Lebih Dekat ― Epilog
Ada dua hal yang mengejutkan Jean hari ini.
Pertama, Diluc― teman masa kecilnya― tinggal di alamat yang sama dengannya, terlebih unit mereka bersebelahan. Kedua, karyawan pindahan yang dimaksud oleh atasannya ternyata adalah lelaki yang sama. Benar, tetangga unitnya yang bernama Diluc Ragvindr.
Jean masih tak percaya dua peristiwa tersebut terjadi secara beruntun dalam satu hari.
Berbicara soal Jean, perempuan bermarga Gunhildr itu kini tengah sibuk berkutat dengan komputer di meja kerjanya. Semua karyawan telah pulang, menyisakan ia seorang diri dalam ruangan yang masih terang akan cahaya lampu. Kantung hitam yang tampak jelas di bawah area matanya memperjelas seberapa lelah perempuan itu.
Selarap nayanika melirik ke arah jam dinding sebelum menatap setumpuk dokumen di hadapan, helaan napas lolos dari bibirnya sepersekian sekon kemudian. "Baru jam sepuluh, masih sempat kuselesaikan," gumamnya pelan sembari kembali mengetik.
Lagi-lagi Jean melakukan kebiasaan buruknya, terus bekerja dan mengabaikan tubuhnya yang menjerit minta istirahat. Benar-benar definisi seorang pecandu kerja.
Di sisi lain ruangan, pintu masuk terbuka, menampakkan sesosok pria jangkung bersurai merah yang membawa dua kaleng kopi di genggaman. Pandangannya menyapu sekitar kala rungu menangkap suara ketukan keyboard, mendapati seseorang yang tak asing masih bertatapan dengan monitor di meja kerja. Seuntai senyum terbit menghias rupa sang lelaki.
Saking fokusnya, dia sampai tidak menyadari keberadaanku, batin Diluc sambil berjalan ke arah Jean.
Kedua mata zamrud Jean masih terfokus pada layar monitor, jemarinya tak berhenti mengetik barang sedetik. Sehingga kala merasakan sensasi hangat di pipinya, perempuan itu langsung terjengit kaget.
"Demi Barbatos ...!" Jean spontan menoleh, mendapati Diluc yang menyodorkan sekaleng kopi padanya. "Ah, Kak Diluc rupanya."
"Maaf," balas si pria bernetra ruby, tangannya kembali mengulurkan kaleng kopi di tangan kanannya pada Jean― tepat di depan wajah Jean lebih tepatnya. "Minum ini dan istirahatlah sebentar."
Diluc mengira Jean akan menolak tawarannya mengingat bagaimana sikap sang puan yang sering memaksakan diri. Namun di luar dugaannya, Jean menerima kopi yang ia ulurkan.
"Baik ... terima kasih." Jean menerima kopi kalengan tersebut sambil mengulas senyum tipis sebelum meminumnya. Si pemberi hanya membalas dengan dehaman.
Sementara Jean beristirahat, Diluc memandangi dokumen yang bertumpuk di meja kerja sang puan. Ada tiga berkas dalam tumpukan itu, dan berkas-berkas tersebut pun tidak tipis. Pandangannya kemudian kembali tertuju pada Jean yang masih meneguk kopi, rona wajahnya tampak pucat seakan bisa ambruk kapan saja.
Yang benar saja dia mau menyelesaikan ini sendirian, batin Diluc sambil menghela napas. Dia sama sekali tidak berubah.
Napas lega lolos dari bibir Jean usai selesai menenggak habis kopi kalengan di genggamannya, tenaganya seperti terisi kembali setelah beristirahat sejenak. Ia pun meletakkan kaleng kosong tersebut di meja kerja, tangannya hendak kembali mengetik sebelum pandangannya beralih pada Diluc yang mengambil setumpuk dokumen yang ada di mejanya.
"Kak, dokumennya mau dibawa--"
"Kubawa ke meja kerjaku," sela Diluc dengan nada datar seakan ia mengucapkan fakta bahwa bumi itu bulat.
Mendengar jawaban tersebut, Jean lantas bangkit dari tempat duduk. Tangannya mencengkram lengan berbalut jas putih itu, mencegah sang lelaki untuk beranjak dari tempatnya berdiri. Diluc menoleh, wajahnya datar seakan telah memprediksi tindakan dari teman masa kecilnya itu.
"Tidak boleh," cegah Jean sambil mengeratkan cengkramannya. "Ini pekerjaanku, jadi kau tidak perlu--"
"Lebih tepatnya, pekerjaan orang yang meminta bantuanmu, bukan?"
Mata Jean membelalak, disusul dengan bibir yang merapat. Ia tak bisa membalas ucapan pria jangkung itu, perkataannya memang benar.
Sebuah tepukan di kepala membuat Jean sedikit tersentak. Ia pun mendongak, mempertemukan nayanika zamrud dengan selarap netra merah ruby yang menyiratkan sekilas kelembutan.
Rona merah tipis menghias kedua pipi, namun tangan tak ada niatan untuk menepis seakan membeku. Gestur semacam ini sangat jarang Jean dapatkan, sehingga ia bingung bagaimana cara menyikapinya.
"Fokus kerjakan dokumen yang setengah selesai itu, yang tiga ini akan kuurus."
Setelah berkata demikian, Diluc berhenti menepuk kepala Jean. Pria itu pun beranjak pergi menuju meja kerjanya yang ada di sisi lain ruangan, meninggalkan sang puan pirang yang masih terdiam di tempat― berusaha memproses apa yang baru saja terjadi.
Lamunan Jean buyar kala teringat dokumen yang belum selesai ia kerjakan. Ia spontan menggelengkan kepala, berusaha mengembalikan fokus akibat terlalu lama termangu.
Jean pun langsung kembali duduk di kursinya, mata kembali berisitatap dengan layar monitor yang menampilkan tabel dan nominal. Frekuensi mengetiknya semakin cepat, suatu usaha agar rungu dipenuhi dengan suara tombol keyboard daripada perkataan sang pria merah yang terus terngiang di kepalanya bak kaset kusut.
Sayang sekali, usahanya sia-sia.
------
Diluc menghela napas lega usai menyelesaikan dokumen yang terakhir. Jam menunjukkan pukul dua belas lebih lima menit kala ia melirik jam tangan yang melilit pergelangan tangannya.
"Sudah selarut ini ternyata," gumamnya pelan sebelum mendecakkan lidah. "Jika seperti ini, kami tak bisa pulang menggunakan kereta. Terpaksa harus memesan taksi."
Ia pun berdiri, lalu mengambil jas hitam yang tersampir di senderan kursi dan menyampirkannya di tangan kiri― tangan kanannya menenteng koper dengan warna senada.
Apa Jean ketiduran, ya? batin Diluc ketika rungunya tak lagi menangkap suara mengetik dari sisi lain ruangan. Ia mulai melangkah, berjalan menuju meja sang puan pecandu kerja.
Dan sesuai dugaannya, Jean telah tertidur pulas di meja kerja dengan kondisi komputer yang masih menyala. Setelah memastikan bahwa pekerjaan sang puan Gunhildr selesai, Diluc langsung mematikan benda elektronik tersebut.
Pandangan Diluc langsung beralih pada Jean yang terlelap. Ekspresinya tampak begitu damai dengan rambut pirang yang sedikit berantakan. Begitu manis dan cantik, itulah apa yang dipikirkan si rambut merah saat ini.
Dulu mereka begitu jauh, namun kini menjadi begitu dekat. Dilmulai dari tetangga yang hidup bersebelahan, hingga menjadi rekan kerja sekantor. Pertemuan mereka ibaratkan garam dan asam yang bertemu dalam belanga.
Tangan Diluc terulur ke arah Jean menyampirkan poni yang menutupi wajah ke belakang daun telinga sembari mengulas senyum. Sang puan tampak begitu pulas, ia menjadi tidak tega membangunkannya.
Sang pria lantas meraih ponsel dan memesan taksi, memasukkannya kembali ke dalam saku celana setelah selesai. Pandangannya kembali tertuju pada Jean, kali ini lebih lembut dari sebelumnya.
"Aku harap kau tidak keberatan kugendong, Tetanggaku."
‧͙⁺˚*・༓☾ ☽༓・*˚⁺‧͙
Fin
.
.
.
[Gif dan revisi menyusul.]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top