13. Kebohongan

KALIMAT itu serupa asap yang memenuhi paru-paru Jade, membuatnya sesak dan nyaris meledak saat itu juga;

“Apa maksudmu? Kenapa kau bilang kematian kita terhubung satu sama lain?”

“Memang seperti itu,” Cordelia berseru pelan. “Aku belum memberitahukannya kepadamu karena kupikir waktunya belum tepat.”

“Ini masalah serius, kau tahu, kan?”

“Ya, dan itulah sebabnya aku bilang kau akan sakit hati bila mengetahui kebenarannya.”

Berengsek. Jade melemparkan kepalanya ke bantal dan memejamkan mata rapat-rapat. Selama beberapa detik yang menegangkan, dia berusaha mengumpulkan kewarasannya agar bisa berpikir jernih. Pemuda itu bertanya lagi, “Apakah ini berlaku untuk sebaliknya? Kalau kau mati, aku juga akan mati?”

Cordelia mengangguk. Rahang Jade terkatup rapat.

“Baiklah, entah sudah di level kekacauan mana aku berada. Buat kejutan satu lagi dan aku akan kena serangan jantung di tempat!” 

Saat Cordelia tidak membalas apa-apa, Jade mendorong dirinya bangkit dengan hati-hati, lalu bertanya sambil menahan sakit yang meradang di perutnya, “Katakan lebih banyak, Cordelia. Katakan semua hal tentang abare yang perlu kutahu. Jangan disembunyikan!”

Namun, bukannya penjelasan panjang lebar seperti yang Jade inginkan, Cordelia malah menyentuh dada Jade dengan lembut, menekan tubuh pemuda itu agar kembali berbaring. “Ini demi kesehatanmu. Untuk saat ini kau harus berbaring dulu.”

Jade menepis tangan Cordelia dengan kasar, “Aku perlu tahu. Sekarang!”

“Aku tidak ingat keseluruhannya, Jade!” Mata kelam Cordelia menatapnya lurus-lurus, seolah ingin menyampaikan fakta pahit itu mentah-mentah. “Sudah kubilang aku butuh waktu untuk mengumpulkan semua kepingan masa lalu, agar bisa memikirkan nasib kita berdua ke depannya!”

“Begitu? Jadi maksudmu, relasi batiniah kita juga belum pasti?”

“Sebagian yang kukisahkan kepadamu adalah sejarah yang masih kuingat. Aku tidak tahu bila ada pengecualian, atau informasi yang luput dari ingatanku.”

“Oke. Bagaimana kalau selamanya kau tidak bisa mengingat apa pun?”

“Entahlah. Tapi mengapa kau pesimis sekali?” 

“Ini sikap realistis. Aku mengukur ekspektasi.”

“Kita akan tetap mengusahakannya, apa pun yang terjadi.”

Selepas kalimat itu dilesatkan, Jade tak bisa berkutik lagi. Cordelia membujuknya supaya kembali istirahat, sekaligus menakut-nakutinya tentang apa yang bisa dia lakukan dengan kekuatan psikokinesisnya; “Aku bisa membedah perutmu lagi supaya kau benar-benar tidak bisa beranjak dari kasur.”

Ekspresi Jade mengeras selepas mendengar ancaman itu. Lantaran tidak memiliki alasan untuk melawan, ditambah lagi lukanya memang belum sembuh, pemuda itu pun mengalah. Selama beberapa jam berikutnya, dia jatuh tertidur, sementara Cordelia tetap terjaga hingga matahari merayap naik. 

-oOo-

Keesokan paginya, Jade terbangun dengan kondisi yang jauh lebih baik―nyaris sehat, bila saja dia tidak kelepasan menekan perutnya yang masih diperban. Saat pemuda itu berguling ke samping, benaknya dikejutkan dengan wajah Cordelia yang tidur menghadapnya. Hampir saja dia jantungan.

Kenapa dia tidur di kasurku? 

Jade urung protes, sebab teringat upaya Cordelia untuk menyelamatkannya. Bohong bila Jade tidak merasa berterima kasih, sekalipun dia tahu betapa mengerikannya gadis ini. Dan, kendati Cordelia masih perlu diwaspadai perihal aksi kanibalismenya, itu tetap tidak membenarkan Jade untuk memperlakukannya bak binatang. Sebab gadis itu memang tidak sama dengannya. Dia lahir dan hidup di dalam budaya abare yang menggentarkan.

Berusaha melunakkan hati untuk Cordelia, Jade pun menyelimuti gadis itu, lalu turun dari kasur dengan hati-hati, bahkan buru-buru menahan erangan ketika sikunya tak sengaja menyenggol luka di perutnya yang belum pulih total. Dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan, kemudian mengambil polo shirt hitam dari lemari. Seraya melangkah pincang, Jade menuruni tangga, menuju halaman luar. Setelah berbaring tak bergerak selama berhari-hari, sinar matahari bagus untuk memulihkan tenaga.

Di sisi lain, kira-kira lima belas menit kemudian, Cordelia terbangun. Keningnya berkerut melihat tempat tidur Jade kosong. Dia beranjak turun dari ranjang, lalu menyadari selimut tergelincir jatuh dari dadanya.

Yang menyelimutinya adalah Jade―Cordelia tahu itu, dan dia juga tahu bahwa Jade tidak suka bila orang lain menyinggung tindakannya.

Maka Cordelia menyibak selimut dari tubuhnya, lalu menyusul Jade. Dia menemukan pemuda itu berada di halaman, sedang mencabuti rumput liar dengan tangan kosong.

Oh, astaga, apa yang orang itu pikirkan?

Sungguh pemandangan konyol yang bisa terjadi pada pasien luka tusuk. 

“Jade,” Cordelia menghampirinya. Jade menegakkan diri lalu berputar. “Apa aku harus menjelaskan kepadamu tentang konvensi orang sakit?” 

Jade mendengkus mendengar pertanyaan itu. “Aku tidak butuh orang yang bersikap seperti ibuku.”

“Aku tidak mengkhawatirkanmu, tapi aku mengkhawatirkan diriku.” 

“Tenang saja, aku tidak akan mati hanya karena mencabuti rumput.”

“Kau menyia-nyiakan kebaikanku untuk menyelamatkanmu dari kematian pertama.”

Ekspresi Cordelia semakin sinis setelah mengatakan hal itu, sementara Jade mendadak tidak enak hati. Akhirnya dia menyingkir dari halaman dan duduk di undakan teras yang tinggi. Gerak-geriknya yang masih menyembunyikan rasa sakit membuat Cordelia meringis sinis.

“Sok jagoan,” begitu ledeknya.

“Aku hanya tidak betah mendekam di dalam rumah terus, oke?”

“Salah siapa kau menantang para preman itu?”

“Ini salahmu, sudah jelas! Kau membuatku terkejut dengan kanibalisme itu, sementara aksi kaburku adalah respons alamiah untuk bertahan hidup!”

“Kau tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan.”

Jade menggeleng tidak habis pikir. “Siapa yang butuh penjelasan setelah melihat adegan mengerikan itu secara langsung? Manusia tidak didesain seperti mesin yang bisa bersabar memproses semua data.”

“Aku tidak paham ucapanmu.” Lalu Cordelia menatap hamparan halaman yang hampir sebagian rumputnya sudah tercabuti sempurna. Apakah Jade melakukan pekerjaan ini sendirian? Pemuda ini adalah definisi mutlak dari kebodohan.

Kadang-kadang Cordelia tidak paham dengan sikap Jade yang selalu menjerumuskan diri dalam bahaya. Dia masih ingat, malam dimana Cordelia menemukan Jade dalam kondisi bersimbah darah, gadis itu sempat melihat segerombolan pria pergi menaiki mobil jip―keempatnya tampak seperti terburu-buru. Samar terdengar percakapan orang-orang itu; 

“Pukulannya lumayan juga, berengsek. Sepertinya sendiku bergeser … tanganku tidak bisa digerakkan!”

“Yang penting kita dapat dompet dan ponsel―sial, ponselnya rusak!”

“Itu tidak penting. Kita pergi saja sebelum ada polisi datang.”

“Atau mungkin monster yang malah datang,” lalu salah satu di antara pria itu mengerang setelah mengatakannya. Hidungnya belepotan darah―mungkin tulangnya retak karena habis dihantam sesuatu. “Kalian lihat ekspresinya ketika menceritakan tentang monster? Jangan-jangan gosip tentang makhluk pengisap darah yang menyerang kota kita itu benar adanya.” 

Cordelia tidak mendengar sisa percakapan lantaran mobil yang mereka tumpangi melaju pergi. Lalu, seakan tersadar dengan situasi, dia berlari menghampiri Jade untuk menolongnya. 

“Hei!” Seruan keras Jade membuat Cordelia mengerjapkan mata. Ingatan itu terkubur kembali dalam kepalanya, menyadarkan Cordelia tentang masa sekarang. “Kau ini melamun apa?” 

“Apa di kota ini ada makhluk sepertiku?” Pertanyaan itu melesat begitu saja dari mulut Cordelia.

Bukannya bereaksi kaget seperti seharusnya, pemuda itu malah terkekeh. Cengirannya yang kelepas ceria membuat Cordelia nyaris tidak bisa berhenti memelototinya. Gadis itu buru-buru melengos menatap rerumputan untuk menenangkan pikirannya yang mendadak kacau. 

“Maksudmu makhluk pengisap darah, semacam vampir atau abare?” Kekehan Jade berhenti. “Tidak ada. Itu hanya dongeng yang dikisahkan anak-anak sekolah saat Halloween tiba.” 

“Tapi aku mendengar sesuatu. Kemarin malam, saat mau menolongmu. Kau diserang empat orang pria, kan?”

“Kau melihat kejadian itu?” Wajah Jade kembali serius. 

“Hanya sekilas saja. Aku menyaksikan empat pria itu merampas dompet dan ponselmu, lalu mereka kabur menggunakan mobil. Salah satu di antara mereka bercerita tentang gosip makhluk aneh yang menjangkiti kota ini.”

“Kau bercanda, kan?” 

Dan saat gadis itu tidak membalas apa-apa, Jade baru ingat bahwa Cordelia tidak bisa berbohong. 

“Rumor seperti apa yang kau dengar dari mereka?”[] 

-oOo-

.

.

.


.


Udah ada yang punya teori? 😃

Kayaknya masih dikit ya informasi kekumpul. Sabar aja deh buat baca next chapters!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top