Chapter 3

Hetalia belongs to Himaruya Hidekaz, saya tidak memiliki dan mengambil keuntungan apapun dari fic ini.

Warn: as always. 

*******************************

Sudah tiga bulan tetangga itu menempati rumah kosong di sebelahnya. (Name) mulai terbiasa dengan kehadiran tetangga itu, bahkan dia dan Emilia sering diundang makan malam oleh Oliver. (Name) juga sering menerima bingkisan maupun senampan makanan manis, dan hal itu mengurangi biaya pengeluaran untuk makan. Sedikit demi sedikit, (Name) mengurangi prasangka buruknya dan mampu menelan kue Oliver tanpa memuntahkannya kembali. Emilia dan saudara kembarnya--- Emil, juga mampu menerima keberadaan Oliver dan semakin dekat. Emilia terkadang berkunjung untuk belajar memasak dengan Oliver, sementara (Name) dan Emil memilih bermain sudoku atau ular tangga di halaman rumah (Name). Terkadang mereka ikut memasak, namun Oliver mengusirnya secara halus karena terkadang mereka mengacaukan dapurnya. Mereka kapok. 

Hari itu, meskipun hari libur dan orang-orang ingin bersantai, gadis itu harus bekerja. (Name) baru saja mengunci pintu rumah ketika dia menemukan secarik kertas tergeletak di lantai. Dia memungut kertas itu, lalu membuka lipatannya.

'Aku mencintaimu.' Itu pesan yang tertulis, dengan tulisan tangan yang rapi dan bulat.

Gadis itu memasang raut wajah ngeri. Dia menoleh, dan bulu kuduknya berdiri. Sangat tidak mungkin pesan itu ditulis oleh kedua orangtuanya sendiri— (Name) yakin bahwa mereka saja tidak sudi mengakui (Name) sebagai anak mereka--- bagaimana mereka bisa menulis pesan ini sementara mereka sendiri membencinya? Sangat tidak mungkin juga surat itu ditulis oleh Tereza atau Emilia. Apa ini ditulis oleh penggemar rahasianya? Tapi siapa juga yang mau menjadi penggemarnya? (Name) bukan anak populer maupun pintar di kampusnya, apalagi cantik. Dia hanya gadis biasa dengan nilai rata-rata dan muka standar. 

(Name) menengok ke teras rumah Oliver. Pria itu tidak muncul seperti biasa. Memutuskan tidak ambil pusing, (Name) meremas kertas itu dan melemparnya ke rumah kosong di sebelah.

*************************** 

Malam ini, (Name) pulang dengan keadaan lelah. Dia memasukkan gagang kunci dan memutarnya, lalu hendak memegang gagang ketika menyadari dirinya menginjak sesuatu. Dia menoleh ke bawah, menemukan secarik kertas yang dilipat. Dipungutnya kertas itu, lalu dia membuka lipatan

'Kenapa kau menolak pernyataan cintaku?'

(Name) mengernyit jijik bercampur was-was. Dia menoleh kesana kemari, namun tak menemukan siapapun. Gadis itu segera merobek kertasnya menjadi serpihan kecil, lalu bergegas masuk dan mengunci pintunya dan makan malam lalu tidur dengan tenang--- tanpa mengetahui bahwa teror itu akan berlanjut.

Kengerian bertambah saat keesokan paginya, (Name) menemukan halaman rumahnya berantakan. Pot-pot tanaman pecah, terdapat serpihan beling yang bertebaran, keset yang tersangkut, bekas cakaran besar di teras, dan tulisan bertinta merah yang mencolok di temboknya. 

(Name) mengamati halaman rumahnya yang hancur lebur. Dia menyisiri pot yang hancur satu per satu, lalu menyentuh cat merah yang masih basah. 

'AKU SANGAT MENCINTAIMU, BENAR-BENAR MENCINTAIMU.'

Pesan yang ditulis dalam cat merah hampir sama dengan pesan di kertas kemarin. (Name) berpikir, mungkinkah pelakunya merupakan tetangga di dekat rumahnya? Mustahil orang itu mengetahui bahwa (Name) menolak dan merobek kertasnya tanpa mengawasi dia dari dekat. Pelakunya mungkin orang terdekat (Name)--- karena di dunia yang luas ini hanya segelintir orang yang dekat dengan gadis itu, dan sangat mungkin bahwa pelakunya merupakan orang yang mengenal, pernah mengobrol, atau setidaknya mengetahui nama gadis itu (Namun siapa? Mustahil Tereza, Emilia, atau Emil melakukan ini padanya. Bisa jadi, tapi gadis itu memilih untuk mencoret mereka dari daftar tersangka). Atau, dia hanyalah stalker yang menguntitnya secara diam-diam. 

(Name) meraba cat yang masih basah. Menoleh kesana-kemari, gadis itu bergegas pergi. Sepertinya dia perlu mencari bantuan dari orang lain. 

*********************

"Maaf Tereza, aku tidak bisa makan siang denganmu--- aku memiliki urusan, sampai nanti." (Name) melambaikan tangan pada Tereza yang menghampiri (Name). 

Tereza agak tersentak, namun sesaat kemudian dia mengangguk seolah paham. 

"Tidak apa-apa, selesaikan dulu urusanmu," ujar gadis itu sebelum melenggang pergi. 

(Name) memandang punggung Tereza yang semakin jauh, lalu menyampirkan ransel dan bangkit dari kursi. Dia bergegas keluar ruangan dan mencari orang--- yang menurutnya dapat membantu walau secara tak langsung. Gadis itu menengok kesana-kemari, mencari seseorang di tengah orang-orang yang berlintas. Seharusnya mudah menemukannya, karena penampilan orang itu sangat mencolok. Dan benar saja--- meskipun bukan yang dia cari--- (Name) menangkap saudara orang itu sedang berdiri di dekat pilar, sedang memegang ponselnya. 

(Name) menelan ludah, lalu menghampiri orang itu. Langkahnya agak canggung karena mereka jarang berinteraksi, namun hal ini menyangkut nyawanya jadi mau tak mau dia harus maju. 

Gadis itu berhenti di hadapannya, namun yang dituju tidak sadar akan keberadaan orang di hadapannya. (Name) mengumpulkan napas, lalu membuka mulutnya.

"Ludwig." 

Yang dipanggil tersentak hingga nyaris menjatuhkan ponsel. Dia menghela napas lega, lalu memasukkan ponsel ke kantung jaket. 

"Ya ampun, kau mengagetkanku. Ada perlu apa, (Name)?" tanya pria itu heran--- karena selama ini mereka jarang berinteraksi kecuali ada keperluan tertentu. 

(Name) mengalihkan pandangannya ke kotak besar di samping Ludwig, lalu berkata, "Sebetulnya aku ingin mencari kakakmu, tapi tidak ada. Jadi aku ingin menanyakan sesuatu padamu," sahutnya dengan canggung. 

Ludwig menaikkan satu alisnya. "Bertanya tentang apa?" 

(Name) mengalihkan pandangan--- menerawang ke atap bangunan. 

"Er, apa kau tahu toko elektronik yang menjual CCTV di dekat sini?" tanya (Name) dengan cepat. 

"Apa?" Ludwig memajukan telinganya, berusaha mendengar lebih jelas. 

(Name) menatap Ludwig, lalu tersenyum canggung. "Apa kau tahu toko elektronik yang menjual CCTV-- di dekat sini?" 

Kening Ludwig berkerut. "Ada toko elektronik di seberang perpustakaan tempat kau bekerja, tapi hari ini mereka tutup. Mereka akan buka kembali esok hari," jawabnya. 

Di seberang perpustakaan? (Name) merenung. Tapi kenapa aku tidak pernah  melihatnya? Seingatku, di seberang sana hanya ada bangunan kosong. 

"Oh, begitu ya. Tapi kenapa aku tidak pernah melihatnya?" 

"Toko itu baru buka Senin lalu. Seingatku, kau bekerja di perpustakaan itu setiap hari Sabtu dan Minggu, kan? Maka tidak heran kau tidak pernah melihatnya." 

Ah iya. Dia memang bekerja di tempat itu hari Sabtu dan Minggu. 

(Name) mengangguk. "Oh, begitu. Terimakasih sudah menjawab. Ngomong-ngomong, dari mana kau tahu aku bekerja di tempat itu?" 

Ludwig menggaruk telinga. "Aku sering melihatmu di sana setiap Sabtu dan Minggu. Mungkin kau tak pernah melihatku, tapi kita sering berpapasan." 

(Name) tersenyum pahit. 

******************************* 

Ludwig terperangah melihat kondisi halaman rumah (Name) yang tak keruan. Terdapat pecahan pot di mana-mana, keset yang tersebar, bunga-bunga yang rusak, bekas cakaran di lantai teras, robekan kertas-kertas,  serta tulisan bercat merah di tembok yang mulai pudar. (Name) memandang halaman rumahnya seolah itu pemandangan biasa. 

"Maaf, aku tak sempat membersihkan halamannya," sahut (Name). Ludwig menengok, raut wajahnya terlihat khawatir meskipun tersamarkan oleh garis wajahnya yang keras. 

"Ada apa ini?" tanyanya. 

(Name) menggeleng. "Bukan apa-apa, hanya ulah kucing atau serigala di sini." 

Ludwig menghampiri tulisan bercat merah. Meskipun tulisannya tak terbaca, namun bekas-bekas kekacauan masih tertinggal di situ. Raut wajahnya syok bercampur takut. 

"Kurasa kucing atau serigala takkan berbuat separah ini," ujarnya sambil mengamati salah satu pecahan pot. 

"Anggap saja itu mereka." 

Ludwig segera turun begitu dia selesai memasang CCTV di sudut halaman rumah (Name). Gadis itu berkacak pinggang, mengamati CCTV yang terpasang. CCTV ini harapannya untuk mengetahui pelaku di balik teror-teror ini. 

Sementara itu, Ludwig celingak-celinguk menatap lingkungan tempat tinggal (Name). Dia nampak terkejut (Name) tinggal di tempat yang sunyi dan suram--- dengan hewan peternakan yang berkeliaran serta rumah kosong dan taman terbengkalai di mana-mana.

"Sulit dipercaya kau tinggal di tempat seperti ini," ujar pria itu. "Kukira kau tinggal di flat kecil atau asrama." 

(Name) tertawa pahit. 

"Bagaimana kau bisa membeli rumah di sini?" tanya pria itu sembari merapikan tangga lipat. 

"Aku tidak membelinya, rumah ini diturunkan dari orangtuaku." (Name) menendang pecahan pot yang berserakan. 

Ludwig menoleh. "Berarti sejak kecil kau tinggal di sini?" 

"Iya." 

Ludwig mengangguk. Dia mengecek jam tangan, lalu terkejut melihat waktu yang mendekati malam. 

"Ya ampun, aku harus segera pulang-" namun, perkatannya terhenti kala melihat coretan cat merah di tembok rumah (Name). Dia memandangnya dengan curiga, lalu beralih pandangan ke (Name). 

Ludwig mendekati (Name) lalu berbisik, "Maaf jika ini terdengar tidak sopan, tetapi apakah kau keberatan jika aku menginap di rumahmu?" 

(Name) membelalakkan mata, lalu menaruh jari telunjuk di mulutnya, sambil menggelengkan kepala. Kening Ludwig mengerut seiring matanya melotot. 

"Apa maksudmu? Kau diteror seperti ini, seharusnya kau melaporkan ini kepada polisi atau meminta bantuan-" 

"Ssssttttt," (Name) berdesis. "Kau tak tahu apa-apa mengenai ini. Aku tak mau ikut membawamu ke dalam bahaya, jadi kuharap kau tutup mulut mengenai hal ini." Manik gadis itu mendelik seram, membuat Ludwig merasa diancam. 

"Dan juga, aku harap kau tidak melaporkan ini kepada polisi." Air muka Ludwig berubah ketika (Name) mengatakan itu, tetapi gadis itu buru-buru membungkam mulutnya. 

"Aku harap kau segera pergi dari sini. Mau kuantar? Biasa jam segini serigala akan muncul, aku akan memastikanmu tidak terterkam serigala dan keluar gerbang dengan selamat." 

Alis Ludwig lagi-lagi mengerut. "Tunggu, disini benar-benar ada serigala?" 

"Jangan banyak bertanya dan ikuti perintahku," sambar (Name). 

*********************

(Name) memandang punggung Ludwig yang semakin menjauh bersama sepedanya. Sebelum pergi, Ludwig berpesan untuk meminta bantuan terhadap siapapun, dan berjanji akan tutup mulut asalkan dia melaporkannya sendiri ke polisi. (Name) tidak bisa berjanji. Ludwig menghela napas, lalu meminta (Name) untuk menjaga diri lalu pergi mengayuh sepedanya.

(Name) memandang kosong punggung Ludwig yang menjauh. Dia tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Saat ini hidupnya seperti diselimuti kabut, namun (Name) berharap setidaknya dia bisa sampai ke jalan yang benar meskipun hanya meraba-raba. 

Lolongan serigala menyadarkan gadis itu ke realita. Dia menoleh dengan panik, lalu segera berlari kembali ke rumahnya. 

***********************

(A/N) 

Hy gaes,,, disini ak mencoba untuk menulis kembali ni project dan menyelesaikannya setelah sekian lama ninggalin ni draf sampe usang agshdjakdjskd, doain yh semoga bisa. Sekolah sama les bikin nangidddd ahsjakskksd

Btw, ini updatenya gak nentu ya. Tapi kujamin sekali update bisa update dua-tiga chapter, soalnya udah mepet deadline ajsjkdkks 

-Kana


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top