-[🌿] S E V E N

Angin sore berhembus lembut. Melambaikan surai pirang serta hitam yang tengah berdampingan. Sang empu dari manik madu menatap langit senja, masih memikirkan tentang apa yang membuat gadis penuh senyum itu terlihat sangat membencinya disaat orang lain yang tahu betul reputasi Chika saja tidak terlalu menunjukkannya seperti Hozuki Satowa.

"Sepertinya banyak yang kau pikirkan jika aku tidak bersamamu," celetuk sosok dengan helaian hitam dengan tatapan juga nada yang datar.

Chika tidak merespon ucapan tersebut, pria itu malah menoleh ke arah sang Ibu Psikologis atau lebih tepatnya sang Sahabat, "Hei, Tetsuki, apa kau tahu apa yang membuat gadis itu sangat membenciku?"

"Maksudmu gadis yang selalu berpura-pura baik yang sering kau bicarakan itu?"

"Ya, aku bahkan tak sebenci itu padanya," ujar Chika lagi sambil mengangkat bahu.

Tetsuki bergumam, tanda berfikir, "Mungkin dia hanya tidak menyukaimu saja." Lelaki tersebut menundukkan pandangan, "Tapi biasanya, seseorang sangat membenci seseorang lainnya karena suatu alasan yang kuat."

'Alasan yang kuat ....'

Apakah dirinya yang memang tidak harus dilahirkan, pembuat onar, dan biang masalah adalah alasan yang kuat sampai-sampai gadis itu membenci Chika hingga sebegitunya?

Benar atau tidak, Chika tidak tahu. Namun sepertinya, hal tersebut benar menurut sang pria.


*


"Kau bahkan tidak bisa memetik senar dengan benar!"

Teriakan itu.

"Kenapa kau tidak bisa menjadi seperti ayahmu?!"

Tekanan itu.

"Apa benar kalau kau adalah seorang Hozuki?!"

Keraguan itu.

"Kenapa ... kenapa kau selalu gagal?"

Semua tuntutan itu. Bahkan semua luka fisik yang diberikan, semua pukulan akibat rotan, semua darah yang Ia keluarkan, semua rintihan yang Ia tahan, semuanya tidak cukup untuk menggapai kemampuan yang sang Ibu inginkan.

Satowa tak bisa menjadi seperti ayahnya, yang bisa memalsukan nada menjadi nada indah yang berbahagia, berkebalikan dengan perlakuannya kepada mereka yang semena-mena. Satowa tidak bisa menjadi seperti ayahnya, yang masih bisa tersenyum setelah melampiaskan amarah kepada Chiharu. Satowa tidak bisa menjadi seperti ayahnya, memalsukan nada, atau bahkan cara memetik senar dengan benar pun dia tak bisa.

Musik adalah bagian dari hidupnya. Suatu hal yang tak bisa terlepas dalam hidup Satowa. Namun, dia tidak ingin seperti ini. Dia ingin memainkan nada dengan caranya sendiri, dia ingin mengungkapkan emosi asli dalam nada yang Ia hasilkan. Satowa ingin ... memetik senar dan menemukan jalannya sendiri, tanpa aturan, tanpa arahan, berjalan sesuai imajinasi serta emosi yang Ia rasakan.

"Aku tidak mau seperti ini ... Aku tidak mau jadi seperti ayah!"

"Kau harus mau!"

"Karena itulah satu-satunya cara agar kau bisa bertahan di keluarga Hozuki."

Kelopak mata berisi manik gelap itu terbuka dengan cepat. Sang empu dari surai cokelat bisa merasakan betapa tak beraturannya tempo nafas yang Ia lakukan. Keringat dingin mengalir membasahi pelipis, tangan dengan bekas luka dan kapalan itu bergetar hebat, tak lupa dengan suhu yang dingin.

'Aku hanya bermimpi.'


*


Sudah terhitung satu minggu sejak Satowa bersekolah di SMA Tokise. Menjalani hari sebagai ketua kelas nyatanya melelahkan, karena perkiraan Satowa ternyata benar. Menjadi ketua kelas itu artinya ... dia harus siap untuk disuruh-suruh.

Termasuk dengan mengumpulkan buku tugas jam pelajaran hari ini ke ruang guru. Dan sialnya, buku-buku yang dia angkat ini belasan darinya adalah buku yang tebal. Sejujurnya agak wajar, karena mereka adalah buku matematika. Namun, tetap saja tumpukan ini cukup berat, terlebih lagi jarak antara kelas dan ruang guru cukup jauh. Lengkap sudah.

Gadis itu memenuhi hatinya dengan omelan. Mulutnya kadang berkomat-kamit entah menghujat, meminta agar para siswa menggunakan buku yang normal-normal saja, atau bahkan meminta secara kasar lewat batin agar sedikit dari rekan kelasnya membantu.

Satowa sibuk dengan omelan batinnya, sampai akhirnya, sosok lelaki menghentikan langkah Satowa. Gadis tersebut menatap lelaki itu, mengisyaratkan agar segera minggir. Namun, sorot berisyarat itu terhenti ketika satu kalimat terlontar.

"Kau mau ke ruang guru, 'kan? Buku-buku itu sepertinya berat, mau kubantu?" tawarnya dengan senyum hangat.

Kedua sudut bibir Satowa naik, matanya membentuk bulan sabit, membalas senyuman hangat tersebut dengan ramah, "Terimakasih, tapi tidak perlu. Aku bisa sendiri."

"Benarkah?"

"Ya. Terimakasih atas tawarannya. Aku pergi dulu," ucap gadis itu lagi sambil melenggang pergi tanpa melirik ke arah anak tersebut lagi.

Bukan hal yang aneh bagi Satowa saat beberapa anak laki-laki menghampirinya, entah mengajak berbicara atau menawarkan bantuan yang pada akhirnya ditolak.

Satowa bukan gadis bodoh yang tidak tahu dirinya cantik dan menarik. Ia menyadari hal tersebut ketika tatapan lelaki tertuju padanya ketika gadis itu mulai memasuki usia remaja. Wajahnya manis, dan cantik, didukung oleh tubuhnya yang ideal. Siapa yang tidak akan tertarik?

Namun sayangnya, gadis bermarga Hozuki itu membenci bagaimana para lelaki menatapnya. Karena selain membuat Satowa tidak nyaman, hal tersebut juga menjadi salah satu alasan mengapa dirinya tidak pernah punya teman yang tulus.

Masalah dalam keluarganya saja sudah lebih dari cukup. Tidak perlu ditambah lagi meskipun hal itu mustahil untuk dihindari.


*


"Hozuki-san sangat populer, ya?"

"Ya, sudah banyak lelaki di sekolah kita membicarakannya."

"Aku dengar, ada sepasang kekasih yang putus karena laki-lakinya lebih sering memerhatikan Hozuki-san."

"Wajar saja, sih. Dia, 'kan, cantik."

Inilah yang Ia benci. Inilah yang membuat Satowa semakin tidak nyaman.

Ketika orang-orang membicarakannya, ketika orang-orang menggosipkannya, dan ketika orang-orang mulai membenci Satowa karena hal yang bahkan tidak gadis itu minta sama sekali. Ia membenci ini. Ia membenci pembicaraan yang dilakukan di belakang. Ia membenci bagaimana gadis-gadis bersembunyi untuk berbicara tentang dirinya.

"Ya, dia cantik. Dengan senyumnya yang dibuat-buat itu," celetuk salah seorang gadis di tempat loker yang sepi tersebut.

"Hei! Jaga ucapanmu, Ai-chan!"

Ah, mulai lagi.

"Apa? Aku hanya mengucapkan fakta. Apa itu salah?"

"Ai tidak salah. Hozuki-san memang sering menggunakan senyum palsu, 'kan?" Salah satunya ikut berbicara, mendukung ucapan yang lain.

"Aku yakin dia menggunakan itu untuk menarik perhatian para anak lelaki. Parahnya lagi, kekasih orang. Hanya karena punya fisik yang bagus, dia jadi seenaknya."

Mendengar semua kalimat itu, Satowa mengepalkan tangannya kuat-kuat. Bibirnya Ia gigit, matanya memicing tajam namun juga tampak akan menangis. Ia kesal, Ia marah, Ia tak pernah meminta untuk diberikan figur seperti ini. Ia tak pernah meminta bulu mata yang lentik, kulit putih halus, dan surai cokelat yang halus berkilau.

Jika saja bisa, Satowa akan meminta untuk tidak pernah dilahirkan sama sekali.

"Pemikiran kalian sempit."

Suara yang cukup Satowa kenali mengisi indra pendengaran. Gadis itu tak perlu melihat ke tempat jika hanya ingin tahu. Cara bicara dan nada datar yang digunakan, hal tersebut sudah cukup untuk menjelaskan bahwa yang tengah berbicara adalah Chika.

"Dia tidak meminta untuk memiliki sosok seperti itu. Bahkan mungkin, Hozuki pernah berharap untuk tidak dilahirkan ke dunia," ucap Chika lagi, sukses membuat ketiga gadis di hadapannya tak mampu berkata-kata.

Pria tersebut memasukkan satu tangannya ke dalam saku, berniat melenggang pergi sebelum akhirnya menoleh kembali, "Dan satu lagi, dia tersenyum palsu seperti itu bukan karena ingin mencari perhatian. Karena tanpa senyum itupun, anak laki-laki akan tertarik padanya."

Mata Satowa melebar, maniknya membulat mendengar perkataan yang terlontar dari lisan Chika. Seseorang yang notabenenya telah masuk ke dalam daftar orang yang dibenci Satowa.

Tangannya kembali mengepal, mengetahui bahwa sosok bernama Chika itu dapat dengan mudah membaca dirinya yang sejati dimana hal itu sudah Satowa tutupi dengan sempurna.

Derap langkah kaki terdengar tak lama kemudian. Bisa dipastikan, tiga gadis yang membicarakannya sudah pergi. Entah karena pembicaraan mereka sudah selesai atau karena takut pada Chika dengan muka sangarnya.

Satowa berjalan, keluar dari tempat persembunyian. Kepalanya menunduk dengan kedua tangan yang meremas rok seragam.

Di sisi lain, Chika yang sudah benar-benar berniat meninggalkan tempat membelalak mendapati pemandangan di depannya. Ia kemudian memalingkan muka sambil menggaruk bagian belakang kepala.

"Kau ... mendengarkan?"

"Iya."

"Kau pasti tahu kalau itu tindakan yang tidak sopan, 'kan?" Lelaki itu mengajukan pertanyaan retorik lagi.

"Bukan itu poinnya sekarang," balas Satowa sambil menghela nafas. "Kenapa ... kau membelaku? Padahal kita ini saling membenci, iya, 'kan?"

Mata berisi kelereng madu melebar, "Siapa bilang aku membelamu? Aku hanya ... mengucapkan apa yang aku pikirkan dan mengingatkan mereka soal apa yang mereka bicarakan." Chika memalingkan muka sepenuhnya. Pipinya memerah akibat malu.

Satowa mendengkus sambil tersenyum. Dan hal tersebut berhasil membuat Chika merasa heran. Wajahnya seolah mengatakan, 'Apa yang lucu?'

"Ternyata aku sangat mudah dibaca olehmu," ujar Satowa lagi dengan senyum pahit yang terukir di wajahnya.

"Aku hanya ...-"

"Terimakasih karena sudah mewakiliku barusan." Satowa tersenyum samar, maniknya berbinar. Lalu kemudian, kakinya segera melangkah meninggalkan Chika yang sekarang terpaku, masih bertahan dengan sorot terkejutnya.

'Tadi dia ... tersenyum?'

'Mungkin ... dia tidak seburuk yang aku kira.'







Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top