Go⸙
Happy Reading!
"Argh! Kenapa ibu mengatakan hal yang sama?!"
Erangan penuh kekesalan terdengar di balik pintu berwarna krem.
"Sudah kubilang kalau aku tidak egois, kenapa tidak ada yang percaya?!"
[Name] tak henti-hentinya mengoceh, meluapkan kekesalan amat dalam. Merasa tidak terima dan tetap berpegang teguh pada pemikiran sendiri, bahwa dirinya sama sekali tidak egois.
"Bukankah wajar jika aku terus-menerus meminta janji tersebut ditepati?!" sebal [Name] sembari menggenggam erat bantal.
"Meskipun dia memiliki jadwal begitu padat, apakah tidak ada satupun jadwal hari libur?! Menyebalkan!"
Brak!
Dentuman keras berasal dari pintu kamar yang telah dilempar bantal, gadis itu mengepalkan tangannya, wajah merah padam dengan mata berkilat marah serta air mata menggenang di pelupuk menambah kesan marahnya.
"Sial!" rutuknya kesal.
Tok! Tok!
Ketukan pintu lembut mengalihkan atensinya, "Siapa?"
"Ibu, Nak."
"Apa mau Ibu?" tanya [Name] sembari bangun dan berjalan menuju pintu lalu membukanya.
Pintu terbuka lebar menampilkan sesosok ibu dengan wajah lelah namun masih tersenyum begitu lembut.
"Ibu mau melanjutkan perbincangan tadi, [Name]."
"Tidak usah dilanjutkan, aku tahu Ibu akan mengatakan hal yang sama," tolak [Name] sembari mendengus pelan.
"[Name] ... Ibu hanya ingin memberi pengertian untukmu." Wanita itu menghela napas, masuk ke kamar lalu menutup pintu. Seusai itu, ia merangkul bahu anaknya, mengajak untuk duduk di tempat tidur dan berdiskusi. "Ini demi kebaikanmu juga," lanjutnya dibalas dengan delikan dari [Name].
"Jika demi kebaikanku, kenapa Ibu menyebutku seorang egois?" tanya [Name] ketus.
"Karena itu adalah hal yang fakta," jawab ibunya santai. "Hal yang sangat fakta namun kau tidak bisa menerimanya."
"Bu ... aku sama sekali tidak egois," bantah [Name] dengan suara sedikit lembut.
Sang ibu hanya tersenyum lembut, tangannya beralih menuju kepala [Name] lalu mengelusnya.
"Apa yang kamu rasakan dan pikirkan, belum tentu benar dan diterima oleh orang lain. Kamu secara tidak sadar sudah bersikap egois terhadap kekasihmu, menuntut keinginanmu untuk segera terpenuhi tanpa memedulikan jadwalnya. Iori mengatakannya dengan jujur, Sayang."
"Kamu tahu, Nak? Iori sebenarnya juga menginginkan hal yang sama denganmu, tetapi dia tidak bisa mengelak akan pekerjaannya. Ia melakukan pekerjaannya begitu tekun dan kerja keras, berusaha menyelesaikan dengan cepat agar bisa bertemu kamu. Namun apa yang bisa diperbuat olehnya bila ada pekerjaan mendadak? Menolak dengan alasan ingin menemui kekasihnya? Bukankah nanti akan dicap tidak professional dalam bekerja?" tutur wanita berusia 45 tahun dengan tangan masih mengelus kepala putri semata wayang begitu lembut dan penuh kehangatan.
"Ibu mengerti apa maksudmu, menginginkan janjinya ditepati. Tetapi caramu salah, bukan seperti itu. [Name] bisa mengingatkannya sekali atau dua kali, namun egomu harus di kesampingkan," tutupnya lembut.
[Name] terhenyak akan penuturan lembut, menyadari betapa besarnya kesalahan yang telah diperbuat. Perlahan bibir mungil berwarna peach mengeluarkan isakan kecil, tubuhnya berguncang dengan kepala ditundukkan. Kedua tangan putih perlahan menutup wajah, berusaha membenamkan suara isakan agar tidak diketahui malaikat tanpa sayap di sampingnya.
"Ibu ...." Gadis itu memanggil malaikat tanpa sayap dengan isakan kecil. "Aku harus bagaimana jika Iori-kun tidak memaafkan kesalahanku?" tanyanya begitu sendu.
"Cara terbaik hanyalah dengan menerima apa yang telah menjadi keputusannya, termasuk jika ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kalian."
[Name] semakin mengeluarkan isakannya saat membayangkan hal yang paling dihindarinya terjadi. "Aku sama sekali tidak ingin hal itu terjadi!" serunya sembari menggeleng cepat.
"[Name] ... suka atau tidak suka, ingin atau tidak ingin, tidak akan bisa menghentikan hal yang telah ditulis dalam suratan takdir." Sang ibu memeluk dan mengelus punggungnya begitu lembut. "Yang bisa kita lakukan hanyalah menerima dan belajar dari sebuah kesalahan. Ibu tahu rasanya begitu menyakitkan bila tidak ada kesempatan lagi untuk memperbaiki sikap dan hubungan, saat ada kesempatan, kita hanya menyia-nyiakannya. Sungguh malang, bukan?" imbuhnya memberi pengertian.
[Name] hanya menjawabnya dengan tangisan kecil, benar apa yang dikatakan oleh ibu. Kita begitu terlena akan kesempatan yang telah diberikan, menganggapnya kesempatan selalu berdatangan meskipun telah berulangkali mengabaikan.
"Jadikan ini sebagai bentuk pelajaran, jangan sampai kamu mengulang kesalahan yang sama. Kamu mengerti?" tanya ibunya dibalas anggukan dari [Name].
Drrt! Drrt!
Deringan telepon mengalihkan perhatian mereka, gadis bernetra [e/c] melepaskan pelukan sang ibu, mengambil ponsel di atas nakas lalu melihat siapa yang menelpon.
'Iori-kun' nama yang tertera di layar, gadis itu terdiam seribu bahasa begitupun ibunya. Mereka saling melirik sebelum [Name] mengangkat teleponnya.
"Halo ...."
To Be Continued!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top