fall [END]

"[Name]-san, menikahlah denganku,"

"Eh? Tapi kenapa harus aku ...,"

"Aku tidak peduli soal apapun lagi, aku hanya ingin bersama [Name]-san,"

"...."

Hei, di musim gugur ini aku sadar bahwa kami tidak hanya saling mengagumi.

"[Name]-san! Tolong kemari!"

"Ha'i!"

Namaku [Full name], seorang make up artist. Dan sekarang aku tengah ... sibuk mendandani salah satu unit Utaite berlabel nama USSS yang akan konser.

"Ah, Urata-san, apakah bedaknya terlalu tebal?"

"Hm? Oh! Sakata-san, sebentar!"

"Aku melihat liptint merah di meja rias tadi ... eh? Untuk apa, Senra-san?"

Lihat? Aku sangat sibuk.

Aku melirik kearah seorang pria yang belum tersentuh make up dariku di depan meja rias. Saat teman satu unitnya yang lain tinggal menunggu jadwal manggung, dia tampak antusias dalam sendirinya.

Aku tersenyum kecil, mendekati sosoknya dengan beberapa alat make up di tangan.

"Konbanwa Shima-san," sapaku ramah.

Pria itu menoleh cepat, manik kami bertemu, balas tersenyum, "Konbanwa mo, [Name]-san."

"Sudah siap untuk konsernya?" tanyaku sembari mulai bekerja dengan alat make up.

Shima—bagaimana biasa pria itu dipanggil—mengalihkan pandangan, mengusap tengkuk, "Sejujurnya aku sedikit gugup, ini konser pertama kami di Budoukan."

Aku tertawa kecil, "Tak usah khawatir, semua orang pasti gugup saat melalukan sesuatu yang baru bagi mereka,"

Shima terlihat mengulas senyum mendengar ucapanku, "Ah, ya, [Name]-san benar,"

Aku mendekatkan brush ke wajah pria tersebut, "Kalau begitu, apakah aku boleh memulai pekerjaanku?"

Shima mengangguk, "Maaf merepotkanmu lagi, [Name]-san."

Aku menggeleng pelan, menorehkan brush make up ke wajahnya, "Sudah pekerjaanku dan aku senang melakukannya, tak usah khawatir."

Shima terlihat memejamkan matanya saat aku menoreh blush on di kedua pipinya tipis, "Ah, ya, [Name]-san sudah berusaha keras untuk kami selama ini, menjadi make up artist hampir pada setiap konser maupun kegiatan kami yang lainnya,"

"Urata-san, Sakata-san, Shima-san, dan Senra-san juga sudah berusaha keras selama ini, bukan? Aku senang bisa berada bersama kalian selama ini walau hanya mendukung dari belakang panggung, sungguh," kataku.

"Nah, sudah selesai." ucapku membereskan peralatan make up di meja rias.

Shima terlihat membuka maniknya, "Terima kasih banyak [Name]-san."

"Douitashimashite, Shima-san."

"Hei kalian berdua, kuperhatikan makin dekat saja." Sebuah suara membuatku reflek menoleh.

Itu Senra. Diikuti Sakata dengan pandangan penasarannya. Juga sang leader Urata yang sibuk dengan ponselnya. Semua sudah siap.

Shima nyengir, bangkit dari duduknya, "Naa Senra, yakimochi ka?"

Reflek Sakata memukul punggung Senra mendengarnya, tertawa.

"Mana mungkin Senra cemburu, dia kan sudah sibuk mengejar gadis sarkas di cafe itu," Urata tanpa mengalihkan manik dari ponsel pintarnya berkata.

Shima ikut tertawa mendengar hal itu, sedangkan Senra terlihat mendengus kesal.

Aku hanya bisa ikut tertawa tanpa suara melihatnya. Walau ku tahu mereka berempat sudah berteman dekat sejak lama, tetap saja hal seperti ini membuatku merasa tenang bisa berada diantara mereka. Persahabatan yang tetap terjaga walau musim terus berganti, hingga sampai di musim gugur yang kesekian.

"Ah sudah waktunya, [Name]-san kami harus pergi," suara Shima membuatku tersadar.

Hei, lihatlah wajah mereka yang tampak berseri itu, itu hasil tanganmu [Name].

Aku mengangguk, "Semoga sukses."

Shima memasang senyuman terbaiknya, berbalik dan siluet mereka hilang dari pandanganku tak lama kemudian.

Aku menghempaskan tubuh ke sofa terdekat, memijit pelipis. Kata-kata Senra berputar di kepalaku. Memang diantara mereka berempat, bisa dibilang aku paling dekat dengan Shima, kami berdua mirip dilihat dari banyak segi.

Meraba pipi yang tiba-tiba saja terasa hangat, menggumam, "Hei [Name], kau hanya sebatas mengaguminya 'kan?"

Memejamkan mata dan sedikit bernostalgia. Aku ada disini sudah lewat setahun lamanya. Aku tahu kebiasaan anggota unit, kesukaan dan ketidaksukaan mereka, apapun, aku cukup tahu banyak soal mereka.

"Tapi kalau soal Shima-san, dia berbeda bukan?"

Puk.

Pipi ditepuk pelan, menggelengkan kepala, "Ayolah [Name], kau ini sudah duapuluh lima tahun, jangan seperti remaja labil begitu,"

Ya, aku tahu, semua akan berbeda jika menyangkut Shima. Pemuda duapuluh delapan tahun itu selalu saja berbeda di mataku.

Tanpa terasa waktu berjalan, konser pun selesai.

Ah, aku dapat melihat wajah-wajah bahagia itu. Perjalanan mereka selama ini, mereka tuangkan seluruhnya di panggung ini.

Hei, lihat Shima, dia menangis lagi? Astaga ....

"Otsukaresama minna-san," aku mendekati mereka berempat yang siap berganti pakaian.

Shima menjawab terlebih dahulu, jujur, wajah sembapnya itu membuatku ingin tertawa, dia selalu saja begitu.

"Otsukare mo, [Name]-san."

"Mama!!!" tepat saat aku hendak berucap lagi pada Shima suara yang familiar terdengar di telingaku.

"Akane-chan!" seruku membalas pelukan yang menghampiriku itu.

"Ah, mama kan sudah bilang, sehabis pulang les biola langsung pulang ke rumah. Kenapa Akane-chan malah kesini?" kataku mengelus rambut gadis cilik itu lembut.

Akane mengangkat jemarinya, "Akane mau ketemu paman-paman temannya mama!"

Manikku membesar mendengarnya, ingin berkata sebelum Shima berhasil meraih tubuh mungil itu dan menggendongnya, "Tuan Putri Akane apa rindu padaku, ha?" candanya.

Aku tertawa melihatnya, sedangkan Senra mendorong-dorong bahu pria itu lantas berkata, "Kau terlihat cocok menggendong anak kecil seperti itu."

"Hus, jangan berkata seperti itu." Kata Urata yang telah berganti pakaian.

"Hee~ memangnya kenapa? Lagipula kurasa Senra benar," tambah Sakata.

Aku hanya bisa terdiam mendengar perkataan mereka semua. Sebuah senyum tipis kugambarkan dalam suasana ini.

"Mama, kapan kita pulang?" Akane menatap mataku, sepertinya dia mulai mengantuk.

"Sebentar lagi ya sayang, mama harus bereskan pekerjaan mana dulu." Jawabku lembut.

"Tak apa [Name]-san, biar kami yang bereskan sisanya, kasihan Akane-chan sudah mengantuk kelihatannya."

Sebuah suara sukses membuatku mengalih fokuskan pandangan. "Shima-san?"

Pria itu mengangguk, "Kau juga butuh istirahat [Name]-san, otsukare."

Aku mengulas senyum, mengangguk, "Baiklah Shima-san."

Sebuah memori terputar dalam pikiranku. Saat pertama kali aku melihat dirinya dalam naung gugur dedaunan waktu itu, persis setahun yang lalu. Patrinya masih tersimpan jelas didalam diri ini.

"Itu putrimu?"

"Ah bukan, dia anak kakakku. Hanya saja aku yang merawatnya sejak lahir karena keadaan kakak tidak memungkinkan untuk merawatnya,"

"Ah begitu, maaf sudah menanyakannya,"

"Tak apa, banyak yang salah paham kalau Akane-chan adalah putriku, walaupun ia bukan anak kandungku, dia memang sudah kujadikan anak sendiri."

"Ah, kau gadis yang sangat baik."

"Maaf?"

"Oh, bukan apa-apa. Dan ah iya, namaku Shima,"

"Eh? Shima-san ... Utaite?"

"Ah, kau tahu aku?"

"Tentu saja, aku sangat mengagumimu! Namaku [Full name]!"

Hmm, begitulah kira-kira.

"Mama?" suara Akane membuyarkan sebuah nostalgia yang baru saja memenuhi kepalaku.

"Ya sayang?" balasku pada gadis tersebut.

"Akane ingin punya papa," ucapan yang keluar dari bibir mungilnya sukses membuatku seakan tersambar aliran listrik.

"A-apa? Akane-chan mau punya papa?" ulangku sedikit bergetar.

Mengangguk, raut sendu disana menguarkan aura negatif, "Habisnya kalau di sekolah atau tempat les, Akane selalu ditanyai kenapa yang menjemput selalu mama, papa Akane kemana? Begitu."

Aku menghela napas mendengarnya, "Akane-chan, sudah malam. Sekarang tidur ya, besok kita bisa berbicara lagi soal ini, akan mama pikirkan."

Seketika raut Akane berubah, binar maniknya berpendar antusias, "Janji?"

Aku hanya mengangguk seadanya, "Iya, mama janji."

Akane menghambur memelukku, "Arigatou mama, Akane sayang mama," bisiknya.

Aku memejamkan mata, berbisik pelan, "Jika itu bisa membuat Akane-chan bahagia, apapun akan mama lakukan."

Hari sudah berganti, tak ada jadwal apapun hari ini. Setidaknya sampai sebuah telepon sampai padaku.

"Moshi-moshi [Name]-san?"

"Shima-san? Ada apa?"

"Ah itu, apa kau sibuk?"

"Mhm, tidak juga, lagipula Akane-chan pergi bersama pengasuhnya hari ini."

"Begitu, bisa kita bertemu?"

"Tentu saja, kapan dan dimana?"

"Sekarang? Dan soal tempatnya, bisakah kita bertemu di tempat itu? Saat pertama kali kita bertemu?"

Sebuah memori kembali menyapa, membuat suara cepat keluar, "Baiklah."

"Terima kasih [Name]-san, akan kutunggu."

"Ha'i, aku akan segera kesana"

Saat sambungan telepon terputus, aku bisa merasakan suatu rasa yang tak pernah kudapat sebelumnya.

Takut.

Ada sesuatu yang begitu mendalam seperti apa sehingga meminta diriku menemuinya ditempat itu?

Menggelengkan kepala, aku tidak ingin berprasangka buruk pada Shima-san, dia orang yang begitu baik.

Ya [Name], apapun yang ingin disampaikannya, kau harus menerimanya.

Ah benar, memori itu terulang lagi.

Lihatlah patrinya yang terlihat jelas tengah berada disana, diiringi jatuhnya daun musim gugur dengan begitu cantik.

"Maaf membuatmu menunggu lama," sapaku kala berhasil mendekati sosoknya.

Kelihatannya kaget, namun bisa disembunyikan dengam baik, "Oh, [Name]-san, maaf sudah memintamu datang di hari istirahatmu," katanya.

Aku menggeleng, "Tidak apa-apa, lagipula aku juga merasa bosan jika harus berada di rumah seharian,"

"Setahun yang lalu ... kita bertemu disini ya ...,"

Aku mengalihkan pandangan kearah tumbuhan sekitar yang tampak berwarna kuning dan kecoklatan, sebuah taman yang tampak sangat indah di musim gugur, "Iya, ternyata sudah lama sekali ya," lirihku.

"Sebenarnya, ada yang ingin kukatakan padamu [Name]-san," Shima terlihat serius kala mengatakannya walah dapat kulihat wajahnya yang memerah.

"Mengatakan sesuatu?" ulangku.

Tersentak kala jemariku diraihnya, Shima mengucapkan sebuah kalimat yang sukses membuatku membatu, "[Name]-san, menikahlah denganku."

Butuh beberapa detik hingga aku berhasil mengembalikan kesadaran pada diri, "Eh? Tapi kenapa harus aku ...,"

"Aku tidak peduli soal apapun lagi, aku hanya ingin bersama [Name]-san,"

"...."

"Selama ini, aku selalu mengagumi [Name]-san, yang selalu tertawa walau hidupmu tak mudah, melakukan semua pekerjaan dengan baik walau harus merawat Akane-chan juga, selalu mendukung kami berempat dalam situasi apapun, dan ... selalu membawaku kedalam duniamu yang begitu indah ... aku sangat senang bisa mengenalmu, sungguh." Shima menjabarkan kalimat-kalimat yang tak pernah kubayangkan darinya selama ini, membuatku hanya bisa menutup bibir rapat-rapat.

"Kukira selama ini aku hanya mengagumi sosok [Name]-san yang sangat hebat di mataku. Tapi lama-kelamaan aku sadar, ini bukan lagi sebuah rasa kagum, tapi berubah menjadi rasa ingin memiliki ... jadi biarkan aku memilikimu [Name]-san ... aku tidak bisa berjanji untuk menjadi orang yang sempurna bagimu, aku juga tak tahu apakah aku bisa merawat Akane-chan sebaik dirimu, tapi aku dapat berjanji, bahwa aku akan mendampingimu selamanya."

Shima menyelesaikan kalimatnya, membuatku tanpa sadar menghambur memeluknya.

"Aku juga tidak pernah tahu bahwa selama ini aku lebih dari sekedar mengagumi Shima-san, aku kira aku hanya bisa melihatmu dari balik panggung selamanya, aku kira aku hanya seseorang yang tidak akan pernah bisa mencapaimu, aku ... aku juga tidak bisa berjanji akan menjadi istri yang baik untuk Shima-san, aku bahkan tidak tahu apakah diriku pantas untukmu, tapi ...,"

"Tapi jika Shima-san telah memilihku, maka aku siap bersamamu, selamanya." Bisikku dalam.

Shima merengkuhku erat, tidak membiarkan angin musim gugur menelusup dan membiarkan rasa ini buyar barang sedikitpun.

Dan ketika aku melihat wajahnya untuk kesekian kalinya, sebuah senyuman terpatri disana, memicu diriku untuk ikut tersenyum dibawah guguran cantik dedaunan musim gugur.

FIN.

Gamau banyak bacot. Intinya saya baper

Utaite×IdolishSeason Project complete, check my reading list.

Thank you for y'all support!

Sincerely
えい。

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top