05. Klub
Jam istirahat akan berakhir sepuluh menit lagi. Nisha berjalan ke kelasnya seorang diri karena Akashi ingin menyusul Midorima. Tiba-tiba, punggungnya dipeluk dari belakang dengan erat oleh Momoi.
"NICHA!"
"Mooo, Sachan, kau mengagetkanku."
Momoi yang masih menempeli Nisha pun cemberut. "Nicha jahat, seperti kacang lupa kulit."
"Hah? Memangnya apa yang aku lakukan? Onong-omong, aku geli Sachan. Lepas, ih."
"Ini yang kau lakukan." Tahu-tahu Aomine ada di sebelah kedua gadis itu. Cowok eksotis itu menyodorkan gawainya, tampak jelas potret Akashi sedang mencolek sudut bibir Nisha, adegan manis di kafetaria tadi.
"HAAHH???" Nisha jelas kaget. Bagaimana bisa Aomine mendapatkannya???
Merasa akan ada perang dunia ke-3, Momoi melepaskan pagutannya. Sementara itu, Aomine mengukir senyum licik.
"Kalau kau tidak ingin foto ini sampai ke Ibumu, berikan aku uang."
Nisha refleks meninju perut Aomine dan mengamuk. "HREEHH??? KENAPA AKU HARUS MEMBERIMU UANG, AHO???"
"Biar aku tutup mulut." Aomine menyimpan ponselnya kembali dan menyilangkan tangannya di depan dada, berlagak seperti orang berkuasa karena berhasil mengintimidasi Nisha. "Ah, kau ini anak emasnya Ibumu. Bagaimana kalau aku adukan Ayahmu?"
"JANGAN!!! IYA-IYA, aku berikan uangku!" Nisha merogoh koceknya dan mengeluarkan sisa uangnya sampai habis. Pikirnya, lebih baik begini daripada dikira aneh-aneh dengan cowok. "Tapi jangan adukan siapapun di keluargaku! Janji, ya???"
"Iya."
"Huh, dasar!" Sebagai menu penutup, Nisha menginjak kaki Aomine lalu berlari dengan liarnya.
"Sialan kau kucing garong!"
"Daaar Ahomine tukang peras!"
Momoi akhirnya angkat bicara. "Dai-chan, ini keterlaluan. Bagaimana kalau dia tidak bisa jajan dan pulang? Hari ini dia akan latihan perdana di klub lari."
Aomine menepuk puncak kepala Momoi, tak lupa untuk mengacak rambut merah mudanya.
"Aku hanya bermain-main, kok. Nanti aku kembalikan lagi."
"Serius?"
"Setengahnya saja.'
"Dai-chan!"
✨⭐✨
Bel pertanda akhir pelajaran berbunyi nyaring. Seluruh siswa SMP Teiko pun keluar. Kali ini, tiga serangkai itu mengambil jalan yang terpisah. Tentang uang tadi, Aomine benar-benar sudah mengembalikannya dengan utuh.
Seperti yang diucapkan Momoi, Nisha latihan perdana di klub lari sore ini. Begitu juga Aomine dan Momoi yang juga perdana di klub basket. Nisha berjalan dengan riang menuju lapangan khusus klub lari.
Setibanya, Nisha tak menyangka jika dirinya akan berjumpa lagi dengan Arakawa Naoki. Ternyata guru pendidikan jasmaninya itu juga adalah pelatih klub lari. Gadis kucing itu ikut bergabung dengan teman-teman barunya yang duduk rapi.
"Kano-chan? Ternyata kau juga?" tegur cewek berambut pendek oranye. Mata merahnya memancarkan binar yang terang. "Kau ingat aku tidak? Aku ini teman sekelompokmu saat orientasi."
"Ah, tentu saja dirimu Koyanagi Nana! Kau itu sangat mencolok, siapa yang tidak kenal gadis paling imut yang satu ini?" jawab Nisha dengan mudah.
Pujian Nisha bukan basa-basi semata. Di kelompoknya, Nana memang populer. Selain karena wajahnya yang lucu dipandang, gadis itu juga sangat royal. Di awal pembentukan kelompok, Nana membagi-bagikan cokelat untuk teman sekelompoknya.
Nana pun merangkul Nisha dengan heboh. "Ya ampun, Kano-chan. Aku kira kau lupa denganku."
"Mana mungkin. Aku ini masih muda! Lagi pula, kita baru bertemu kemarin."
"Yorushiku, Kano-chan!"
"Yorushiku, Koyanagi-san."
Karena merasa anggota baru klub lari telah datang semua, Arakawa Naoki meniup peluit, memberi tanda bahwa kegiatan di klub ini akan dimulai. Suasana seketika hening.
Arakawa memperhatikan satu per satu wajah penerus klub lari SMP Teiko yang duduk manis di depannya. Beberapa ada yang sudah ia kenal termasuk Nisha dan Nana. Beberapa lagi ada wajah asing.
"Selamat sore."
"Sore, sensei!" seru para siswa dengan kompak.
"Selamat datang di klub lari. Namaku Arakawa Naoki, aku adalah pelatih utama di klub ini. Kalian cukup panggil aku dengan Naoki saja."
Setelahnya, Naoki memaparkan semua hal tentang klub lari. Dimulai dari sejarah, cabang lari, prestasi dan peraturan.
Di klub ini ada tiga cabang lari, yakni estafet, marathon dan sprint. Lalu akan dipecah lagi menjadi: putra dan putri. Karena banyak, klub lari punya banyak asisten pelatih. Namun, Arakawa Naoki tak luput mengawasi dan melatih semuanya.
"Dan inilah beberapa senior kalian yang telah mengharumkan nama Teiko."
Para senior yang duduk di barisan depan pun berdiri semua. Iya, berdiri semua! Harusnya Naoki bukan berkata 'beberapa' tapi 'semua'.
Naoki menyebutkan satu per satu juara yang telah mereka raih.
" ... Terakhir, Hoshizaki Erika, juara dua sprint putri."
Para junior pun bertepuk tangan dengan meriah. Rasanya sangat membanggakan jika dipamerkan sebagai pemenang seperti itu, membuat api semangat mereka semakin membara.
Para senior duduk kembali. Kemudian, Arakawa menyuruh para junior untuk memperkenalkan diri satu per satu, dimulai dari anak cowok di ujung kiri.
Giliran Nana, gadis itu maju dengan percaya diri.
"Yahooo! Perkenalkan, namaku Koyanagi Nana dari kelas 1-B! Aku ingin di cabang estafet. Motivasiku mengikuti klub ini adalah tidak ada untuk saat ini. Aku hanya ingin bersenang-senang dulu dan mungkin akan bertemu dengan motivasi nantinya! Mohon bantuannya, minna-san."
Tepukan tangan meriah mengiringi langkah Nana saat duduk kembali. Selanjutnya, giliran Nakano Nisha yang maju.
"Ohallo! Perkenalkan, namaku Nakano Nisha dari kelas 1-D. Aku ingin masuk ke cabang lari sprint. Motivasiku ingin masuk klub ini adalah ingin menjadi sprinter paling hebat dan meraih juara dunia. Mohon bantuannya."
Karena narasi perkenalan yang sangat berambisi itu, Nisha juga diberi tepuk tangan meriah. Gadis kucing itu pun duduk kembali.
"Wah, Kano-chan sangat berambisi," puji Nana.
"Hehehe."
Sesi perkenalan berakhir, dilanjutkan dengan pemanasan bersama selama kurang lebih setengah jam. Kemudian, Arakawa melombakan delapan pelari dengan jarak 100 meter. Nisha dan Nana kedapatan berlomba di lintasan yang sama. Nisha di nomor 4, Nana di nomor 6. Di tengah-tengah mereka ada Hoshizaki Erika, senior berambut hitam panjang gradasi ungu. Dialah yang mendapat gelar runner up Sprinter Cup tahun lalu.
Saat peluit panjang ditiup, kedelapan pelari itu mengeluarkan kemampuan terbaik mereka. Di awal, Nisha dan Erika memimpin. Lama kelamaan, Nisha berhasil meninggalkan seniornya itu dan menyentuh garis finish lebih dulu. Erika di posisi kedua, sementara Koyanagi Nana ada di posisi empat.
Seluruh pasang mata memandang Nisha dengan tak percaya. Gadis yang paling mungil di antara ke delapan pelari itu berhasil mengalahkan Hoshizaki Erika—sang juara bertahan di cabang sprint. Jika sudah begini, bisa-bisa posisi Erika sebagai perwakilan Teiko akan dilengserkan oleh Nisha.
Manik violet milik Erika memanas. Tangannya meremat celana olahraganya dengan perasaan geram. Dikalahkan bukanlah hal yang menyenangkan, terlebih jika kalah oleh junior yang baru beberapa jam lalu bergabung di klub ini.
Kenapa aku bisa kalah dari anak itu?
Nana memeluk Nisha dengan penuh rasa bangga. Perlakuan gadis itu persis sekali dengan sahabat dekatnya, Momoi Satsuki.
"Kano-chan hebat!!! Pasti akan jadi juara dunia!"
"Arigatou, Koyanagi. Tentunya energi positifmu juga bisa membawa tim estafet juara dunia. Tim estafet sangat membutuhkan pelari seperti dirimu agar selalu semangat untuk berjuang bersama."
Mata Nana mendelik dengan efek blink-blink yang cerah.
"GOCHA!" Nana menggoyangkan tubuh Nisha ke kiri dan ke kanan dengan hebohnya. "Terima kasih, Kano-chan! Berkatmu, sekarang aku sudah menemukan motivasiku. Aku ingin selalu jadi orang yang positif untuk membantu tim estafet!!!"
"Iya, iya, tapi setidaknya lepas dulu. Geli tahu."
Nana melepas pelukan itu dan meminta maaf. "Gomen, gomen."
Nisha terkekeh dan mencubit pipi temannya itu. "Koyanagi benar-benar sangat lucu, ya? Akan kukarungi kau!"
"KOWAIII!!!" Nana berlari dan bersembunyi di belakang Erika, seniornya.
"Kenapa kau takut, Koyanagi? Dia itu lebih kecil darimu, harusnya kau yang karungi dia," hasut Erika sambil tertawa.
Benar juga.
Nana muncul lagi dan membuat gestur tangan mencakar.
"Aku akan karungi Kano-chan untuk dikurung bersama anjingku!"
"HEEHHH??? MANA BISA BEGITU!!! AKU INI KUCING, KUCING!!!"
Dua gadis periang itu pun berkejaran. Mendengar kata anjing, Nisha sangat takut karena punya pengalaman digigit hewan itu.
Setelah semuanya sudah mendapatkan giliran untuk lomba, mereka melakukan pendinginan sebelum pulang ke rumah masing-masing. Langit sudah beranjak gelap.
✨⭐✨
Di kamarnya, Akashi merebahkan diri dan memejamkan mata. Kini ia berada di sebuah ruang di dalam alam bawah sadarnya, tempat jiwanya yang satu lagi bersemayam.
"Kalau kau sudah masuk divisi utama, target selanjutnya adalah kau harus jadi kaptennya," ujar sosok yang persis dengan Akashi. Bedanya hanya terletak pada warna mata. Yang baru bicara itu memiliki warna mata heterokrom merah emas, atau katakanlah Bokushi.
Ya, latihan perdana mereka di klub basket kurang lebih sama seperti yang Nisha alami di klub lari. Skill basket Akashi, Aomine dan lain-lain diseleksi, lalu ditentukan layak untuk masuk di divisi mana. Divisi utama adalah kasta yang paling tinggi, di mana merekalah yang turun dalam laga kejuaraan nasional. Aomine Daiki juga masuk ke divisi ini.
"Setidaknya sampai Nijimura-san lulus dulu," sahut Oreshi, yang kedua matanya merah, yang sehari-hari ini menjalani kehidupan di sekolah. Yang aslinya memiliki tubuh ini memang versi yang ini.
Bokushi mengangguk, lalu bertanya, "Kau merasa nyaman di sekolahmu?"
"Iya, aku nyaman."
"Baguslah."
✨⭐✨
Dua kali berolahraga, dua kali lomba lari. Hal ini membuat energi Nisha terkuras banyak. Setiba di rumah, si bungsu Nakano itu melempar tas ke sembarang arah dan merebahkan dirinya di kasur. Penat rasanya.
"Setidaknya ganti bajumu dulu, Nino-kun."
Karena pintu masih terbuka lebar, jadi Aruka dapat melihat apa yang diperbuat adiknya. Cowok itu sedang membawa semangkuk mangga di tangan.
Kelopak mata Nisha yang semula tertutup mendadak terbelalak lebar. Mangga, tidak salah lagi, Nisha mencium bau mangga yang bersumber dari kakaknya. Seketika gadis itu bangkit dari tidurnya dan mencak-mencak di depan Aruka.
"KAKAKKK!!! ITU MANGGAKU!!! KENAPA KAU MENYENTUHNYA???" Nisha berusaha meraih mangkuk biru itu, tetapi Aruka malah meninggikannya agar sulit didapatkan.
"Kalau ditaruh di kulkas, berarti itu makanan bersama."
Baju Aruka pun ditarik-tarik dengan hebohnya. "TENTU SAJA BUKAN MAKANAN BERSAMA!!! Itu punyaku!!! Pokoknya punyaku!!!"
"Nisha-kun, diamlah, suaramu biaa mengganggu tetangga." Ayah Nisha yang sedang menonton TV menginterupsi keributan itu.
Jika Nakano Hikaru sudah turun tangan, berarti keributan ini memang harus terhenti. Nisha berhenti menarik baju Aruka.
"Satu kosong." Aruka menjulurkan lidahnya sebelum akhirnya pergi dengan mangga itu.
"Awas kau." Nisha menutup pintu, bergegas mandi sebelum menyantap makan malam. Perihal tidur, rasanya ia sudah tidak butuh lagi untuk saat ini.
Sesudah mandi, Nisha bergabung dengan Ayah dan Ibunya di meja makan. Sementara Aruka belum ingin makan karena masih mengerjakan tugas.
"Hari ini Nisha-kun belajar apa saja?" tanya Arisa saat sesi agenda makan malam mereka telah tuntas.
"Jam pelajaran pertama malah matematika, menyebalkan! Tapi untungnya Sachan bisa, jadi aku dan Daiki-kun menyonteknya. Lagi pula, siapa yang menciptakan pelajaran serumit itu? Kemudian—"
Belumlah selesai, Hikaru, Ayahnya Nisha malah memotong pembicaraan.
"Kalau kau tidak menggunakan otakmu sendiri, bagaimana kalau kau tidak naik kelas?"
Mendadak atmosfernya menjadi berat. Namun, Nisha berusaha tetap membawanya dengan santai.
"Mudah. Kalau pilihan ganda, aku akan menyontek dengan Sachan pakai kode tangan atau membuat pilihan ABCD seperti dadu di empat sisi penghapus."
"Memangnya itu akurat?"
*Tidak."
Seharusnya memang Nisha tak mengeluarkan jawaban seperti itu di depan ayahnya.
"Kau harus minta ajari Momoi-san, atau daftar ke tempat les," putus Hikaru, membuat Nisha mencebik kesal.
"Tidak mau! Aku alergi matematika. Kepalaku pusing tiap kali melihat angka-angka. Lagi pula, aku sudah kursus bahasa Inggris dan kursus menulis. Masa harus menambah bebanku lagi."
Ya, selain lari, Nisha juga punya ketertarikan dalam dua bidang itu. Dia menjalani kursus secara daring. Keputusan Nisha yang ini tentunya lebih didukung Hikaru dibandingkan lari sprint.
"Suka atau tidak suka, Matematika dan Fisika itu pelajaran wajib di sekolahmu, Nisha-kun. Jangan egois. Kalau kau merasa dibebani, ya kurangi saja latihan larimu."
Nisha sontak berdiri dan menggebrak meja.
"Mana bisa!!!"
Arisa berusaha menenangkan putrinya itu dengan mengusap lembut bahunya. Nisha pun mau duduk kembali. Walau sebenarnya Hikaru marah karena digertak dengan tidak sopan begitu. Namun, dirinya maaih berusaha sabar.
"Atau kau mau tidak naik kelas? Lalu, bagaimana jika kau akan dikenal sebagai pelari yang punya riwayat tidak naik kelas?" lanjut Hikaru.
Nisha menyerah. Makin lama meladeni Hikaru, dirinya makin stress.
"Iya, aku akan les, tapi ayah jangan pernah lagi menyuruh aku mengurangi atau berhenti berlari."
Setelahnya, Nisha naik ke atas tangga untuk mengistirahatkan diri di kamar.
Hikaru mendengkus lelah. Karena perbedaan prinsip dalam menjalani hidup, diskusi antar ayah dan si putri bungsu selalu berakhir seperti ini. Konon katanya, anak perempuan adalah cerminan ayahnya. Di keluarga Nakano tidak berlaku itu. Ah, kecuali satu; sifat keras kepala mereka.
"Nisha-kun itu selalu saja bertindak membangkang. Harusnya anak itu bisa dididik lebih keras lagi," ujar Hikaru.
"Sudahlah, anata. Kalau dikerasi, dia jadi tambah memberontak. Kau tahu sendiri bagaimana tabiatnya. Apa kau mau semuanya terulang?" balas Arisa, membuat Hikaru tertegun untuk beberapa saat.
Saat Nisha dilarang bergabung ke klub lari sewaktu sekolah dasar dulu, Hikaru sudah pernah melarang sampai memukulnya. Pokoknya, putrinya itu dilarang keras jadi atlet karena masa depannya akan suram kalau sudah cedera. Apalagi pelari sangat rawan.
Alhasil, anak itu kabur dari rumah ke pinggir pantai—karena rumah mereka memang dekat dari sana. Bersamaan dengan itu, ada tragedi ledakan mortir tua bekas perang dunia II yang membuat jantung Hikaru seakan berhenti berdetak. Setidaksukanya ia dengan sifat Nisha, tidak pernah sekalipun ia menyumpahi putrinya itu tiada.
Sebab itulah, Hikaru trauma. Ia sangat menyesal dan membiarkan Nisha bertindak sesukanya. Sebisa mungkin, ia menahan diri untuk tidak memarahi Nisha sampai separah itu lagi. Ketika Nisha mengatakan bahwa ia juga tertarik dengan bahasa Inggris dan kepenulisan, kekesalan Hikaru menjadi surut dengan sendirinya.
Namun, kekhawatiran Hikaru kumat lagi ketika si sulung mendapatkan beasiswa.
"Bisakah jangan terus-menerus melihat ke belakang? Lihat putra kita, Aruka. Dia pintar sampai dapat beasiswa berprestasi, itu semua karena dia penurut."
Arisa menghela napasnya, lelah. Membandingkan kedua buah hati mereka bukanlah solusi untuk masalah ini.
"Nisha-kun dan Aruka-kun adalah dua invidu yang beda. Letak kecerdasannya berbeda. Minat bakatnya berbeda. Tentunya, cara didik mereka juga berbeda."
"Lalu bagaimana kalau dia tidak naik kelas? Kau mendukung penuh ambisinya menjadi pelari. Lalu, setelah dia jadi pelari, apa yang dia lakukan kalau kakinya cedera parah? Tidak ada."
Arisa terdiam karena tidak tahu harus merangkai kata seperti apalagi.
Hikaru menambahkan,
"Arisa, aku sudah sering melihat para atlet yang mimpinya terkubur di rumah sakit. Sehebat apa pun atlet akan jadi sampah kalau sudah cedera. Membentuk masa depan yang lebih menjanjikan seperti Aruka-kun itu lebih baik daripada hanya lari-lari. Aku berkata begini bukan karena benci dia, tapi justru aku menyayanginya."
"Kalau kau memang menyayangi, walau Nisha-kun akan jadi sampah yang menjijikkan, kau tidak masalah dengan itu. Setidaknya, dia sudah berjuang keras demi impiannya." Arisa mengangkat tumpukan piring. Sebelum pergi, ia menambahi, "Tapi aku percaya, dia akan sukses di atas keraguanmu."
Di tangga, Nakano Nisha dapat mendengar itu. Semuanya, tanpa terkecuali.
Matanya berkaca-kaca, tetapi tak ada satupun airmata yang ia persilahkan untuk jatuh. Atau usahanya akan sia-sia saja.
Nisha selalu berusaha kuat.
Menahan air mata, menahan rasa sakit, semuanya dibawa santai, seolah menganggap semua itu hanya angin lalu. Nyatanya, Nisha hanya menumpuk-numpuknya di dalam benak. Jangan sampai ia kebiasaan. Jangan sampai ayahnya tahu kalau ia sedang rapuh.
Kalau dirinya tak pintar, kalau dirinya bukan kebanggaan sang Ayah, setidaknya ia juga bukan anak yang lemah dan cengeng dalam menjalani kehidupan ini. Tentu saja Hikaru akan tambah merendahkannya jikalau Nisha seperti itu.
Alhasil, Nakano Nisha tumbuh sebagai bungsu yang tidak terlihat bungsu. Dia tidak mengadu kalau disakiti, tapi akan ia hadapi sendiri. Dia tidak meminta tolong kalau punya masalah, tetapi ia selalu berusaha menolong orang lain. Dia selalu merangkul orang yang rapuh, walau sendirinya juga butuh rangkulan itu.
✨⭐✨
Koyanagi NANA
Hoshizaki ERIKA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top