10. Bangkai

"JADI, kau berencana untuk menjual semua artefak kakekmu?"

Pertanyaan Cordelia mengusik makan malam Jade hari itu.

"Mungkin tidak semua. Sebagian akan kusimpan untuk aset."

"Kenapa kau menjualnya?"

Sambil mengerik daging ayam dari tulangnya dengan garpu, Jade membalas, "Karena aku butuh uang. Memang apa lagi? Kau pikir aku menjual karena iseng?"

Cordelia tidak terpengaruh dengan nada suara Jade yang ketus, tetapi gadis itu memandanginya dengan sedikit penasaran, "Apa pekerjaanmu sebelum datang ke Ruswer?"

"Mau tahu aja atau mau tahu banget?"

Kening Cordelia mengernyit mendengar jawaban itu. Sementara Jade, yang baru ingat bahwa Cordelia tidak akan pernah relevan dengan gaya bahasa absurd di zaman modern ini, meringis kecil. Dia menjejalkan sepotong daging dan mengunyahnya sebentar sebelum membalas, "Aku seorang teknisi di perusahaan transportasi."

"Transportasi, maksudmu seperti mobil yang tadi dipakai oleh Sir Pelleanore?"

"Mm-hm."

Benaknya mengingat bahwa pagi tadi, Cordelia kembali menyiratkan pandangan bertanya-tanya tentang mobil yang dinaiki Caspian, sebab di zamannya lahir dulu, kendaraan yang dipakai masih berupa kuda atau kereta yang didorong manusia. Jade praktis menjelaskan tentang transportasi mobil yang mulai berkembang di Amerika sekitar akhir abad 1700, serta beberapa jenisnya yang bisa ditemukan bebas di publik. Saking niat untuk menyediakan sumber belajar, dia juga memperlihatkan gambar-gambar transportasi modern lewat ponselnyaโ€•yang pada situasi berikutnya, justru membuat Cordelia terserang gejala penasaran akut tentang kecanggihan si ponsel. Cordelia pun menghabiskan waktunya seharian untuk mengutak-atik ponsel Jade.

"Jadi, setelah kau pindah kemari, kau tidak menjadi teknisi lagi?" tanya Cordelia.

"Tidak, karena aku sudah kaya raya berkat warisan dan artefak Walthrop."

"Tapi kau tetap harus mencari uang, bukan? Bagaimana bila artefak-artefak itu habis?"

Pertanyaan itu meninggalkan kernyit mendalam di kening Jade. Dia selalu menghindari pembahasan tentang masa depan, lantaran beberapa tahun lalu Jade sempat tersangkut suatu insiden yang membuatnya memaki sialan pada hal-hal yang menyangkut rencana hidupโ€•pekerjaan, pernikahan, tabungan hari tua, atau membayangkan dirinya menggendong cucu sambil menyuapinya pretzels. Setelah dipecat dari pekerjaan, Jade menghabiskan dua tahun masa menganggurnya menggunakan uang yang didapat dari asuransi sang ibu. Dia memang tidak kelaparan dan menggelandang. Namun, hidupnya tidak lebih baik hanya karena ada sesuatu yang menopangnya.

"Yeah, aku akan memikirkannya," balasnya, terdengar jengkel dan tidak minat.

Selama menunggu Jade menghabiskan makan malam, diam-diam Cordelia memandangi pemuda itu seraya membaca masa lalunya. Tidak semua, tetapi hanya sepotong kecilโ€•lantaran data dari masa lalu lebih sulit diakses daripada membaca pikiran. Jade kelihatannya memiliki masa lalu yang cukup rumit dan ... kelam. Cordelia tidak bisa memutuskan trauma mana yang paling mengganggu psikologis orang ini, tetapi sepertinya Jade punya masalah dengan kehilangan. Perpisahan. Kematian.

Pembunuhan.

"Cordelia?"

Gadis itu tersentak seolah dibangunkan dari mimpi buruk.

"Kenapa kau tidak makan?" Tatapan Jade turun pada piring berisi sayap ayam dan pasta yang tidak tersentuh di hadapan Cordelia.

"Aku tidak lapar." Cordelia mendorong pelan piring makannya. "Kau bisa makan jatahku kalau mau."

Alis Jade naik curiga. Bila dipikir-pikir, Cordelia nyaris tidak pernah menyentuh makanan yang sudah disiapkan selain mencicipinya barang sedikit. Mulanya Jade pikir gadis itu hanya tak minat saja dengan menu buatannya, tetapi ini sudah hampir enam hari sejak mereka tinggal satu atap, dan Cordelia masih saja tak menunjukkan tanda-tanda bergairah untuk makan.

"Apa abare tidak bisa makan makanan manusia?" Jade bertanya ragu.

"Aku hanya tidak berselera."

"Enam hari tidak berselera makan," dengkus Jade.

"Aku berbeda dengan kalian."

"Bagaimana kau bisa mendapatkan energi unโ€•"

Kata-kata Jade terputus karena dia tersadar sesuatu. Pelan-pelan, jemarinya merambat menutupi lehernya.

"Tenang saja. Aku belum terlalu lapar," kata Cordelia, yang bermaksud melunturkan ketegangan Jade. Akan tetapi, ekspresinya yang suram alami malah membuat Jade mengeritkan gigi.

"Aku tidak bisa kabur, benar, bukan?" Jade bertanya pelan. Mendadak saja selera makannya ikut hilang bersama bayangan darah yang mengucur dari luka pada lehernya. "Karena pasti kau akan memangsa dan mengejarku ke mana pun aku pergi. Aku sudah terikat padamu, dan kau adalah magnetku. Kita adalah dua kutub magnet yang melekat pada medan yang sama."

"Bagaimana rasanya, Cassio?" Cordelia bertanya lirih. "Saat aku meminum darahmu?"

"Sakit sekali," kata Jade dengan suara getir. "Rasa sakitnya bertahan lebih lama dari yang kuduga, menyebar di sekujur tubuh, merambat di kepala dan punggung. Rasanya seperti kena tembak taser."

"Apa itu taser?"

"Semacam pistol listrik."

"Kau pernah kena tembak alat itu?"

Jade mengedikkan bahu. "Barangkali aku memahami rasanya."

Cordelia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di meja. "Andai aku tahu cara untuk meredakan rasa sakitnya, Cass. Sesungguhnya aku merasa sedikit bersalah karena melibatkanmu dalam sesuatu yang seharusnya tidak kau lakukan."

Pembicaraan ini membuat perut Jade mulas. Sebagai seorang pria, dia memang memiliki toleransi rasa sakit yang cukup tinggi, tetapi saat menghadapi gigitan Cordelia, segala bentuk kepercayaan dirinya lumpuh di bawah ketakutan bahwa dirinya akan mati kehabisan darah. Taring itu besar dan tajam, menghunus lehernya dalam-dalam, mengoyak daging serta merobek pembuluh darah di balik kulit. Bila Jade bisa mengibaratkan pengalamannya digigit abare, rasanya seolah semua jenis kesakitan di dunia ini tumpah menjadi satu di lehernya. Jade bahkan tidak bisa menjaga kesadarannya tetap utuh sampai akhir.

"Jade," kata Cordelia. Pemuda itu mendongak di kepala meja dan menatap Cordelia yang bersinar keemasan di bawah sinar lampu ruang makan. "Aku akan menahan laparku selama mungkin sampai kau siap memberikan darahmu kepadaku."

"Sekarang kau menjadi lebih kalem," kata Jade, menyungging cengiran samar untuk menyembunyikan rasa gelisahnya. Tercetus di benaknya bahwa dia akan segera mencari jalan keluarnya nanti. "Beberapa waktu lalu kau bersikap arogan dan selalu memaksaku melakukan sesuatu saat itu juga."

"Kurasa karena saat itu aku tak menyukai sikapmu."

Kata-kata Cordelia membuat Jade memiringkan leher, tertarik mendengar alasannya. "Bagaimana dengan sekarang?"

"Aku semakin memahami perasaanmu."

"Apa itu membuatku spesial?" Jade menaikkan sudut bibirnya ke atas. Tersenyum miring.

"Kau sudah kuberi penangguhan waktu sampai kau siap memberikan darahmu. Minta penawaran sekali lagi dan aku akan menggunakan kekuatanku untuk mengendalikan pikiranmu."

"Oh," Jade menggeleng, tetapi anehnya dia tidak merasa jengkel. Jawaban Cordelia yang terkesan jengkel malah membuatnya terkekeh, sementara gadis itu membuang muka untuk menyembunyikan ekspresinya.

-oOo-

Hari-hari berikutnya berlalu dengan kesuraman yang sama seperti sebelumnya.

Kendati Jade mulai terbiasa dengan presensi Cordelia yang menyentil kengeriannya, dia belum mau melontarkan persetujuan untuk memberikan darahnya. Bukan karena takut, melainkan sengaja mengulur-ulur waktu sampai energi Cordelia benar-benar padam. Bila gadis itu kelaparan, dia akan semakin melemah dan tak akan bisa menggunakan kekuatan psikokinesisnya, Jade bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur, kembali ke Palmer, menemui Dave, lalu melaporkan pada polisi atas aksi kriminal yang diterimanya. Brilian.

Di suatu malam, sinar bulan merekah malu-malu dari kisi jendela yang terbuka. Jade keluar kamar dan menuju dapur untuk mengambil minum. Pukul sebelas malam begini, biasanya dia masih melihat Cordelia mondar-mandir di sekitar perpustakaan yang berpotongan dengan ambang dapur, atau menemukan gadis itu duduk memelototi layar televisi yang menyala. Namun, kali ini, gadis itu tidak ada di tempat keduanya.

Mulanya Jade tak peduli ke mana gadis itu pergi, tetapi saat menghampiri wastafel dapur untuk mengambil air minum, dia tersandung sesuatu. Sebuah gelas terguling di dekat kakinya. Bagian atasnya pecah dan potongan kacanya nyaris terinjak Jade. Gumpalan sesuatu yang mirip darah membercak di sekitarnya, membentuk pasta kering yang mengotori lantai. Jade berlutut dan memeriksa lebih dekat. Pikirannya mendarat pada Cordelia.

"Cordelia?" Jade berseru. Tidak ada jawaban. Dia lantas bangkit dan memeriksa ke beberapa ruangan. Namun, nihil.

Ke mana dia? Apakah dia terluka dan sembunyi di suatu tempat? Apakah gadis itu terlalu lemah untuk menjawab seruannya? Apakah energinya telah terkuras habis? Pertanyaan-pertanyaan itu bergelayut tanpa jawaban di kepala Jade. Pada satu momen, dia tersadar sesuatu; ini adalah kesempatannya untuk kabur.

Pemuda itu mundur, sementara atensinya terpaku pada darah di lantai dapur. Mati-matian Jade membuang jauh-jauh kegelisahan di hati. Bukan saatnya mengkhawatirkan Cordelia. Gadis itu adalah monster; iblis abadi yang menjebak manusia untuk memberi makan kerakusannya. Ini adalah situasi emas yang harus dia manfaatkan untuk kabur. Maka Jade berlari ke kamarโ€•menjejalkan dompet dan ponsel ke dalam saku celana, lalu kembali turun melewati tangga.

Namun ketika hendak keluar dari pintu, dia tak sengaja berpaling ke jendela, dan menemukan sesuatu;

Rupanya Cordelia ada di halaman, sedang berjongkok menghadap gerbang yang terbuka sambil membelakanginya.

Berengsek. Jade meninju udara kosong dengan kesal. Di samping rencana kaburnya yang gagal, benaknya dirudung kejengkelan karena Cordelia baru saja memecahkan gelas dan tak bertanggung jawab untuk membereskannya. Masa bodoh itu darah siapa. Jade menyingkirkan pemikiran itu dan memutuskan kembali ke dapur untuk membereskan pecahan gelas.

Namun, selenting gagasan ganjil tiba-tiba mengusiknya. Rasanya, ada yang aneh dengan sikap Cordelia. Mengapa gadis itu berjongkok tak bergerak di bawah pagar?

Jade menimbang-nimbang beberapa detik sehingga akhirnya memutuskan menghampiri Cordelia. Seiring tungkainya mendekat, perasaan ganjil yang dirasakannya semakin membengkak. Pundak gadis itu berkejat seakan-akan sedang melakukan semacam ritual aneh. Telapak kakinya yang telanjang terbenam di rerumputan, berlumur tanah, dan juga darah.

Apa dia baik-baik saja? Diselingi perasaan curiga, Jade memanggilnya, tetapi tidak ada sahutan yang terdengar. Saat jaraknya sudah cukup dekat, Dia menyentuh pundak Cordelia dengan hati-hati. Gadis itu berpaling dan mendongakkan wajah padanya;

Kedua mata Cordelia telah berubah menjadi pusaran hitam yang mengisi paras kelabu pucat. Darah pekat entah milik siapa berlepotan di mulutnya, melumuri barisan giginya yang menyembunyikan dua bilah taring panjang, serta menggantung goyah di dagunya bagaikan substansi lengket dan berlendir.

Seperti disihir, tubuh Jade membeku. Atensinya lantas terpaku pada seonggok makhluk yang tergolek dengan posisi tak wajar di hadapan Cordelia.

Organ dalam anjing itu terburai keluar dari perutnya yang terkoyak.[]

-oOo-

.

.

.

.

Syok aku nulis adegan ini... nggak tega :(

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top