spring [END]

'Hei, musim semi sudah datang!'

'Lihatlah bunga sakura itu!'

'Nee, nee, apakah kalau begini terlihat cantik?'

'Hmh!'

"Urata-san!"

Urata tersadarkan kala sebuah suara cukup nyaring memanggil namanya.

"Ya, [Name]?"

"Musim semi datang lagi!"

Suara yang menjerat itu, mampu membuat Urata tersenyum lagi.

Pria berusia duapuluh sembilan tahun itu menengadah, melihat betapa indahnya langit musim semi.

Setahun yang lalu mereka juga ada disini. Namun berbeda keadaannya. Waktu itu Urata ingat dirinya masih bisa berdiri sejajar dengan sang wanita, saling menautkan tangan dalam nuansa hangat musim semi.

Tapi kini ia harus menundukkan kepala untuk melihat paras cantiknya, walau masih dapat berpegangan tangan satu sama lain.

Urata tidak pernah bersedih lagi walau kini segalanya terasa berbeda. Baginya, selama ia masih bisa berada didekat [Name], semuanya akan baik-baik saja.

"Urata-san, kau melamun?"

Ah suara itu lagi, dan sebuah senyum terlukis lagi untuk kesekian kalinya.

"Ya [Name]? Ada apa?" sebuah balasan dilontarkan.

Rambutnya bergoyang akibat gelengan kepala, "Urata-san terlihat tengah memikirkan sesuatu, apa ada yang salah?"

Urata menguatkan genggaman tangannya pada milik gadis itu, menggeleng pelan, "Bukan apa-apa, kau ingin kuajak berkeliling?" tawarnya.

Menoleh, manik saling bertabrakan, "Tentu!"

Melihat bunga sakura pun, memori penuh sayatan yang nyaris terobati kini kembali menyapa.

Urata bertemu dengan seorang gadis bernama [Full name] di salah satu cafe yang seringkali ia kunjungi seorang diri. [Name] adalah pelayan dalam waktu penuh disana.

Satu tahun yang lalu.

Senyuman dibalik pemandangan aesthetic yang disuguhkan, mencuri seluruh perhatian pria itu hanya dalan satu pandangan.

Ya, Urata mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Bahkan Urata ingat bagaimana suara yang keluar saat pertama kali mereka bertatap muka.

"Ingin memesan apa?"

Urata sempat terdiam beberapa menit sebelum akhirnya tersadarkan oleh suara yang sama, "O-oh— maaf," lantas buru-buru menyebutkan pesanan.

Sebuah tawa kecil terlukis, sukses membuat detak jantung menari-nari tak karuan, "Kalau begitu ditunggu sebentar ya,"

Itu pertama kalinya mereka bertemu, biasa-biasa saja. Sangat biasa.

Hei, orang bilang cinta pandangan pertama sangatlah berkesan, sukar dilupakan. Untuk pertama kalinya pula, Urata merasakan hal itu.

Dirinya semakin sering kesana, sekedar untuk melihat paras sang pujaan hati. Akan sangat bersyukur jika yang melayaninya adalah gadis itu, sebab akan ada sebuah percakapan kecil walau hanya sebatas menanyakan pesanan.

Cinta itu buta, Urata juga merasakan hal itu. Segalanya terasa berbeda jika melihatnya. Seperti dunia akan semakin cerah hanya dengan melihatnya, sangat lucu dan tidak beralasan.

"Konbanwa, ah, anda lagi, kurasa hampir setiap malam kemari ya?" suara renyahnya mampu membuat seorang Urata bungkam. Antara malu juga karena ternyata sang gadis mengetahui dirinya yang selalu menyempatkan diri ke cafe ini.

"Iya, aku suka tempat ini, sangat cocok untuk melepas lelah," itulah balasan yang keluar. Tidak sepenuhnya bohong sih—

"Ah begitu, pasti anda sangat sibuk ya," ujarnya sambil menurunkan secangkir latte pesanan Urata.

"Terima kasih, begitulah," sambut Urata.

'Ingin aku menanyakan namanya tapi—'

"U-uh, anu, kalau boleh tahu, nama anda?"

Urata cengo. Salah dengar kah? Ia baru saja menanyakan nama?

"Oh, kalau namaku [Full name], boleh dipanggil [Name] saja kok!" lanjutnya buru-buru.

Urata mengulas senyum lebar, mengulurkan tangan, "Senang mengenalmu [Name], namaku Urata."

Dan sesuatu yang harus Urata syukuri sampai saat ini adalah, segalanya yang sangat bersahabat padanya.

Tidak butuh waktu lama hingga mereka berdua menjadi sangat dekat, dekat, hingga menjadi sepasang kekasih.

Dibawah guguran bunga sakura, Urata menyatakan perasaannya secara manis. Diiringi indahnya nuansa merah muda, [Name] tertawa bahagia dalam pelukan Urata. Setelahnya, mereka cukup dalam percakapan tanpa batas sambil berpegangan tangan.

Ya, kisah mereka sangatlah manis.

Tidak hingga takdir menguji cinta keduanya.

Urata akhir-akhir ini sangat sibuk dengan konser dan tour musimannya.

Walau begitu, tidak pernah menghalangi seorang leader dari unit Utaite bernama USSS untuk menemui orang yang dicintainya.

Malam sudah larut, saat Urata sampai di cafe tempat [Name] bekerja. Untung saja gadis itu masih disana dan mau melayani Urata seperti biasanya.

"Urata-san sangat sibuk ya akhir-akhir ini, bagaimana konsernya?" wajah [Name] masih antusias serta riang saat menanyakan hal itu walau tersirat raut lelah yang dalam disana.

"Tentu saja sukses! Terima kasih sudah menanyakannya, [Name]. Bagaimana denganmu? Sepertinya hari ini juga melelahkan ya," kata Urata.

[Name] tertawa, "Hari ini terlihat sama seperti kemarin, dan kemarinnya juga, tidak ada yang spesial,"

"Seandainya saja ya, aku bisa melihat konser Urata-san dan yang lainnya, satu kali saja. Pasti akan sangat menyenangkan."

Urata merubah air mukanya menjadi lebih bersemangat, "Kalau begitu ayo! [Name] bisa, 'kan, barang sehari meminta libur? Aku akan menemanimu!"

[Name] menggeleng, "Memang bisa, tapi kurasa itu bukan ide yang bagus. Urata-san adalah orang yang terkenal, aku tidak ingin kehadiranku membawa Urata-san dalam masalah, mengerti 'kan maksudku?"

"Ah ... kau benar [Name], kau berpikir sejauh itu demi aku, sedangkan aku tidak pernah memikirkannya sama sekali," Urata mengusap lehernya kikuk.

"Tidak apa-apa, suatu hari nanti, aku percaya bisa melihat Urata-san yang tengah berada di atas panggung secara langsung, sampai hari itu datang, tolong tetap tersenyum di atas panggung untuk semua orang ya!" senyuman tergambar saat [Name] meraih kedua tangan Urata dan menggenggamnya kuat.

Urata mematri sebuah senyum juga di wajahnya, "Kau sangat pengertian [Name], terima kasih sudah mau mengerti dan menyemangatiku, aku berjanji akan melakukannya,"

Tautan jemari terlepas, "Kalau begitu sebaiknya Urata-san segera pulang dan beristirahat, aku juga harus segera membereskan cafe,"

"Bagaimana kalau pulang bersama saja? Aku bisa mengantarmu," tawar Urata.

[Name] bergerak menjauh dengan tawa renyahnya, "Sudahlah, Urata-san pulang saja, tidak apa-apa kok!"

Urata membalasnya dengan senyum canggung.

Saat itu, Urata belum menyadari apa yang terjadi. Sama sekali, bahkan wajah itu pun, dan jemari yang sempat bersentuhan, Urata tak merasakannya.

Bahwa itulah awal dari segala lukanya.

"[Name], maaf aku jarang mampir ke cafe lagi, jadwalnya semakin padat apalagi setelah aku menjadi seiyuu," malam itu Urata bersisian dengan sang kekasih, mengatakan sebuah alasan.

"Hmm, tidak apa-apa, aku mengerti kok, Urata-san 'kan selalu berjuang, aku tidak berhak atas apapun."

Urata agak terkejut mendengarnya, namun pada akhirnya diri hangat bisa meraih jemari yang bebas disana, dan berbisik, "Maafkan aku, [Name],"

Tangan itu terasa dingin, saat tak ada jawaban tang terdengar.

"[Name] … tanganmu dingin, kau baik-baik saja?"

Tepat saat pertanyaan itu terlontar, [Name] menarik paksa tangannya dari genggaman sang terkasih, "Aku baik-baik saja Urata-san, hanya kedinginan,"

Urata mengalihkan pandangan, menatap kejauhan yang bebas tanpa bersuara lagi.

Memberanikan diri, Urata mencoba mengeluarkan sebuah suara lagi, "[Name], sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu—"

"Maaf Urata-san, tapi ini sudah malam, aku pamit dulu."

Tidak tersampaikan.

Dan di sini pun, Urata masih belum menyadari apapun. Bahwa sebuah nyawa sudah terancam tanpa sepengetahuannya.

"APA?!"

Sebuah suara nyaring membuat seisi studio kaget.

"Baiklah, aku akan kesana sekarang," sambungan terputus.

Wajah-wajah cemas para sahabat sang pria tergambar kala melihat sosok ketua unit mereka terburu-buru dengan wajah tak karuannya.

Sakata berusaha mencari tahu, "Urata-san ada apa—"

"[Name] masuk rumah sakit, aku harus melihatnya sekarang juga." Bahkan suara pun terdengar sangat dalam akan sarat panik.

"Tenangkan dirimu, Urata-san, kau tidak bisa…"

Sentuhan di pundak ditepis kasar, "AKU TIDAK MENYADARI APAPUN SOAL [NAME] SELAMA INI, BAGAIMANA AKU BISA TENANG?!" emosi diluapkan dalam nada yang begitu tinggi itu.

Shima mendekat, memaksa manik mereka bertemu, "Kami tahu kau sangat mengkhawatirkan [Name]-san. Tapi tolong, jangan menyalahkan dirimu sendiri, semuanya akan baik-baik saja, [Name]-san akan baik-baik saja, kau hanya perlu percaya bahwa dirimu tidaklah sepenuhnya salah."

Urata membuang pandangan kearah lain, menggigit bibir bawah kasar, berusaha menetralisir emosi yang terbakar, "Terima kasih, maafkan aku, aku harus pergi."

"Tuberkulosis," jelas dokter kala Urata menanyakan apa yang terjadi.

Manik itu membola, "Tidak mungkin—[Name] bahkan tidak terlihat batuk setiap kali aku menemuinya!"

Dokter tampak menulis sesuatu di bukunya, menghela napas, "Tentu saja, karena [Surname]-san bukan terkena tuberkulosis pernapasan, melainkan tuberkulosis tulang, pernah mendengarnya?"

Urata menggeleng. Tuberkulosis tulang? Yang ia ketahui selama ini hanyalah tuberkulosis yang membuat orang yang menderitanya batuk terus-terusan.

"Tuberkulosis tulang pada umumnya menyerang tulang belakang, tapi pada kasus [Surname]-san yang sudah parah, virusnya sudah menjalar ke alat gerak. Saya khawatir kalau [Surname]-san tidak akan bisa menggunakan kakinya lagi setelah ini,"

"Ah, dan salah satu gejala umum lain pada penderita tuberkulosis adalah berkeringat dingin, itu terjadi pada [Surname]-san juga pastinya, bukan?"

Urata membisu. Bagaimana bisa ia tidak menyadari semua itu. Jemari yang berkeringat dan terasa sangat dingin … bukankah itu tidak normal?

Rambut dijambak frustrasi, ingin rasanya diri berteriak tapi tak ada gunanya. Tak ada gunanya lagi sekarang, Urata juga tak ingin menyalahkan siapapun.

Urata hanya ingin, [Name] tetap berada di sisinya.

Apapun yang terjadi.

Waktu berjalan dan hari berganti. Urata tetap setia menunggu dan menunggu, setiap orang yang ia kenal maupun tidak, silih berganti memasuki ruang rawat sang kekasih sedangkan diri bahkan belum melihat wajah itu lagi sejak siuman.

Urata sendiri bimbang, apa dirinya mampu mengatakan hal itu? Dibalik dosanya yang bahkan tidak dapat menyadari nyawa sang tercinta yang diambang hilang? Urata bahkan tidak bisa menghakimi dirinya.

Jika Tuhan masih memberinya kesempatan untuk bicara satu sana lain, maka Urata tidak mau menyia-nyiakannya lagi. Cukuplah semua pengertian itu, persetanlah segala rasa takut dalam hatinya, Urata hanya ingin mengatakannya.

Sekarang.

Pintu digeser perlahan agar tak menimbulkan perhatian, langkah kaki pun diminimalisir hentakannya.

Lihatlah dia, yang tengah dalam damainya duduk menghadap jendela yang terbuka menampilkan jingga langit sore.

"Urata-san?" suara itu meraup semua perhatian dalam sekejap.

Urata menatap manik [e/c] disana miris, berusaha tetap tersenyum, "Syukurlah kau sudah bangun [Name], aku khawatir,"

Atensi dialihkan kebawah, menunduk. Namun Urata dapat melihat manik sendu itu, menambah luka pada hatinya, "[Name]…"

Melangkah mendekat, jari-jarinya hendak diraih, tetapi urung, "[Name], aku minta maaf … jika saja aku tidak terlambat menyadari semuanya … pasti hal ini tidak akan terjadi …"

"Berhentilah menyalahkan dirimu, Urata-san."

"Tapi, [Name] …"

"Urata-san … tidak bisakah kau mengatakan sesuatu yang tidak menyedihkan saat ini? Aku tidak mau mendengar apapun darimu jika itu hanya permintaan maaf atau hal-hal yang menyangkut kesalahanmu,"

Urata mengatupkan mulutnya, membuat suara dari gigi yang bergemeletukan, "Maaf [Name] …"

"SUDAH KUBILANG AKU TIDAK MAU MENDENGARNYA!"

"AKU MENCINTAIMU [NAME]! MENIKAHLAH DENGANKU!" sebuah pelukan membawa dua tubuh yang terpisah itu menjadi tanpa jarak sekarang.

Netra yang sudah dibanjiri air mata itu melebar kala mendengar kalimat yang baru saja terlontar, "Me-menikah?"

"Hm, menikahlah denganku, aku ingin mengatakan ini malam itu tapi … aku sadar kesempatanku belum datang, jadi sebelum terlambat, aku ingin mengatakannya padamu [Name],"

"Kenapa…"

"[Name]?"

"KENAPA URATA-SAN MENGATAKAN ITU?!"

"[Name], tenangkan dirimu …,"

"URATA-SAN TIDAK MENGERTI! AKU SUDAH TIDAK BISA MENGGUNAKAN KAKIKU LAGI! AKU TIDAK BISA LAGI BERJALAN DI SISIMU! TIDAK BISA LAGI BEBAS MELIHAT DUNIA INI! BAHKAN AKU TIDAK AKAN PERNAH BISA BERDIRI PALING DEPAN MELIHAT KONSERMU SEPERTI MIMPIKU SELAMA INI!!!"

Urata diam, membiarkan emosi gadis dihadapannya tumpah dalam tuangan kata-kata dan air mata.

"Kalaupun aku menikah dengan Urata-san … memangnya apalagi yang dapat kuberikan dengan keadaan seperti ini …?"

"Kau tidak perlu memberikan apapun padaku,"

Mendongak, membuat kedua nirwana satu sama lain bertemu, "Maksud Urata-san …?"

Urata meraih lengan [Name], mengelus lembut punggung tangannya sebelum memasangkan sebuah cincin di jari manisnya.

Mengecupnya sekilas, menyatukan pandangan lebih dalam, "Karena ada [Name] di sisiku saja sudah lebih dari cukup, aku tidak akan meminta lebih. Jadi kumohon terimalah diriku apa adanya seperti dirimu menerimaku apa adanya."

Mendengarnya [Name] hanya bisa menangis, menangis dalam pelukan orang yang ia cintai dengan naungan kisah yang abadi.

"Jika memang diriku sudah dipilih, maka aku siap menjagamu tidak peduli apapun yang terjadi."

Pernikahan adalah hal yang sakral, maka tabu bagimu mengungkit sebuah air mata kesedihan didalamnya.

Dibawah guguran kelopak sakura yang menari-nari, janji suci sehidup semati di ikrarkan.

Kau tahu? Takdir tidak pernah mengkhianatimu. Hanya saja, terkadang alurnya sangat suka mempermainkan agar orang-orang tahu rasanya diuji atas nama sebuah kepercayaan.

Pengabdian tanpa batas satu sama lain atas eksistensi perasaan paling rumit sekaligus manis di seluruh alam semesta ini.

Cinta.

Satu kelopak sakura jatuh mengenai pipi. [Name] membiarkan mahkotanya yang tergerai dibelai angin musim semi yang hangat.

Ah, benar. [Name] dapat merasakan perasaan sesak yang menyenangkan ini di dalam dadanya.

Dan itu hanya datang saat dirinya dan Urata berada dalam keadaan seperti ini. Membagi rasa satu sama lain lewat sentuhan.

Sebuah kecupan manis di pipi diberikan, membuat diri yang tengah menikmati dalam diam sontak membuka mata, menoleh kearah pelaku yang tampak tersenyum lebar tanpa rada bersalah.

Suaminya.

[Name] hanya tersenyum, mencoba membalas dengan perkataan, "Nee, Urata-san, kalau aku sudah tua dan keriput nanti, apakah kau akan tetap menciumku?" nadanya main-main terdengar dalam pendengaran pria tampan itu.

"[Name], apa lagi yang kau ragukan? Jangankan menciummu, berpegangan tangan seperti ini bersamamu selamanya pun aku sanggup," balas Urata tertawa sembari memberhentikan kursi roda yang didorongnya dengan sebelah tangan di bawah pohon bunga sakura yang paling rindang.

"Karena aku mencintaimu, [Full name]."

"Aku juga mencintaimu …,"

"Takahashi Wataru."

FIN.

Utaite×IdolishSeason Project

#1 summer || sakata (complete).

#2 winter || senra (complete).

#3 fall || shima (complete).

#4 spring || urata (complete).

DENGAN INI, SAYA NYATAKAN BAHWA, UTAITE×IDOLISHSEASON PROJECT, RESMI BUBAR— EH, KELAR, YAAAAAAY 🎉🎉🎉.

Makasih banyak yang udah baca, support, spam komen, meninggalkan jejak apapun di seri ini, aku senang sekali targetku tercapai. Yaitu kelarin seri ini dalam bulan Agustus 😭😭😭💚💜❤💛.

Special thanks buat senpai-ku /sapalu rE/ yang sudah mau baca sampai sini dan sudah menjadi sumber semangatku untuk menamatkannya— OsamaNekoni. MAkaseh juga kang rusuh lapak ini celllyz, TUNGGU AJA AKU NISTAIN LUZ NYA //ggtu. DAN BUAT SEMUA AJA AKU UCAPIN MAKASIH SEKALI LAGI.

Soal versi Urata ini ... Maaf kalau mengecewakan, saat menulisnya aku bener-bener dalam keadaan kacau sebenarnya, emosiku tercampur aduk, wwww. Tapi kupaksa karena takut idenya keburu ilang.

Sekian! Status Utaite×SongInspirate Project berstatus on progress sekarang, please wait for it!

See ya, soon!

Sincerely
えい。

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top