The Absolute

Fanfic ini milik saya!
Disclaimer : manga & anime, milik Fujimaki Tadatoshi

Last Shot : Akashi Seijuuro x OC
NB : kayaknya nggak usah ditulis lagi/lol
Warning : Typos, OOC, Gaje, humor garing.

Don't like, don't read.
Happy reading ♡

"Lagi-lagi aku kalah .."Michi menatap shogi nanar. Laki-laki bersurai merah dengan mata heterokrom itu menyeringai penuh percaya diri. Tidak ada yang bisa menaklukkan kemampuannya.

"Besok tim Rakuzan lawan Seirin kan?"Michi menatap laki-laki itu datar, seperti yang telah ditetapkan seisi sekolah untuk menjulukinya The Emotionless One.

"Aku bahkan bisa memenangkannya tanpa tim."Akashi mulai merasa kepedean, dengan gunting merah sebagai item kebanggaan.

Michi mengangguk. Akashi menghampiri Michi yang duduk di hadapannya. Langsung saja Akashi menyentuh dagu gadis itu. "Ini perintah. Datang ke pertandinganku."

Bagi fans Akashi, itu adalah mimpi dari mimpi dari mimpi/abaikan yang jika terjadi bagaikan hal terindah nan tidak terlupakan.

"Tapi aku tidak menyukai tempat yang ramai."bantah Michi datar. Walaupun Michi kurang berekspresi, di pihak lawan jenis ternyata banyak yang mengagumi gadis itu karena pandai dalam segala hal. Sedangkan di pihak sesamanya, mereka seringkali menghujat gadis itu, walaupun Michi tidak pernah menganggu mereka.

"OH. Jadi sekarang mau melawan mastermu?"Akashi menyeringai. Sedatar apapun emosi Michi, ia selalu menang.

Michi mendesah. "Tidak. Baiklah."

Singkat cerita, Michi adalah anak piatu yang diangkat oleh keluarga Seijuuro. Ayahnya bekerja sebagai supir dan Michi ikut tinggal bersama ayahnya di kediaman Seijuuro. Michi tidak ingin hanya membebani ayahnya sendiri yang bekerja, pada akhirnya ia ikut menjadi pelayan. Sebenarnya keluarga Seijuuro kurang mengizinkan Michi bekerja, tetapi Akashi mengusulkan untuk menugaskan Michi sebagai pelayan pribadi.

Michi menatap jendela ruangan kelas yang tersisa dirinya dan Akashi. "Ayah sudah datang, Akashi-kun.

Ternyata Akashi terlelap di meja. Michi duduk di depannya, melihat kedua mata laki-laki yang tertutup rapat dengan suara hembusan halus. Wajar jika laki-laki itu kelelahan, seminggu penuh selalu latihan dari sepulang sekolah hingga sore. Terhitung pula dari hari minggu.

Michi tidak tega dan membiarkan dirinya menempatkan kepalanya di meja yang sama dengan Akashi beberapa lama.

"Seharusnya tadi kau membangunkanku,"Akashi menatap wajah Michi yang berjarak dekat dengannya. Michi langsung duduk.

"Aku tidak tega,"Michi mengerjapkan matanya beberapa kali karena terkejut Akashi terbangun di dekatnya.

Akashi mengacak rambut Michi. "Kita pulang. Ayahmu pasti sudah lama menunggu,"

Melihat Akashi lantas mengulurkan tangannya, Michi menjabatnya berjalan menuju lorong sekolah.
Michi tidak tahu, sejak kapan ia begitu terbiasa dengan seorang Akashi yang disegani seisi sekolah.

○ ● ○

Michi bukan berarti sepenurut itu terhadap Akashi dengan menjadi seorang pelayan. Ia kurang menyukai stadion yang riuh dan pengap. Ia lebih suka menonton pertunjukan yang sama lewat televisi. Ia bisa sambil berbaring di kamarnya yang sejuk.

Pagi itu ia berniat untuk mencari alasan agar tidak ke sana, tetapi pada akhirnya Akashi berhasil menggagalkan idenya. Kabur dari rumah Akashi sebelum laki-laki itu mencarinya. Di mini market.

"Aku sudah harus pergi bertanding, kau malah sempat beli cemilan. Begitu, ya?"

Michi hanya terdiam walaupun bulu kuduknya berdiri. Akashi mengambil keranjang belanjaan itu kemudian menaruhnya asal, membawa Michi persis mengangkut beras.

"Kau.. tidak perlu seperti ini membawaku."Michi mulai merasa kurang nyaman dengan tatapan sekitar.

"Nanti kau kabur lagi. Syukur ayahmu memberitahu."

Michi mendesah. Ia lupa untuk meminta ayahnya menutup mulut. Tetapi percuma juga untuk merahasiakan sesuatu dari seorang Akashi.

"Aku perlu dukunganmu."

"Ya sudah. Berjuanglah."

Akashi menatap sinis Michi yang berada di sisi kirinya. "Kadang-kadang nada datarmu menyebalkan."

Michi terkekeh. "Baru tahu?"

Akashi terdiam sesat berkata,"Kau tidak boleh terkekeh seperti itu terhadap laki-laki lain."

"Termasuk ayahku?

"Itu beda cerita."

Keduanya melihat limusin hitam yang melintas di samping kanan mereka.

"Akashi-san. Sudah seharusnya anda be- , Michi-chan kenapa kamu sampai digendong sama Akashi?"ayah Michi membuka kaca mobil sampai habis, terkejut melihat keadaan keduanya.

"Ini Yah, Akashi-kun menahanku."tuduh Michi.

"Dia tidak mau menonton pertandinganku secara langsung."

Ayah Michi terkekeh, "Sudah jangan berantem. Masuklah ke dalam. Satu jam ke depannya sudah mau di mulai kan?"

Akashi pun menurunkan Michi. "Duduk di sebelahku di belakang,"pinta laki-laki itu menarik Michi.

"Tapi ayah duduk sendirian di depan."

"Turuti saja maunya Akashi-san."ayah Michi lantas berpihak kepada Akashi.

Melihat tiada perdebatan yang bisa dilanjutkan, Michi memilih diam. Limusin pun melaju menuju stadion pertandingan.

Sambil menunggu sampai ke tujuan, Akashi malah membuka kemejanya.

"Ngapain buka-bukaan di sini?"Michi mengernyitkan dahi sambil menjauhkan diri duduk di seberang. Memang laki-laki itu tidak memiliki kotak perut/abaikan, tapi tetap saja Akashi tetap laki-laki.

"Mikir apaan sih. Aku belum sempat pakai baju tanding. Ambilin bajuku di sana,"tunjuk Akashi ke arah jok di dekat Michi. Sebuah tas basket hitam.

"Ini,"Michi menggeserkannya.

Langsung saja Akashi mencari bajunya dengan penampilan topless. Michi mengalihkan pandangan yang berbau fangirl di sisi kanannya, memfokuskan diri menatap jendela.

"Ah, aku ingat aku mau kasih sesuatu,"kata Michi menyarukkan sesuatu di kocek celananya.

Wristband hitam.

"Untukku?"Akashi mengerjap benda pemberian yang diragukan akan diberikan kepada seorang Michi.

"Kalau tidak suka ya aku bisa berikan kepada Ki-"

Akashi langsung memakainya. "Barang yang sudah diterima tidak boleh dikembalikan. Arigatou."

Michi tidak menyangka, Akashi akan berseri-seri saat mengenakan wrist band itu di pergelangan tangan kanannya.

Michi sempat menyangka Akashi mungkin malah melempar wrist band pemberiannya.

○ ● ○

Stadion memang riuh dan pengap seperti yang diduga oleh Michi. Michi duduk di antara banyak pendukung baik Seirin maupun Rakuzan.

Sejalan dengan pertandingan berlangsung, Michi merasa ditatap lekat-lekat, tepatnya tatapan menusuk. Tidak lama perasaan buruk itu melekat di dirinya, di samping kanannya duduk seorang gadis berambut cokelat bergelombang.

"Permisi,"ajak gadis yang wajahnya familiar namun entah namanya siapa bagi Michi.

"Aku sedang menonton, maaf."Michi menolak tanpa menatap gadis itu.

Tapi ternyata gadis itu masih bersikeras menarik tangan Michi. "Tolong bantu aku membelikan obatku. Perutku sakit sekali,"

Michi pun menoleh. "Di sini ada apotek?"

"Ada. Tolonglah aku,"

Michi pun akhirnya meninggalkan area stadion. Saat ia menapaki anak tangga, ia merasakan dorongan keras. Michi pun tidak sadarkan diri, terbaring dengan kepala membentur anak tangga lebih dulu.

Permainan telah berangsur-angsur diungguli oleh Rakuzan. Waktu telah berlalu setengah kuarter dan kedua tim melakukan break lebih dulu.

Akashi meneguk sport drinknya sambil mencari-cari letak Michi yang sedang duduk di spot yang ia maksud. Namun gadis itu tidak ada, seolah tidak menghadiri pertandingannya. Tapi Michi bukanlah orang yang melakukan halnya setengah-setengah. Kalau ia sudah berada di sini, ia pasti harus menunggu bersamanya.

"Ada seorang gadis yang pingsan di tangga?"

"Kepalanya sedikit terluka karena benturan anak tangga."

Akashi mengernyitkan dahi saat mendengar pembicaraan penonton yang lewat di sekitar ruang ganti. Akashi langsung keluar, menanyakan kedua wanita itu. Perasaannya tidak enak, apalagi tadi dia tidak menemukan Michi.

"A-ano, tadi aku melihat seorang gadis berambut hitam sebahu pingsan. Kemudian aku melihat tas tangannya dan menemukan identitas bernama Michi Sakuya. Tadi dia su-"terang gadis itu malu-malu menjelaskan, tetapi Akashi langsung berlari ke ruang kesehatan.

"SEIJUURO! KITA SUDAH MAU TANDING LAGI WOI,"seru satu dari anggota lainnya, Akashi mendengarnya kemudian menoleh.

"Aku akan cepat menyusul,"

Akashi berharap gadis itu salah. Akashi berharap Michi pulang daripada terluka. Akashi berharap Michi duduk di stadion. Semua harapan yang tertanam di hatinya lebih dari pengharapan seorang master, melainkan jiwanya sebagai lelaki untuk melindungi gadis yang disukainya.

Nasib buruk memang tepat. Michi tidak sadarkan diri sedang terbaring dengan kepala terbalut di dahi. Kaki kanannya juga. Mimik Akashi langsung pucat saat melihat balutan gadis itu.

"Akashi-san, saya yang akan menjaga Michi-chan. Anda harus bertanding kan?"tanya petugas kesehatan, Rara yang duduk di samping Michi.

"Semua ini karenaku.."Akashi terjongkok mengacak rambut merahnya.

● ○ ●

Ruangan putih nan berbau antiseptik itu membingungkan gadis itu. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menangkap semua rohnya kembali.

"Michi-chan sudah sadar? Syukurlah."

"Apa yang terjadi denganku? Ah.."ringisnya memegang kepala.

"Kamu tadi terjatuh dari tangga."

Michi mengangguk dengan tatapan blank. Kemudian ia seolah melupakan sesuatu. Ia langsung beranjak bangun. "Bagaimana pertandingannya?"

Rara si petugas menggeleng. "Rakuzan kalah."

Michi terpaku. "Kalah?"

"Akashi-kun tadi melanjutkan permainannya di kuarter akhir, tetapi mereka tidak bisa menyaingi skor Seirin."

Krek. Subjek yang dimaksudkan berada di depan pintu. Wajahnya muram, tetapi dipaksakan tersenyum. "Michi, ayo pulang."

Michi pun berpamitan terhadap petugas kesehatan. Keduanya tidak berjalan bersama, Akashi berjalan lebih dulu dengan langkah besar-besar. Michi mendesah. Ternyata tubuh Akashi yang sekecil Kuroko itu bisa melangkah begitu cepat.

"Akashi-san? Tunggu.."Michi jalan tertatih-tatih. Akashi menoleh, dengan tatapan dingin.

"Kau.. berhenti menjadi pelayan pribadiku."

Michi memiringkan kepalanya. "Kenapa? Aku salah apa?"

"Intinya kau tidak ada kewajiban untuk bersamaku, mengurus tentangku dan semua yang berbau tentang diriku. Kau berhenti hari ini."

Michi terdiam sesaat menggeleng. "Tapi aku pelayan keluarga Seijuuro. Dan aku.."

"Kalau master berkata apa, kau harus menurutinya."

Michi menunduk. Akashi pun tidak berkata apapun lagi, tetapi terkejut saat menatap kedua bola mata Michi yang meneteskan air mata.

"Souka. Terima kasih atas segalanya, Akashi-san. Aku akan pulang dengan kereta. Bilang ke ayah kalau aku pulang lebih larut."

Akashi tidak pernah melihat Michi menangis. Sekalipun membahas ibunya, gadis itu berkata dengan tegar. Akashi ingin datang menghampirinya, menghambur ke dalam dekapannya. Tapi ia tidak bisa.

Karena semua kekacauan ini berasal olehnya.

○ ● ○

Dan memang sejak saat itu Michi memang tidak lagi menjadi pelayan khusus Akashi. Keluarga Seijuuro masih tetap menampungnya tinggal seperti biasanya. Michi sesekali membantu pelayan yang lain namun selalu ditentang dengan tegas.

Hal lainnya juga yang dialami Michi adalah terbentuknya dinding bernama jarak dengan Akashi. Ia sering menatap bahu yang lebih lebar darinya menjauh, baik di rumah dan di sekolah. Bahunya yang tidak akan pernah berbalik untuk menatapnya.

Ding dong. Bel kediaman Seijuuro berbunyi. Situasi rumah sedang sepi dan Michi yang berada di dekat pintu.

Krek.

"Selamat si-"seorang laki-laki berambut cokelat gelap berhenti berkata saat menatap sosok Michi.

"... Anda siapa?"tanya Michi terdiam sesaat melihat orang yang asing di hadapannya.

"Ternyata kau, Soichi?"suara Akashi berada di belakang Michi mengejutkan gadis itu. Ia melepaskan kacamata yang seringkali digunakannya jika membaca buku-buku yang rumit.

Michi menundukkan kepala. Ia tidak berani menatap Akashi lama-lama. Melihat keduanya mungkin akan membicarakan sesuatu yang serius, Michi segera melangkah pergi.

Namun laki-laki berambut lurus di atas tengkuk itu memegang bahu Michi saat gadis itu berbalik masuk ke dalam rumah.

"Tunanganku tidak mau kenalan dulu?"

Michi berbalik badan. "Maksudmu? Aku saja tidak tahu namamu?"

Akashi berdecak menarik tangan Michi. "Soichi!"

Soichi terkekeh. "Ingat perjanjian kita? Absolutisme?"

Akashi mengeraskan rahangnya. "Tapi dia tidak perlu dilibatkan."

Michi tidak mengerti tentang apa yang dibahas kedua lelaki itu tetapi ia melepaskan tangan Akashi. "Aku masuk. Urus saja masalah kalian di taman."

Soichi berdeham. "Michi-chan, bukankah beasiswamu sudah hampir habis?"

Michi mengangguk. Akashi mengerjapkan matanya beberapa kali, terkejut Michi tidak mengungkapkan hal itu. "Jadi kalau sudah habis dan Michi tidak bisa membayarnya berarti harus dikeluarkan dari Rakuzan ya?"Soichi menganalisa sesuatu yang sangat tergambar jelas walaupun ia tidak perlu melakukannya.

Michi masih tidak bereaksi sampai Akashi mencengkram kemeja cokelat gelap Soichi. "Apa yang kau libatkan dengannya?"

Soichi tersenyum begitu menyerahkan brosur di dalam ransel hitamnya. "Masuk ke sini bersamaku. SMA Jouda, memberikan beasiswa hingga lulus."

Michi mengambil brosur itu. "Menarik,"kata Michi berbalik badan. "Akhir bulan nanti aku akan ke sana."

Akashi terpaku saat Michi meninggalkan keduanya. Ia sadar ia yang memulai membentuk dinding pemisah, tapi tidak untuk sekolahnya, ia ikut berpisah.

Entah kenapa kekuatan mencengkramnya melemah begitu saja.

○ ●  ○

Michi beranjak ke dapur untuk menggapai mug biru muda. Saat ia menuangkan bubuk kopi, Akashi membelakanginya.

"Kau.. berminat pindah ke SMA Jouda?"tanya Akashi lirih.

"Hm, aku tertarik. Fasilitasnya bagus dan mungkin sekolah itu bisa memudahkanku memilih universitas yang bagus,"

Akashi menahan tangan Michi yang memegang mug.
"Jangan pergi."

Michi mungkin bisa saja merekam kata-kata manis di drama-drama itu, tapi ia tidak bisa lagi menuruti hal itu. "Aku bukan pelayan pribadimu. Aku bebas melakukan apa yang aku mau."

Akashi membenamkan wajahnya ke bahu Michi. "Aku akan cari cara untuk memperpanjang beasiswamu."

"Aku bukan pelayanmu. Aku tidak akan mendengarkanmu lagi."Michi mulai terisak.

"Hm. Benar. Kau memang bukan pelayanku. Tapi aku ingin memilikimu. Menjadikanmu gadisku satu-satunya."

Bahkan seorang Michi yang seringkali emotionless itu bisa tersipu bersamaan dengan air matanya yang jatuh.

"Aku memintamu berhenti menjadi pelayanmu karena aku tidak bisa membiarkanmu terluka oleh fansku."

Michi berhenti menangis justru terkekeh mendengar alasan itu menepuk kedua pipi Akashi. "I'm stronger than you think, Akashi-san!"

Akashi tertegun memegang kedua telapak tangan Michi. "Apa yang kau lakukan terhadap mastermu hah?"

Michi menggeleng dengan ekspresi innocent. "Hanya ingin menyadarkan mantan majikanku yang bisa juga sentimental,"

"Tapi aku tidak akan menjadikanmu pelayanku juga,"Akashi mendesah pelan. "Menjadi gadisku,"

Michi menekap wajahnya. Kata-kata yang terlalu indah untuk didengarkan olehnya.
"Bagaimanapun, status kita masih berbeda, Akashi-san. Aku hanyalah anak supir dan kau anak konglomerat. Ini bukan cerita cinderella,"

Mendengar reaksi berbeda dari Michi, laki-laki bersurai merah itu mengangguk. "Benar, sih. Tapi apa kau tidak menyukaiku?"

"Aku tidak membenci Akashi-san sih,"

Akashi pun dibuat terkekeh oleh jawaban Michi. "Kuanggap oke kalau begitu. Jangan meninggalkanku,"

Michi menggembungkan kedua pipinya. "Justru aku yang harus berkata demikian,"

Dan laki-laki itu mengacungkan jari kelingking. "Then I will promise,"

"Tapi aku harus pergi ke SMA Jouda. Kita masih seatap. Tenang saja,"Michi membenarkan statement tawaran Soichi yang memang menarik itu.

"Jadi kau memilihku dibanding dia?"Akashi ternganga dengan jarinya yang belum terpaut oleh jari Michi.

"Sampai aku bisa menjadi orang yang pantas untukmu, aku akan bisa menerimamu. Sampai saat itu tiba, kau bisa memacari yang lain jika kau tidak bisa menunggu."Michi mengutarakan penawaran yang alih-alih menusuk hatinya sendiri.

Akashi menatap isi mug terisi kopi yang mengepul, merebutnya dari gadis itu. "Jangan remehkan perasaanku,"

Michi mengangguk. "Then we will see."

Tiga tahun kemudian ..
Todai University, April 20xx.
Michi melangkahkan kakinya ke kampus ternama seJepang itu. Ini kali ia mencoba mewujudkan mimpinya. Menjadi dokter spesialis anak-anak.

"Jurusan kedokteran, huh."

Michi menatap papan pengumuman itu teralih saat mendengar suara yang familiar baginya. Laki-laki bersurai merah itu jadi begitu jangkung -- terlalu jangkung untuk seorang Akashi Seijuuro.

"A-Akashi-san?"

Akashi tersenyum seringai. "Seatap denganku katamu? Tiga tahun berlalu dimulai dari tinggal di apartemen sendirian. Nyaris saja aku menggunakan FBI untuk melacakmu,"

Michi memiringkan kepala. "Aku hanya pindah dari Kyoto ke Tokyo. FBI apaan?"

"Ayahmu. Kau menyuruhnya untuk tidak boleh mengatakannya padaku kan?"

"E-eh? Masa sih?"

Akashi memegang jemari Michi. "Kau sudah jauh lebih pantas, terlebih dari sebelumnya sejak kita SMA."

"Dan kau sudah memacari berapa orang selama tiga tahun terakhir?"

Akashi mencoba menghitung dengan jari, "Kemarin aku bertemu dengan gadis berambut sebahu di mini market, memotretnya dan memajang fotonya di kamarku dua minggu lalu, terus .."

"Kau.. menguntitku?"

Akashi menyeringai. "Itu karena kau tidak memperbolehkanku mencarimu. Kekuatan Akashi tidak bisa ditentang, nona."

Beberapa gadis di sekitar mereka memekik menatap sosok Akashi di dekat Michi. "Itu dosen Akashi-san, Kyaa!"

Michi mengernyitkan dahi. "Dosen? Kau dosen?"

Akashi memakai kacamata yang terselip di kerah bajunya. "Mohon bantuannya, mahasiswa kesayanganku. Oh, apa Soichi berbuat buruk terhadapmu?"

Michi ternganga. "Bukannya kita satu angkatan? Apa hubungannya dengan Soichi? Dia kan punya pacar yang lebih tua dan sekarang meneruskan perusahaan ayahnya,"

Akashi menyeringai. "Siapa bilang? Setelah kau pindah ke apartemen dan bersekolah di Jouda, aku mengambil kelas akselerasi dan lulus lebih cepat. Ah.. Souka,"

Ternyata Soichi hanya memancing emosi Akashi saat mengungkit absolutisme. SMA Jouda memang sedang membutuhkan murid berprestasi untuk memenangkan olimpiade, mengingat posisi Soichi saat itu adalah anak kepala sekolah.

Berbeda dengan Michi yang tidak menyangka Akashi akan datang di dekatnya, menghampirinya, menemukannya di kala mereka setelah lulus SMA. Bagaimanapun, Akashi masih berada di sisinya.

" Asal kau tahu. Aku menang. Aku menunggumu, tanpa memacari siapapun. "

Michi memegang pipinya yang memanas dengan sendirinya itu. Masa depan memang masih begitu luas terbentang di depan mata, tetapi masih begitu samar untuk diketahui. Masa depan adalah misteri yang belum terpecahkan.

Seperti halnya, Akashi berada di dekatnya. Menjadi masa depan seorang Michi nanti?

Dan dia tidak akan sabar untuk itu.

END
YOO~ Sekian dari shots Kuroko ini. Author minta maaf jika ceritanya jelek begini. Author mungkin ingin membuat sekuel dari beberapa karakter Kurobas hehe~
Pleasure to vote and comment ya~ THANKYOUU.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top