(♡︎) - DAY 05. k. shinsuke

"Maaf, ya, [Name]."

Aku dibuat tertahan olehnya, menahan perih dalam dada, namun di atas lara aku terus mengembangkan birai dan menahan mataku yang hendak meneteskan airnya, karenanya yang baru saja menuturkan lontaran perpisahan. Kendati mengeratkan genggaman pada kain yang melapisi bagian kaki, kemudian mendongak—menyamakan pandangan sang pemuda di depan mata.

"Tidak masalah, kak! Aku mengerti Kak Kita ingin membahagiakan nenek kakak dengan jalan ini, kejar cita-cita kakak dengan serius, ya! Aku tunggu kabar suksesnya!" jawabku penuh bohong.

Yang jelas, semua tutur bibirku ini hanya sebuah kiasan belaka. Aku tak ingin dia pergi, aku ingin terus berada di sampingnya. Lara yang membawa nestapa ini mengudara bersama perginya matahari pada cakrawala. Andai kata sang pemilik hati mengembalikan keputusannya, aku akan mendekapnya erat.

Namun kenyataan dengan beringasnya membabi buta angan dalam benak, status kita tak lagi sama. Hubungan ini telah berakhir sepenuhnya setelah Kita Shinsuke ini menyatakan padaku perihal keputusannya mengejar cita-citanya. Frasa yang telah terucap kembali tertutup, namun ditutup dengan luka.

Bersamaan dengan hadirnya interupsi dari ricuh klakson mobil yang tertuju pada Kak Kita, dia melambaikan tangan padaku setelahnya melemparkan senyum yang selalu diberikan untukku. "Aku pamit, ya. Jaga dirimu baik-baik, [Name]." ujarnya, yang mungkin akan menjadi penuturan terakhir yang dilontarkan kepadaku.

Lantas aku membalas lambai pada dirinya kendati memperlihatkan punggungnya dan menghilang tatkala mobil melaju dan menyatu dengan jarak yang jauh dari sorot mata.

Dirinya telah pergi, meninggalkan tanah kelahiran dan menjejakkan kaki pada negara yang jauh.

Dan kini nama Kita Shinsuke hanya akan berbaur dengan memori yang telah berakhir.

· · · 𓆩♡𓆪 · · ·

Dari tempatku berpijak, ada puluhan insani yang meninggalkan tapak tilas dalam langit temaram di Kota Paris. 'Pemandangan romantis', itulah yang aku ucapkan kala menginjakkan kaki pada kota ini. Segala pelosok metropolitan tak pernah mati, nuansa romansa akan terus menjaga kota ini. Dan aku jatuh hati dengan keindahannya.

Jemariku menangkap benda tebal yang mengalung pada leherku, peranti fotografis dengan cepat menangkap potret menara legendaris—Eiffel yang menjadi pusat perhatian dari negara Perancis. Selepasnya jemariku menekan layar dari kamera, menilik dan memastikan hasilnya.

Sejak beberapa hari sebelumnya, aku telah mengunjungi beberapa wilayah negara Perancis dan mengabadikan seluruh panorama dalam kamera. Hatiku melonjak menerjang harsa melihat hasil-hasil potret, menurutku semuanya indah.

Syaraf-syaraf wajahku tertarik, utamanya pada ujung bibir hingga berakhir membentuk sebuah senyum.

Kuperhatikan detail dari foto yang terakhir kupotret, jemariku mengutak-atik layar, membesarkan layar dengan senyum yang tak lekas hirap. Hingga akhirnya diriku tersentak dengan salah satu kenampakan yang telah kupotret.

Apa ini?!

Visualnya familiar, pundaknya lebar dengan surai dua warna yang menjuntai di antara puluhan orang yang hadir dalam foto. Walau itu hanya kenampakan sekilas dari sebuah foto yang mungkin saja terjadi karena salah penerangan, itu membawaku pada lara yang menyambut tujuh tahun yang lalu.

Apa kabarnya dia sekarang, ya?... benakku menjejal tanya.

Presensi sekilas itu mengingatkanku pada hadirnya yang telah mengajariku banyak hal dan mengingatkanku setiap saat, mulai dari hal kecil hingga hal besar. Semua yang dia lakukan pun sangatlah rapih seakan terstruktur hingga ke akar-akarnya. Sosoknya yang menjadi lebih ekspresif di hadapanku dibanding dengan yang lain dan selalu berusaha untuk selalu ada.

Jujur saja, aku masih bertahan dengan penggal rasa yang menjajah kilas tujuh tahun hingga saat ini. Serasanya hal yang muhal bagiku untuk melupakannya, presensinya senantiasa berlari dalam angan. Membawa memori indah yang telah berlalu.

Jika aku mengakui kalau aku rindu padanya, apa itu termasuk sebuah dosa?

Dalam hitungan sekon, semesta dengan mudahnya memutar suasana hatiku. Bahagia menjadi sendu, atau lebih tepatnya semua rasa tercampur aduk pada batin. Ada secercah harsa menerima ujar ekspetasi bahwasanya dia masih berada di dekatku, namun ada pula sebuncah nestapa mengingat konversasi yang terlontar dari birai kami.

Kita Shinsuke, kamu ini entitas yang berbahaya.

· · · 𓆩♡𓆪 · · ·

"Astaga!"

Kakiku mengetuk pada bentala keras kendati napasku ikut tersengal begitu kaki tak berhenti melangkah. Tubuhku yang terbilang kurang atletis ini menjadi salah satu poin minus, sendi kakiku mulai terasa perih, panas menjalar menusuk tulang. Paris yang selalu dingin kini menjadi amat panas bagiku.

Senyum puas terasa merenggang kala tampak sebuah alat kendaraan umum memberhentikan rodanya di hadapan halte bus yang memang sudah menjadi tujuanku.

Secepat mungkin, kucoba menambahkan laju pada ujung kakiku supaya lekas mencapai pintu bus.

Dan, ya, kini presensiku membaur bersama dengan manusia Eropa yang sama sekali tak aku kenal di dalam bus. Tampak sebuah kursi kosong, bersamaan dengan bus yang mulai bergerak kuhempaskan halus diri pada kursi.

Pandanganku lurus mengarah pada jendela seberang yang memaparkan panorama indah, peranti fotografi ku ambil dan kembali kuambil potret asal dari sini.

Sama seperti aktivitas semalam, aku kembali meneliti detail yang ada pada foto. Tidak, aku tidak berharap akan adanya presensi yang sekilas menyerupai torsonya sang mantan kekasih. Lagipula aku tak mengerti ke mana dia menempuh pendidikannya.

Kemudian aku berniat untuk memotret kenampakan dari dalam bus, kugerakkan kameraku ke sana ke mari mencari objek dan pencahayaan yang memadai. Dan atensiku tertarik pada entitas yang terduduk lumayan dekat dariku, aku menyorot seorang pemuda yang cukup tinggi dengan surai yang tertutup dengan sebuah topi yang bertengger pada kepalanya, wajahnya tertunduk—menghadap lantai bus.

Memang kurang sopan, namun posisinya cukup memadai untuk dijadikan model foto. Kurang sopan memang, namun jemari telunjukku lantas menekan tombol mengambil foto dan mengambil foto dari pemuda yang tertunduk itu.

Lantas setelahnya aku meneliti kembali foto yang telah kuambil.

"Kukira aku berhalusinasi."

Suara dari presensi yang semula menjadi objek fotografiku berhasil membuatku tersentak, ia berbicara dengan bahasa yang sama denganku—Bahasa Jepang. Dan dari itu, aku dibuatnya lebih terkejut menapaki rupa di sebalik topinya.

Dia yang selalu menjadi objek kerinduan, yang berhasil membuatku terlamun karena mengingatnya setiap batin tak sengaja melantunkan namanya.

"Lama tak berjumpa, adek." lanjutnya terselubung.

...Apa?!

Kita Shinsuke, dikara yang hirap kilas tujuh tahun lamanya, telah menunjukkan hadirnya setelah sekian lamanya.

"K-Kak Kita?!" tanpa sengaja lantunan suaraku sedikit meninggi, beruntungnya kala itu penumpang lain tak menaruh perhatian padaku.

Sang empunya terkekeh, netra teduhnya memandang lurus padaku, menghasilkan adanya pertemuan pada netra dengan netra. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya dengan nadanya yang tenang, seperti biasa.

Jantungku sudah menggila, ketenangannya telah mengusik ketenanganku. Birainya hadirkan senyum yang sama, menguatkan rasa geli yang berhamburan dari dalam perut. Pikirku berhamburan, aku masih belum dapat mempercayai semua yang terjadi.

"Adek baik-baik saja, 'kan selama ini? Aku minta maaf untuk keputusan yang kuambil untuk hubungan kita waktu itu."

Belum ada jawaban yang terucap dari birai, Kak Kita memutuskan untuk melanjutkan tuturnya. Bersamaan dengan bergesernya dia dari tempatnya bersinggah, kini sang pemuda duduk tepat di sampingku.

Otakku memang masih mencoba memproses semua kronologi, karena itu saat ini terbesit rona merah yang perlahan merekah pada pipiku.

Dengan terbata kembali aku mencoba memastikan semuanya, "ini sungguhan? Ini sungguhan Kak Kita? Kita Shinsuke yang terlalu disiplin itu?" selepasnya sang empunya tertawa.

Jemari Kak Kita dengan lembut menyentuh kedua pundakku, setelahnya kembali tersenyum pelan seraya menjawab, "iya, ini Kak Shinsuke yang suka memberimu lima puluh soal fisika setiap akhir pekan."

Pernyataan itu berhasil membuatku tersentak dan yakin, ini sungguhan. Benar-benar Kita Shinsuke berada di hadapanku.

Jemarinya yang lembut menyentuh pundak kini beralih pada kedua tanganku dan telah dilingkupi oleh hangatnya genggaman dominan. Hangatnya membawaku merasakan kembali euforia pada masa lepas, aku menahan tangis. Aku yakin saat ini mataku nampak berkilau, apalagi saat ini matahari tengah memuncak di cakrawala Paris.

Air mata kini sudah tak terbendung, haru menyerang hati. Semua ini bukan mimpi. Dengan sigap, jemari yang berada di sana lantas mendarat pada wajahku, diusapnya air mataku dengan halus.

"Bagaimana kabarmu?"

Dengan suara kecil karena tak ingin terdengar segukan yang akan mengganggu penumpang lain, aku menjawab, "baik, kak. Kalau kakak dan nenek bagaimana?"

Tangannya masih berada di sana, sibuk memberikan kenyamanan untuk menenangkan gadisnya yang menangis. "Kami berdua baik, sebelumnya aku beberapa kali pulang ke Jepang untuk mengunjungi nenek."

Setelah mendengar jawaban dari Kak Kita, entah mengapa tangisanku menjadi lebih keras, seketika aku menundukkan badanku bermaksud untuk menyembunyikan wajahku yang penuh air mata.

"Kakak boleh tanya ke kamu?" aku mengangguk.

Sejenak Kak Kita diam, menepuk dan mengusap pundakku lembut seperti sebelumnya, ia terus lakukan dengan lembut.

"Kamu masih suka?"

"Suka apa?"

"Suka kakak."

Mendengarnya aku jadi salah tingkah, namun salah tingkah yang kali ini berbeda dengan salah tingkahku yang sebelumnya. Aku menangis, malu hendak mengakui.

"Kalau kamu keberatan untuk menjawab, kakak yang beritahu duluan saja, kakak masih ada rasa untuk kamu. Dan kakak minta maaf karena memutuskan hubungan kita waktu itu, ya? Kakak yakin kamu amat sakit hati karena kakak, saat itu kakak merasa akan lebih baik jika kita berpisah saja lebih dahulu. Lalu jika kita bertemu kembali, maka kakak akan siap melaksanakan janji kakak."

Janji?

Segukan masih tersisa, namun aku sudah berhasil menghentikan derai air mata yang sejak tadi tak berhenti mengalir. Ragaku kembali terduduk seperti semula seraya memperhatikan Kak Kita yang mengeluarkan sebuah kotak kecil.

"Tapi kamu jawab dulu pertanyaan kakak tadi, kamu masih ada rasa untuk kakak?"

Dengan cuma-cuma aku berterus terang padanya. Isyarat anggukan kuberikan sebagai afirmasi kalau jawabannya jelas iya.

Jemari Kak Kita menyodorkan sebuah kotak bernuansa merah kepadaku, kemudian membukanya, "aku sudah menyiapkan ini sejak tujuh tahun yang lalu, sebelumnya aku berniat untuk kembali ke Jepang untuk melamarmu tapi siapa sangka kamu sendiri yang datang ke kota kakak belajar?"

Aku tak sanggup mengeluarkan sepatah kata, senyum dan tawa kusembunyikan di sebalik tumpukan dua jemari yang menutupi birai. Segenap harsa memenuhi lubuk hati, saat ini aku telah lupa bagaimana caranya bernapas dengan benar.

"Jadi, maukah kamu menerima ajakan dari kakak untuk menghabiskan sisa hidup bersama-sama?"

Tanpa basa-basi, mulutku berujar dengan antusias, "tentu, Kak Shinsuke."

· · · 𓆩♡𓆪 · · ·

—DAY 05: FIN

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top