Cordelia, yang sepertinya penasaran dengan kaset-kaset di tangan Joseph, pelan-pelan membaur untuk melihat tumpukan DVD dari dekat. Raut wajahnya sedikit berubah saat menatap gambar-gambar mengerikan yang ada di sampul kaset―ekspresi tertarik, tebakan Jade. Belakangan ini dia menjadi ahli membaca intensi Cordelia hanya dari parasnya. 

Maka Jade secara praktis menjelaskannya, “Ini sama seperti tayangan yang biasa kau lihat di televisi. Bedanya yang ini dalam bentuk kaset DVD.”

“Ini disebut kaset DVD?” Cordelia menunjuk satu yang sedang dipegang Joseph. 

“Ya. Baru muncul di pertengahan tahun 1900.”

“Hei, Bung! Kau ini ngomong apa?” Joseph tahu-tahu menyela pembicaraan mereka. Rautnya menyiratkan kebingungan yang luar biasa tentang sikap kawannya yang menjelaskan hal seaneh itu kepada seorang gadis.

Di sisi lain, Jade baru saja sadar tentang apa yang dilakukannya. Karena terbiasa menjelaskan tanpa pikir panjang, Jade menjadi kurang waspada terhadap situasi. Pastinya ini dipengaruhi gelombang pikiran Cordelia yang kelewat sulit untuk ditolak.  

“Kau baru saja menjelaskan apa itu kaset DVD kepada Cordelia?” kata Joseph. 

“Dia memang tidak tahu. Karena Cordelia tinggal di desa, akses teknologi si sana masih sulit.”

“Kau serius?” Joseph berpaling pada Cordelia. “Ini 2026!”

“Kau tahu suku Amish yang biasanya tinggal berkelompok di pedalaman? Mereka hidup sederhana dan lambat dalam mengadopsi teknologi modern. Selama ini Cordelia tinggal di perbatasan Barrow bersama keluarga Amish-nya yang masih tersisa. Wajar bila dia membutuhkan banyak pengetahuan soal ini.”

“Suku Amish?” Joseph mengernyit, kali ini rahangnya ikutan jatuh. “Aku tidak pernah dengar yang seperti itu. Dan lagi, nenekmu orang Amish?”

“Ya, begitulah. Mereka sungguh-sungguh ada, semacam kelompok persekutuan gereja Kristen konvensional.”

Mulanya, Joseph tidak mau percaya begitu saja. Namun, keseriusan di wajah Jade membuatnya ragu tentang asumsinya sendiri. 

Sementara itu, Cordelia memilih bungkam dan membiarkan pembicaraan ini mengalir di bawah kontrol Jade. Orang ini cerdas, begitu pikirnya. Walaupun kecerdasannya lebih banyak dipakai untuk berdusta dan mengada-ada. Namun, kemampuan intelektualnya tentang informasi unik dan aspek sejarah lainnya sungguh tidak terduga-duga. Nanti Cordelia akan bertanya pada Jade apakah suku Amish itu benar-benar ada. 

“Oke, oke, sepertinya aku pun kena serangan plot twist di sini,” kata Joseph. Raut Cordelia yang bertanya-tanya membuatnya antuasias untuk menjelaskan. “Kau juga tidak tahu apa itu plot twist, Nona? Karena aku seorang editor naskah, maka akan kujelaskan―itu adalah situasi dimana seseorang dipelintir oleh kenyataan yang berbeda dari apa yang semula mereka duga. Kukira kau aneh karena kau memang aneh, maksudku―” Joseph memutar-mutar jari telunjuknya di dekat pelipis, seolah ingin mengatakan bahwa Cordelia mengidap isu tertentu di kepalanya, “Kau tahu, kau memang tidak seperti cewek kebanyakan. Bukan masalah kau kelewat cantik atau pakaianmu yang terlalu antik, tapi ada sesuatu yang membuatmu kelihatan tidak seperti cewek modern. Sekarang aku tahu kenapa Jade tidak menyangkal saat aku bilang dia ingin menjagamu dari sesuatu.”

Cordelia menaikkan alis penasaran, dan Jade langsung berubah malu. “Hei, Josh….”

“Kau memang … kuno. Tempat ini penuh bahaya buat cewek-cewek sepertimu.” Lalu Joseph memandang Jade dengan ekspresi sarkastik. “Semoga saja ini hanya kasih sayang di antara abang-adik, oke?”

“Josh, kau ini ngomong apa, sih?” Jade membalas agak sewot, dan Cordelia yang mendengar percakapan itu tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Apakah dia tidak salah mendengar kalimat Joseph, bahwa Jade ingin menjaganya dari sesuatu? Menjaganya? Kosa kata itu terlalu suci untuk mendefinisikan apa peran Jade untuknya. Pemuda itu hanyalah budak darah, tidak lebih. Dia tidak perlu menjaganya dari sesuatu, karena yang butuh dijaga adalah dirinya. Jade hanyalah manusia normal yang rentan mati …. 

Menjaganya

Namun kata-kata itu tetap membuat Cordelia terperenyak lama.

“Baiklah, jadi kita menonton film atau tidak?” Cordelia tahu-tahu mengganti topik, berusaha menyingkirkan kejut statis aneh yang menjangkiti dasar perutnya. Gadis itu duduk di samping Joseph sambil mengeluarkan beberapa kaset DVD yang mendorong rasa penasarannya. “The ExorciseSinisterInsidious … kenapa nama-nama film horor ini terdengar aneh?”

“O-oke, bagaimana kalau ini?” Joseph mencabut salah satu kaset dan menunjukkannya pada Cordelia dan Jade secara bergantian. “The Conjuring. Ini film waktu umurku tiga belas tahun. Aku belum pernah menontonnya. Jade, kau mau, kan?”

Jade berdecak, “Terserah. Aku mau tidur saja.” 

Lalu saat Jade beranjak dari sofa, Cordelia menahan lengannya. Pemuda itu berputar dan menunduk. Wajah Cordelia menatapnya datar dari bawah. 

“Kau harus ikut menonton,” katanya. 

Satu kalimat itu lagi-lagi membuatnya tunduk.

-oOo-

Hanya butuh tujuh puluh menit bagi Joseph untuk tertidur setelah mereka memutuskan menonton film horor. 

Setelah menjerit-jerit sambil menutupkan bantal pada mukanya, energi Joseph habis juga sehingga akhirnya dia jatuh tertidur dengan kepala terlempar di sandaran sofa. Sementara Jade dan Cordelia masih sama-sama terjaga dan menonton film―The Conjuring―dengan ekspresi datar. Tidak di antara mereka yang melempar percakapan, sampai akhirnya Cordelia menyerah dan bertanya pelan, “Kau tidak takut menonton film ini?”

Dia menjawab sama tidak minatnya dengan ekspresinya; “Tidak. Kau bagaimana?”

“Tidak juga.”

Kemudian mereka berdua saling berpandangan. 

Cordelia menunjuk Joseph yang tertidur di petak sofa sebelahnya dengan mulut terbuka. Dari sana terdengar dengkur yang kerasnya menyaingi volume televisi. “Suaranya mengganggu sekali,” keluh Cordelia.

“Dia tidur seperti gajah dibius,” kata Jade, kemudian nyengir samar. Cordelia tidak membalas senyumnya dan hanya memperhatikan wajah Jade lekat-lekat. Sang pemuda, yang akhirnya merasa malu juga karena ditatap seperti itu, kembali menampakkan wajah ketusnya dan menawarkan lirih, “Mau diakhiri saja nontonnya?”

“Kurasa tidak. Sebentar lagi filmnya habis.” Cordelia melengos dari wajah Jade dan kembali menatap layar televisi. 

Suara dari televisi (dan juga dengkur Joseph) terdengar keras dan bersahut-sahutan. Di antara bising yang mengganggu, Jade dan Cordelia duduk dengan hikmat di atas sofa sambil berbagi selimut. Jade mengangkat kaki dan menumpangkan dagunya di atas lutut yang dilipat, sementara Cordelia hanya duduk bersila di sampingnya sambil sesekali mengunyah stik kentang yang hampir melempem. 

Menuju akhir film, intensitas ketegangan meningkat. Cordelia tampaknya mulai menemukan keseruan sehingga dia menjelma menjadi patung yang memelototi layar. Sementara Jade menangkap perubahan gadis itu ketika tak sengaja melirik Cordelia dan melihat tatapan matanya membola tanpa berkedip. Kalau sedang serius begini, dia kelihatan seperti gadis remaja normal. Tidak ada aura seram yang melekat di separuh wajahnya yang bersinar karena sinar plasma televisi. 

Lucu, begitu menurut Jade. Beberapa menit lalu Cordelia seakan jemu menyaksikan adegan-adegan seram di layar, tetapi sekarang dia terlihat sangat menikmati. Stik kentang di jepitan jemarinya bahkan teranggurkan begitu saja. 

Tapi, tunggu….

Sejak kapan Cordelia mulai makan sesuatu?

Jade mulai memikirkan banyak jawaban sehingga dia tak lagi fokus menonton film. Karena merasa bosan (dan tak mau mengganggu kesibukan Cordelia), akhirnya pemuda itu bangkit dari sofa. Cordelia bahkan tidak mengatakan apa-apa saat beban di samping sofanya terangkat (atau mungkin dia tak menyadari). Sementara Jade berduyun keluar dari ruang tengah, lalu membuka pintu utama dan―seperti biasa―duduk di undakan teras. 

Dia merogoh kantong di celana dan mengeluarkan satu pak rokok yang sudah menipis dan penyok, lalu menarik satu batang dan menyalakan ujungnya dengan geretan yang selalu dia bawa. 

Lantas tumpahlah malam itu ke keheningan kabut yang membekukan. Jade menyelipkan rokok di bibirnya dan mengisapnya dalam-dalam, lalu melepaskan uap yang serupa asap keperakan ke langit yang tersadur cahaya bulan. Selama beberapa waktu, benaknya hampir tidak memikirkan apa-apa selain pertanyaan-pertanyaan kecil tentang rumah ini. Apakah dia akan tinggal di sini selamanya? Mengapa Kakek menyembunyikan warisan sebesar ini darinya, dan apa yang kakek simpan di setiap pelosok dan sudut rumah ini yang belum Jade ketahui? 

Pertanyaan-pertanyaan itu mengalir tanpa jawaban pasti. Dia hanya duduk terdiam dan membiarkan senyap malam terseret ke jam-jam yang mengantuk dan membosankan. Ketika Jade memiliki pikiran untuk mengakhiri kegiatan merokoknya, seseorang mengejutkannya.

“Tidak bisa tidur?”

Cordelia duduk di sebelahnya dengan gerakan pelan seperti angin. 

Jade menggeleng seraya menatap cabang-cabang pepohonan di halaman yang berayun hikmat. “Kau sendiri tidak tidur?”

“Setelah filmnya habis, kantukku hilang.” Lalu Cordelia menatap batang rokok yang terjepit di jari Jade. “Jadi, apa benda itu seperti cerutu?”

“Ya, ini versi yang agak modern,” Jade mengayunkan rokok itu dengan pelan. “Masih ada yang jauh lebih modern lagi, namanya vape―semacam rokok elektrik. Tapi aku tidak cocok menggunakannya.” 

“Baiklah, Tuan Jade yang sangat informatif. Kapan pertama kalinya cerutu ditemukan di dunia?” 

Jade menatap wajah Cordelia seolah geli dengan panggilannya. “Cerutu sudah ada jauh sebelum kau lahir di dunia ini. Seharusnya kau yang lebih tahu.”

Ujung bibir Cordelia berkedut, dan Jade nyaris―nyaris saja―menangkap senyum yang sangat jarang dia lihat. Pemuda itu bertanya lagi, “Memangnya kenapa kau menanyakan begitu padaku? Kau pikir aku Wikipedia?”

“Apa itu Wikipedia?”

“Semacam mesin pencari lewat internet. Kau ketikkan kata apa pun di alamat browser, lalu jutaan tautan informasi akan keluar. Lain kali lihat aku saat membuka laptop. Sekarang mari kita kembali ke pertanyaan awal; mengapa kau menanyakan asal-usul rokok padaku?” 

“Aku bertanya padamu karena ingin mengetes kemampuan. Kau sepertinya lumayan pintar daripada yang kuduga sebelumnya. Apa suku Amish itu sungguh-sungguh ada di dunia nyata?”

“Ya. Mereka ada di sekitar Amerika Serikat dan Ontario, Kanada. Tidak populer, tapi cukup banyak yang tahu. Saat kuliah dulu aku pernah datang ke salah satu desanya dan mewawancarai beberapa orang Amish. Mereka kelihatan dingin, tapi sebenarnya ramah.” 

Cordelia mengangguk-angguk paham. “Jadi kau pernah kuliah juga?”

“Yeah, aku lulus empat tahun lalu.” 

“Pantas. Kau memang pendusta hebat yang melancarkan segala jenis jawaban informatif tanpa melenceng dari sejarah.”

Jade mendengkus, lalu kembali mengisap rokok. Saat asap dilesatkan ke udara, Cordelia memperhatikan kepulan uapnya yang merangkak naik sambil berputar-putar. Pada saat itu sang pemuda bertanya lirih, “Barusan itu pujian atau sindiran?”

“Ambil saja keduanya.”

“Nah, setelah kau mengetahui sedikit fakta tentangku, aku juga perlu tahu sesuatu darimu,” Jade mengetuk rokoknya sehingga gundukan abunya jatuh ke tanah. “Seingatku dulu kau memanggilku Cassio. Kenapa sekarang memanggil Jade?”

“Karena aku pernah mendengarmu mengingau dalam mimpimu.” 

Jade terpaku sejenak atas jawaban itu. 

“Saat kau terluka parah akibat luka tusuk, kau jatuh ke fase delirium yang mengkhawatirkan. Aku berusaha membangunkanmu sambil memanggil namamu, tapi kau menolak mentah-mentah panggilan itu. Kau bilang ayahmu yang tukang pukul senang memanggilmu dengan sebutan itu.”

Abu rokok yang dipegang Jade langsung jatuh ke sepatunya tepat setelah Cordelia mengatakan hal itu. Jade termangu sejenak, tercabik dengan tiga lapisan emosi; kebingungan, kaget, dan juga canggung. Dia tidak pernah menyangka bahwa Cordelia mendengar igauan masa lalunya.

Jade hampir tidak bisa berkata apa-apa lagi karena dilalap kemarahan. Pemuda itu meneruskan mengisap rokoknya dengan rakus sampai paru-parunya terasa penuh, kemudian mengembuskannya dalam-dalam dengan perasaan menggebu-gebu. Kakinya tidak bisa diam―mengentak-entak beton undakan seolah dia tidak tahu bagaimana cara menyingkirkan rasa gelisah ini. Cordelia menekan pelan lututnya sehingga pemuda itu berjengit. 

“Jade, tenanglah. Kau tidak perlu menjelaskan padaku tentang apa arti nama itu bagimu. Aku hanya mendengar sampai sana, tidak lebih.”

Kata-kata itu, secara ajaib, membuatnya tenang kembali. Kendati Jade tidak mengetahui apa-apa, sebenarnya Cordelia menyimpan suatu fakta lain yang memang sengaja tidak dia ungkapkan kepadanya. Setelah Jade tidak sadarkan diri berhari-hari, pemuda itu jatuh ke dalam tirai mimpi-mimpi yang pekat. Dan, tanpa izin Jade, Cordelia menyelami ingatan pemuda itu untuk mencari-cari sesuatu yang selama ini menggaruk rasa penasarannya; masa lalunya yang traumatis. Jade rupanya tidak pernah akur dengan ayahnya. Hari-harinya di masa muda diisi dengan cekcok dan keributan―itulah yang membuatnya tumbuh menjadi anak kasar dan pemurung. 

Namun, bergeser di tahun-tahun berikutnya, setelah ayahnya kabur entah ke mana, Jade mengalami titik balik besar dalam hidup, yang Cordelia sendiri tidak tahu apa itu. Dia mengalami kesulitan untuk menangkap data dan menyusun ulang memori yang tercerai-berai dalam kepala Jade. Kebuntuan situasi ini membuat Cordelia akhirnya mengambil risiko berat; masuk ke dalam mimpinya.

Gadis itu ingat, dirinya menapak memasuki sebuah kamar yang bernuansa krem. Di dekat jendela, ada Jade yang berdiri sambil menatapnya dengan takut-takut. Usia Jade mungkin masih sekitar 14 atau 15 tahun. Cordelia menyampaikan satu pesan yang dia harapkan dapat mengantar Jade ke perjalanan masa lalunya yang buram dan terlupakan; 

“Jade, kau harus mundur sedikit.”

“Aku bisa jatuh.”

“Maksudku bukan mundur ke sana, tapi ke masa lalu. Aku ingin mengintip sebentar.”

Lalu lamunan itu pecah karena Jade di dunia saat ini tiba-tiba menepuk pundaknya. “Aku memanggilmu berkali-kali.”

Cordelia mengerjap sadar, tiba-tiba merasa kikuk karena barusan dia tenggelam dalam lamunan berat. Atensi Cordelia merayap pada Jade, yang menatapnya dengan sorot ….

Entahlah, di mata Cordelia, itu tampak seperti sorot kekhawatiran. 

“Boleh aku mencobanya?” Cordelia tiba-tiba menyahut dengan pertanyaan lain. Dia harus segera menyingkirkan perasaan-perasaan bodoh yang mulai mengambil sisi kognitifnya untuk berpikir jernih. 

“Coba apa?”

“Rokokmu.” 

“Oh, jangan,” Jade langsung menekan-nekan ujung rokoknya ke pelataran undakan sampai apinya mati, lalu membuang puntung itu jauh-jauh. Cengirannya tampak ragu dan sedikit menyesal. “Kau masih terlalu muda untuk menyicipi rokok.”

“Bagaimana rasa rokok di zaman sekarang? Apakah sama seperti rasa cerutu di masa lalu?”

“Entah, memangnya kau pernah mencoba cerutu?”

“Sepertinya pernah.” 

“Benarkah? Bagaimana rasanya?”

“Aku lebih penasaran dengan rasa rokok di zaman ini.” Sekarang Cordelia tidak bisa berhenti menatap bibir Jade, entah mengapa. Hanya mempertanyakan rasa rokok membuatnya berhenti mengingat-ingat mimpi-mimpi Jade.

Namun Jade, yang tampaknya tak memiliki petunjuk apa-apa, justru menyungging seringai tipis. “Terlambat, Nona. Aku sudah membuang rokoknya.”

“Kurasa aku tidak perlu rokok yang asli untuk menyicipi rasanya.”

Lalu sebelum lawan bicaranya sempat meresapi kalimat itu, Cordelia tahu-tahu saja mendekatkan wajah kepada Jade. 

Dan merasakan rokok itu dari bibirnya.[]

-oOo-

.

.

.

.

.

🥀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top