VII. A Little Trouble

*-Β  Μ—Μ€βœ¦βœ‚βŠΉΒ΄ ;Β  .*

Alicia membuka pintu mobil, menapakkan kakinya trotoar beton berselimut salju yang membawanya menuju pintu masuk Akademi Eden. Ia memasukan kepalanya kembali ke mobil, mengajak Anya keluar.

"Anya, kita sudah sampai. Ayo keluar," ajaknya sambil mengulurkan tangan.

Gadis berambut merah jambu yang masih duduk dalam mobil mengangguk sambil tersenyum, tangannya meraih uluran tangan dari Alicia. Anya pun meloncat turun dari mobil, kakinya terbenam dalam lapisan salju yang tebal.

"Apa kau bisa berjalan?" tanya Alicia dengan nada cemas.

Anya mengangguk. "Anya bisa, kok. Walau agak berat, sih."

"Syukurlah kalau begitu," balas sang puan surai pirang dengan senyuman lega.

Keduanya berjalan berdampingan menuju pintu masuk. Gerakan mereka agak lambat mengingat Anya yang kesulitan berjalan di antara tumpukan salju yang tebal, Alicia sebagai figur kakak yang pengertian pun menyelaraskan langkah dengan si gadis kecil.

Tatkala sampai di depan gerbang, langkah mereka dicegat oleh seorang penjaga gerbang yang bertugas jaga di area tersebut.

"Ada keperluan apa siswa seperti kalian datang kemari?" tanyanya dengan nada yang tidak ramah.

Anya yang mendengar sambutan tersebut memasang wajah kesal. "Orang ini tidak ramah sekali," ucapnya dengan suara yang sengaja dikeraskan agar terdengar.

"Huh? Apa katamu, bocah kencur?" tanya penjaga gerbang itu dengan pandangan galak yang membuat Anya ketakutan.

Sang gadis kecil bermata hijau limun segera memeluk kaki Alicia, bersembunyi di baliknya dengan sedikit gemetar. "Kak Alicia...."

Alicia menepuk pelan kepala Anya untuk berusaha menenangkannya. Perempuan muda itu kemudian membungkuk. "Mohon maafkan ketidaksopanan teman adikku tadi, Pak."

Sang penjaga gerbang malah berdecih. "Inilah mengapa aku membenci anak orang kaya. Mereka manja dan tidak tahu sopan santun. Benar-benar tidak menghormati yang lebih tua dari mereka mentang-mentang status sosial keluarganya lebih tinggi."

"Sekali lagi, mohon maafkan kejadian tadi," ulang Alicia dengan nada bersalah.

Petugas itu mendengkus kesal, bibirnya kemudian merekahkan senyum licik. "Jika kalian berisikeras untuk dimaafkan, mau bagaimana lagi. Berikan aku uang dua ribu dalc, dan aku akan melupakan sikap kurang ajar anak ingusan tadi."

Alicia seketika menegakkan tubuhnya. "Maaf?"

"Apa telinga beranting emas mahalmu itu tuli? Berikan aku uang dua ribu dalc! Oh iya, mengingat kau juga pura-pura tuli saat aku berbicara tadi, kau harus memberikan sepasang anting yang kau kenakan itu," tuntut si penjaga dengan nada tidak sabaran.

"Maaf, Pak. Tapi, Akademi Eden tidak menghendaki adanya pungutan biaya masuk untuk siswa maupun wali murid saat berkunjung di waktu liburan, ini termasuk pungutan liar. Dan saya sebagai salah satu siswi yang bersekolah di sini, tidak menyetujui tindakan yang anda lakukan," protes Alicia dengan tegas, kedua tangannya bersedekap di depan dada.

"Oh, jadi kau ingin dilaporkan ke pihak akademi?" tanya sang petugas dengan angkuh. "Tidak masalah, toh kau yang kena masalahnya."

Namun, daripada memelas, Alicia justru tertawa pelan dengan tatapan meremehkan. Reaksi yang di luar dugaan tersebut membuat si penjaga menjadi bingung.

Gadis bernetra biru itu mengeluarkan perekam suara dari dalam jaketnya. Ia tak mengatakan apa pun, ibu jarinya hanya menekan tombol dan memainkan suara yang telah direkam oleh alat elektronik tersebut.

"Jika kalian berisikeras untuk dimaafkan, mau bagaimana lagi. Berikan aku uang dua ribu dolar, dan aku akan melupakan sikap kurang ajar anak ingusan tadi."

"Maaf?"

"Apa telinga beranting emas mahalmu itu tuli? Berikan aku uang dua ribu dalc! Oh iya, mengingat kau juga pura-pura tuli saat aku berbicara tadi, kau harus memberikan sepasang anting yang kau kenakan itu."

Pria berseragam itu langsung terperanjat, ekspresi panik tergambar jelas di wajahnya setelah mendengar rekaman suara tersebut. Di sisi lain, Alicia tersenyum manis, seakan tengah menikmati pemandangan menyedihkan yang tersaji.

"Hm ... bagaimana jika rekaman ini sampai terdengar oleh dewan guru?" tanya Alicia dengan nada dimanis-maniskan dengan sengaja. "Tentu anda akan langsung kehilangan pekerjaan, bukan?"

"Anda akan menjadi pengangguran dan lontang-lantung di jalanan," lanjutnya ekspresi sedih yang dibuat-buat. "Ah! Tapi mengingat bakat memalak anda, anda pasti bisa bertahan hidup! Anda akan menjadi seorang preman jalanan yang handal dalam merampas uang dan barang berharga orang-orang di jalanan. Hm, hm, itu pasti. Jadi, anda tidak perlu mengkhawatirkan soal kehidupan anda setelah dipecat ya, Pak?"

Mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Alicia membuat ekspresi pria itu semakin ketakutan. Ia pun mulai memohon kepada gadis di hadapan," A-Aku mohon, jangan laporkan aku! Aku akan memperbolehkan kalian masuk, jadi tolong jangan laporkan, ya?"

"Ah, benarkah? Anda baik sekali! Terima kasih banyak!" seru Alicia dengan senyum manis. "Kalau begitu, saya tidak akan melaporkan anda. Oh, saya sudah membawa surat izin untuk mengunjungi penghuni asrama, haruskah saya menunjukannya?"

"Ti-tidak perlu, kau-- maksud saya, anda tidak perlu report-repot menunjukannya," jawab sang penjaga dengan senyum yang sedikit-- ralat, sangat dipaksakan.

"Oh? Baiklah kalau demikian," tanggap Alicia dengan raut ceria. "Ayo, Anya."

Anya kembali menggandeng tangan sang gadis pirang dan mengangguk. Namun, ia mendengar isi pikiran si petugas.

Saat ia lengah, akan kupukul kepala gadis sialan itu hingga pingsan.

Gawat! Anya segera menarik tangan Alicia. "Kak--"

Alicia segera berbalik dengan sebuah alat di tangannya. Disentuhkannya ujung alat tersebut ke dada si penjaga, lalu menekan tombol dengan ibu jari. Hal yang terjadi setelahnya adalah pria itu bergetar hebat seperti orangΒ  tersetrum― atau memang itulah yang terjadi, karena Anya dapat mendengar suara aliran listrik tatkala Alicia menekan tombol alat yang sedang digenggam.

Usai penjaga gerbang itu terjatuh pingsan ke tanah, Alicia memandang tubuh tersebut dengan pandangan hina. "Dasar bajingan tidak tahu diri," ucapnya sambil memasukkan alat yang digunakannya tadi ke dalam tas.

Ia kembali menoleh ke arah Anya dengan senyum manis terpatri di bibir, mengenggam erat tangan mungil dalam genggaman. Sang gadis kecil menganggukan kepala, mengenggam kembali tangan yang memegangnya.

Saat berjalan beriringan, mata hijau Anya sesekali melirik Alicia yang tengah menikmati pemandangan bangunan akademi. Anak perempuan itu tersenyum, sedikit mengeratkan genggaman pada tangan si puan bernetra samudera.

Kak Alicia keren!

*-Β  Μ—Μ€βœ¦βœ‚βŠΉΒ΄ ;Β  .*

Bonus :

Alicia in this chapter be like:

I've only had Anya fifteen minutes. But if anything happened to her, I'll kill everyone in this room then myself.

BαΊ‘n Δ‘ang đọc truyện trΓͺn: AzTruyen.Top