I. An Offer
*-Β ΜΜβ¦ββΉΒ΄ ;Β .*
Bunyi lonceng beruntun menggema di seluruh penjuru sekolah, pertanda bahwa seluruh kegiatan belajar mengajar telah selesai sore itu. Para murid jenjang Sekolah Dasar telah berhamburan keluar, menyebabkan kelas-kelas menjadi kosong.
Anya menyampirkan tali tasnya ke pundak, kemudian membenarkan lilitan syal merah muda pada lehernya. Kedua mata zamrud miliknya melihat sekeliling, mendapati bahwa yang masih berada di kelas selain dirinya adalah Becky, Damian dan kedua temannya. Murid-murid lain telah keluar beberapa menit lalu, hanya menyisakan mereka berlima.
Setelah kelas menjadi cukup sepi, Anya bisa mendengar isi pikiran Damian. Dari situ juga, ia mengetahui penyebab putra bungsu Keluarga Desmond tersebut memasang raut gelisah saat Profesor Henderson menyampaikan informasi tadi.
"Hei, Anya. Hadiah apa yang akan kau berikan ke Tuan Loid-- maksudku, kedua orang tuamu?" tanya Becky basa-basi dengan kedua pipi yang sedikit merona. Mungkin suatu hal yang mengejutkan, tapi gadis bersurai hitam ini menaruh rasa pada Loid Forgerβ yang tak lain adalah Ayah Anya.
Pertanyaan tersebut membuat si gadis surai merah jambu terbangun dari lamunannya. Ia menelengkan kepalanya dan balik bertanya, "Kau bilang apa tadi, Becky? Anya tidak dengar."
Anak perempuan berambut gelap itu menampar dahi sambil menghembuskan napas. "Aku bertanya, apa hadiah yang akan kau berikan kepada ayah dan ibumu?"
Bibir mungil Anya membentuk huruf 'o' sebagai tanggapan. Ia kemudian memejamkan mata sembari mengerutkan dahi, tangan memegang daguβ memasang pose berpikir. Setelah berpikir selama beberapa detik, Anya menjawab, "Entah, Anya belum punya ide. Tapi intinya, Anya akan membuat hadiahnya sendiri."
"Begitu, ya," tanggap Becky. "Jadi, hadiah buatan tangan?"
Anya mengangguk dengan senyum antusias. "Iya. Bagaimana denganmu, Becky? Apa hadiah yang akan kau berikan?"
"Entahlah. Mungkin sebuah lukisan mahal karya pelukis terkenal? Aku belum punya keputusan yang pasti."
"Ah ... begitu, ya," respon si gadis bermata hijau. Orang kaya memang beda!
Anya kemudian mengalihkan pandangan ke arah Damian yang sibuk bercengkrama dengan kedua temannya. Ia mengeratkan kedua telapak tangan mungilnya begitu telah menentukan keputusannya. Ya, Anya Forger telah memutuskan untuk membantu Damian Desmond demi kelancaran berjalannya Operasi Strix.
Dengan demikian, Anya menurunkan tasnya dan mengacak-acak isinyaβ berusaha mencari sesuatu di dalam sana. Beberapa menit setelahnya, ia menemukan apa yang dicari. Anya menggenggam sebuah kertas kecil yang merupakan kartu nama milik sang ayah.
Setelahnya, Anya kembali menggendong tasnya dan berjalan ke arah Damian dengan kartu nama ayahnyaβ Loid Forgerβ di genggaman. Becky yang hendak mengajaknya pulang bersama pun heran akan apa yang dilakukan oleh teman berambut merah muda itu, namun ia memutuskan untuk diam dan memperhatikan apa yang terjadi.
"Sy-on boy!"
Mendengar panggilan aneh itu, Damian lantas menoleh. Ah ya, orang yang memanggilnya dengan nama aneh tersebut hanyalah dia, Anya Forgerβ si gadis cerewet dengan tatanan rambut yang aneh.
Damian bersedekap di depan dada, memandang Anya dengan tatapan tajam. "Apa?"
"Anya hanya ingin memberikan ini," jawab Anya sambil menyerahkan selembar kertas nama di tangannyaβ yang kemudian diterima oleh anak laki-laki di hadapan.
Mata hitam Damian membaca kalimat yang tertulis di atas kertas tersebut, mendapati itu adalah sebuah kartu nama milik Loid Forger. Tatapannya kembali beralih ke arah Anya, gadis itu tengah mengulas senyum. Damian lantas mengalihkan pandangan begitu merasakan kehangatan yang merayap di kedua pipi.
Anak perempuan di hadapannya memang merepotkan.
"Mengapa kau memberikan ini padaku?" tanya Damian tanpa menoleh ke arah Anya.
Sang gadis bernetra hijau melebarkan senyum. "Karena, Anya ingin membantu Sy-on boy."
"Membantu?" Damian mendengkus angkuh, kedua mata obsidiannya kini menatap Anya dengan pandangan sombong. "Aku tidak butuh bantuanmu."
"Benar, Bos tidak memerlukan bantuan darimu," sahut seorang anak lelaki dengan gigi depan menyerupai kelinciβ Emile Elman. Damian dan anak laki-laki berkepala lonjong di sebelahnyaβ Ewen Egeburg mengangguk setuju.
Anya merapatkan bibir, terdiam akan penolakan mentah-mentah dari Damian. Anak laki-laki bernetra hitam itu mengembalikan kartu nama di tangan kepada si gadis bersurai merah jambu, lalu berjalan ke arah pintu keluar dengan Emile dan Ewen yang mengikutinya dari belakang.
Becky yang melihat kejadian tersebut langsung berlari ke sisi Anya, mengelus pundak teman baiknya itu.
"Anak itu benar-benar tidak tahu caranya bersikap baik kepada gadis," geram sang gadis berkuncir dua dengan kesal sembari melirik Damian dan kedua kawannya.
"Ayo kita pulang-- Anya!" Becky memekik kaget begitu melihat Anya berlari ke arah Damian dengan kartu nama di tangan. Gadis itu menghela napas sebelum menoreh senyum simpul, sahabatnya itu memang pantang menyerah.
Entah mengapa ini mengingatkanku akan drama yang kutonton kemarin malam, batinnya sambil memejamkan mata.
"Sy-on boy!"
Damian berdecak kemudian menoleh, mendapati Anya yang tengah memasang tampang serius. Pandangannya beralih ke tangan sang gadis, mendapati kartu nama yang dikembalikannya tadi.
"Apa?" tanya Damian sambil menaikkan sebelah alis. "Aku sudah bilang, aku sama sekali tak butuh--"
"Anya tahu rahasiamu."
Kalimat yang terlontar dari mulut anak perempuan bermarga Forger itu membuat Damian mengerutkan dahi. Ia berpikir sejenak, menebak-nebak rahasia yang dimaksud oleh gadis kecil di hadapan.
Sejauh ini, aku tak memiliki rahasia apapun. Kecuali, Ayah yang terlalu sibuk dan tak bisa menghubungiku, batin Damian sambil melirik Anya yang masih menatapnya. Dia tak mungkin tahu tentang hal itu,'kan?
Ah, andai Damian tahu bahwasanya Anya dapat mendengar isi pikirannya dengan sangat jelas.
"Anya tahu. Hubunganmu dengan ayahmu sedang tidak baik-baik saja, bukan?"
Damian melotot begitu mendengar penuturan polos gadis di hadapannya. Terkejut dan bingung, raut wajahnya menggambarkan itu semua.
Bagaimana dia tahu?! Apa dia cenayang?!
Sang anak laki-laki bersurai hitam menggelengkan kepala, berusaha mengusir pemikiran barusan. Hal utama yang harus ia tangani adalah menemukan cara agar Anya Forger bungkam.
Ewen hendak membuka mulut, tapi tidak jadi karena Damian langsung memberinya tatapan tajam. Emile yang awalnya hendak bertanya soal ucapan Anya pun langsung bungkam begitu ditatap dengan lirikan setajam belati itu. Pada akhirnya, keduanya memilih untuk diam.
Damian kembali mengalihkan pandangan ke arah Anya, kerlingan matanya masih samaβ tajam dan penuh amarah. Tangannya meraih pergelangan tangan sang gadis mata limun dengan paksa, mengenggamnya erat.
"Ikut aku," kata Damian dengan penuh penekanan, genggamannya di pergelangan tangan Anya menjadi kian erat. "Ada hal yang harus kita bicarakan, Forger."
Kalimat tersebut adalah kalimat terakhir yang terucap oleh bibir Damian sebelum menyeret Anya keluar kelas dan menyusuri lorong menuju taman belakang. Sang putra bungsu Keluarga Desmond tak memedulikan tatapan dan bisikan-bisikan dari para siswa yang berada di lorong, otaknya telah tumpul untuk sekedar memikirkan opini orang-orang.
Pendapat orang lain tentangnya yang menyeret gadis sebaya ke taman belakang tidaklah sepenting keresahan yang selama ini dipendamnya. Ia sama sekali tak boleh membiarkan Anya Forger membeberkan fakta hubungan antara dirinya dan sang ayah yang kurang harmonis pada publik.
*-Β ΜΜβ¦ββΉΒ΄ ;Β .*
BαΊ‘n Δang Δα»c truyα»n trΓͺn: AzTruyen.Top