04. Lari!

Walaupun meja makan keluarga Akashi sangat luas, tapi kondisinya sangat sunyi. Hanya ada dua manusia yang mengisi.

Tak seperti meja makan di keluarga lain yang hangat, di sini terasa sangat dingin dan membosankan. Yang terdengar hanya ada dentingan alat makan dan detikan jarum jam.

Kepergian sang Nyonya rumah telah mengubah banyak hal.

"Bagaimana sekolah hari pertamamu, Seijuro?" tanya Masaomi, sang Tuan Besar di mansion megah ini.

"Hari pertama sampai ketiga akan diisi dengan kegiatan orientasi. Setelahnya, kami baru belajar seperti biasa."

Masaomi menyeruput teh hijaunya, lalu berkata lagi, "Akhir pekan aku akan bertugas ke luar kota selama beberapa hari. Karena aku tak mengawasimu, bukan berarti kau bebas malas-malasan."

Seijuro mengangguk. "Aku mengerti. Aku akan ke gym dan tempat les."

Sedari kecil, memang sudah beginilah takdir yang diterima oleh Akashi muda. Menjadi satu-satunya penerus keluarga Akashi membuatnya harus rela mengemban banyak tanggungjawab untuk menjadi yang terbaik. Karena memang hanya dirinyalah yang bisa diharapkan.

Rela tak rela, kehidupan remajanya tidak akan berjalan indah seperti remaja pada umumnya. Apa itu main-main? Apa itu berpacaran? Tidak, untuk saat ini tidak akan ada hal seperti itu dalam kehidupannya.

Masaomi pun beranjak, begitupun Seijuro. Mereka menuju kamar masing-masing untuk mengistirahatkan diri.

Sementara itu di kediaman Nakano.

Di ruang tamu, Arisa mengupas buah mangga kesukaan putrinya. Sedangkan Nisha sedang asyik menonton dorama di televisi.

Selepas mengupas buah, Arisa memberikannya pada Nisha dan langsung dilahap gadis itu dengan sangat antusias. Padahal hampir setiap hari anaknya itu mengonsumsi buah mangga, tapi tidak bosan-bosan. Seakan mangga sudah menjadi makanan pokoknya.

"Bagaimana hari pertama sekolahmu, Nisha-kun?" tanya Arisa.

"Menyenangkan!!!" Nisha pun menjabarkan pengalamannya.
"Aku berkenalan dengan banyak orang, satu kelas dengan Daiki dan Sachan, sudah daftar klub lari terus bertukar bekal dengan cowok ker-" Nisha refleks menutup mulutnya.

"Heee???" Arisa curiga dengan kalimat putrinya yang menggantung itu. Terlebih saat wajahnya memerah.

"Bukan apa-apa kok, Mama!" Nisha mengelak.

"Cowok keren, ya?" goda Arisa.

"I-iya!" Nisha segera menunjuk layar televisi yang kebetulan sedang menampilkan karakter cowok memantulkan basket. "Itu! Cowok itu keren! Ne, ne, Mama tahu? Daiki-kun masuk klub basket, lho! Pasti akan seperti itu juga."

Meski dikelabuhi bagaimanapun, yang namanya insting Ibu tidak bisa diremehkan. Arisa tahu Nisha bertukar bekal dengan oknum cowok yang keren, tapi terlalu malu mengungkapkannya karena merasa masih terlalu dini untuk itu dan takut jika dimarahi.

Arisa pun tersenyum.

"Nisha-kun juga harus jadi pelari ysng semakin keren."

✨⭐✨

Masa orientasi siswa baru Teiko telah usai. Mulai hari ini dan seterusnya, mereka akan belajar seperti biasa. Sialnya, Matematika adalah pelajaran pertama di hari Kamis, membuat Nisha dan Aomine ingin muntah melihat rentetan angka di papan tulis.

Mereka sama-sama bodoh.

Alhasil, mereka mengandalkan Momoi.

Momoi geleng-geleng kepala. Dirinya salah menilai Nakano Nisha sebagai orang yang pintar. Nyatanya gadis itu adalah Aomine versi perempuan. Bertambah satu lagi beban hidupnya.

Bel pergantian pelajaran pun berdering. Jam pelajaran kedua adalah olahraga gabungan dengan kelas 1-A. Seluruh siswa 1-D pun keluar dari kelas untuk mengganti pakaian. Yang sudah selesai berganti pakaian pun bergegas menuju lapangan olahraga outdoor Teiko yang sangat luas.

Setibanya di sana, mereka langsung disuruh menyebutkan nama dan berbaris. Entah itu laki-laki atau perempuan, entah itu dari kelas mana atau tingginya seberapa. Mereka yang tiba langsung disuruh mengisi tempat yang kosong agar menjadi saf barisan yang rapi.

Nisha, Momoi dan beberapa siswi lain pun tiba. Saat ingin mengisi barisan di ujung, ternyata Sensei menyuruhnya untuk membuat saf barisan baru di belakang. Alhasil, Nisha dan dua siswi lain pun berpisah dengan Momoi yang sudah lebih dulu mendapatkan tempat.

Tak lama, ada rombongan laki-laji kelas 1-A yang datang seperti boyband. Beberapa gadis mulai heboh karena pemuda yang berjalan paling depan sangat menawan, yakni Akashi Seijuro. Namun, Nakano Nisha tak begitu peduli karena sibuk mengobrol dengan cowok di depannya yang kebetulan pernah satu kelompok saat orientasi.

Merasa badannya dicolek, Nisha menolehkan kepalanya ke kiri.

"Apa kita bisa bertukar tempat, Nakano-san?" tanya Kurose, gadis yang berbaris di sebelahnya. Karena melihat Akashi yang berpotensi akan mengisi tempat kosong di sebelah Nisha, maka dengan cepat gadis itu mengambil kesempatan.

"Umm? Ya, boleh." Walau sebenarnya agak bingung kenapa tiba-tiba gadis itu minta tukaran, tapi Nisha tak ingin ambil pusing. Baginya berbaris di mana pun sama saja.

"Kurose, Nakano, apa yang kalian lakukan?" tegur Pak Arakawa Naoki, guru olahraga sekaligus pelatih klub lari. "Diam saja di tempat asal dan tidak usah bertukar-tukar."

"Gomen, sensei," ucap Kurose dan Nisha bersamaan. Kedua gadis itu pun berbaris di tempat asal.

Tch, kampret.

Saat menyebutkan namanya untuk presensi, Akashi pun benar-benar mengisi tempat kosong di sebelah Nisha. Pemuda itu pun menyapa si gadis telinga kucing itu. "Hallo Nakano-san?"

"Hai," sahut Nisha dengan tambahan senyuman manisnya. "Bagaimana kabarmu, Akashi-san?" Karena mereka memang tak pernah berjumpa lagi sejak pertukaran bekal itu.

"Aku baik, dan kau?"

"Aku juga."

Nisha akhirnya mengerti kalau Kurose tadi ingin bertukar karena ingin dekat dengan Akashi. Ah, rasanya jadi canggung karena berkesempatan dekat dengan mostwanted Teiko ini lagi, tapi apa salahnya dalam hal ini?

Naoki menatap presensi digenggamannya. Hampir semua nama telah tercentang, kecuali beberapa nama. Naoki bertanya ke mana batang hidung nama-nama itu. Saat dijawab "memang tidak masuk", Naoki menyilangnya dan memulai pelajaran.

Seluruh siswa disuruh melakukan pemanasan, mulai dari gerakan yang ringan dan berangsur-angsur menjadi berat. Saat disuruh mengangkat satu kaki dan merentangkan satu tangannya, Nisha kesulitan menyeimbangkan diri dan nyaris tumbang di sebelah Akashi. Namun, dengan cepat pemuda itu menahan tubuh mungilmya.

"A-arigatou, Akashi-san ...," kata Nisha dengan wajah yang memerah. Lagi dan lagi dirinya membuat ulah di depan cowok itu. Jelas sangat memalukan.

"Tak apa, kau hanya harus lebih belajar menyeimbangkan diri."

Sorak sorai "cieee" dan "wuuuu" pun bersahut-sahutan. Ada yang kegirangan karena melihat adegan dorama gratis, ada pula yang merasa jengkel. Salah satunya Kurose Miyuki yang ingin bertukar tadi.

Jika ditanya bagaimana reaksi kedua teman dekat Nisha; Momoi menjadi bagian yang bersorak gembira; Aomine hanya mendengkus saja. Dia tak ikut bersorak karena bukan hal baru Nisha bertindak ceroboh seperti itu. Dirinya pun sudah sering di posisi Akashi-yang menjadi pawang kecerobohannya. Menurut Aomine, reaksi orang-orang terlalu lebay.

Peluit Naoki menginterupsi keributan. Suasana kembali hening dan pemanasan dilanjutkan dengan gerakan lain. Setelah selesai, mereka pun disuruh hadap kiri dan berlari jogging mengitari lapangan sebanyak tiga putaran.

Karena berlari di belakang Nisha, Akashi dapat melihat jelas bagaimana ikatan rambut twintail milik si bando kucing itu bergoyang ke kanan dan kiri, juga bulir-bulir keringat yang mulai berjatuhan di tengkuknya.

Nisha yang ceroboh dan heboh kali ini terlihat sangat tenang, seakan sangat menikmati aktivitas yang dilakukannya. Tidak seperti banyak orang lain yang bersungut kelelahan dan berhenti di tengah jalan, Nisha tetap konsisten berlari seperti tempo awal. Akashi pun berspekulasi kalau Nisha bisa sekuat ini adalah karena seorang atlet, sama seperti dirinya.

Gadis kucing itu pun menoleh ke belakang.

"Semangat!" ucapnya pada Akashi dengan senyuman andalannya.

"Ha'i."

Sederhana, tetapi membuat Akashi hangat.

Setelah sekian lama, tiga putaran telah tuntas, mereka pun diberi waktu untuk beristirahat. Nisha mengambil tumblr di tasnya dan menghabiskannya dalam sekali teguk saking lelahnya.

Yang sudah minum dan mengelap keringat pun disuruh kembali ke barisan, tapi kali mereka tidak berdiri, melainkan harus duduk dengan posisi selonjoran.
Saat semua siswa telah berkumpul, Naoki mulai memamparkan materi.

"Hari ini kita akan mempelajari tentang lari."

"YEAY!!!" seru Nisha kegirangan, membuatnya menjadi pusat atensi. Nisha refleks mengatupkan tangannya dan mengukir cengiran bodoh. "A-ah, sumimasen."

"Tampaknya kau sangat bersemangat, Nakano," ujar Naoki dengan nada tenang, tapi amat menusuk. "Apa kau mampu menunjukkan skillmu?"

"Bisa!" jawab Nisha dengan mantap, karena kenapa harus takut?

"Maju ke depan."

Nisha berdiri dengan percaya diri, lalu berjalan menuju ke tempat Naoki berada. Dari posisinya saat ini, tampak jelas ekspresi orang-orang yang sangat penasaran dengan si gadis Okinawa yang kelewat berani itu.

Nisha disuruh untuk mundur dan hadap kanan. Napasnya diembus panjang agar rileks. Semua mata masih tertuju padanya.

"Bersedia."

Nisha berjongkok dengan kaki kanan di belakang dan kiri yang di depan. Kedua telapak tangannya menyentuh rumput. Naoki mengatur stopwatch untuk mengetahui berapa catatan waktunya.

"Siap."

Panggulnya dinaikkan.

"Prittt!"

Lalu mulai berlari dengan kecepatan maksimal untuk mencapai garis finish yang letaknya di tembok.

Banyak pasang mata yang melihat dengan takjub aksi si gadis kucing hitam itu, termasuk Arakawa Naoki. Nisha menunjukkan kalau ia memang tidak asal bunyi dan bukan amatir. Ya, wajar, karena sudah banyak piala yang ia menangkan. Menjadi pelari sprint terhebat adalah ambisinya.

"Hayaiii ...."

"Dia itu orang atau bukan?"

"Sugoii. Nicha itu adalah temanku!"

Nisha berhasil menaklukkan 100 meter lapangan dengan catatan waktu 10.01 detik, Naoki menatap Nisha dengan tak percaya. Saat gadis itu telah kembali lagi, ia pun bertanya, "Kau mendaftar di klub mana, Nakano?"

"Setelah melihat yang tadi, bukankah sudah jelas jawabannya, sensei?"

Ya, klub lari tentu saja.

Naoki membatin.

Anak dari mana ini.

Bahkan dia lebih cepat dari Hoshizaki.

"Baiklah." Naoki mempersilakan Nisha untuk duduk. "Jadi, seperti itulah gambaran lari sprint."

Tepukan tangan bergemuruh, kecuali orang yang cemburu. Nisha kembali ke tempat duduknya dengan tersenyum bangga.

"Hebat sekali, Nakano-san," puji Akashi. Dirinya tak menduga kalau Nisha adalah seorang pelari yang secepat itu, membuatnya semakin penasaran untuk mengulik gadis ini lebih dalam.

"Terima kasih."

Naoki mulai memamparkan sejarah, contoh dan menunjukkan bagaimana macam-macam posisi statt dalam lari.

Di akhir pelajaran, Naoki menyebut nama-nama kelompok untuk presentasi tentang lari.

"Kelompok 4: Akashi Seijuro, Momozono Amaya, Midorima Shintaro, Nakano Nisha."

Terdengar banyak dengkusan napas kecewa karena tidak berkesempatan sekelompok pangeran dambaan mereka. Lagi dan lagi, Nisha menjadi buah bibir, sosoknya seakan sudah tergolong sebagai musuh umat perempuan di sana.

Pelajaran pun usai, semua siswa membereskan barang-barang mereka sebelum bubar.

"Entah kenapa si Nakano-Nakano itu selalu hoki."

"Padahal mereka tak cocok. Aku sih lebih mendukung Nakano dan Aomine."

"Dengan Aomine pun tak cocok. Jika tanpa skill larinya, sama sekali tak ada hal yang menarik di diri Nakano. Dia bahkan tidak punya penggemar laki-laki seperti temannya, Momoi-san."

Entah mereka sengaja atau tidak, cibiran itu sampai di telinga Nisha dengan jelas. Gadis itu sedih dan sakit hati. Namun, ia bersikap seakan tidak peduli.

Nisha mengambil tasnya, lalu melangkah cepat untuk segera ke kafetaria. Nisha sengaja mengambil arah yang lain karena tak ingin terserap energi negatif orang-orang itu.

Sengaja menulikan telinga membuat pekikan Momoi tak digubris, membuat Aomine berkata, "Sudahlah, biarkan saja." .

Tak lama ....

"Nakano-san," panggil Akashi, yang tahu-tahu sudah berjalan di belakangnya.

Nisha menoleh. "Ya?"

"Apa pun kata-kata buruk yang terdengar, tidak usah dipedulikan. Maaf, karena aku, kau dicibir dengan tidak pantas."

Nisha menggeleng. "Apa yang aku dengar sampai kau merasa bersalah? Aku tidak apa-apa. Aku hanya lapar, jadi ingin cepat-cepat makan mochi mangga."

Nakano Nisha bukan ahlinya dalam tipu-menipu. Akashi tahu jelas bahwa itu hanya kalimat pengalihan. Ia tahu Nisha sakit hati, tapi gadis itu berlagak untuk tidak peduli. Lagi pula, jika memang ingin sampai ke kafetaria, mengapa harus mengambil arah yang jauh?

"Aku ikut denganmu, sekalian untuk membahas tugas."

Yah, bau-bau akan ada masalah lagi, tapi Nisha tak kuasa untuk menolak. Dirinya tak ingin membuat drama semacam, "Tidak! Jauhi aku, aku tak ingin kena masalah."

Siapa pun yang ingin berteman akan Nisha terima dengan senang hati. Masalah atau apa pun itu, akan ia serahkan pada dirinya yang besok. Sekarang ia akan menjalani hidup dengan sebebasnya.

Mereka pun berjalan beriringan menuju kafetaria.

"Omong-omong, Midorima itu dari kelasmu, kan?" Karena Nisha yakin tidak ada nama seperti itu di kelasnya.

"Jika kau penasaran dengan Midorima Shintaro, dia rambut hijau berkacamata yang membawa lolipop tadi."

Ah, Nisha tahu. Memang ada orang seperti itu yang berlari di depannya. Karena tubuhnya yang tinggi, cowok bernama Midorima itu tampak mencolok dengan lolipop bawaannya. Entah apa gunanya. Selain hari ini, tempo hari juga ia melihat sosok itu.

Seolah tahu apa yang Nisha bingungkan, Akashi pun memberi pencerahan.

"Dia selalu membawa macam-macam benda keberuntungan sesuai ramalan zodiaknya. Aku biasa menemaninya makan siang, tapi kali ini ia sibuk mencari buku di perpustakaan."

Ramalan zodiak? Nisha sebenarnya skeptis dengan itu, tapi biarlah, itu urusan kepercayaan masing-masing.

"Ah, ternyata dia yang namanya Midorima! Tempo hari, aku juga pernah melihatnya membaws raket nyamuk. Temanku, Daiki-kun sampai tertawa-tawa."

"Kepercayaan dirinya memang patut diapresiasi."

Jika ditanya percaya atau tidak dengan ramalan, Akashi juga akan menjawab tidak. Namun, selama tak merugikan orang lain, maka Akashi juga tidak akan mengusiknya.

Lagi pula, semua manusia punya keunikannya masing-masing: Midorima terlihat aneh, tetapi pintar dalam akademik; Nisha si kucing hitam kecil yang semborono, tetapi ajaib dalam urusan lari. Akashi yakin, masih banyak lagi orang unik di Teiko yang belum ia kenal.

Mereka pun sampai di kafetaria dan langsung memesan. Nisha memesan 100% mangga: jus dan mochi. Sedangkan Akashi memesan sandwich dan air mineral.

Saat pesanan telah didapatkan, mereka duduk di bangku pojok karena tenang. Bukan apa, Akashi hanya ingin berdiskusi dengan nyaman dan minim keributan.

"Omong-omong soal kepercayaan diri, teman sekelompok kita ada yang krisis dengan itu. Momozono Amaya."

Pernyataan Nisha membuat Akashi begitu penasaran. "Ada apa dengannya?"

"Dia sangat pendiam dan tidak pernah bicara dengan siapa pun di kelasku. Tiap kali diajak bicara, dia hanya menjawab dengan isyarat. Tiap kali diajak bergabung, dia menolak dan menghindari kami. Entah kenapa. Padahal kami selalu bersikap baik-baik."

"Dia ... tunawicara?"

Nisha menggeleng.

"Tidak. Suaranya ada kok waktu perkenalan. Tapi sangat kecil dan terbata-bata. Aku sendiri awalnya tak mendengar kalau namanya Momozono Amaya."

Akashi mengapit dagunya dengan jari jempol dan telunjuk, mencoba berpikir keras.

"Kondisi itu antara dia memang krisis kepercayaan diri, punya gangguan bicara atau trauma mendalam."

Nisha mengangguk. "Aku berusaha cari tahu tentangnya. Entah apa pun penyebabnya, tapi kita akan berusaha membuatnya selalu nyaman."

"Tentu saja. Midorima walau begitu juga orang yang baik, jadi kupastikan tidak akan ada masalah untuknya." Akashi melihat setitik bekas mochi yang tertinggal di sudut bibir Nisha, lalu refleks menghapus itu dengan tangannya. "Dan untukmu juga, Nakano-san. Mulai saat ini, aku akan menjagamu dengan baik. Kupastikan tidak akan ada lagi yang berani berkata buruk tentangmu karena aku."

"A-a-kashi ...." Efek samping perlakuan dan perkataan pemuda di depannya membuat wajah Nisha memanas.

Tanpa mereka sadar, ada dua pasang mata yang sedari tadi memperhatikan mereka tanpa berpaling. Aomine dan Momoi.

"Dai-chan ... sepertinya kita sudah dilupakan."

"Tch, kucing garong itu. Awas saja, ujung-ujungnya juga kembali dengan kita."

"Apa Dai-chan cemburu?'

Aomine menolak mentah-mentah.

"Mana ada! Orang seperti Nisha itu jelas bukan tipeku. Daripada pacar, dia lebih cocok dianggap kucing garong merepotkan. Kalau ada orang lain yang memungutnya, aku malah lega."

Momoi tertawa mendengarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top