โ•ฐโ”€โ–ธ โ ๐‘ผ๐’๐’”๐’‘๐’๐’Œ๐’†๐’ ๐’˜๐’๐’“๐’…๐’”

"Kita tidak ditakdirkan bersama, tapi langit mendengarkan cerita kita."
.
.
.

Amane kembali meremas kertas bukunya. Salah, salah dan salah lagi. Sudah hampir tujuh lembar pemuda itu meremas dan menulis ulang sesuatu di atas kertasnya. Dia menyerah, meletakkan kepalanya dengan pasrah keatas meja.

Amane menatap ponselnya, menyala. Tapi bukan karena notifikasi seseorang yang biasa mengiriminya pesan.

Dia menatap nanar dirinya di cermin. Menatap matanya yang kosong.

"I love you." Amane menyebutkan nya perlahan. Tersenyum tipis saat menyadari kata itu akhirnya tak terucap.

"Kita beneran cuma temen ya? Amane kun?"

"...iya"

Amane memukul kembali kepalanya. Terasa sakit tapi tidak sesakit hatinya. Apa ini? Dia yang mengatakan 'iya' tapi mengapa ia yang merasa sakit?

"Kalau gitu.. aku bakal ikut papa ku ke jerman.."

"Hah?" Amane menatap Yashiro yang menatap kearah bintang bintang bertabur indah.

"..."

"Kenapa keberangkatan kamu, harus pake jawabanku dulu?" Amane mengerenyit. Sangat aneh, bukan?

"Papa ku bilang, kalau ada seseorang yang berharga atau.. seseorang yang ngebutuhin aku disini, aku.. dibolehin kuliah disini."

"Tapi kayaknya, Amane kun cuma butuh aku sebagai temen kan? Jadi.. aku bakal ikut papa."

Amane terdiam, sesungguhnya dia sangat ingin mengatakan bahwa dia.. mencintai teman masa kecilnya ini. Tetapi gengsinya, lebih tinggi dari apapun saat ini.

"Oh.." pada akhirnya, hanya ini yang terucap sebagai bentuk kebingungannya atas perasaannya sendiri.

Kehidupannya kosong, gadis kecilnya yang rapuh pergi darinya. Ini sudah semester terakhir kuliahnya, dia mengambil satu bunga mawar yang terletak di dekat pintu rumahnya, memetik nya dan masuk kedalam rumahnya.

Amane meregangkan tubuhnya sesaat.

Dia masak lalu mandi, Yashiro berhenti menghubunginya sejak saat itu.

Sejak saat itu pula, Amane tidak memperdulikan ponselnya, sudah hampir 4 tahun ia tak mengganti nya, di mata orang orang, ponsel itu sudah ketinggalan jaman.

Lagipula, dia membeli ponsel itu dulu, hanya untuk menghubungi gadisnya. Langkah kakinya dari dapur terhenti saat melihat Tsukasa masuk dengan tubuh menggigil. Dengan cepat dia melepaskan supnya dan berlari menangkap tubuh Tsukasa yang hampir terjatuh.

"H-hoi kenapa?" Amane dengan cekatan memeriksa suhu tubuh adiknya itu.

"Tuhan, panasnya.. kenapa bisa?" Ya, sifat khawatir nya sebagai seorang kakak mulai muncul.

"A-amaneee... T-tsu hach-hih! Disana, pas lomba ughg.. k-kehujanan hachi- terus langsung masuk ruangan ac." Tsukasa menjelaskan. Sungguh Amane geleng geleng dengan kelakuan adiknya ini.

"Lagian kenapa masuk sih, Tsu."

"Kan disuruh..:(( masa salah Tsu -achu! Lagii:(("

Amane menghela nafas berat. Adiknya bertingkah seperti anak sd padahal dia anak kuliahan. Sungguh, Amane tidak pernah merasa adiknya ini tumbuh besar.

"Yaudah, Amane beliin obat dulu. Kebetulan Amane baru selesai masak sup. Makan aja dulu, nanti pas Amane pulang, bisa langsung makan obat."

Tsukasa yang lemas, mengangguk atas perintah kakaknya. Syukurlah anak itu masih bisa berjalan. Sehingga Amane tidak perlu menggendongnya kedalam kamar. Berat tau, anak itu bukan bocah kelas 3 sd lagi.

Amane keluar setelah mengecek Tsukasa benar benar terlelap diatas sofa setelah selesai makan. Niatnya langsung pergi, eh si bocah minta suapin. Yaa.. kakak modelan Amane mana tega.

Baru sekarang dia bisa keluar membelikan obat. Adiknya memang sedikit sulit diatur. Dia lomba, dengan public speaking nya yang bagus, dia bisa membawakan banyak sekali cerita menarik yang bisa membuat orang orang tertarik. Walau Amane tau, kebanyakan dari cerita itu hanya bualan dan khayalan nya saja.

Terlalu sibuk memuji adiknya, Amane tanpa sadar menabrak seorang gadis berpakaian serba muda. Merah muda lebih tepatnya.

"M-maaf gak sengaja."

Terlihat banyak sekali selebaran yang terjatuh dari tangan gadis itu. Sepertinya kertas skripsi. Amane menunduk dan ikut memungut selebaran kertas yang tercecer ke sembarang arah lalu memberikannya pada gadis itu.

"G-gapapa, maaf aku juga buru buru. Permisi."

"..."

Amane mengangguk. Rambut itu.. dia mengenalinya. Gadis itu dengan cepat pergi dan menuju keramaian. Menanyakan sesuatu tentang sebuah coretan kecil di tangannya. Ingin rasanya memanggil, tapi..

"Aku bakal ikut papa ku ke Jerman."

Bukankah jika begitu dia tidak akan kembali lagi? Ataukah seorang Amane hanya merasa deja vu tentang gadis itu?

Entahlah, rasa rindu tiba tiba menyelimuti hati Amane.

Dia menggelengkan kepalanya cepat. Menyadarkan dirinya lalu berjalan kembali kearah apotek. Membiarkan dirinya yang merasa tak asing dengan gadis itu pergi meninggalkan keramaian.

Amane kembali beberapa lama setelahnya. Melihat Tsukasa yang sudah mulai bersantai dan menonton televisi berselimut kain tebal membuat kecemasan Amane menghilang. Dengan cepat dia masuk dan meletakkan obatnya diatas meja.

"Cepet makan obatnya, mau apel?"

Tsukasa mengangguk cepat, Amane langsung mengambil dua buah apel dan duduk di dekat Tsukasa. Mengupas nya dan memotong untuk ukuran yang sedang.

Tsukasa menelan obatnya, "oh- ada yang nyari Amane."

"Siapa?"

"Gatau, kayaknya cewe bawa mobil. Tsu masih pusing tadi jadi Tsu suruh balik lagi nanti."

Amane mengangguk. Tepat setelah itu, bel rumahnya berbunyi. Tsukasa ingin turun dari sofa, namun dihentikan dengan segera.

"Amane aja."

Anak itu hanya mengerucutkan bibirnya kesal karena tidak diizinkan. Ya dirimu lagi sakit Tsu.

Amane membuka pintunya. Matanya terbelalak melihat gadis yang sama dengan yang dia tabrak saat dia membeli obat untuk Tsukasa.

"Ini.. kediaman keluarga Yugi?"

Amane mengangguk, " Ya? Kenapa?"

"...Amane ku- ah- maksudku Yugi san, kakak yang paling tua. Ada?" Gadis itu menatap mata Amane lalu terdiam.

"Aku.. Amane. Kau.. Yashiro?"

Gadis yang merasa namanya dipanggil tersenyum lembut, "iya, ini aku. Yashiro."

Amane menatap wajah Yashiro. Perubahan yang sangat banyak, membuatnya lumayan sulit dikenali. Dengan cepat menarik tubuh Yashiro kepelukannya.

"Y-yugi san?!"

"Bodoh! Jangan panggil aku dengan itu! kupikir.. kupikir kau tidak akan kembali.. Yashiro.."

Gadis itu mengerti, "aku kembali. Amane kun."

"AAAAMAAANEEEEEEEE! siapa?" Tsukasa berteriak dari dalam. Membuat Amane menyadari dia memeluk Yashiro terlalu lama. Dia mengusap matanya cepat.

"Y-yashiro.."

Yashiro dengan cepat menoleh dan membuka pintunya, "ini aku."

"YYAAASSHIIIROOOOOOOO HUWWAAAA!!" Anak yang masih sakit itu berlari dan langsung melompat ke pelukan Yashiro. Sungguh tidak tahu malu.

"W-woi!"

"Gapapa Amane kun.. yosh yosh anak baik." Yashiro berjalan masuk kedalam. Diikuti dengan Amane yang mengiringinya di belakang. Gadis itu duduk dan menurunkan Tsukasa dari atas tubuhnya.

Amane ikut duduk, " kenapa tiba tiba balik?"

Sungguh, hati Amane benar benar menghangat dengan kepulangan Yashiro yang tiba tiba ini. Akankah.. dia memiliki kesempatan kali ini untuk mengatakannya?

"... Oh ini," Yashiro mendorong kertas yang dibungkus plastik bening. Amane langsung terdiam.

Itu, kertas undangan pernikahan.

"...aku, bakal nikah bentar lagi." Tsukasa menatap Yashiro tajam.

"Huh?" Protesnya.

"Iya, papaku meninggal 2 tahun yang lalu.. jadi, aku.. mutusin buat nerima lamaran keluarga Minamoto untuk ngelanjutin perusahaan papa.. lagipula, aku gabisa minta seseorang yang gak pernah suka sama aku, buat nerima aku kan? Itu gak masuk akal."

Yashiro menatap pada kertas undangan tersebut. Sedangkan Amane semakin menunduk.

"YASHIRO JAHAT!" Tsukasa berbicara. Matanya menatap pada Yashiro. Kepalanya yang pusing tak lagi ia perduli kan.

"Amane yang bahkan gak pernah punya pacar ini masih Yashiro bilang gak suka??" Mata anak itu berair. Dia tidak kuat menahan diri soal ini. Setiap malam, Tsukasa selalu mendengar isakan dan benturan keras di dinding kamar Amane.

Kalimat yang sama yang tak terucap 4 tahun yang lalu, menjadi kalimat yang selalu ia ucapkan saat rasa sesak menyesal datang mengerubungi dirinya. Membentur kan kepalanya agar suara berisik yang menjadi awal ego tingginya pada saat itu menghilang dari kepalanya.

Mempersiapkan dirinya selama 4 tahun hanya untuk 3 kata yang tak terucap.

Tsukasa mengusap matanya. Menarik tangan Yashiro untuk membuka helai rambut Amane di dahinya. "..."

"Udah lihat? Luka. Luka itu bukti Amane suka sana Yashiro! Tsu gak kuat kalo harus denger Amane tiap malamnya ngelakuin hal yang sama karena nyesel!" Anak itu mendorong tubuh yashiro. Menarik kembali tangannya kearah kamar Amane yang berada di lantai atas.

Amane duduk terdiam, seluruh kalimat didalam otaknya kacau. Dia tidak memiliki kesempatan lagi? Benar begitu..?

Yashiro menahan diri, mencoba tidak menangisi apapun. Dia membuka pintu kamar Amane setelah Tsukasa yang terisak menyuruhnya.

Benar, isi kamar itu hanyalah note berisi kata, 'i love you' dan 'sorry'. Pada akhirnya, air matanya jatuh saat melihat tulisan pada dinding kamarnya dengan pena dan ditulis dengan tangan yang gemetar. Terlihat dari tulisan disana,

Maaf untuk tidak mengatakan yang sejujurnya.
Maaf untuk kebohongan soal rasa.
Maaf untuk tidak menahan mu pergi.
Maaf untuk terus bersembunyi.

But now, i need u to know
That i love you..

I get it now, i shoud've said it sooner..
Maaf, Yashiro..

Seseorang naik ke lantai atas. Mendorong yashiro dan Tsukasa keluar dari kamarnya. Menutup pintu kamarnya dan menguncinya, " jangan dibuka tanpa izinku, Tsu.."

"Maaf, yashiro.. aku terlambat."

Amane tersenyum lebar, "selamat untuk pernikahan mu. Semoga terus bahagia. hanya itu yang ku harapkan untukmu sekarang. Maaf karena mencintaimu dengan ego ku yang membenci mengakuinya."

"..."

"I love you.."

A/n : itu kalo yg eng ada salahnya maapkeun sj, karena itu dari lirik lagu h3h3

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: AzTruyen.Top