(♡︎) - DAY 04. k. tobio

Dia itu berbahaya. Hadirnya seakan menjadi tanda bahwasanya aku harus lari atau menghindar dari segala tindak tanduknya.

Presensinya yang selalu memikat perhatian banyak jelita. Menjadi fokus sang buana yang terambau pada afsunnya penuh wibawa.

Dia yang menjadi objek sebuah frasa yang kupendam. Hingga saat-saat itu tiba, balasan yang kuharap walau sejenak hadir di tengah diriku terpaku dalam diam, mengharapkan hadirnya bersanding denganku.

· · · 𓆩♡𓆪 · · ·

Gelak tawa itu mengusikku, tawa dari perempuan-perempuan di sana kala memandangi sosoknya. Timbul sesak dalam dada mengetahui semua ini bukanlah konflik dari fatamorgana, namun kembali lagi benak ini berujar padaku.

Memang siapa sosokmu bagi dirinya?

Memang frasa yang selalu kupendam tak akan kunjung mendapat balasan, mengapa diri begitu berharap mendapat ungkapan frasa yang sama dari sosoknya yang begitu menarik perhatian banyak entitas?

Angan negatifku berangsur memenuhi sudut ruangan yang berada dalam temaram swastamita, mengabaikan faktanya detik kian berjalan hingga saat ini semburat oranye memayungi buana. Dipikir dengan logis, berdiam diri dalam kelas tanpa melakukan segala aktivitas, kemudian menghabiskan waktu hingga matahari menurun dengan melamun bukanlah hal yang berguna, 'kan?

Semua orang akan mengatakan bahwa hanya spesies aneh yang melakukan hal itu.

Lantas aku memutuskan berpulang pada buana pelarianku yang kedua, di hadapanku telah berjajar buku sketsa pula dengan peralatannya. Jemariku menari di atas halaman tanpa noda, kutumpahkan emosi ini dalam wadah kreasi.

Dalam diam kunikmati sedari bel pulang sekolah berbunyi, sudah tiga jam lamanya aku bersembunyi pada bilik kelas yang jauh dari jangkauannya. Menutup rapat kedua telinga saat mengilas balik kala sekian gadis yang memuja berseru dan kagum pada presensinya yang nampak mengagumkan.

Tiga jam.

Sesaat tanganku hampir menyelesaikan ilustrasi, atensiku terjerat tatkala bunyi deret pintu mengusik pendengaran.

Astaga...

Netra bersua dengan netra. Rupa memandang rupa. Diri telah sepenuhnya kaku membisu menghadapi sang entitas jenius dari ambang pintu.

Derap langkahnya membekas pada keramik, satu langkah kian mendekat menuju sosok yang masih bernaung di bawah langit-langit bilik kelas. Yang siapa lagi jika bukan yang telah menghabiskan waktu bersembunyi selama tiga jam?

"[Name]? Belum pulang?"

Itu kalimat pembuka dari pemilik entitas jenius, kendati Kageyama Tobio—insani berbahaya yang menjadi idaman pada gadis.

Kembali pada saat ini, dadaku terasa diserang secara brutal. Jantung ini menggila, rapalan absurd menjejal asal dalam pikiran.

Sigap aku menggeleng cepat, "Tobio baru selesai ekskul?" aku melempar pertanyaan pada sang puan.

"Hari ini aku ijin pulang lebih awal, ada hal penting yang harus aku lakukan."

"Ah, begitu, ya. Baiklah, hati-hati di jalan, Tobio."

Birainya hadirkan senyum miring tepat setelah aku mengucapkan perpisahan. Nampak dirinya berjalan melewatiku selepasnya menarik kursi yang ada tepat di depanku. Tobio menghempaskan raganya, duduk menghadapku.

Sekarang apa lagi?!

"Tidak jadi pulang?" tanyaku setengah gugup.

"Memang kapan aku bilang urusan pentingku ada di tempat lain?"

Yang aku dapatkan selepasnya ialah sebuah degupan dahsyat, namun juga sebuah tumpuan berat yang menghujam benakku. Sakit kepalaku dibuatnya. Kini birainya dengan seenaknya hadirkan senyum yang jarang ia berikan jikalau disorot banyak mata.

Aku alihkan pandanganku darinya, kuputuskan menutup buku sketsa yang terbuka lebar untuk menghindari kontak pada dengan pemilik netra tanzanite itu. Selepasnya diam, aku menghadap pada sampul buku sketsa sedangkan Kageyama Tobio menghadap padaku.

Menimbulkan detak yang semakin menjadi-jadi.

"Apa yang sudah kamu gambar hari ini?" tanyanya membuka konversasi setelah cukup lama kami dilingkup suasana canggung.

"Hanya gambar kapal dan laut." jawabku singkat selepasnya kami kembali diam selama beberapa detik.

"Kamu menghindari aku, ya?" kembali dia bertanya tiba-tiba.

Mengapa saat ini aku merasa sangat disudutkan?!

Aku tak menjawab pertanyaan darinya.

"Aku ada salah?" kembali dia bertanya untuk ketiga kalinya.

Dan kembali pula aku tidak menanggapi pertanyaannya. Semua apriori berenang dalam kepalaku, mengingat perlakuan dari sang puannya—Kageyama Tobio berhasil membuatku bingung bukan kepalang.

Kami teman, hanya teman. batinku kembali berujar.

Walau telah puluhan kali batinku berucap, tetap kenyataan berhasil menepis keras semua afirmasi bertema 'teman' yang berasal dari benak.

Semua tindakan manis dari Kageyama Tobio berhasil membuatku jatuh hati selama kami menjalin status 'teman' semula dari menginjak bangku sekolah menengah pertama. Tanpa aku sadari, perasaan itu tunbuh di waktu yang sama dengan seluruh wujud asmaraloka tengah aku pendam sedemikian rupa.

Terhitung untuk hari ini dia telah merelakan waktunya bermain voli untuk berada di dekatku. Kemudian dengan senyum yang dia berikan, semua ini membingungkan.

Aku telah dibuat jatuh hati padanya, namun dia tak sama sekali menjelaskan apa latar belakang dan tujuan dari semua ini?

Jika boleh jujur, semua perlakuan yang dia berikan padaku memberikan setitik harap kalau saja pemuda ini memiliki rasa yang sama.

Namun itu semua hanya harapan, karena sampai saat ini tak kunjung ada kejelasan pasti mengenai tujuan dari semua ini.

"[Name]?"

Lantas aku menjawab setelah lama diam, "Kageyama." balik ku memanggil namanya.

"Tobio. Sudah aku bilang, 'kan? Panggil aku dengan nama depanku."

Lihat, apa yang baru dia katakan.

Kembali aku diam, menghembuskan napas berat. Melemparkan tatapan pasrah pada manusia yang berada sedikit di atasku.

Tampak pada penglihatanku, ada pergerakan pada tangan Tobio. Jemarinya meraih tanganku untuk dia genggam. Meringis perlahan, sekelabut firasat ingin tertawa melihat sikap manis yang dia berikan secara percuma.

Namun firasat itu tertahan selama logika dalam benak masih bekerja.

"Tidak jadi." jawabku pasrah.

Sejenak tadi terbesit inisiatif untuk mengungkapkan frasa yang telah aku pendam, namun apa daya aku tak dapat mengeluarkan sepatah kata yang mewakili frasa karena tak memiliki keberanian yang cukup. Jika untuk mengungkapkan saja tak berani, bagaimana dengan menanyakan perasaan dari sang adam?

"Jadi kamu sungguh menyimpan amarah padaku, ya?"

Syaraf-syaraf wajahku menguat tatkala mendengar kalimat itu keluar dari birainya, entah raut apa yang sudah kebentuk pada wajahku. "Tidak!" jawabku melantun keras.

"Lalu kenapa kamu menghindari aku?"

Tak berkutik, belenggu menahan batinku yang mendorong keberanianku berbicara padanya. Lidahku kelu kehilangan beribu kata, keraguan menggerogoti setiap nadi yang berada pada sekitar tubuhku. Perlahan menjalar hingga ke tulang.

Aku ingin kabur.

Sendiri aku terkubur dalam ruang bingung, di mana aku sadar bahwa jika aku bergerak maka akan hadir keraguan akan tantangan yang selanjutnya.

Kualihkan pandanganku menatap jendela yang terasa berat bersamaan angin yang terhembus melalui selanya yang terbuka. Tanganku masih digenggam erat oleh Kageyama, perlahan kurasakan tanganku menjauh dari alas meja, ditarik halus oleh yang kekuatannya lebih besar.

Sigap aku menghadap pada Tobio tepat bersamaan dengan momen yang membuatku membulatkan mata sempurna.

Tepat saat itu, bibir tipisnya melabuhkan sentuhan hangat pada punggung tanganku.

"Kalau iya, aku minta ma—"

Belum sampai pada penghujung kalimat, aku sontak menarik tanganku kemudian berseru terkejut sehingga memotong tutur Tobio, "kamu ini kenapa, Tobio?!"

Sang empunya nampak tak berkutik selepas tindakan cerobohku. Kini aku panik, rasa bersalah menyelimuti relung hatiku, "m-maaf, Tobio...," lanjutku lirih.

Sang empunya nama masih belum berkutik, hanya memandangiku di sana dengan tatapan terkejut. Yang itu juga membuat rasa bersalahku tak kunjung mereda.

"[Name]." kini dia buka mulut, menghadirkan rasa gugup pada dadaku.

Detak tak beraturan, takut. Aku takut dengan tanggapan yang akan diberikan Tobio setelah ini.

"Maaf, ya? Kamu bingung dengan tindakanku, 'kan?"

Apa?

"Aku ingin bertanya padamu, apa kamu menyimpan rasa padaku?" tanyanya terselubung bersama kalimat yang sebelumnya.

Terbesit rona merah yang perlahan merekah pada bilah pipiku. Bibir bagian dalam telah aku gigit ketika gugup menyerangku beringas. Aku tersentak untuk kedua kalinya, dia yang kini tersenyum pelan menyentuh lenganku lembut dengan jemarinya kembali mengulang pertanyaannya tatkala diri belum melantunkan jawaban.

"Apa kamu menyimpan rasa padaku?"

Gugup menyerangku babi buta, lebih beringas dari sebelumnya. Mungkin saat ini netraku terlihat lebih berkilau karena aku telah menahan tangis begitu pemuda ini menanyakan pertanyaan itu dua kali—yang mana jawabannya sudah jelas iya, aku menaruh perasaan padanya, menyukainya sebagaimana insan yang memiliki kodrat mencintai seseorang.

"Iya...," gumamku perlahan, lantunannya begitu kecil. Entah Tobio mendengar pengakuanku atau sebaliknya.

Setelahnya aku menutup biraiku serapat mungkin, berdoa kalau saja Tobio tak mendengarkan.

"Kalau begitu, maaf, ya."

Kata itu menjadi jeda pada pikiranku yang seketika kosong. Senyum Tobio langsung menghilang begitu saja, kemudian sentuhan pada lenganku dilepasnya tiba-tiba.

Ah, ini dia...

Di tengah otakku yang memproses segala kemungkinan tentang perasaanku yang mungkin sepihak, aku berusaha mengembangkan senyum kendati menahan perih yang menusuk dalam pada dada.

"Maaf karena kamu jadi bingung karena semua tindakanku, setelah ini aku akan selalu melakukannya padamu setelah kamu mau jadi kekasihku."

...Apa?

Napasku seakan berhenti kala kedua tangannya mengusap ujung kepalaku tanpa izin. Usai itu tawa renyah dan lega dari Tobio terdengar lantang di pendengarku. Di sisi lain, aku masih kebingungan memproses semua yang terjadi.

"Apa? Bagaimana?"

"Ya, ayo pacaran." ucap pemuda itu dengan gamblangnya.

"Tunggu dulu—! Hah?! Apa-apaan ini?! Apa maksudmu, Tobio?!" reflek aku berseru, suaraku mengudara bersamaan dengan angin yang berhembus keras menerobos jendela.

Terbesit rona merah seketika merekah pada bilah pipiku. Tangan Kageyama masih bertahan di puncak kepalaku, mengusapnya halus bersamaan dengan matahari yang menerangi dengan hamparan oranye yang semakin menyemibutakan pandangan.

Terbitnya sekilas warna merah pada pipi sang dominan di sana, membuatku yakin dan sadar dirinya berkata jujur—tak ada kebohongan atau keraguan saat birai itu menyerukan ajakan.

"Aku suka kamu, [Name]." ucapnya memperjelas pengakuan. "Kesannya sia-sia jika kita sudah ada perasaan yang sama tapi tidak ada kepastian hubungan antara kita, jadi kamu mau, 'kan?"

Terlalu bahagia dengan yang sudah terjadi, euforia menjalar memenuhi batin. Membuatku tak dapat mengeluarkan sepatah kata, sehingga syaraf kepalaku yang membuatnya mengangguk pun menjawab.

Segenap harsa menghiasi tepi ruangan, aku terpejam begitu pemuda itu memindahkan tangannya dan meletakkannya pada dua bilah pipiku yang masih merona hebat, lalu melabuhkan sentuhan hangat pada dahiku dengan birainya lembut.

"Sepertinya kamu sudah tidak terkejut dengan kecupan, ya, [Name]?" lantas segera telunjuk pada sisi kanannya menyentuh biraiku kemudian berujar, "besok kalau di sini boleh, 'kan?"

"Apa, sih?! Kageyama tidak jelas!"

Pukulan tak seberapa yang aku berikan kepada dada bidangnya yang hanya berbalut kemeja putih tanpa almameter. Kageyama tertawa renyah tatkala yang pasti wajahku pasti sudah sepenuhnya memerah.

· · · 𓆩♡𓆪 · · ·

—DAY 04: FIN

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top