03. Impulsif
Saat mendapati kenyataan bahwa orang yang menjadi pasangannya adalah orang yang punggungnya ia tabrak, Nisha menarik kembali kata-katanya. Terlebih dari cara bicara dan auranya yang yang dingin membuat Nisha merasa segan. Ditambah lagi, cowok itu terlalu keren untuk dimusuhi.
Mereka berjalan beriringan sembari mencari tempat yang nyaman untuk menikmati bekal. Melihat Nisha yang tertunduk canggung membuat Akashi merasa heran. Dia pun menanyakannya.
"Ada apa denganmu?"
"Ada apa ... denganku?" Nisha malah balik bertanya.
"Kau terlihat sangat canggung. Santai saja," ujar Akashi dengan suara yang lembut dan berwibawa.
"Emm ...." Nisha mengulas senyum yang masih kelihatan canggung.
"Siapa namamu?"
"Nakano Nisha, dan namamu?"
"Akashi Seijuro." Akashi menunjuk bangku di bawah pohon Sakura.
"Kita duduk di sana saja."
Keduanya pun menuju tempat yang dimaksud. Selain mereka, para siswa/i lain juga menyebar di berbagai tempat. Ada yang di bangku, lesehan di lapangan, di kafetaria dan berbagai tempat lain.
Setibanya di tujuan, mereka mendudukkan diri. Nisha menempatkan bekalnya di atas paha, bingung mulai dari mana.
"Kau sesuka itu dengan kucing?" Akashi melontarkan pertanyaan ini lantaran melihat kotak bekal Nisha yang berbentuk kepala kucing, persis seperti bando yang tersemat di kepala. Ah, ternyata gelang di tangan kiri juga.
Mendengar kata 'kucing' membuat Nisha sangat meletup-letup.
"Iya! Kucing itu lucu, manis, pemalas, tidak berguna, bau dan menggemaskan! Aku sangat suka kucing, terutama kucing yang besar. Aku sangat suka harimau!"
Berhasil! Akashi berhasil memancing sifat asli gadis ini lewat hal yang disukainya. Sepertinya tembok kecanggungan itu sudah runtuh.
"Aku punya beberapa kucing di rumah."
"Hontou??? Seperti apa kucingmu???" Nisha sangat antusias untuk mengetahuinya.
Akashi mengeluarkan ponsel lipat berwarna merahnya, lalu membuka album yang berisikan foto-foto kucing Persia dengan berbagai warna. Ponsel itu pun diberikan pada Nisha.
"Wow!!! Dia besar, bulunya lebat dan lucuuu!!!" Mata Nisha berbinar-binar saat melihat berbagai foto yang ada. "Ne, ne. Kau punya banyak kucing impor seperti ini. Apa Akashi-san dari keluarga kaya?"
"Hmm, mungkin seperti itu." Akashi sangat canggung membahas hal seperti ini.
"Sugoii." Nisha mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya.
"Kalau mau, Nakano-san bisa melihatnya sendiri."
"Mau! Aku mau!" Namun, dengan cepat raut wajah Nisha berubah.
"E-eh, tapi ... apa tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa."
Nisha tersenyum dengan sangat lebar. Setelah Aomine Daiki dan Momoi Satsuki, ia mendapat Akashi Seijuro. Hari-harinya di SMP ini pasti sangat menyenangkan.
"Ano, kita harus bertukar bekal, kan?" Nisha memberikan bekal miliknya dengan senang hati. "Ini bekalku."
Akashi menerimanya dan juga melakukan hal yang sama.
Nisha ternyata membawa nasi goreng sea food dan irisan mangga. Itu adalah makanan kesukaannya. Oleh karena itulah, ia tadinya tak sudi berbagi dengan orang lain. Sementara Akashi membawa bekal sup tofu bola ayam dan salad buah.
"Apa ini makanan kesukaan Akashi-san?" tanya Nisha.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku peramal, hehehe." Nisha mencoba bercanda.
"Tidak, tidak. Itu karena umumnya kita serba spesial di hari pertama agar lebih semangat. Aku juga dibawakan makanan kesukaanku oleh Mama."
Akashi mengangguk. Disiapkan oleh Mama? Apalah daya dirinya.
Nisha membuka plastik yang membungkus sup tahu dan nasi itu, lalu menuangkannya ke dalam wadah. Dia pun menyendok makanan itu dan mengarahkannya ke Akashi.
"Karena ini makanan istimewamu, kau harus memakannya lebih dulu. Aaaaaa~"
"E-eh?" Akashi bingung, mengapa seperti ini? Bukannya mereka harus bertukar.
"Ayolah, buka mulutmu, pesawat mau lewat!" seru Nisha. Gadis itu hanya ingin Akashi mencicip makanan favoritnya.
Ayo, buka mulut Sei-chan~ Pesawatnya mau lewat.
Mendengar itu membuat Akashi deja vu. Kata-kata itu mengingatkannya kepada seseorang yang sudah pergi jauh. Dengan perlahan, mulut Akashi terbuka. Nisha langsung melancarkan aksinya.
"Yey!"
Akashi mengunyahnya dengan memejamkan mata. Sudah lama sekali ia tak merasakan sensasi seperti ini. Terakhir kali ... mungkin itu dua tahun lalu?
Kenapa kau melakukannya, Nakano-san?
Tak mau berlarut dalam nestapa, Akashi juga membalas perlakuan gadis itu untuknya. Diambilnya satu sendok nasi goreng dan mengantarkannya di depan mulut Nisha, membuat mata sang dara mendelik kaget.
"E-ehh?"
Nakano Nisha harusnya sadar jikalau begitulah reaksi Akashi saat menerima perlakuan impulsifnya. Kaget, bingung dan tak mengerti.
Namun perlahan, secara naluriah ia membuka mulutnya untuk menerima suapan itu. Rasanya canggung dan malu setengah mati. Darahnya memanas seakan naik ke permukaan wajah, menciptakan rona merah yang begitu kentara di mata Akashi.
✨⭐✨
Jingga telah menguasai cakrawala, pertanda hari sudah berakhir. Rangkaian kegiatan orientasi hari pertama sudah tuntas, begitupun pembagian kelasnya. Sesuai yang diharapkan, trio Nisha, Aomine dan Momoi ditempatkan di tempat yang sama, yakni 1-D. Lain halnya dengan Akashi Seijuro, dia ditempatkan di kelas 1-A.
Nisha bersama kedua temannya itu baru saja keluar dari sekretariat untuk mendaftar ekskul. Di luar dugaan, ternyata Momoi juga mengikuti Aomine untuk masuk klub basket sebagai manajer. Nisha kira cewek itu akan ke klub menjahit karena hastakaryanya sangat apik.
"Aku ke WC dulu, ya! Aku tidak tahan!" Saat keluar dari ruangan, dengan secepat kilat Nisha berlari ke toilet.
Aomine dan Momoi dibuat cengo dengan kelakuan gadis maniak mangga itu.
"Nicha itu selalu kabur dengan kelewat lincah. Harusnya dia lebih hati-hati menjaga kakinya." Momoi Satsuki selalu dibuat khawatir. Sementara si empu kaki sama sekali tak peduli.
"Dia itu memang bodoh," timpal Aomine.
Sementara di dalam toilet khusus putri, Nisha dengan cepat memasuki bilik. Fyuhhh. Rasanya lega sekali karena sudah lama ia menahannya.
Gadis itu membuka pintu dengan mengembuskan napas panjang. Sebelum keluar, ia mematut diri di depan cermin untuk merapikan seragamnya.
"Kebetulan sekali bertemu di sini."
Dari pantulan cermin itu, Nisha dapat mengenali bahwa sosok yang bicara dengannya adalah salah satu pengurus organisasi kesiswaan.
"Ada apa, ya, senpai?" Nisha bertanya dengan heran. Kebetulan? Itu artinya memang ada pertemuan yang ingin direncanakan.
"Bagaimana perasaanmu hari ini?"
Dengan spontan Nisha menjawab,
"Aku sangat senang. Bagaimana denganmu? Pasti melelahkan, ya? Semangat, senpai!"
Senior perempuan itu mencengkram kerah seragam hijau tosca milik Nisha. Dengan posisi ini, Nisha dapat melihat jelas begitu murkanya raut perempuan itu.
"Kau masih menanyakan perasaanku setelah kau merebut cowok incaranku? Apa kau berniat mengejek?"
Alih-alih merasa tremor atau tertindas, si bungsu Nakano itu masih memasang wajah tanpa dosa karena memang tak merasa punya dosa dengan senior itu.
"Hah? Siapa? Aku bahkan tidak kenal denganmu dan siapa cowok yang kau incar."
Bunyi bedentam begitu keras ketika tubuh mungil Nisha didorong dengan kasar hingga menghantam dinding. Nisha meringis, kepalanya dan punggungnya terasa nyeri.
"Akashi Seijuro-kun! Kau pikir aku tidak tahu kalau kau gatal dengannya? Kami hanya menyuruh bertukar bekal, bukan saling suap! Menjijikkan!"
Oh, ternyata gara-gara Akashi?
Nisha tak menyangka kehidupannya seperti tokoh utama di film dan novel remaja. Ternyata memang ada spesies seperti ini. Peran yang sangat menarik untuk dimainkan.
"Iya, aku gatal!" Nisha bangkit dari posisi terkaparnya, lalu menggaruki seluruh badannya dengan heboh. "Rasanya gatal, gatal dan sangat gatal!!! Badanku terasa seperti kerumuni ulat bulu. Obat dari gatalku ini hanya disuapin cowok ganteng seperti Akashi. Sekarang kumat lagi deh gatalnya."
Sangat geram karena dipermainkan, senior itu hendak melayangkan satu tamparan. Namun, tangannya dicekal oleh Momoi dengan timing yang pas. Gadis berambut gulali itu bisa ada di sini karena khawatir dengan Nisha yang tak kunjung keluar. Ternyata, firasatnya memang benar.
"Jangan," peringat Momoi dengan suara yang menusuk. Ini pertama kalinya bagi Nisha melihat Momoi versi seram.
"Jangan menyentuh temanku sedikitpun, atau kau akan menyesal."
Senior itu menghempas cekalan tangan Momoi dengan kasar.
"Tch, satu lagi adik kelas menyebalkan. Harusnya kalian menghormati senior!"
"Ame!!!"
Satu lagi gadis yang datang ke toilet, kali ini juga anggota OSIS seperti Ame. Cewek berambut pirang panjang itu juga mengenakan ID Card panitia di leher.
"Apa yang kau lakukan? Merundung junior? Apa kau ingin satu organisasi yang kena?"
"Chika—"
Tak ingin mendengar pembelaan, senior bernama Chika itu menggeret Ame keluar, menyisakan Momoi dan Nisha.
Momoi lantas memeluk Nisha dengan erat. Walau baru kenal sebentar, namun ia sudah menganggap Nisha sangat berharga. Jika gadis itu dilukai, maka ia juga akan sakit.
"Nicha, kau tidak apa-apa, kan? Apa dia melukaimu?" Saking khawatirnya, Momoi sampai menangis.
"Daijoubu." Sementara yang kepalanya habis terbentur di tembok malah mengukir senyum selebar busur panah.
"Aku baik-baik saja, Sachan."
"Sungguh? Kau tidak membohongiku, kan?"
"Tidak, kok. Jangan khawatir. Buktinya aku masih sehat." Nisha melepas pelukan itu dan menghapus jejak airmata Momoi.
"Sudah, sudah. Daiki-kun pasti lama menunggu. Ayo kita keluar."
Meski begitu, Momoi yakin Nisha menyembunyikan luka.
"Satu lagi, Sachan."
Momoi menyimak dengan baik apa yang ingin Nisha ucapkan.
"Jangan ceritakan ini pada Daiki-kun, atau dia akan marah tak terkendali. Kita masih baru di sini, aku tak ingin ada masalah. Aku ini orang yang kuat kok! Jadi, kumohon ...."
Dengan terpaksa Momoi mengangguk. Benar juga, mengadukan ini pada Aomine hanya akan menambah masalah.
Toh, temannya senior tadi juga sudah tampak marah, mungkin Ame akan diberi konsekuensi.
Mereka pun keluar dari toilet.
Di sebelah pajangan mading, Aomine duduk di bangku sembari sibuk memainkan game basket di ponselnya untuk mengusir rasa bosan. Nisha dan Momoi lama sekali, dirinya sangat kesal menunggu kedua perempuan itu.
"Daiki-kun!!!" seru Nisha dari kejauhan, teriakannya menggema memenuhi penjuru koridor. Untung ini sudah sore, jadi tidak ada yang menegurnya.
Aomine berdiri, saat kedua gadis itu telah tiba di hadapannya, amarah Aomine langsung meledak-ledak.
"Lama sekali, aho! Kau mencret, ya?"
"Iya!" balas Nisha dengan spontan.
"Apa bekal pasanganmu saat bertukar tadi ada racunnya?"
"Tidak." Nisha merangkai jawaban yang sekiranya membuat Aomine jengkel. "Mungkin karena sering dekat-dekat denganmu, jadi itu membawa dampak buruk pada pencernaanku."
"Kau pikir aku kuman?!!"
"Memang!!!"
"Sufah-sudah." Momoi melerai keduanya agar tidak berlarut-larut. "Apa kita akan tetap di sini? Kita harus pulang."
Tanpa basa-basi, Aomine langsung mengangkat Nisha seperti karung beras, membuat gadis itu meronta-ronta.
"Woy Ahomine!!! Turunkan aku!!!"
Aomine menolak. "Kau pasti akan lari-lari lagi seperti monyet lepas! Satsuki sangat mencemaskanmu, aho."
"Tidak! Aku jalan biasa!!! Aku janji!!!"
Di belakang mereka, Momoi tersenyum lebar melihat keakraban keduanya.
Aku senang sekali berteman dengan kalian.
Kita akan selalu bersama seperti ini, 'kan?
✨⭐✨
NICHA BUKAN MODUS, TAPI IMPULSIF AJAAA!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top