II. Offer : Accepted!
*-Β ΜΜβ¦ββΉΒ΄ ;Β .*
"Ugh, lepaskan tangan Anya! Ini sakit sekali, tahu!"
Damian lantas melepaskan tangan Anya atas pinta tersebut. Sang gadis mengelus pergelangan tangannya yang terasa nyeri akibat cengkeraman tadi, sesekali meniupnya seakan hal tersebut dapat membuat rasa sakitnya hilang. Sedangkan anak laki-laki di hadapan hanya bersedekap tangan, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Saat ini, mereka sedang berada di taman belakang sekolah. Pohon-pohon tanpa dedaunan berselimut salju, begitu pula dengan semak hias yang dibentuk menjadi persegiβ mereka memutih akibat tertutup oleh salju. Tempat tersebut sangat sepi, orang yang lewat pun hanya satu atau duaβ benar-benar sebuah lokasi yang tepat untuk berbicara empat mata dengan gadis bermulut ember di hadapan.
"Kenapa Sy-on boy membawa Anya ke sini?" tanya Anya dengan raut wajah kesal. Ia masih dongkol karena genggaman super kuat Damian tadi.
"Aku sudah bilang tadi, 'kan? Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu," jawab Damian.
Anya menghentikan kegiatan mengelus tangannya, memberi anak laki-laki di hadapan tatapan bingung. "Tentang apa?"
"Bagaimana kau bisa membaca isi pikiranku?" tanya Damian dengan pandangan penuh selidik.
Mendengar pertanyaan itu membuat Anya meneguk ludah. Bagaimana dia bisa tahu?!
Sang gadis berambut merah muda panik, isi pikirannya kacau. Apa dirinya memperlihatkan kemampuannya dengan sangat jelas? Apakah ia terlalu berlebihan dalam berkata saat di kelas tadi? Pikiran Anya benar-benar berantakan.
"Hei, jawab pertanyaanku."
Lamunan Anya buyar begitu mendengar tiga kata tersebut. Ia memejamkan mata dan menghembuskan napas. Damian Desmond tidak boleh mengetahui kemampuannya, atau operasi strix akan gagal.
Maka dari itu, Anya menggeleng dan berkata, "Anya tidak mempunyai kemampuan seperti itu."
Damian mengangkat sebelah alis, masih belum percaya akan penuturan yang diberikan si gadis merah jambu. "Benarkah?"
Anya mengangguk. "Ya, sungguh."
Damian berdeham panjang. "Yah, kemampuan semacam itu tidak mungkin ada di dunia nyata, hanya ada dalam film dan novel bergenre sci-fi."
Anya yang tak paham dengan balasan Damian hanya bisa menganggukan kepala dengan ragu-ragu. Yang penting, ia tak lagi dicurigai memiliki kemampuan membaca pikiranβ atau dengan kata lain, tidak lagi dikira seorang esper.
"Anya tahu tentang hal itu dari raut wajahmu yang tampak resah setelah Pak Henderson memberikan tugas tadi," papar Anya sambil memegang kedua tali tasnya.
"Soal nilai, Anya sama sekali tidak yakin hal itu penyebabnya.
"Habisnya, Sy-on boy selalu mendapat nilai bagus di semua mata pelajaran. Jika penyebabnya adalah teman, Anya juga sangat tidak yakin. Karena, Sy-on boy memiliki dua teman yang selalu menemaninya. Para siswa pun mengagumi dan ingin dekat dengan Sy-on boy.
"Jadi, Anya pikir, dua hal itu bukan penyebabnya. Dan hal itulah yang membuat Anya berpikir jika penyebabnya dari hubungan keluarga. Anya tidak menyangka bahwa dugaannya akan benar."
Mendengar penjelasan panjang lebar dari Anya mengakibatkan Damian diam membisu. Kedua pipinya perlahan memerah, membuatnya tampak seperti apel ranum yang siap untuk dipetik. Ia menaikkan syalnya, berusaha menutupi rona merah yang telah menyebar di kedua pipi.
"A-Aku tak menyangka kau memperhatikanku seperti itu," gumam Damian dengan nada sepelan bisikan.
Anya yang tidak mendengar gumaman tersebut dengan jelas lantas menelengkan kepala dan bertanya, "Sy-on boy tadi bilang apa?"
Damian langsung memalingkan muka, tak ingin bertatapan dengan sepasang mata hijau limun yang indah itu. "B-bukan apa-apa."
Sang gadis surai merah muda menatap anak lelaki di hadapan dengan tatapan penuh selidik. Anya hendak membuka mulut, namun Damian telah menyelanya terlebih dulu.
"Tadi itu bukan hanya hal yang ingin kutanyakan padamu," kata Damian mengawali. "Ada satu hal lagi."
"Dan ... apa itu?"
"Aku ingin kau tidak memberitahukan hal tadi pada orang lain. Jika ada yang terlanjur mendengar, katakan saja jika kau asal bicara," kata anak laki-laki berambut hitam itu sambil menyedekapkan kedua tangan di depan dada. "Hal ini tidak boleh diketahui siapa pun. Jadi, aku ingin kau bungkam soal ketidakharmonisan hubunganku dengan ayahku."
Anya lagi-lagi bertanya, "Mengapa?"
Damian mendecakkan lidah. "Bisakah kau berhenti bertanya dan lakukan saja apa yang kuminta?"
"Tidak mau," balas Anya sambil memalingkan muka dengan ekspresi merajuk.
"Huh, mengapa balasanmu seperti itu?" tanggap Damian dengan nada kesal yang kentara.
"Karena, Anya memang tidak mau melakukannya."
Sungguh alasan yang klise, Damian hanya bisa menepuk jidat. Ia bingung bagaimana cara untuk membuat gadis di hadapannya ini mau tutup mulut.
Anak laki-laki itu menghela napas. "Lalu, apa maumu?"
"Kue kacang-- eh, bukan!" Anya segera menggelengkan kepala begitu salah menjawab, gelagatnya itu tampak imut menurut Damian.
Si gadis bernetra hijau menarik tangan Damianβ yang mana membuat anak laki-laki berambut hitam itu sedikit tersentak karena terkejutβ dan meletakkan kartu nama di genggaman pada telapak tangan Damian.
"Anya ingin Sy-on boy menerima kartu nama Ayah," ucap Anya dengan serius. "Setelah itu, Anya tidak akan menyebarkan rahasia tadi."
Damian memberikan meletakkan kembali kartu nama itu ke telapak tangan Anya, senyuman pongah terbit di bibir. "Dan apa yang akan kau lakukan jika aku menolak?"
"Anya akan memberi tahu semua orang tentang rahasiamu," jawab Anya yang kini menoreh senyum remeh.
Damian mendengkus geli. "Kau pikir mereka akan percaya dengan perkataan dari gadis kelas menengah sepertimu?"
Anya mengerutkan alis begitu mendengar sebutan itu. Dengan rasa kesal yang berusaha ditahan, ia menjawab,"Mereka mungkin tidak akan percaya pada Anya. Tapi Anya yakin mereka akan percaya dengan ucapan Becky."
Damian langsung memasang wajah kesal begitu mendengar respon yang diberikan Anya. Ia lupa akan fakta bahwa gadis bermarga Forger ini dekat dengan putri pemilik perusahaan senjata militer yang berpengaruh itu.
Sedangkan Anya hanya memasang cengiran lebar penuh kemenangan, seakan menikmati mimik kesal anak laki-laki di hadapannya. Saat ini, gadis itu tengah membayangkan ekspresi senang serta pujian-pujian yang akan didapatkannya dari sang ayah setelah sampai di rumah nanti.
Damian berdecih, tangannya langsung meraih kartu nama yang berada di atas telapak tangan Anya dengan kasar. "Baiklah, kuterima."
Tatkala mendengar hal tersebut, kedua mata hijau limun Anya langsung berbinar. Cengiran lebar nan pongah tadi kini berubah menjadi seuntai senyum manis, kedua netra memejam dengan senang. Di mata Damian, Anya saat itu terlihat seperti bidadari dengan bulu-bulu putih yang berterbangan di sekitarnya. Ia langsung menggelengkan kepala dengan cepat, berusaha mengusir halusinasinya tersebut.
"Syukurlah kau mau menerimanya, Anya merasa senang," kata sang gadis merah jambu sembari tersenyum.
Damian langsung memalingkan muka, kedua pipinya bersemu. "A-aku hanya menerimanya agar kau tutup mulut."
Anya terkekeh, lalu kembali tersenyum. "Baiklah, Anya berjanji tidak akan memberitahukan rahasiamu pada siapa pun!"
"Kau akan memegang janjimu, 'kan?" tanya anak laki-laki bermata obsidian itu dengan penuh rasa curiga serta keraguan.
Anya menggembungkan kedua pipi, merasa kesal Damian belum mempercayainya. "Tentu saja! Anya tidak akan mengingkari janjinya!" katanya dengan nada marah.
"Bagus," ujar Damian dengan torehan senyum. Namun, roman mukanya berubah menjadi bingung beberapa saat setelahnya. "Tapi, aku masih belum paham. Mengapa kau sangat keras kepala agar aku mau menerima tawaranmu?"
Damian sama sekali tidak paham dengan tujuan Anya, mengapa gadis ini repot-repot ingin membantunya? Apa ia bertujuan untuk membuatnya berhutang padanya? Mungkin saja. Dengan memanfaatkan pengetahuannya akan rahasia yang dismbunyikan, anak keluarga Forger itu bisa memanfaatkannya.
"Mengapa, ya?" Anya bergumam lama, ibu jari dan jari telunjuknya mengelus daguβ memasang pose berpikir. Tak lama kemudian, ia kembali mengulas senyum. "Karena, Anya ingin berteman dengan Sy-on boy dan menjadi lebih akrab dengannya!"
Mendengar penuturan polos itu, pipi Damian kembali merona. Suhu yang begitu rendah tiba-tiba naik dengan drastis, kehangatan menyebar ke seluruh wajahnya. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat, suaranya memenuhi kedua telinga. Ia sama sekali tak paham, mengapa perkataan sederhana seperti itu bisa membuat dirinya berdebar?
Damian akhirnya berdeham, berusaha menenangkan diri. Setelah batinnya tertata, ia berkata, "B-begitu, ya. Akan kuperjelas, kau harus tutup mulut soal rahasiaku tadi karena aku telah menerima kartu nama ini. Tidak ada transaksi lagi di antara kita setelah ini, paham?"
Anya mengangguk.
"Kau berjanji?"
Anya mengangguk lagi.
"Kau bersumpah?"
Anya membentuk tanda silang di dada kirinya. "Anya bersumpah atas nama Bond."
"Bagus," balas Damian. "Sekarang aku akan pulang, Emile dan Ewen pasti sudah menungguku."
Anak laki-laki itu kemudian berjalan menuju pintu masuk menuju gedung sekolah, meninggalkan Anya yang turut berlari untuk menyusulnya.
*-Β ΜΜβ¦ββΉΒ΄ ;Β .*
BαΊ‘n Δang Δα»c truyα»n trΓͺn: AzTruyen.Top