15. Saudara
SAAT pertama kali melihatnya, wajah Joseph menyemburkan semacam intensi bagi Cordelia untuk menghajarnya.
Entah apa yang membuat Joseph kelihatan seperti samsak yang minta dipukul. Barangkali karena pemuda itu tiba-tiba menyarangkan tinju ke wajah Jade (yang menyatakan arti bahwa dia memiliki potensi alami untuk menjadi musuh), atau karena hal lain―misalnya pembawaan sikap. Tidak seperti Jade yang cenderung tidak peduli urusan orang lain, Joseph adalah kebalikannya; dia selalu ingin tahu dan mengekor seperti bebek kurang ajar yang membuntuti induknya. Dan, dalam kasus ini, Cordelia berperan sebagai si induk bebek.
Mengingat kecenderungan Cordelia yang selalu membalas semua pertanyaan dengan terus terang, Jade sudah memberitahunya agar Cordelia lebih baik tidak berkata apa pun, terutama bila mereka ingin selamat dari jebakan Joseph. Ekpresi Jade saat menjelaskan betapa berbahayanya Joseph membuat Cordelia jauh lebih waspada lagi. Seandainya gadis itu diperbolehkan untuk memakai kekuatannya, dia tidak akan segan-segan melakukan sesuatu untuk membuat bocah itu diam, misalnya mematahkan leher, atau merobek mulut, lalu memotong lidahnya dan ....
Oh, hentikan pemikiran itu.
Kadang-kadang Cordelia harus menelan rasa malu karena menangkap basah pikirannya membayangkan sesuatu yang kelewat kejam.
"Jadi, Nona Cordelia," Suara Joseph terdengar melambung seperti pujangga yang bernyanyi sambil memetik alat musik. Dia sedang melipat lengan di dada seraya menyandarkan sisi tubuh di dinding ruang buku, tempat Cordelia mencari-cari buku baru untuk dilahap. "Di mana sebelumnya kau tinggal? Kau kelihatan tidak asing buatku."
Cordelia berusaha memusatkan perhatiannya pada deretan buku-buku di dalam rak, yang sebagian besar bukan berbahasa Inggris. Hanya ada kumpulan dongeng dan majalah-majalah lama yang halamannya sudah menguning.
"Nona? Hei," Joseph menyentuh lengan Cordelia―sontak membuat gadis itu meremang terkejut. Dia memandanginya tajam.
"Oh, wow, maaf. Aku tidak bermaksud menyentuhmu," Joseph tidak bisa berpura-pura kalem saat melihat tatapan Cordelia. Entah apakah ini hanya hasil dari imajinasinya yang berlebihan, atau gadis ini memang baru saja membuatnya menggigil takut? Bagaimana bisa Jade tahan untuk tinggal bersama gadis yang aura kejamnya melebihi iblis?
"Apa maumu?" Cordelia bertanya.
"Benarkah kau saudara jauh Jade?"
Cordelia tidak menjawab pertanyaan itu dan malah kembali sibuk mencari buku. Joseph, yang sepertinya belum menangkap gelagat aneh apa pun, kini beringsut ke sisi kiri dinding untuk mengikuti gerak-gerik Cordelia yang sedang berlutut di rak bawah.
"Baiklah, aku akan percaya kalau kau saudara Jade," kata Joseph, menjejalkan kedua tangan ke saku celana. "Tapi mengapa kau mau tinggal di sini? Maksudku, rasanya aneh melihat seorang gadis yang mengaku saudara jauh tiba-tiba datang kemari dan memaksa tinggal di rumah pria bujangan yang tak pernah dilihatnya sebelumnya."
"Aku tidak memaksa. Aku memang seharusnya tinggal di sini."
"Apa?"
"Aku tidak menemukan alasan untuk menjelaskan semuanya kepadamu. Mengapa kau berniat sekali menggali urusanku, bocah?"
"Bocah, katamu?" Joseph membelalak. "Kau tidak lihat siapa yang seperti bocah di sini?"
"Aku tidak peduli."
"Oh, aku suka gayamu, Nona," Joseph terkekeh. Bertahun-tahun hidup menjadi pujaan kaum wanita, membuat pemuda satu ini keheranan dengan sikap ketus Cordelia. Gadis ini lebih garang daripada Jade, dan yang paling menarik dari semuanya; sikapnya natural, tidak dibuat-buat. Pandangannya yang mencela itu adalah salah satu bukti bahwa dia benar-benar terganggu dengan kehadiran Joseph.
Pfft, barangkali memang benar, Cordelia adalah saudara jauh Jade.
"Baiklah, kalau tidak mau memberitahuku alasannya, akan kutebak sendiri. Kau naksir kawanku, kan? Maksudnya, kau suka Jade."
Cordelia mendesaukan napas.
Joseph terkekeh. "Ahaha, tidak usah kaget karena aku tahu soal ini. Walaupun sikapnya seperti bajingan berengsek, dia lumayan populer di kalangan cewek-cewek yang memuja fisik. Dia memang tidak pandai bergaul seperti aku, tapi dia mematahkan hati cewek lebih banyak daripada aku. Kau tahu maksudku?"
Cordelia tidak membalas apa pun dan malah melengos pada rak. Dia mengambil satu buku secara random dan membawanya ke kursi baca. Sementara Joseph berputar untuk menanti jawaban Cordelia. Namun, kesabaran pemuda itu akhirnya luntur lantaran Cordelia masih saja tidak menghiraukannya.
Sialan. Gadis ini benar-benar seperti patung yang tidak peduli bahkan bila ada seekor anjing yang kencing di dekatnya.
"Nona, aku tahu kau sebal padaku karena aku datang kemari secara tiba-tiba, tapi akan kupastikan aku tidak akan mencampuri kesibukanmu, terutama ketika kau mau berduaan saja dengan Jade."
Cordelia berkata lirih, "Enyah dari sini."
"Oke, oke, aku pergi." Joseph mengangkat tangannya ke udara seolah berakting menjadi penjahat yang ditangkap polisi. Lantas pemuda itu keluar dari bilik ruang buku dan pergi ke kamarnya sendiri, yang telah diputuskannya berada di dekat tangga. Dia baru saja memutar kenop pintu ketika merasakan seseorang berseliweran di sampingnya.
"Hei?" Joseph berseru pada Jade yang baru turun dari lantai atas. "Kau dari mana?"
"Mengurus bisnis."
"Bisnis?"
"Jual beli artefak―begitulah. Kenapa memangnya? Kau sudah mau pulang?" Ekspresi Jade berubah sumringah.
Joseph mendadak sewot.
"Kenapa kau ini tidak repot-repot menunjukkan kemurahan hati untuk menampungku, sih? Kau mau aku membayar uang sewa selama tinggal di sini? Aku masih bisa menanggung biaya makan kita, kalau itu yang kau mau."
Jawaban kesal Joseph membuat Jade mendengkus. "Ayolah, aku bercanda. Kau belum memberitahuku tentang alasanmu datang kemari. Apa yang terjadi di Palmer, Kawan?"
"Oh, kacau sekali," Joseph urung membuka pintu kamar dan malah menghampiri ruang tengah. Jade melipir sebentar ke dapur dan menyambar dua kaleng soda untuk diberikan pada Joseph. Kemudian dia kembali ke ruang tengah, duduk di sofa yang sama dengan kawan lamanya.
"Hanya ada ini," kata Jade sambil menyalurkan kaleng soda. "Kau tidak bilang kalau mau datang, jadi aku belum sempat menyiapkan apa-apa. Oke, bagaimana yang tadi?"
"Yeah, sebenarnya aku sudah menghubungimu, tapi berhubung ponselmu hilang, aku jadi tahu alasan mengapa kau tidak tahu soal kedatanganku dan Dave." Joseph membuka kaleng soda dan langsung meneguk isi di dalamnya, selepas itu mengusap bibir yang belepotan. "Aku baru saja dipecat dari Black Stone. Pimpinan redaksi yang baru benar-benar tidak sejalan denganku."
Black Stone adalah perusahaan penerbitan dan distributor yang cukup terkenal di Palmer. Joseph bekerja sebagai editor yang menangani naskah.
"Bagaimana sampai kau dipecat?"
"Itu hanya masalah sepele ... cekcok kecil pada saat rapat ... aku mengkritik baik-baik ... dia langsung merendahkanku di hadapan seluruh tim ... lalu kuberi ganjaran sedikit, dan―kenapa melihatku seperti itu?"
"Memberi ganjaran sedikit," Jade terkekeh. "Jangan bilang kau menghajarnya."
"Aku membocorkan kepada semua orang kalau dia bercumbu di toilet kantor dengan Elena dari divisi marketing."
Lalu Jade tertawa sampai melempar kepalanya di sandaran sofa. Joseph mulanya tak ingin mengingat-ingat kekacauan yang terjadi di ruang rapat beberapa waktu lalu, tetapi saat melihat betapa terhiburnya Jade, bebannya seolah ikut mengelupas. Pemuda itu lantas terkekeh membayangkan betapa sembrono aksinya saat itu hingga membuatnya dipecat.
"Yeah, setidaknya aku tidak seberengsek dirimu, Jade," kata Joseph seraya mengguncang kaleng sodanya yang masih tersisa setengah. "Kau bermain di belakang Cassie, padahal kau tahu cewek itu tulus padamu."
Jade mengerang. "Harus berapa kali kukatakan padamu kalau aku tidak berselingkuh?"
"Tidak usah bohong. Mana mungkin kau membiarkan cewek seperti Cordelia tinggal di rumah ini hanya karena alasan saudara jauh?"
"Dia memang saudaraku."
"Memang saudara jauh tidak bisa bercumbu?"
"Kalau kau bilang seperti itu lagi, aku benar-benar akan merontokkan gigimu," Jade membalas serius, nyaris murka. Kadang-kadang Jade tidak suka dengan candaan Joseph yang kelewatan. "Kau benar-benar harus memperbaiki mulutmu yang sampah itu, Josh!"
"Oke, oke, tidak usah marah begitu, dong. Aku bukannya berniat mengurusi apa yang terjadi di antara kau dan Cordelia―kalau memang ada sesuatu di antara kalian. Ups, kalem, Bung." Jade baru saja menunjukkan wajah tersinggung, lalu Joseph melanjutkan, "Tapi aku curiga dengan kedatangannya kemari. Bukankah kalian berdua baru kenal? Mengapa dia sudah berani-beraninya tinggal di sini?"
"Karena dia tidak memiliki rumah, jadi aku berniat menampungnya untuk sementara waktu."
"Dia berasal dari mana, katamu?"
"Barrow. Dia datang kemari seorang diri. Katanya ingin bertemu dengan Sir Walthrop, karena dulunya kakekku pernah berjanji untuk memberinya tempat tinggal kapan pun Cordelia membutuhkannya. Dia tidak tahu kalau kakekku sudah meninggal, dan aku tidak bisa membiarkannya kembali ke Barrow dengan harapan yang sudah pupus." Oh, lancar sekali dustanya. Beruntung Jade sudah memikirkan jawaban ini sebelumnya.
Joseph mengangguk-angguk paham. "Dia datang untuk mencari pekerjaan?"
"Semacam itu. Jadi, jangan ganggu dia."
"Oh, jadi kau perhatian dengannya, nih? Rasanya kau memang kelihatan seperti mau menjaganya dari sesuatu."
"Gadis itu tidak seperti bayanganmu. Dia berbeda."
"Berbeda? Dia tidak sama seperti Cassie-mu?"
"Tidak. Dia lebih tidak terduga. Lagi pula untuk apa kau membandingkannya dengan Cassie? Aku sudah tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya."
"Kalau kau memang tidak selingkuh, kenapa kau tidak menjelaskan pada Cassie apa yang terjadi?"
"Aku tidak menginginkan hubunganku kembali seperti dulu."
Joseph menggeleng kepala, seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Hei, Jade, kau serius membuang Cassie? Dia cewek terseksi yang pernah menjadi pacarmu!"
"Membuang? Perhatikan bahasamu, Bung. Aku bukan membuangnya. Aku hanya putus dengannya karena tidak melihat harapan pada hubungan kami. Lagi pula kami belum sampai ke tahap jauh. Cassie masih asyik dengan pekerjaannya, begitu juga aku."
"Bagaimana dengan Cordelia?"
"Apa lagi dengan Cordelia? Aku sudah bilang padamu kalau dia adalah saudara jauh. Kami tidak punya hubungan apa-apa. Tidak akan pernah!" Jade meneguk minuman sodanya sambil mendongak.
"Tapi dia tampaknya memiliki hasrat seksual padamu."
Dan, kalimat Joseph barusan membuat Jade memuncratkan soda dari mulutnya.[]
-oOo-
.
.
.
Berbeda dari novelku yang biasanya, novel satu ini emang ritmenya lebih cepat karena dialognya banyak. Konflik masih cukup rumit, tapi enggak serumit The Leftovers ataupun The Pioneers, kok. Dan yang pasti adegan romance di sini lumayan banyak. Hmm.... gimana ya nyebutnya? Mungkin bukan tipe romance yang fluffy dan manis, tapi lebih ke.... tug and pull, tarik menarik. Satunya denial satunya gengsi. Aku bikin novel ini karena saat itu pengin challenge diri nulis dark romance yang cocok dikonsumsi pembaca cewek awkwkwk. Yaaa semoga betah deh yaa
Btw tolong maafkan aku bila ada plot yang kurang masuk akal di dalamnya. Aku sudah berusaha memoles buku ini di tengah waktuku yang terbatas, huhu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top