1. Lukisan

BARANGKALI ini adalah mimpi di siang bolong yang mengentak kesadaran Jade bagai pukulan godam yang kuat.

Pemuda itu berdiri di depan sebuah rumah empat lantai bergaya klasik Eropa abad pertengahan, yang menjulang muram bagai bangunan angker berbentuk persegi dan dibingkai langit kuning bebercak ungu. Tempat ini meneriakkan kesan warisan kuno yang dibiarkan sekarat dan rusak. Tidak benar-benar rusak, sebenarnya. Hanya saja catnya yang berwarna abu-abu sudah memudar dan hampir mengelupas, sebagian bingkai jendela berkisi enam yang berjajar di sepanjang muka teras agak gompal dan kacanya pudar, sementara tanaman ivy bersulur tebal merambati jeruji pagarnya yang berkarat. Sampah peradaban berupa daun kering dan bangkai serangga berserakan, tenggelam di antara rerumputan yang tak dipangkas, mengotori undakan teras yang berselimut debu dan retak-retak.

Pengamatan lebih lanjut membawa Jade ke kesimpulan bahwa rumah ini pastilah tidak diwariskan untuknya, atau kemungkinan paling kecil―dia salah alamat.

Tidak, ini alamat yang benar. Pemuda itu merogoh kembali lipatan kertas di saku jaketnya dan menghamparkannya di depan muka; Marona Lange, 45 Ruswer

Atensinya merangkak naik pada palang bertuliskan nomor 45 yang tergantung miring di dekat pintu ganda bercat hitam. Ini rumah yang diwariskan Kakek padamu, Jade. Kau tidak salah alamat!

Memikirkannya akan membuat kepalanya lebih pening lagi. Jade tak ingin perjuangannya sampai ke sini menjadi sia-sia hanya karena salah alamat, sebab perjalanan menuju kemari tidaklah mudah. Dia harus naik kereta selama 12 jam dari Palmer hanya untuk  mendapat serangan pegal parah. Tulang punggungnya seperti retak dan kepalanya pening setengah mati. Pemuda itu butuh kasur untuk tidur seharian.

Berusaha menahan lelah, Jade mendorong pagar tua di hadapannya yang tidak terkunci. Bunyi nyaring gesekan besi yang sudah lama tak dibuka menusuk telinga, tetapi dia memilih abai selagi bersusah payah menyeret kopernya menyusuri halaman tak terawat yang basah karena sisa-sisa hujan. Pemuda itu naik ke teras dan sedang berusaha memasukkan kunci ke lubang pintu ketika tiba-tiba saja ponselnya berbunyi.

“Jade, ini aku, Dave. Kau sudah sampai?”

Jade menjepit ponselnya di antara pundak dan telinga seraya mendorong pintunya terbuka, lalu sedikit menendang kopernya agar masuk ke lorong utama. Bau pekat debu menyambutnya, membuatnya mengernyitkan hidung.  

“Baru saja tiba. Mau tahu pendapatku? Rumah ini seperti lokasi film horor.”

“Yah, setidaknya sekarang kau kaya raya, Nak. Kau suka suasananya?”

Jade menaruh koper di balik pintu, lalu melempar tas ranselnya di sofa terdekat, yang ketika dicermati baik-baik, rupanya memiliki kesan klasik yang mahal. Penutup sofanya terbuat dari beludru yang dipadukan dengan rangka kayu mahoni bercat emas. Pemuda itu meraba teksturnya; terasa kokoh dan lembut, walau sedikit berdebu.

Jade mengernyit. Penemuan ini secara praktis membuatnya tengadah untuk memeriksa seluruh penjuru ruangan yang hanya diselubungi sinar dari jendela-jendela tertutup kerai. Segala hal yang menyambutnya adalah definisi mutlak dari kemewahan keturunan ningrat. Lantai kayu yang dipijaknya keras dan berbunyi ketukan mantap, sementara semua perabot yang diletakkan di sini terbuat dari kayu mahoni gelap dengan ukiran rumit―satu set meja tamu dan karpet berpola cerah, serta deretan rak berat yang berjajar bersama beberapa lukisan. Ambang lorong dan pilar penopangnya dibuat melengkung dan memiliki puncak tajam, mirip katedral-katedral di era Victoria, sementara tangga kembarnya melingkari di kedua sisi ruangan, menuju lantai berikutnya yang misterius dan suram.

Sekali lagi, keterkejutannya pecah.

“Tidak terlalu, Dave,” balas Jade, dengan suara yang dibuat tenang. Pemandangan ini nyaris membuatnya kena serangan jantung di tempat. “Suasananya terlalu suram untuk ditinggali seorang diri. Aku ragu bakalan ada koloni hantu yang muncul dari loteng. Tapi mari fokus ke berita baiknya; siapa yang menyangka kakekku ternyata kaya raya?”

“Baru saat ini kau percaya apa kataku? Kau selalu bilang kakekmu adalah pensiunan yang hidupnya membosankan.” Terdengar Dave terkekeh di ujung sambungan. “Saat aku pertama kali datang kepadamu, kau menyangka akan mendapat warisan rumah yang lebih kecil dan sempit dari unit apartemenmu.”

“Yah, kurasa keraguanku wajar. Aku tak pernah ketemu dia seumur hidupku. Ibuku melarangku untuk bertemu dengannya, bahkan sekadar membagi alamat tempat tinggalnya saja ibuku pelit. Kau kan notarisnya, kukira kau sudah tahu tentang hubungan rumit kakekku dengan semua anak perempuannya. Selama ini yang terekam di kepalaku adalah pendapat kebencian ibuku mengenai pria tua itu.”

“Oh, jangan panggil pria tua, dong. Dia sudah berbaik hati memberikan rumah itu padamu.”

“Karena tidak ada ahli waris lagi selain aku,” kata Jade, menyugar rambut cokelatnya ke belakang. Atensinya tengadah memperhatikan lampu gantung kristal di langit-langit ruang tengah yang tinggi. “Selama pria itu masih hidup, dia tak berusaha mencari aku. Itu sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa kakekku orang payah.”

“Yah, sudahlah, aku tak bisa memahami kebencianmu. Tugasku hanya mengantar surat-surat penting dan wasiat kakekmu kepadamu,” kata Dave.

Jade melangkah menyusuri ruang tamu, melihat-lihat lorongnya yang dipenuhi kabinet berdebu dengan barang-barang antik di dalamnya―artefak dari budaya lain, seperti cermin kayu, patung-patung kecil, kendil keramik, dan perhiasan-perhiasan etnis yang ditaruh dalam wadah bening. Berdasarkan penjelasan Dave, kakeknya dulu adalah seorang pengoleksi barang antik.

Benda-benda seperti ini wajar ditemukan, meskipun kegunaannya masih perlu dipertanyakan. Jade sendiri tak begitu suka menghiasi rumah dengan ornamen yang berlebihan begini. Dia berpikir akan menjualnya nanti-nanti.

“Jadi, ada berapa kamar di rumah ini?” Jade bertanya seraya membuka satu per satu pintu yang tersebar di sepanjang lorong lantai pertama. 

“Satu kamar utama dan lima kamar biasa. Kamar utama adalah kamar bekas kakekmu. Uh, beliau menuliskan dalam riwayatnya kalau kau mungkin bisa menggunakan kamar yang lainnya, karena kamar utama lebih baik tidak―”

“Di mana kamar utamanya?”

“Hah?” Suara Dave terdengar terkejut.

“Kamar utama. Tentu saja aku mau menempati kamar utama,” kata Jade, mantap. Dia membuka pintu terakhir di bawah tangga dan menemukan sebuah kamar yang cukup bagus, namun tidak begitu luas. Dindingnya dilapisi kertas bernuansa marun yang berbau sedikit apak. Dilihat dari perabotannya, sepertinya ini kamar perempuan. Mungkin milik mendiang ibunya atau salah satu dari saudara-saudaranya.

“Kakekmu melarangmu menggunakan kamar utama.”

“Kenapa aku harus menuruti perintah orang yang sudah mati?”

“Itu wasiat, anak muda.”

“Aku adalah pewarisnya. Sekarang semua yang ada di rumah ini berhak menjadi milikku.”

Dave terdiam sejenak, dan Jade mendesak lagi, “Memangnya dia memberitahumu alasannya?”

“Sejujurnya … tidak. Dia hanya bilang di suratnya kalau kamar utama lebih baik dibiarkan kosong.”

“Bertambah lagi satu alasan mengapa aku pantas menyebutnya payah. Para manula tak pernah serius untuk menjelaskan sesuatu.”

Dave terdiam lagi, dan Jade menebak pria itu pasti sedang menggulirkan mata. Namun Jade toh tidak peduli bila orang lain menganggap dirinya kurang ajar, sebab dia tahu orang lain tak memahami hidupnya yang selama ini serba kacau. Bahkan mendiang ibu dan kakeknya, yang selama puluhan tahun rupanya menyimpan harta sebanyak ini tanpa sepengetahuannya. Bagaimana bisa dia berpikir tenang? Selama ini Jade merasa ditipu!

“Ya sudah, terserah kau. Kamar utama ada di lantai tiga, pintu sebelah kiri dari tangga menuju loteng.”

Sial. Mengapa kamar utama ada di lantai paling atas?”

“Sayangnya aku tidak tahu, Nak.”

“Baiklah, aku ke sana.” Langkah Jade berderap di sepanjang tangga yang melingkar.

“Omong-omong, aku akan secepatnya bertemu lagi denganmu. Kita janjian lewat virtual meeting, oke? Mungkin lusa atau hari setelahnya?”

“Tentu. Thanks.” Kemudian Jade mendengar salam terakhir dari Dave sebelum ponsel itu benar-benar ditutup.

Seusai percakapannya dengan Dave, Jade melewati dua bordes tangga sekaligus dan sampai ke lantai tujuan. Dia menarik napas sejenak dan menyiapkan diri melangkah ke lorongnya yang lebih gelap dan suram.

Hanya ada tiga pintu yang dua di antaranya merupakan ruang kosong. Satu pintu lain berada di ujung, dekat dengan ambang lengkung kecil ke arah loteng. Jade memantapkan langkah menuju kamar utama, lalu membukanya. Dia menyalakan saklar lampu yang terpasang di dekat pintu.

Ruangan yang menyambutnya―sesuai dugaannya―adalah ruangan paling besar dan luas. Kamar tidurnya terletak di tengah-tengah, diapit dua nakas kayu berpelitur rumit yang kakinya pendek dan melengkung. Karpetnya bundar berwarna emas, melapisi lantai kayu yang terlihat lebih mengilat daripada di luar tadi. Kemudian perabotan lainnya―lemari pakaian, lemari laci, dan meja rias cantik, mengelilingi dinding bercat kelabu. Jade bersiul senang, menghampiri kasur, lalu melemparkan diri ke atasnya.

“Ini kamar yang sempurna. Untuk apa melarangku menempatinya?” gumam Jade, sementara dia merentangkan tangannya di sepanjang kasur, mengusap seprainya yang lembut seperti bocah yang memeragakan kepakan sayap di pelataran salju.

Dia memejamkan mata sebentar dan menemukan fakta bahwa dirinya tak akan bisa tidur sebelum barang-barangnya dibawa naik. Maka Jade menikmati berbaring santai di sana selama beberapa menit. Pandangannya pelan-pelan bergeser pada sebidang dinding yang digantungi seprai putih untuk menutupi sesuatu yang berbentuk persegi di baliknya. Sepertinya isinya pigura foto atau lukisan.

Di antara semua perabot yang ada, mengapa hanya benda itu yang ditutupi?

Tahu-tahu saja saja nalurinya dibanjiri rasa penasaran untuk menyibak seprai itu. Benaknya menebak-nebak; mungkin itu adalah potret lukisan kakeknya, atau keluarga kakek bersama anak-anak perempuannya. Kalau dugaannya benar, Jade tak kuasa melihat bagaimana rupa ibunya saat masih muda dulu, jadi dia turun dari kasur, menghampiri dinding, dan langsung menarik seprainya ke bawah.

Seketika, pemuda itu terpaku menatap sebuah lukisan yang bersemayam di balik pigura emas.

Itu bukan lukisan kakek atau anggota keluarganya, melainkan lukisan seorang gadis muda yang tak dia kenal.

Berambut hitam bergelombang. Helainya turun melewati pundak sampai menyentuh pinggang. Warna kulitnya putih pucat―menyerupai mayat―kalau saja tidak ada rona merah muda tersepuh di pipinya yang membuatnya kelihatan hidup. Barangkali ada sihir magis di kedua matanya yang sekelam malam, sebab ketika menatapnya, Jade lupa caranya bernapas. Dia terperenyak selama hampir satu menit, dan langsung berkedip dilalap rasa malu karena memelototi wajah seorang gadis terlalu lama.

Secara keseluruhan, lukisan gadis ini memiliki kecantikan yang agung. Jade tak tahu bagaimana menjelaskannya, mengapa benaknya memilih kosakata “agung” untuk menggambarkan sosoknya yang terlihat gotik sekaligus aristokrat. Barangkali karena pakaian yang dikenakan gadis itu―merupakan sulaman bulu hitam elegan berkerah rendah, dipadu dengan kalung batu rubi berwarna merah, dan sarung tangan berenda yang menutupi jemari panjangnya yang seputih susu, seperti busana bangsawan Eropa abad pertengahan.

Jade bisa menebak bahwa gadis itu bukanlah istri sang kakek maupun ibu atau saudara-saudaranya. Selain karena perbedaan tahun yang terlalu lampau, ciri-ciri fisiknya juga berbeda dari foto yang pernah Dave tunjukkan kepadanya. Semua anggota keluarga Jade memiliki rambut cokelat dan mata berwarna hazel atau hijau. Tidak ada yang kulitnya sepucat mayat, dan warna rambut serta matanya tidak sehitam gadis ini.

Setelah beberapa menit membeku dan mengamati lukisan, terbit pertanyaan ganjil dalam kepalanya;

Mengapa sang kakek menyimpan lukisan gadis asing di kamar pribadinya?[]

-oOo-

.

.

.

Yeay, halo!

Sebenarnya ini naskah lama yang pernah kupublish di suatu tempat, tapi karena masa kontraknya mau habis jadinya aku taruh di sini. Aku enggak merevisi naskah ini selain mengganti nama-nama tokohnya (mohon maklumi kalau menemukan kesalahan di tata bahasa atau plot).

Dan, naskah ini enggak akan kuterbitkan cetak. Jadi, nikmati sajalah yaa di Wattpad 😁

Please give some appreciation if you like this story. Vote, comment, or share to socmed! ❤✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top