🍁ー木枯らし 08
Ine, Kyoto, 27 November, tahun yang sama
ー🍁🍁🍁ー
Lagi-lagi Satoru bangun pada tengah malam setelah hidungnya mencium bau yang tidak begitu menyenangkan. Pikirannya mungkin badai ini menyebabkan luapan air sehingga beberapa bangkai atau kotoran-kotoran hewan ke permukaan. Satoru pun bangkit dari kasurnya, membuka gorden untuk mengintip jalan yang anehnya, hanya basah karena rintik hujan dan bukannya banjir.
Si pria bersurai putih pun kembali menutup gordennya dengan bingung. Lantas, bau apa ini yang ia cium? Seperti bau amis. Namun Satoru tinggal dekat laut, bau amis dari ikan sudah biasa ia cium setiap harinya. Tapi ini bukan bau amis dari ikan, ini seperti amis darah dan bau mayat yang perlahan membusuk. Baunya tidak begitu kuat, namun tercium sangat dekat seolah berada di bawah pijakannya.
Ah, benar juga ada [Name] di lantai bawah. Apa mungkin mantan kekasihnya tahu dari mana bau tak menyedapkan ini berasal? Bau busuk seperti mayat yang perlahan membusuk.
Satoru pun membuka pintu kamarnya yang berdecit. Lampu remang di sisi kanan tangga mulai berkedip seolah ingin menakuti dirinya yang sebenarnya tidak takut. Percikan air hujan pada jendela, juga guntur yang terendam di antara riuhnya angin dan lebatnya hujan seolah menambah kesan menyeramkan pada rumahnya yang disinari lampu remang untuk malam hari.
Ia teringat salah satu nana fushigi di Sekolahnya yang mengatakan kalau malam telah tiba, maka tangga di sekolah mereka akan bertambah satu. Hal itu tentunya tidak akan terjadi di rumahnya 'kan? Nana fushigi hanya rumor yang terjadi di sekitar sekolah saja 'kan? Tidak mungkin hantu-hantu atau kutukan dari Sekolah bisa datang begitu saja ke rumahnya 'kan?
Kaki Satoru sampai di anak tangga terakhir, ia yakin kalau total dari tangganya tidak berubah dari 10 anak tangga. Dengan langkah endap seperti maling yang hendak merampas benda berharga, Satoru mulai membuka beberapa bilik lemari untuk memeriksa jika ada satu-dua bangkai tikus di balik lemari berkayu jati miliknya. Percayalah, walau lingkungan dan aliran airnya bersih, sering sekali ada tikus yang masuk dan mati membusuk di balik kabinetnya karena gagal keluar dari kabinet dan mati kehabisan udara.
Anehnya Satoru tidak menemukan satu pun bangkai tikus di balik kabinetnya. Tidak ada tanda-tanda bangkai selain dari makanan kaleng dan mie instan. Setelah Satoru memerika satu per satu makanannya pun, tidak ada yang sudah lebih dari tanggal kadaluarsa dan menimbulkan bau tak sedap.
Satoru menggaruk kepalanya kebingungan, dari mana lagi bau busuk ini berasal kalau tidak ada bangkai tikus yang terbengkalai di dalam kabinet makanannya? Kalau tidak ada makanan yang telah lewat tanggal kadaluarsa.
Oh benar, Satoru belum memeriksa ruang tamu dimana sang tamu sedang tertidur dengan tenang tanpa dengkuran halus. [Name] membungkus dirinya di balik selimut berwarna biru. Satoru, sekali lagi, dengan langkah mengendap berjalan memutari ruang tamu. Tangannya dengan cekatan membuka kabinet, lemari, atau mengintip celah dari segala macam perabotan di rumahnya. Namun lagi-lagi hasilnya nihil. Tak ada bangkai atau hal tidak menyenangkan lainnya yang bisa menghasilkan bau tak menyenangkan yang ia cium.
Satoru perlahan berjalan ke arah futon dimana [Name] terlelap tidur dengan tenangnya tanpa mempedulikan riuhnya suara badai di luar. Satoru dalam diam memperhatikan lekuk wajah [Name] seperti seorang penguntit rahasia. Muka gadis yang sedang terlelap di hadapannya ini nampak cerah hampir pucat walau hanya diterangi oleh remang lampu redup.
Jemari Satoru menyentuh wajah [Name] yang entah mengapa terasa dingin pada jemarinya. Dingin, dingin sekali. Mungkin karena udara dekat lautan yang juga sedang mencapai suhu dingin karena badai dan musim. Tapi kenapa rasanya sangat dingin? Rasanya seperti menyentuh mayat.
Dengan suara pelan bergetar, Satoru memanggil nama gadis di depannya yang hanya dibalas oleh keheningan menyesakkan.
ー🍁🍁🍁ー
Malam itu [Name] sangat yakin kalau dirinya sedang bermimpi menari-nari di hamparan bunga luas sambil bersenadung lagu kesukaannya. Kemudian di antara warna-warni dari hamparan bunga di pijakannya, muncul sebuah pohon besar dengan ranting yang ajaibnya bisa bergerak kesana-kemari layaknya boneka pada pertunjukan konyol. Anehnya, ranting-ranting pohon itu mulai bergerak memukuli wajahnya. Sakit sih tidak, tapi rasanya tidak nyaman karena terus-terusan digebuk oleh ranting-ranting pohon yang seharusnya tidak bisa bergerak. Kalau boleh jujur itu sangat amat menganggunya, akhirnya [Name] memaksa dirinya bangun dari alam mimpi hanya untuk menemukan Satoru yang sedang memukul pelan wajahnya beberapa kali dengan wajah panik.
[Name] menatap Satoru dengan wajah bingung sekaligus jengkel karena tidurnya terganggu oleh hal tidak jelas ini.
"Apa maumu....?"
Satoru berhenti memukuli wajah [Name] begitu mendengar gadis di hadapannya mengeluarkan suara. Dengan helaan nafas lega, Satoru meletakkan tangannya di kening seolah menyeka keringat, Satoru pun menjawab, "Aku memanggil namamu beberapa kali, tapi kau tidak menjawab. Aku kira kau.... Ya...." Satoru menggaruk tengkuknya.
[Name] tidak menjawab dan Satoru tidak melanjutkan ucapannya. Mereka berdua kembali terjebak dalam hening. Dalam situasi seperti ini biasanya Satoru akan mencoba melontarkan lelucon lucu, tapi mengingat bagaimana status dalam tanda kutip miliknya dan [Name] rasanya itu tidak mungkin.
"Apa kau ingat dulu kejadian seperti ini juga pernah terjadi?" Tanya [Name].
Satoru menggeleng, "Apakah itu saat kita menginap di Villa?"
Sang gadis mengangguk mengiyakan, "Tapi saat itu Shoko yang memukul wajahmu karena kau tidak mau bangun," Kekehnya.
Satoru ikut terkekeh kecil. Mereka berdua saling bercakap mengenai masa lalu hingga jam menunjukan pukul setengah tiga pagi. Setelahnya [Name] mulai terkantuk-kantuk, matanya menutup beberapa kali sebelum kembali terbuka untuk melanjutkan obrolannya dengan Satoru. Badai dari arah laut pun mulai berhenti, dengan rintik hujan dan angin yang tidak lagi mengganggu pendengaran.
"Kau tidak perlu memaksakan dirimu, tidur saja," Celetuk Satoru ketika [Name] nyaris tersungkur.
Gadis di hadapannya tertawa, "Satoru..." lirihnya, "Kalau... Kalau sebenarnya aku berharap hubungan kita masih bisa dikembalikan seperti dulu, apakah aku salah?"
Satoru terdiam sejenak, salah? Tidak. Satoru juga sebenarnya ingin hubungan mereka kembali seperti dulu. Tidak perlu dijelaskan bebet bobot mengapa ia ingin [Name] dan dirinya seperti sedia kala. Mudahnya, Satoru memang benar mencintai gadis di hadapannya. Karena mereka saling menerima cacat satu sama lain. Karena [Name] adalah orang yang selalu ada di sampingnya.
Dan karena Satoru mencintainya, pengkhianatan yang dilakukan [Name] terhadapnya memberikan efek yang begitu besar hingga dirinya mulai kembali meminum obat khusus anti depresi agar ia tak terjun bebas atau tenggelam ke dasar lautan. Mungkin tidak ada salahnya untuk kembali mencoba.
"Itu.... Tidak mustahil" Jawab Satoru pada akhirnya.
[Name] terkekeh, kemudian dengan wajah yang setengah mengantuk ia mengecup pipi Satoru, "Kalau begitu, aku mohon bantuannya sekali lagi ya, Satoru!" Serunya.
Satoru tersenyum, menepuk pucuk kepala sang gadis sambil mengangguk, "Tentu. Mari kita coba perbaiki semuanya dari awal," balas Satoru.
Sisa dari Senja mereka habiskan saling bergulung di bawah selimut untuk menghangatkan diri dari sisa-sisa badai yang mengantam rumah mereka. Mungkin yang Satoru perlukan hanya sedikit keberanian dan empati untuk bisa kembali menggenggam tangan sang kasih kembali. Tangan seseorang yang selalu ada di sampingnya, yang paling mengerti dirinya. Karena [Name] adalah sosok yang akan selalu berada di sampingnya.
ー🍁🍁🍁ー
End? No. There'll be an Epilogue that I will uploaded sometimes later.
Do enjoy yourself with this scene for a bit okay?
ー Maya Andrea
ー🍁🍁🍁ー
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top