III. His Decision
*-Β ΜΜβ¦ββΉΒ΄ ;Β .*
Sepasang mata hitam menatap kartu nama di genggaman. Damian telah melihat kertas itu selama tiga puluh menit, membaca kalimat yang tertulis berulang-ulang. Ia kemudian menghela napas, merentangkan tangan dan menatap atap kayu di atasnya dari tempat tidur tempat ia berbaring.
Damian memandang sekitar, mendapati suasana kamar asramanya yang terasa benar-benar berbeda. Dua tempat tidur lain di sebelah kanannya kosong, sosok yang biasa berbaring di sana kini tak tampak. Malam ini ia sendirian.
Kedua temanyaβ Emile dan Ewenβ saat ini sedang pulang ke rumah masing-masing. Orang tua mereka menjemput dua anak itu sore tadi beberapa saat setelah ketiganya sampai di asrama. Emile dan Ewen pun dengan berat hati pergi bersama sang orang tua setelah berpamitan dengan putra Keluarga Desmond dan para pengurus asrama.
Damian merasa sedikit kesepian etelah kepergian mereka. Ruangan yang hanya disinari dengan sinar temaram rembulan dari kaca jendela membuatnya teringat dengan hari-harinya saat ia belum bersekolah di Akademi Edenβ kala dirinya masih hidup di bawah atap yang sama dengan sang ayah.
Sendiri dan kesepian, seakan eksistensinya tak berarti walau banyak pelayan yang mengurus segala kebutuhannya. Perasaan menyedihkan itu kembali menyergap hatinya saat ini.
Anak laki-laki itu menghela napas, lalu bangun dari posisi tidurnya dan berjalan ke arah telepon rumah yang tergeletak di atas meja. Diangkatnya gagang telepon kemudian mendekatkannya ke telinga, jari telunjuk tangan kanannya mulai menekan beberapa angka dan tombol panggil di akhir. Suara 'tut' yang berulang-ulang terdengar setelahnya.
"Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silahkan coba beberapa saat lagi--"
Damian langsung menekan tombol untuk mengakhiri panggilan. Ia ingin berbicara langsung dengan kakaknya, hal yang akan didiskusikannya sangatlah penting. Selain itu, walau mengirim pesan suara pun, Damian yakin sang kakak tak akan balik meneleponnya.
"Kucoba lagi saja," gumamnya sambil menekan nomor secara bergantian dengan urutan yang sama seperti sebelumnya. Ia berharap dalam hati, semoga sang kakak menjawab panggilannya kali ini.
"Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Silahkan--"
Namun, kenyataan tidak sesuai dengan ekspetasinya. Panggilan darinya tidak diangkat lagi.
"Apa Kakak sedang sibuk, ya?" Damian mengendikan kedua bahunya. "Yah, mungkin saja begitu. Lagipula, dia salah satu anggota Imperial Scholar. Kali saja ada pertemuan anggota akhir tahun ajaran baru atau semacamnya."
Imperial Scholar, sebuah organisasi yang anggotanya adalah siswa-siswi terpilih peraih delapan stella. Mereka merupakan para pelajar paling berwawasan, beretika serta elok di akademi (jika dibahasakan dalam kalimat Profesor Henderson). Dengan kata lain, murid-murid yang tergabung dalam organisasi ini merupakan siswa berkasta paling tinggi dan dihormati di kalangan siswa akademi.
Kembali ke situasi saat ini. Sekarang, Damian tengah berpikir tentang siapa yang bisa membantunya. Kedua netra gelapnya melirik kartu nama yang masih tergeletak di atas kasurnya.
"Apa aku meminta tolong Forger saja, ya?" gumamnya pelan tanpa sadar. Namun, ia segera menggelengkan kepalanya cepat-cepat. "Tidak, tidak! Aku tidak butuh bantuan gadis aneh itu!"
Jari telunjuknya kini kembali menekan tombol di telepon dengan urutan yang berbeda dari sebelumnya, ia menelepon orang lain. Tentu saja, orang lain itu bukanlah gadis bermarga Forger yang sekelas dengannya.
Selesai dengan menekan nomor yang akan ditujunya, Damian menekan tombol panggil. Bunyi 'tut' beruntun kemudian terdengar, namun berakhir singkat bersamaan dengan terdengarnya suara sang penerima.
"Halo, dengan kediaman Charleston di sini," ucap suara seorang wanita tua dari seberang telepon.
Ini Bibi Margaret, batin Damian sambil tersenyum. "Halo, Bibi. Ini Damian, putra Donovan Desmond."
"Ah! Adiknya Tuan Demetrius, ya?"
Damian berdeham. "Iya, itu saya. Apa Kak Alice-- ah, maksud saya Nona Alicia ada?"
"Oh, ingin berbicara dengan Nona, ya?"
"Benar. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan beliau."
Helaan napas terdengar dari seberang telepon, disusul dengan jawaban dari Bibi Margaret. "Begitu, ya. Mohon maaf, Nona saat ini sedang tidak berada di kediaman. Beliau belum pulang dari akademi sejak berangkat sore tadi."
"Eh? Belum pulang?"
"Iya. Katanya ada pertemuan anggota Imperial-- apa begitu di akhir semester," balas sang perempuan tua di panggilan. "Begini saja. Jika Nona sudah pulang, saya akan meminta beliau untuk menelepon anda, bagaimana?"
Sesuai dugaanku, batin Damian dalam hati. "Baiklah, saya setuju. Mohon bantuannya, Bibi Margaret."
"Baiklah, nanti akan saya lakukan," tanggap sang pemilik suara yang dipanggil Bibi Margaret itu.
"Terima kasih banyak, akan saya tutup panggilannya sekarang. Selamat malam."
Bibi Margaret berdeham. "Selamat malam."
Dengan demikian, Damian meletakan gagang telepon ke tempatnya dan mengakhiri panggilan. Helaan napas lolos dari bibirnya. Sekarang, ia hanya perlu menunggu telepon dari Alicia Charlestonβ calon kakak iparnya yang malah lebih terkesan seperti seorang kakak kandung.
Atau begitulah rencananya. Damian menatap jam dinding yang telah menunjukan pukul sepuluh malam, namun belum ada panggilan sama sekali dari Alicia.
"Apa kegiatan Imperial Scholar itu sangat sibuk sampai-sampai anggotanya tidak pulang hingga selarut ini?" monolog Damian sambil memandang gedung akademi dari jendela kamar asramanya.
Sepasang netra obsidiannya kembali menatap kartu nama yang tergeletak di atas tempat tidur, menimbang-nimbang keputusan dalam kepala. Haruskah ia meminta bantuan dari si gadis berambut merah jambu atau tidak? Semacam itulah pergolakan batin dalam dirinya.
Setelah memutuskan keputusannya, Damian akhirnya memilih untuk menelepon nomor yang tertera dalam kartu nama yang diberikan oleh Anya sore tadi. Diraihnya secarik kertas itu dan berjalan ke arah telepon, lalu mulai mengangkat gagang telepon.
"Aku hanya ingin meminta saran, bukannya dia berkata kalau aku bisa menghubungi nomor ini kalau butuh sesuatu 'kan? Aku hanya butuh saran, bukan bantuan," gumam sang anak lelaki bersurai hitam sambil menekan angka-angka sesuai urutan yang tertera dalam kartu nama di genggaman.
Setelah itu, Damian menekan tombol panggil. Sambil menunggu panggilannya diangkat, ia menghela napas.
Semoga keputusanku ini tidak salah.
*- ΜΜβ¦ββΉ' ; .*
BαΊ‘n Δang Δα»c truyα»n trΓͺn: AzTruyen.Top