'𝐴𝑙𝑎 𝑅𝑎𝑠𝑖 | Okkotsu Yūta
"'Ala Rasi"
Jujutsu Kaisen Fanfiction by 2U3ShiRo
Warning(s) : Silahkan baca Initium terlebih dahulu
◇
◇
≻───── ⋆✩⋆ ─────≺
Kanvas raksasa angkasa yang semula didominasi merah-jingga keunguan mulai meredup, menenggelamkan semua warna cerah, dan menyisakan titik-titik putih kecil bercahaya yang akan menemani rembulan hingga keheningan malam berakhir.
Telunjukku terulur, pelan-pelan menyentuh salah satu bintang cerah di langit barat. Kugerakkan ujung jemari secara diagonal ke bawah, berbelok ke kiri, lalu kembali ke titik semula.
Proycon, Betelgeuse, dan Sirius, tiga bintang yang kusatukan itu berkelip lembut, membentuk pola segitiga yang dikenal dengan nama Segitiga Musim Dingin.
Segera kuraih ponsel yang tergeletak di atas meja, memosisikan fokus lensa di tengah segitiga, dan mengabadikannya dalam bingkai kamera ponsel. Aku mendengkus geli sambil mengetik pesan ke Yūta, sebelum mengirim foto tadi.
"Langit malam pinggiran Tokyo, hari ini ada Segitiga Musim Dingin, lho! Sengaja kufotokan biar kangenmu pada pemandangan malam di Jepang terobati."
Balasan pesan Yūta datang beberapa detik setelah foto asterismanya terkirim.
"Terima kasih, hasil fotomu bagus banget! Harusnya kamu ikut ke luar negeri sebagai fotografer pribadiku. Miguel terlalu payah dengan kamera, jadi aku harus minta orang lain buat fotokan."
Aku tertawa, dan buru-buru mengetikkan balasan untuk Yūta. "Memangnya dia kenapa, sih?"
"Dia nggak bisa memotret dengan benar. Entah apa yang salah dengan isi kepalanya. Terakhir saat jalan-jalan ke Nairobi National Park, dia merusak fotoku dengan zebra."
Selanjutnya Yūta mengirimkan beberapa foto berlatar alam liar dan kawanan zebra yang keseluruhan terlihat buram sempurna.
Ada sosok Yūta yang mirip penampakan hantu di siang bolong, duduk di kursi jeep, berpose ala model gadungan dengan kaus garis-garis hitam putih.
Dengan pakaian dan hasil foto buram seperti itu, sebetulnya Yūta agak mirip zebra.
"Benar, fotonya jelek. Kamu kayak zebra betulan. Aku mulai berpikir kalau sebenarnya kamu dikirim ke luar negeri bukan untuk belajar teknik kutukan, tapi untuk jadi satwa liar baru."
Aku tersenyum kecil saat Yūta berusaha menjewerku secara online dengan aneka stiker koleksinya. Dan sebelum dia mulai mengirimkan bom online, aku segera mengganti topik pembicaraan.
"Sebenarnya aku agak penasaran. Selama di luar negeri, kamu bicara pakai bahasa apa, sih? Terus terakhir ada di negara mana? Masih di benua Afrika?"
Sepertinya Yūta butuh tambahan menit untuk membalas satu per satu pertanyaan yang kukirimkan, jadi aku beranjak dari tempat dudukku untuk mengambil tisu.
Balasannya datang tepat saat aku kembali memegang ponsel, tapi pesan balasan Yūta kali ini benar-benar di luar dugaanku.
"Aku juga agak penasaran dengan kamu hari ini. Lebih banyak kiriman pesan dari biasanya. Kukira kamu lebih suka mengobrol lewat video call."
"Alergi serbuk sari." Aku menyeka ingus yang sejak tadi menumpuk di hidung lalu kembali mengetik balasan. "Di Afrika nggak ada serangan serbuk sari musim semi?"
"Nggak ada. Sama sekali."
Hm, ini menyebalkan. Yūta bisa jalan-jalan bebas di luar sana, sementara aku harus sedia 'baju perang' sebelum keluar, untuk menghindari reaksi alergi yang semakin parah setiap harinya.
Sambil mendoakan anak Afrika itu mengalami pembesaran lubang hidung, aku mengirimkan balasan.
"Enak banget! Hari ini kadar serbuk yang tertiup angin cukup tinggi di wilayah Tokyo dan sekitarnya. Kurasa kamu nggak mau dengar suara penyedot debu Teletubbies selama teleponan, jadi aku cuma bisa kirim pesan."
"Memang nggak mau, sih. Tapi aku mau dengar suaramu."
Aku membatalkan doa jelekku pada Yūta saat membaca balasannya barusan. Setelah jadi zebra, sekarang Yūta jadi tukang gombal. Ini jenis transformasi yang nggak baik untuk kesehatan jantung, tapi sukses membuat senyumku kembali merekah.
Sepertinya Yūta sadar kalau balasan sebelumnya menimbulkan anomali suasana, jadi dia mengirimkan balasan selanjutnya lebih cepat.
"Tapi, begini ini juga nggak apa-apa. Aku punya waktu untuk membalas setiap pertanyaanmu, dan kamu bisa bersabar menanti balasanku."
Aku benci menunggu, mengingat aku punya terlalu banyak hal untuk dikatakan, namun aku tahu dia benar.
Yūta nggak punya kapasitas otak yang bisa membuat semua pertanyaanku terjawab secara instan, tapi jari-jarinya bisa mengetik balasan dengan cepat.
"Oke," Aku menguras isi hidung dan mulai berpikir untuk mengirimkan kutukan pada Yūta di luar negeri. "Ayo bahas bahasa, kalau begitu. Atau apa saja."
Yūta mengirim stiker karikatur kucing yang memegang tulisan "Oke" dan mulai menjawab pertanyaanku sebelumnya.
"Bahasa, ya? Aku biasanya mengobrol dengan bahasa Inggris sederhana, tapi orang-orang di sini―tepatnya di Maroko, lebih sering pakai bahasa Arab. Kadang-kadang ada yang berbahasa Prancis juga, soalnya hampir semua orang bisa dua bahasa."
"JADI KAMU BISA BAHASA ARAB DAN PRANCIS?!"
Tanpa sadar aku ikut meneriakkan isi pesanku sendiri, lalu Maki dari kamar sebelah datang dan melempariku dengan tisu raksasa. Saat ini aku membayangkan Yūta sedang duduk dan jatuh dari kursi begitu menerima pesan penuh huruf kapital dariku.
"Cuma paham sedikit. Nggak benar-benar bisa berbahasa Arab. Oh, katanya beberapa nama bintang di langit menggunakan bahasa Arab. Altair, misalnya. Artinya 'elang terbang', kamu tahu?"
"Wow! Kukira nama Altair dari bahasa Latin atau Prancis."
Aku selalu suka apapun cerita Yūta selama di Afrika, tapi dia nggak bisa sering-sering memberi kabar karena kebanyakan urusan.
Ditambah lagi tempat singgah Yūta jarang menyediakan fasilitas Wi-Fi, jadi kami hanya bisa berkomunikasi sekali sebulan. Atau saat Yūta dapat password Wi-Fi gratis. Makanya, sesi ngobrol bareng seperti ini sangat berharga dan dinantikan.
"Bukan, bukan bahasa Prancis." Yūta membalas lagi. "Sebenarnya aku pernah coba berbicara pakai bahasa Prancis, tapi Miguel bilang suaraku kedengaran kayak lagi ngeden."
Okkotsu Yūta kini bertransformasi menjadi pelawak dan aku mati-matian menahan tawa karena nggak mau didamprat Maki.
"Kirimkan rekamannya nanti. Akan kuputar kalau Gojō-sensei mencoba minum lewat cerat teko teh di kelas."
Menjadikan suara "bahasa Prancis" Yūta sebagai bahan meme SMK Jujutsu adalah ide yang bagus. Tapi Yūta yang punya radar peka super sepertinya mendeteksi niat jelekku, karena balasan pesan berisi penolakan datang secepat lari rusa.
Dia nggak asyik.
"Karena kamu bilang sesuatu soal teh, aku teringat cerita seseorang ketika mengunjungi Chefchaouen. Ini tentang minuman tradisional Maroko."
"Enak, nggak?"
"Rasanya menyegarkan dan manis banget. Kujamin kamu bakal suka. Akan kubawakan saat kembali ke Jepang."
Sekarang aku mulai ngeces berkat balasan Yūta barusan. Sambil menyimak isi pesan Yūta tentang minuman tradisional Maroko―yang ternyata teh daun mint, aku menghabiskan tisu raksasa pemberian Maki karena produksi lendir di hidungku meningkat drastis.
"Ada pepatah terkenal mengenai teh daun Maroko. Kalau diterjemahkan, kira-kira artinya seperti ini: Gelas pertama selembut kehidupan, gelas kedua sekuat cinta, gelas ketiga sepahit kematian. Dan sebetulnya kalau bertamu ke Maroko, setidaknya tiga gelas teh daun mint akan disajikan. Rasa masing-masing akan lebih kuat dari gelas sebelumnya, karena teh akan semakin kental."
Kehidupan, cinta, dan kematian. Tiga unsur tadi ada di dalam satu teko yang sama dan nggak ada yang bisa menghentikan percampurannya. Kurasa yang dimaksud Yūta kurang lebih seperti itu.
Membahas sesuatu tentang kematian di antara penyihir jujutsu bukanlah hal yang menyenangkan, jadi aku mencoba menghentikan topik suram itu.
"Makanya orang Maroko membuat tehnya lebih manis dari teh biasa, lalu menyajikannya pada tamu supaya bisa dinikmati bersama secara perlahan. Setiap orang perlu orang lain di sisinya karena semua hal tadi nggak bisa dijalani sendirian."
"Kamu benar."
Aku nggak begitu yakin pesanku barusan bisa mencairkan suasana, tapi kutebak Yūta sedang tersenyum di luar sana, soalnya balasan pesannya kedengaran manis. Namun, di sisi lain terasa sedikit pahit.
Ada sesuatu dalam pesan Yūta yang membuatku merasa teriris secara perlahan.
"Yūta."
Jari-jariku berhenti mengetik, seolah enggan bergerak lagi dan aku memaksanya untuk melanjutkan.
"Katanya misimu untuk belajar di sana sudah selesai dan bulan lalu kamu janji untuk segera pulang. Kamu masih ingat?"
Berikutnya aku menerima balasan singkat dari Yūta. "Masih."
"Waktu itu kamu batal pulang karena tambahan misi dari Gojō-sensei. Karena nggak ada misi lagi, berarti kamu sudah boleh pulang, kan? Kali ini kamu benar-benar akan kembali ke Jepang, kan?"
Untuk pertama kalinya, Yūta nggak menjawab pertanyaanku.
Tanganku yang mulai bergetar, berusaha mengetikkan balasan. "Yūta, kamu sudah janji ..."
"Maaf. Aku nggak bisa― "
Aku nggak mau baca lanjutannya. Kupikir semuanya benar-benar sudah berakhir, sehingga Yūta bisa segera kembali. Dan aku bisa mengakhiri sesi menunggu yang sudah terlalu lama ini. Tapi ternyata ...
Yūta bohong sama aku.
Setelah jadi zebra, tukang gombal, dan pelawak, aku nggak mau dia jadi tukang bohong. Dan sekarang dia malah benar-benar jadi tukang bohong. Kenapa sih, dia selalu bikin janji yang nggak bisa ditepati?
Ah, aku nggak suka situasi seperti ini. Rasanya hal-hal yang ingin aku beritahukan pada Yūta tertelan, menumpuk dalam dada, dan meluap seperti air sungai. Kemudian, aku sadar kalau luapannya berhasil menembus pertahananku dan mengalir deras dari mata.
Aku menghapus air mata yang terus-terusan mengalir sambil menggenggam erat ponsel di dada. Tanpa pikir panjang, aku mengalihkan mode pesan ke video call. Dan sosok Yūta, dengan kantung mata tebal memandangku cemas dari seberang ponsel.
"Aku―"
".... cepat pulang.." gumamku pelan.
"Eh?"
"CEPAT PULANG KE SINI!"
Aku meraung keras sekali, tak peduli suaraku akan mengundang dampratan Maki atau amukan Megumi dan shikigami miliknya. Aku mulai mengeluarkan sisa luapan dalam dada lalu menangis lagi.
"Iya, aku ..."
"Yūta," potongku. "Pulang sekarang."
"Iya, tapi ..."
"KENAPA SIH, KAMU NGGAK MAU MENGERTI?!"
Yūta diam saja, memandangiku dengan ekspresi yang sulit ditebak dari layar ponsel. Sepertinya dia tahu kalau apapun yang dia katakan sekarang nggak akan kudengarkan.
"Kamu jahat," isakku. "JANGAN CARI ALASAN LAGI, AKU NGGAK MAU DENGAR! AKU NGGAK MAU MENUNGGU SEBULAN LAGI, AKU NGGAK MAU OLEH-OLEH, AKU CUMA MAU KAMU PULANG SEKARANG!"
Aku benci menunggu. Aku benci Yūta. Tapi aku butuh Yūta untuk menemaniku minum teh daun mint sampai gelas ketiga milikku habis. Aku ingin Yūta ada di sisiku sekarang. Aku ingin mengatakan semua hal itu padanya. Namun, aku nggak bisa mengatakannya. Kepala dan mataku terasa sakit dan perih karena terlalu banyak menangis.
Layar ponselku masih menampilkan wajah si anak Afrika tukang bohong itu, yang sekarang malah tersenyum sangat lembut di seberang sana.
"Lihat ke luar jendela," pintanya.
Aku menyedot semua ingus yang tersisa di hidung lalu membersihkan jejak air mata di pipi, enggan menuruti permintaan Yūta. Namun, aku tetap melakukan apa yang dia minta. Angin malam yang dingin menyapu permukaan wajahku dengan kasar.
Sirius dan Betelgeuse perlahan ditelan ufuk barat, sementara bulan yang memasuki fase kuartal pertama berada di puncak kejayaannya. Dan di bawah kilauan cahaya langit malam, sosok Yūta berdiri. Dia masih tersenyum dan melambaikan tangan dari sana.
"Aku pulang," katanya pelan.
Kupikir karena sudah banyak menangis, nggak ada air mata yang tersisa untuk dikeluarkan. Tapi mendadak, aku menangis lagi. Kali ini, aku ikut tersenyum seperti Yūta. Kuangkat kaki ke ambang jendela dan Yūta berlari mendekat dengan gelagat panik.
Lalu, aku melompat tanpa aba-aba. Yūta mengulurkan tangan dan menarikku ke dalam dekapannya, sebelum membiarkan kakiku memijak tanah. Kusandarkan kepalaku ke bahunya, berusaha menahan diri untuk nggak mengusap ingusku di jaketnya.
Besok aku dan Yūta akan dieksekusi anjing Megumi. Namun malam ini, kubiarkan dia memelukku erat-erat.
"Selamat datang Yūta," kataku lirih. "Kejutanmu jelek banget."
"Harusnya aku yang bilang begitu." Yūta melepaskan pelukannya dan mengusap pipiku dengan tangan yang sedingin salju.
"Kamu tiba-tiba berdiri dan melompat dari jendela lantai dua. Bagaimana kalau aku terlambat menggapaimu dan kamu nggak mendarat dengan baik? Nggak cuma cemas, aku juga ngeri, tahu!"
Aku terkekeh pelan. "Ini karena kamu bikin aku nangis. Dasar jahat."
Yūta merengut. "Maaf, deh. Aku nggak bermaksud begitu. Tapi kamu nggak boleh melakukannya lagi."
Aku cuma mengangguk lalu mengalungkan lengan di sekeliling leher Yūta sambil memejamkan mata.
"Yūta, kamu nyata, kan?"
"Iya. Aku nyata," bisiknya lembut. "Kamu nggak bermimpi."
"Kalau begitu," aku mendongak, menatap iris biru Yūta yang memantulkan cahaya bulan. "Kamu bisa janji untuk selalu bersamaku?"
Yūta menyandarkan dahinya di atas kepala dan mengusap rambutku.
"'Ala rasi, apapun untuk dirimu."
◇
◇
◇
◇
≻───── ⋆✩⋆ ─────≺
◇ 1853 words
◇ Thank you for reading~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top