(♡︎) - DAY 02. a. keiji

Sakit kepala. Lelah. Sengsara.

Meratapi nasib adalah satu-satunya hal yang menggerogotiku semenjak aku menerima pernyataan dari atasan bahwa aku harus menulis ulang laporan pekerjaan karena kesalahan yang telah ia perbuat.

Memang tidak disengaja katanya, namun siapa pula yang tidak akan kalap dalam amarah bila kerja kerasnya terbuang?

Jajaran alfabet pada layar elektronik yang tertera di hadapan membuatku pusing bukan kepalang. Agaknya, pening itu merebak kala waktu yang semakin berputar, namun di sini aku masih tertunduk bersandar pada ujung meja, menatap nanar pada alas meja yang telah tertumpuk dengan kertas berisi diagram-diagram sialan.

Ah, sungguh, aku ingin menangis...

Rapalan umpatan terhadap nasibku sudah berulang kali mengisi kosongnya kamar. Di bagunan sederhana ini, lebih tepatnya di rumah, hanya aku di sini, berkutat dengan alat cerdas—laptop, alat tulis dan kertas.

Teramat kesal, aku menghela napas kasar. Kupejamkan mataku tatkala pandanganku buyar, memburam hingga saatku buka mata. Air mata menetes begitu saja.

Lama aku terdiam menangisi pekerjaan, semilir harum vanila tercium di penghiduku. Wangi yang familiar, presensi familiar ini hadir memasuki ruangan.

Namun alih-alih menengok ke arah pintu kamar yang telah dibuka olehnya, aku melanjutkan tangisanku, meluapkan emosi, menahan isak.

"[Name], makan dulu, yuk." ujarnya dengan lantunan lembut.

Aku tak berkutat mendengarnya, berpura-pura terlihat sedang tertidur.

Kini suara tapak kaki mengudara, semakin lama terdengar semakin dekat. Hingga kurasakan tepukan lembut mendarat pada pundakku kemudian dia berucap, "[Name]?" memangil namaku sekali lagi.

Sulit rasanya bila terus mengabaikan alunan lembut itu, bahkan alunan itu telah memanggil namaku. Alunan kesukaanku, suara yang selalu berhasil membuatku menepati utopia.

Untuk saat ini aku tak ada muka untuk menatap wajahnya. Aku tak ingin dia melihat keadaanku yang seperti ini.

"Kamu tidur?"

Tidak, aku masih bangun.

Itu hal yang ingin aku keluarkan dari ujung birai.

Jantungku berpacu cepat. Rasa takut dengan mudahnya menggerogoti batin. Entah sudah berapa kali aku merapalkan ucapan maaf dari dalam hati, juga doa pada Sang Maha Kuasa untuk membuat sosok di sampingku tak menyadari kesedihanku.

Belum lama aku melanjutkan penyamaranku, sosok ini menempelkan jemarinya pada surai-suraiku dan menyangganya di sebalik telingaku. Secara tak langsung pula, hal itu membuat penyamaran ini terbongkar.

Oh, astaga...

"Kamu kenapa?" kembali dia melantunkan pertanyaan setelah menangkap basah aku berlinang air mata.

Jika sudah seperti ini, aku hanya bisa terus terang, 'kan? Bahkan fakta yang tak dapat dihindari, ialah aku tak dapat membohongi lelaki dengan surai hitam ini.

"Aku stress, Kak Keiji...,"

Lantas sang empunya nama mengernyit heran, namun kulihat jelas saat netra kami bertemu, tatapannya membawa rasa iba. Dari raut wajah itu tercurah sebuah kepalan erat pada dada, sesak bila dikata.

Kendati meneteskan kembali air mata dan birai mengungkapkan rangkuman kendala yang telah terjadi seraya menghadap padanya. Hanya sepersekian detik selepas aku bercerita seraya mengaisi emosi, tiba-tiba helaan napas dari lelaki ini terasa dari jarak yang cukup dekat.

Hangat kurasa tepat tepat di hadapanku, raganya telah mendarat tepat pada raga. Kedua tangan menangkup badanku, didekap dengan tulus.

Kemudian jemarinya mengusap kepalaku lembut seraya berucap, "kamu telah melakukan yang terbaik, kamu hebat sudah mau mengerjakan ulang laporan yang baru."

Satu detik, dua detik, hingga detik ketiga aku dibuat terpaku mendengar afirmasi dari yang bernama Keiji ini. Bohong jika air mataku tak meluluh lagi. Pun, memang semua kata yang terucap dari bibir Keiji tak pernah gagal membuatku kagum.

Terlalu kagum hingga aku terbuai dengan kata, perlahan kagum dengan visual, hingga semua yang ada pada Keiji. Dan akhirnya, dia berhasil membuatku jatuh cinta padanya.

"Istriku memang hebat." selepasnya Kak Keiji membubuhiku dengan kecupan halus pada pucuk kening.

Sempurna. Kali ini perasaanku membuncah hebat dalam seketika mendapati kejutan ini. Jantungku telah menggila, emosi negatif tersulut dan terganti dengan adanya asmara dalam batin.

Wajah bertemu wajah, netra bertemu netra. Andai kata bila ini hanya sebuah fatamorgana, aku tak masalah. Keindahan dari ilusi yang tercipta pada fenomena ini membuatku mabuk hingga dunia nyata. Ku pandang intens bagian lekuk wajahnya yang terkesan tegas itu, tampak begitu indah. Tak heran saat itu dia menjadi bintang idaman para wanita di sekolah menengahnya.

Kemudian pada mata hijau dan alis tebalnya, inilah poin utama yang memikat hati para perempuan. Dua belah pipinya nampak sedikit merona, dan terakhir pada bibir yang mengukir seutas kurva.

Seutas senyum yang super spesial karena senyum itu hanya bisa dilihat olehku, senyum hangat dan manis yang dia berikan hanya untukku.

Sibuk memandang lekuk wajah Kak Keiji, kini aku menampaki Kak Keiji menggerakkan jemarinya ke sudut bibirku. Menariknya ke atas seakan-akan membuat pola agar aku mengukir senyum pula di sana.

"Angkat yang ujung kanan, lalu yang kiri. Nah, cantikku kelihatan sempurna dengan senyum ini."

Ibarat digelitik, sontak aku tertawa melihat tingkah Kak Keiji yang satu ini. Bersamaan selepas tertawa, Kak Keiji mendekap kembali ragaku halus.

"Akhirnya kamu tertawa juga, kakak kaget lihat kamu tiba-tiba menangis seperti itu."

"Salahkan bos-ku saja, kak, posisiku hanya sebagai karyawan rajin dan tidak bersalah yang suka menempel pada suaminya."

Syaraf wajahku merenggang begitu melihat Kak Keiji tertawa, akhirnya sudut ruangan ini menjadi wadah dari suguhan tawa dua orang kasmaran. Di sebalik tawa ini ada secuil rasa gugup yang datang tiba-tiba tatkala presensi suami menghampiri diri. Dan aku yakin rasa gugup itu tak akan menghilang bila aku masih mengemban cinta dengan Kak Keiji.

"Tadi kakak lihat kamu perhatikan bibir kakak, kamu mau dapat yang di sana?"

Tersentak kaget, tanganku mengepal dan tanpa sengaja mendarat pada dadanya.

"Apa, sih, kak?!"

Sang puan terkekeh, "kalau mau, bilang saja, dek. Kakak mau, kok kasih kecupan di sini kapan saja." jawabnya menyentuh bibirku dengan jari telunjuknya kemudian.

"Kakak belajar menggoda seperti ini dari siapa?"

"Memang kenapa? Apa salah kalau menggoda istri sendiri?"

Oh, sial...

"Salah! Menggoda seperti itu tidak baik untuk kesehatan jantung adek!"

Kak Keiji kembali terkekeh, "makan dulu, yuk. Kamu pasti lapar setelah menangis tadi." ujarnya menjulurkan tangan tepat di depanku, lantas aku menerima juluran itu, menautkan jemariku dalam jemari besar Kak Keiji dan berjalan keluar dari kamar.

·   ·   · •  𓆩♡𓆪  • ·   ·   ·

—DAY 02: FIN

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top