14. Sahabat
“MAKHLUK pengisap darah.”
Frasa itu dilesatkan Cordelia dengan lirih. Tatapan matanya tidak berbohong, Jade tahu itu, dan entah bagaimana bulu kuduknya merinding setelah mendengarnya. Cordelia menceritakan tentang semua percakapan yang didengarnya dari empat preman tempo lalu, mengantisipasi reaksi Jade.
“Sepertinya harus diselidiki sendiri,” kata Jade. “Aku orang baru di kota ini, jadi tidak tahu-menahu soal rumor itu.”
“Baiklah, kalau begitu ayo kita selidiki!”
Cordelia tiba-tiba bangkit dari undakan teras. Dengan gaya anggun, menepuk-nepuk roknya. Mendadak saja gerak-geriknya menjadi bersemangat. “Mari pergi ke rumah tetangga kita dan bertanya langsung pada mereka.”
“Tetangga kita? Rumah ini masih di bawah hakku!”
“Aku tinggal lebih lama daripada kau.”
"Kau hanyalah gambar yang tidak bergerak."
"Tidak mematahkan fakta semula kalau aku yang berada lebih lama di sini."
Saat Jade hendak membalas argumen, mendadak saja bunyi keriut logam membuat mereka berdua terkesiap. Gerbang rumah didorong dari luar, dan masuklah dua pria lewat celah yang terbuka.
Jade terkejut melihat sepasang wajah familier itu.
“Siapa mereka?” Cordelia terpaku menatap.
“Dave,” bisik Jade, kebingungan harus bereaksi apa. “Dan juga Joseph, si berengsek.”
Lalu tanpa menunggu tanggapan Cordelia, pemuda itu menghampiri keduanya. Dave dan Joseph berduyun memasuki halaman dengan raut wajah terperenyak―percampuran antara tersihir dan terpana saat melihat Cordelia.
Dave, si pria empat puluhan yang mengenakan pakaian formal―setelan jas musim dingin, akhirnya sadar duluan dari reaksi konyolnya. Dia berpaling pada Jade. Rautnya berubah bingung, “Jade, Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu? Kau seperti orang sakit!”
“Secara teknis, aku memang baru sembuh dari sakit.” Pasti parasnya yang kuyu dan cara jalannya yang pincang membuat semua orang kebingungan. “Dave, kenapa kau tiba-tiba kemari? Dan Joseph? Apa yang kau―”
Bugh! Satu tinju Joseph mendadak saja bersarang di rahang Jade. Pemuda itu terjungkir ke tanah dengan kasar. Jade bangkit pelan-pelan sambil berusaha tak memikirkan perutnya yang berdenyut-denyut mengerikan. Dia berkata terengah-engah pada kawannya,
“Sial, apa yang … kau lakukan?”
Ekspresi serius Joseph tahu-tahu mencair menjadi cengiran jail. “Maaf, Bung. Itu tadi pesan dari Cassie.”
“Apa?”
“Cassiopeia, mantanmu. Dia berpesan untuk menonjokmu agar kau sadar betapa berengsek dirimu.”
Jade, yang masih melongo dengan keseluruhan situasi ini, berpaling menatap Dave untuk meminta penjelasan. Namun, perhatian Dave tampaknya bukan tertuju padanya, melainkan pada Cordelia yang menghampiri mereka bertiga. Mata Cordelia menatap Joseph dengan murka. Raut wajahnya mengeras, bersamaan dengan sulur-sulur nadi keunguan yang merambati leher―Jade yakin gadis itu akan berubah ke wujud aslinya yang sepucat mayat dengan dua bola mata laksana sumur tinta.
Jadi, sebelum keributan kecil ini berubah menjadi malapetaka, Jade buru-buru merangkul Cordelia, lalu sedikit memiringkan wajah dan berbisik-bisik agar dia tenang (yang malah menimbulkan salah paham, lantaran Jade tampak seperti sedang mencium gadis cantik itu).
Beberapa detik kemudian, Cordelia melunak. Nadi keungunan telah menghilang, dan aura ketegangan di antara mereka berangsur luntur.
“Nah, Cordelia, perkenalkan. Dia Dave, notarisku. Lalu yang ini kawanku sejak SMA, namanya Joseph,” kata Jade, yang langsung merapatkan diri pada Joseph sambil merangkul bahunya. Ekspresinya dibuat seriang mungkin. “Kami sangat akrab, iya, kan Joseph?”
Sebelum Cordelia melemparkan pertanyaan, Joseph bertanya dengan gelagat jail. “Wow, jadi dia? Pantas Cassie menyuruhku menghajarmu. Kau benar-benar setan busuk!”
Jade ingin sekali menguliti kepala Joseph atas jawaban ini. “Joseph, tidak, ayolah ….”
“Jangan ulangi lagi,” Cordelia menyahut tegas. Suaranya yang dingin mendadak saja menyita atensi semua orang di halaman itu. “Kalau aku melihatmu menyentuh Jade, aku tidak akan segan-segan merobek waja―”
“MARI MASUK, SEMUANYA!” Jade memotong lantang dan langsung menggiring bahu Cordelia agar gadis itu masuk rumah. Dave dan Joseph menatap satu sama lain sambil menampakkan raut bingung, tetapi mereka tidak memiliki petunjuk atas apa yang terjadi. Keduanya membuntuti Jade melewati pintu. Sementara itu, tanpa sepengetahuan kedua tamu, Jade merapatkan diri pada Cordelia seraya berbisik rendah, “Tolong, tolong, tolong jangan membuat ulah, Cordelia. Mereka bukan orang jahat.”
“Mereka membahayakan keselamatanmu, terutama si pria yang cengar-cengir itu,” Cordelia melirik sinis pada Joseph. “Kau tahu apa yang akan terjadi padaku kalau kau tewas.”
“Mereka tidak mungkin membunuhku!”
Protes Jade berhasil. Dia tidak menyangka dapat menenangkan Cordelia semudah ini, tetapi Jade pikir itu pasti karena Cordelia dapat membaca pikiran jujurnya.
Kemudian mereka berempat duduk di ruang tamu. Dave memberitahu alasan kedatangannya kemari.
“Aku sempat memberitahu kalau beberapa waktu lalu ada kesibukan, betul? Lalu kau mengirim pesan padaku bahwa ada sesuatu yang penting, dan aku harus segera datang. Aku sudah mencoba menghubungimu, Jade, lewat panggilan telepon dan surel, tapi kau tidak membalas pesan. Lalu aku tak sengaja bertemu kawanmu ini―Joseph.”
Joseph, yang tertangkap basah sedang menatap Cordelia, mendadak langsung kelimpungan dan membalas, “Ya, aku … eh … Cassie memberitahuku kalau kalian berdua putus. Dia bilang, sebetulnya dia mengkhawatirkan kondisimu, karena saat terakhir datang kemari, kau kelihatan tidak baik-baik saja. Aku memberitahu Dave, dan lewat permasalahan masing-masing, kami berkesimpulan kalau kau dalam masalah besar sampai-sampai tidak membalas pesan atau menelepon balik. Kami kira kau ditangkap polisi, atau yang lebih parah ….”
“Menjadi korban pembunuhan,” sahut Dave, yang langsung mendapat kernyitan aneh dari Jade. Dave melanjutkan sambil berdeham, “Yeah, Joseph bilang itu hal yang masuk akal, mengingat betapa sembrononya kau dalam menjalani hidup.”
“Dia memang nyaris tewas,” Cordelia tahu-tahu membalas.
Semua orang menatapnya dengan terkejut, termasuk Jade.
“Begitukah? Tapi kau memang kelihatan tidak baik-baik saja, Jade. Apa yang terjadi pada mukamu? Kau berkelahi?” tanya Dave.
Jade secara refleks mengusap wajahnya, yang memang diliputi luka lecet dan sedikit lebam akibat bergulingan jatuh dari tepi bukit. “Tidak, aku ... yeah, sebenarnya ada serombongan preman yang mencopet ponsel dan dompetku.”
Joseph, dengan lagaknya yang bersahabat sekaligus jail, menggerayangi badan Jade. “Astaga, ketemu copet ternyata. Mana lagi yang luka, kawanku? Apa kau kena tendang juga di bagian―oh, oh, kau kenapa?”
Jemari Joseph tidak sengaja menekan perut Jade, yang membuat pemuda itu berjengit.
Cordelia, yang selalu berbicara jujur dan apa adanya, membalas enteng, “Perutnya kena tusuk.”
“Kena tus―APA?” Joseph tampak seperti bola yang mengembang. “Preman itu menusukmu?”
“Aku menemukannya sekarat di jalanan. Kehilangan banyak darah.”
“Cordelia, hentikan―” Jade buru-buru menutup mulut Cordelia untuk mencegah gadis itu mengatakan sesuatu yang tidak penting. Sementara raut kedua tamunya tampak terlalu heran untuk bereaksi, seolah-olah mereka mendengar sesuatu yang tidak masuk akal.
“Jade, apa yang pernah kukatakan padamu? Sampai kapan kau berhenti membuat ulah?” Joseph bertanya lemah.
Dave berkomentar dengan raut tidak nyaman. “Apa sudah dibawa ke rumah sakit?”
“Rumah sakit? Apa itu? Aku yang merawa―”
“Aku sudah pergi ke rumah sakit!” Jade memotong perkataan Cordelia, lalu memberi gestur tersembunyi agar gadis itu diam sebentar saja. “Sebenarnya itu hanya luka lecet, jadi bukan masalah besar. Oh, dan terima kasih karena sudah datang kemari. Maafkan aku karena sudah membuat khawatir!”
“Ya, tidak apa-apa, Jade,” Dave mengangguk, lalu tatapannya merambat pada seantero ruang tamu yang megah. “Omong-omong, apa kau betah tinggal di sini? Kau bilang kau mengalami sesuatu yang darurat. Apa itu berkaitan dengan … kau tahu … hal tidak terduga selama kau tidur di sini, barangkali?”
Jauh dalam hati, Jade ingin sekali bercerita kepada mereka tentang Cordelia―tentang semua hal yang melapisi hatinya dengan semacam kengerian dan kepanikan yang tidak bisa dijabarkan, tentang lukisan terkutuk, tentang aksi kanibalisme Cordelia, dan betapa Jade ingin meminta tolong agar dibebaskan darinya. Namun, semua kalimat yang sudah disiapkan jauh-jauh hari itu resap begitu saja di ujung lidah. Jade tidak mau pengaduannya justru membuat Cordelia dalam bahaya yang nyata, dan dia bersumpah―itu bukan karena Jade mengkhawatirkan gadis itu, melainkan karena dia juga ingin selamat. Dia akan tamat bila Cordelia sampai terluka, bahkan tewas.
“Sejujurnya bukan masalah darurat. Aku hanya berlebihan saja waktu itu karena … karena suasana hatiku tidak baik. Rumah ini berhantu, dan aku melihat penampakan. Itu saja.”
“Rumah ini berhantu?” Joseph membalas seraya mengernyitkan kening.
“Oh, itu hal lumrah. Ini kan memang rumah tua,” Dave mengibaskan tangan di udara. “Lalu di mana kau melihat hantunya, Jade? Di loteng?”
“Ya, di sana,” Jade membalas asal.
“Hei, Jade, sejak kapan kau berubah menjadi penakut begini?” Joseph menampakkan raut terkejut. Dia menepuk lengan atas Dave lalu memberitahu, “Kawanku ini termasuk jagoan di SMA-nya dulu, Sir. Daripada membuat orang lain tersenyum, dia lebih sering membuat mereka menangis. Bahkan anak kecil saja dibuat takut olehnya. Dan aku tidak menyangka kalau ternyata kelemahannya adalah hantu.”
“Bukan seperti itu,” Jade memijat pelipisnya.
“Dan siapakah nona cantik ini?” Tanpa memedulikan gelagat mengeluh Jade, Joseph langsung menegapkan tubuh dan mengulurkan tangan ke hadapan Cordelia, seolah sedang menyaksikan sebuah mahakarya agung kepada hadirin. “Maaf, Nona. Aku lupa menanyakan soal dirimu.”
“Dia temanku, namaya Cordelia Mihaela.”
“Dan itu pasti sebuah kebohongan, karena Cassie bilang dia melihat manusia secantik bidadari yang sepertinya berperan sebagai pacar simpananmu,” Joseph menyela sambil nyengir tanpa tahu malu. Dia melanjutkan dengan nada berbisik yang hanya didengar Jade, “Omong-omomg Cassie juga terlihat luar biasa risih saat mengatakan hal itu―bahkan berusaha untuk mengutarakan bahwa yang dia lihat hanya cewek berdempul. Oh, Kawan, kuduga dia hanya iri karena kecantikannya tersaingi, begitu, bukan?”
“Astaga, itu tidak benar….”
Cordelia tampaknya hampir mengeluarkan suara untuk membalas pertanyaan Joseph, tetapi Jade buru-buru mencegah, “Sebenarnya dia saudara jauhku. Kami baru bertemu ketika aku datang ke rumah ini pertama kali.”
“Saudara? Jadi dia bukan pacarmu?”
“Bukan.”
Dave menyela, “Jade, sepertinya kakekmu tidak mengatakan apa-apa soal gadis muda bernama ….”
“Ya, ya, Kakek memang tidak mengatakan apa-apa soal ini, tapi Cordelia bilang dia saudara jauh dari pihak Nenek,” Jade buru-buru mengarang jawaban.
“Oh, jadi Nona ini adalah saudara Nyonya Bailey!” Dave manggut-manggut, meskipun ekspresi di wajahnya tampak tidak bisa percaya begitu saja. Wajah Cordelia memang sulit disamakan dengan keturunan keluarga Jade yang didominasi penampilan sejenis―rambut cokelat dan mata biru atau hijau. Namun, percampuran ras dan budaya sudah biasa terjadi di negeri ini.
Jade langsung mengambil alih percakapan sebelum sepasang tamunya ini menanyakan hal yang aneh kepada Cordelia. “Nah, omong-omong, karena kalian sudah tahu keadaanku, apa sekarang kalian akan … pergi, atau … mungkin istirahat? Masih ada kamar kosong yang bisa dipakai di sini.” Seharusnya dia tak perlu menawarkan hal itu, tetapi Jade tidak enak melihat upaya mereka berdua untuk sampai kemari
“Oh, tidak perlu, sebetulnya aku kemari karena memang ada keperluan bersama klien. Jadi, sudah sejak awal berencana tinggal di penginapan.”
Dave berdiri. Gerak-geriknya yang bijaksana dan pembawaannya yang profesional membuat Jade ingin mengucap terima kasih sampai harus mengecup ubun-ubunnya. Pria itu menyungging senyum sopan, “Aku akan menetap di kota ini selama dua hari, lalu melanjutkan perjalanan ke Juneau untuk pekerjaan lain. Jade, kalau kau butuh bantuanku, kau bisa dengan mudah meneleponku. Aku menginap di Pandrey St. Louise, hanya sekitar lima blok dari sini.”
“Ya, pasti, Dave. Terima kasih.” Jade terdiam sebentar sebelum dia sadar dengan sesuatu. Pemuda itu menghadap Joseph. “Dan kau ….”
“Oh, kawan,” Joseph merentangkan tangannya di kedua sisi tubuh sambil memasang wajah seceria mungkin, “Tidak mungkin aku menghamburkan uang untuk menginap di hotel kalau aku bisa bermalam gratis di sini, bukan?”[]
-oOo-
.
.
.
.
Selamat datang, karakter baru; Joseph Camirlo!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top