11. Bandit
BAGAIKAN tersihir, Jade kehilangan reaksi selama beberapa detik.
Kemudian, kesadarannya seketika kembali; mengentaknya bagai cemeti yang memecut kulit. Bangkai anjing itu mengirimkan alarm defensif dalam kepalanya―sontak memicu tungkainya untuk berlari menjauh, melupakan segala risiko atau ganjaran pahit yang akan diterimanya bila Cordelia menangkapnya. Lari sekarang atau kau tamat!
“Cassio, tunggu―”
Seruan Cordelia melebur bersama deru angin yang membawa gumpalan awan gelap, menghilang seiring Jade berlari tunggang-langgang melewati ambang gerbang rumah. Dia melintasi jalanan sunyi yang tersadur cahaya bulan, tak memedulikan ke mana arah yang dituju. Jantung yang terkubur di rongga dadanya berdentum bagai sonik, meneriakkan satu perintah mutlak; lari, lari, lari!
Apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi. Gadis itu adalah manifestasi iblis monster yang sebenarnya; Buas. Menjijikkan. Mengerikan. Apa yang dia lakukan pada anjing malang itu? Dilihat dari sudut mana pun, Jade tak menemukan penjelasan masuk akal selain gagasan pahit bahwa Cordelia telah membunuh binatang dan memakan organ dalamnya. Bukankah gadis itu bilang dia hanya mengisap darah? Lantas mengapa sekarang melakukan kanibalisme? Apakah Cordelia telah menipunya selama ini? Bagaimana bisa?
“Si-sial!”
Jade memekik ketika kegelapan membuatnya terantuk pepohonan. Momentum membuat tubuhnya terjungkal dan menggelinding jatuh di landaian perbukitan. Otaknya sudah tak koheren lagi untuk memikirkan ke mana dia pergi atau mendarat. Satu-satunya faktor yang memompa adrenalinnya saat ini adalah rasa takut bahwa dia akan menjadi korban Cordelia selanjutnya.
Setelah jatuh bergulingan dan terkubur di antara bangkai alam, Jade kembali tersadar. Dia mendarat di dataran kosong dengan posisi menyakitkan. Kaki kanannya terkilir, sementara tubuhnya lecet dan memar-memar. Sialnya, ponselnya mati karena meloncat dari kantong celana dan menghantam pohon.
Dengan susah payah, pemuda itu mendorong dirinya bangkit dan tersaruk-saruk melewati kawasan di kaki bukit, terus melangkah, sampai akhirnya menemukan pinggir jalan yang sepi. Lalu, hujan akhirnya turun, memeluk dirinya dalam kebisingan rintik air dan desau angin yang menggigit. Jade tak tahu sudah berapa lama dia berjalan mondar-mandir seperti anjing hilang. Yang dia inginkan saat ini adalah bertemu seseorang dan meminta bantuan untuk membawanya ke kantor polisi, atau rumah sakit, atau ke mana pun….
Samar-samar, gelak tawa dan lecutan kata-kata kotor terdengar tak begitu jauh dari posisinya.
Jade berpaling ke arah jam dua, dan melihat, tiga sampai empat orang pria sedang berkumpul di dekat kios SPBU seberang jalan yang buka 24 jam. Oh, syukurlah, dirinya terselamatkan. Pemuda itu menyeberangi jalanan sepi dengan langkah pincang, tak memedulikan nyeri di pergelangannya yang semakin menjadi-jadi.
“Hei,” Jade mendekati salah seorang pria yang bertubuh besar dan berbau tajam alkohol, lalu memohon dengan suara tercekik, “Ponsel mati. Tolong panggilkan polisi!”
“Wow, wow, Bung, apa yang terjadi padamu?” Pria itu meletakkan botol minuman keras di atas kap mobil, lalu memberi isyarat kawan-kawannya yang lain untuk ikut mendekat. “Kenapa kau babak belur begini? Baru ditabrak truk?”
Pertanyaannya malah mengundang kekeh tawa yang lain.
“Tidak ada waktu, tolong panggilkan polisi,” kata Jade, terengah-engah. “Ada … ada monster. Dia mungkin mengejarku….”
“Monster? Kau sedang mabuk?”
“Aku serius ….”
Pria bertubuh besar itu memberi gestur tersembunyi pada kawan-kawannya, kemudian salah seorang di antara mereka mendekati Jade dan tanpa aba-aba menggerayangi bagian samping celananya. “Biar kulihat kartu identitasmu, Bung. Kau punya dompet, kan?”
Akal sehat Jade, untungnya, masih berfungsi. Pemuda itu menyentak tangan si pria seraya membentak, “Ini darurat! Kalian harus membawaku pergi dari sini sebelum monster itu datang!”
“Monster? Maksudmu monster yang seperti Godzilla? Atau titan yang melahap tubuhmu bulat-bulat?” Lalu semua orang tertawa terbahak-bahak, seakan itu adalah lelucon paling lucu abad ini.
Jade menggeram, tercabik antara kesakitan dan murka. Tak ingin menghabiskan waktu untuk meladeni pria-pria mabuk, dia lantas pergi menuju kios SPBU. Di dalam sana pasti ada kasir atau setidaknya telepon yang bisa dipakai. Namun, salah seorang pria memblokir pintu kios dengan tubuhnya.
“Minggir,” kata Jade. Dingin.
“Ini malam Sabtu, Bung. Kau punya uang untuk beli bir?”
Kemudian lengan pemalak itu terangkat ke depan, hendak memegangnya. Jade bereaksi yang terbaik dari apa yang sanggup dia lakukan―tinjunya menghantam hidung pria itu dengan keras, membuat sang pria terjungkir dari undakan kios dan roboh ke tanah sambil memegangi wajahnya. Aksi tiba-tiba ini mengundang kawan-kawan pemalak yang lain untuk mengeroyok Jade.
Tiba-tiba saja, kaus belakang Jade ditarik. Cedera pada kakinya membuatnya terlambat mengelak dan berputar, sehingga tubuhnya terbanting ke tanah dengan keras. Seseorang menghajar wajahnya tanpa ampun. Darah dari bibirnya yang robek tercecap di lidah. Jade meludahkan darah ke tanah dan langsung membalas serangannya tanpa berpikir.
Perkelahian pun tidak bisa terelakkan. Jade menendang pria di hadapannya, berguling bangkit, lalu melempar tinju bertubi-tubi pada pemalak terdekat. Pria yang lain menjegal kakinya, membuatnya nyaris terjungkir, tetapi dia berputar cepat dan menghantamkan sikunya ke wajah musuh. Kendati kepala Jade berdenyut mengerikan dan pandangannya mulai berkabut, dia memaksa diri untuk tetap melawan. Pada beberapa serangan, Jade masih dapat mengelak dan melempar pukulan balasan. Akan tetapi, cedera pada pergelangan kaki memperlambat gerakannya.
Seseorang menjepitnya dari belakang dengan tenaga yang tidak main-main kuatnya. Jade memberontak, berusaha melepaskan lengan kekar pria yang merangkul dadanya, tak memedulikan bunyi benda yang pecah seperti terhantam sesuatu. Sekejap kemudian dia mendongak, melihat kilatan samar dari sebelah kiri―mulanya tampak seperti plastik yang berkilau tertempa sinar lampu, tetapi ternyata itu pecahan kaca dari botol minuman keras.
Pemuda itu tak sempat bereaksi ketika seorang pria tahu-tahu mendompraknya, dan melesakkan beling ke perutnya dalam-dalam.
-oOo-
Dunia di sekitarnya bergeser ke sejuta cahaya di masa lampau, bergulir dalam hitungan lambat dan menyakitkan, sementara nyawanya larut bersama decitan napas yang mengepul di udara malam kios SPBU.
Jade berbaring di tanah. Terengah-engah, sendirian, menunggu ajalnya yang kini sudah di pangkal tenggorokan. Darah mengalir melalui luka robek di perutnya, menggenangi tubuh bagian bawahnya, hingga dia tampak seperti berkubang dalam kolam darahnya sendiri.
Rombongan pemalak itu pergi, entah ke mana. Setelah berhasil merampas dompet dan ponselnya, mereka meninggalkan Jade sekarat di tepi jalan yang beku oleh udara dingin. Rasa sakit di perutnya meradang menjadi perih yang tidak tertahankan, mengirimkan denyut mengerikan di kepala seolah jantungnya pindah ke otak. Sementara rintik hujan yang kini serupa jarum kecil, menusuk-nusuk sekujur tubuh Jade, menambah rasa pedih yang ditanggungnya. Tubuhnya menggigil, entah karena hipotermia atau demam. Apakah dia benar-benar akan mati secepat ini?
Yeah, sejak dulu Jade sudah menduga bahwa akhir hidupnya tak akan berbahagia. Ganjaran apa lagi yang didapat pecundang sepertinya selain luka yang sama seperti yang pernah ditorehkannya kepada para korban-korbannya di masa lampau?
“Jade, kau selalu saja membuatku kecewa dengan tingkahmu yang tidak bisa dikendalikan. Sekarang aku baru tahu betapa berengseknya dirimu.”
Halusinasi kata-kata Cassie mengusik kepalanya yang lelah. Sekarang dia sadar, tamparan Cassie saat itu belum cukup untuk menghukumnya. Kendati Jade tidak pernah berselingkuh dari pacarnya, tetapi dia melakukan sesuatu yang lebih buruk, lebih mengerikan. Kemarahan. Keputusasaan. Kematian. Hal-hal itu mengisi hidupnya laksana bensin yang disiram ke dalam api, membuatnya berkobar dan menyala dengan kemurkaan balas dendam. Dialah orang berengsek yang pantas mati. Seharusnya saat itu Jade menggantikan ibunya yang tertembak dan pergi selama-lamanya dari dunia ini.
Mati, benak Jade. Kata itu terulang dalam benaknya. Mencambuk luka di perutnya yang semakin parah. Mati, mati, mati. Aku lebih baik mati.
“Cassio, jangan mati,” suara itu lirih, seperti doa yang dipanjatkan pendosa kepada Tuhan. Entah bagaimana, permintaan sederhana itu mengguncangnya kembali dalam kesadaran.
Jade mengerjap pelan. Kelopak matanya, sangat berat. Seolah-olah ada kekuatan besar yang berusaha menenggelamkannya ke dasar laut.
“Cassio, aku tiba tepat waktu.”
“Tidak,” Bibirnya bergumam lirih. Dia tidak suka. Dia tidak suka panggilan itu. Ayahnya yang tukang pukul selalu memanggilnya dengan sebutan itu sebelum dia diseret ke basement dan dihajar habis-habisan. Tidak, tidak, tidak. Jangan panggil aku Cassio.
“Jade, tenanglah!”
Lalu dia terjaga, hanya sejenak. Segala yang terlihat di hadapannya tampak buram dan berguncang. Sosok seorang gadis mengisi pandangannya. Jade mengenalnya. Rambut hitam itu. Kulit putih yang pucat. Tatapan kelam yang mengirimkan denyut aneh di dadanya, mengimpitnya dalam berbagai lapisan emosi yang tak bisa dijelaskan.
Cordelia.
“Aku akan menolongmu. Berjanjilah untuk tidak mati.”
Dia tidak mau dan tidak bisa berjanji. Janji seperti itu adalah sumpah terlarang yang paling dihindarinya. Ibunya pernah membelitkan sumpah bahwa dia akan baik-baik saja, tetapi orang itu malah berbohong dan meninggalkan Jade dengan selongsong duka abadi yang tak akan sembuh. Jangan janji. Janji itu payah. Janji itu kebohongan. Janji itu kematian.
Kemudian Jade merasakan lengannya tertarik ke atas. Gulungan rasa sakit yang baru dan segar tahu-tahu saja membanjiri perutnya yang meradang dan terluka, membuatnya mengerang dalam rintihan pilu seperti kambing yang disembelih. Dia merasakan bobot tubuhnya jatuh pada sebuah bidang yang sempit dan licin oleh air. Wajahnya terkubur di antara jalinan rambut hitam yang panjang dan tebal. Dari sana, aroma bunga samar-samar tercium.
Jade tidak tahu bunga apa itu, tetapi saat memikirkan baunya, dia membayangkan sekuntum mawar hitam.[]
-oOo-
.
.
.
.
.
Sekadar informasi, di sini bakal banyak adegan sick male. Terus terang aku bikin novel ini salah satu alasannya karena pengin bikin karakter cowok yang tertekan luar dalam 😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top