PROLOG ― Awal Yang Membosankan
‧͙⁺˚*・༓☾ ☽༓・*˚⁺‧͙
Cahaya mentari menyusup melalui celah tirai jendela berwarna hijau pastel, mengenai sesosok wanita bersurai pirang yang masih tertidur lelap. Timpaan sinar itu membuat kedua kelopak mata sang puan berkedut pelan sebelum terbuka dan mempersaksikan sepasang netra hijau yang tampak sayu.
Perempuan itu― Jean menatap langit-langit cukup lama, kemudian bangkit dan terduduk di tempat tidur. Kuap lolos dari bibir merah muda, disusul dengan suara erangan akibat peregangan tubuh.
Jean memasukkan kakinya ke dalam sandal bulunya secara bergantian. Ia pun berdiri dari ranjang, berjalan ke arah jendela ruangan dan menyingkap gorden hijau pastel. Cahaya yang tiba-tiba masuk membuat wanita itu menyipitkan matanya sejenak, kemudian membukanya lagi setelah cahaya tersebut tak lagi terasa menyengat.
Perempuan pirang itu memandang pemandangan yang tersaji di jendela. Langit keemasan di ufuk timur, gedung-gedung bangunan yang bersinar akibat siraman sinar aurum sang surya serta jalan raya yang tampak cukup sepi― sungguh lansekap yang indah. Pemandangan itu masih tetap enak dipandang walau ia telah melihatnya setiap hari.
Pandangan Jean kemudian beralih ke jam dinding yang terpasang di atas tempat tidur, mendapati bahwa sekarang baru pukul setengah enam pagi. Hal tersebut lantas membuat sang puan tersenyum.
"Tampaknya masih ada cukup waktu untuk menyiapkan bekal," gumamnya sembari berjalan ke arah nakas.
Tangannya meraih sisir yang tergeletak di atas meja kecil itu. Ia pun menyisir helaian pirang sepanjang bahu, kemudian membentuknya menjadi gulungan sebelum mengikatnya. Jean lantas menggait handuk, lalu berjalan ke kamar mandi untuk membasuh diri.
Beberapa menit setelahnya, wanita muda itu keluar dari kamar mandi dengan pakaian kerjanya yang lengkap beserta atributnya― blus putih dengan jas abu-abu sebagai luaran dan rok pensil berwarna hitam sepanjang lutut sebagai bawahan, sebuah ID card terpasang di dada sebelah kiri.
Jean lanjut bersiap, melepas ikatan rambutnya kemudian menyisirnya kembali. Dibawanya helaian pirang ke belakang, membentuk sebuah kuncir kuda lantas mengikatnya dengan pita hitam. Ia menoleh ke kanan dan ke samping, tatapan tetap terfokus pada cermin di hadapan. Dehaman puas lolos dari bibir tatkala mendapati tatanan rambutnya telah rapi.
Usai menata rambut, Jean lanjut mengaplikasikan make up tipis ke wajah dengan memoles bibir menggunakan lipstick merah jambu sebagai akhiran. Kedua iris hijaunya mengamati bayangannya dalam cermin yang tengah tersenyum, persiapan fisiknya untuk pergi ke kantor telah selesai dengan baik.
Jean beranjak dari meja rias, berjalan ke luar kamar dan menuju dapur. Begitu sampai, ia mengambil empat lembar roti tawar dan mengolesi salah satu sisi keempatnya dengan mentega.
Tangannya lantas meraih wajan penggorengan, meletakkannya di atas kompor sebelum dinyalakan. Jean menggenggam pegangan wajan kemudian mengangkatnya, menggulirkannya perlahan agar mentega di permukaan penggorengan menyebar secara merata.
Setelah permukaan wajan sudah dirasa cukup panas, Jean meletakkan dua lembar roti tawar tadi dengan posisi yang dibaluti mentega menghadap ke bawah. Dengan menggunakan spatula, dibaliknya permukaan roti tatkala bagian bawah telah berubah menjadi kuning keemasan.
Permukaan kembali dibalik, yang mana menyebabkan bagian tanpa mentega kembali menghadap ke atas. Jean meletakkan salad, tomat, mayonaise dan saus tomat ke atas salah satu permukaan roti, lalu menutupnya dengan roti yang satunya. Terus memanggangnya selama beberapa menit sebelum meletakkannya ke atas piring. Ia mengulangi langkah yang sama untuk roti lainnya.
Setelah selesai memanggang roti isi yang kedua, Jean memotong hidangan tersebut menjadi bentuk segitiga. Diambilnya kotak bekal dari rak dapur, kemudian memasukkan roti yang telah dipotong ke dalam sana dan menutupnya.
"Bekal sudah siap, tinggal dimasukkan saja ke dalam tas," ucap Jean dengan nada senang sembari mengambil tasnya ke kamar.
Sesampainya di tujuan, perempuan pirang itu memasukkan kotak bekal ke dalam tas yang selalu dibawanya ke kantor. Diceknya pula barang bawaan satu per satu, untuk berjaga-jaga tidak ada barang yang ketinggalan.
Selesai mengecek, Jean pun menyangking tasnya dan keluar dari kamar, mengunci pintu setelahnya. Ia pun lanjut berjalan menuju pintu masuk apartemennya.
Ketika sudah berada di depan pintu masuk, Jean meraih sepasang higheels hitam dari rak sepatu. Dikenakannya sepatu tersebut, kemudian mengetuk-ngetukkan ujungnya.
Wanita itu lantas memasukkan kunci ke lubang kunci, memutarnya hingga terdengar bunyi 'klik' sebelum mengayunkan knop pintu dan membukanya.
Jean melangkah keluar, kemudian menutup pintu dan menguncinya kembali dengan langkah yang sama seperti sebelumnya.
Suara pintu yang terbuka dari ruang di sebelahnya membuat Jean menoleh. Sosok yang keluar sepersekian sekon sesudahnya membuat jantung sang puan hampir keluar akibat saking terkejutnya.
Sosok tersebut merupakan seorang pria dengan surai merah panjang yang diikat rendah, sosok yang sangat familier baginya.
Pria itu pun menoleh ke arahnya, menatapnya dengan sepasang mata ruby miliknya. Pandangan mereka pun bertemu.
"Se-Selamat pagi, Kak Diluc...."
Jean sama sekali tak menyangka, bahwa tetangganya adalah salah satu teman masa kecilnya sewaktu Sekolah Dasar.
‧͙⁺˚*・༓☾ ☽༓・*˚⁺‧͙
To Be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top