#Side Story of How Sakuraba Sibling Were Before White Day

“Nae, kau buat sesuatu untuk white day nanti?” Hanaru bertanya dari ruang tengah kepada Hanae di dapur. Gadis itu tengah selonjoran di atas sofa. Televisi menyala, tetapi terabaikan olehnya. Begitu pula dengan camilan serta secangkir cokelat panas di atas meja di tengah ruangan.

“Tidak. Aku beli saja cookies di supermarket. Lagi pula mereka biasanya memasang diskon di hari itu.” Sahutan terdengar dari dapur disusul dengan bunyi pemberitahuan microwave telah selesai beroperasi. Pemuda itu berjalan santai menuju meja makan dan meletakkan cangkirnya di sebelah laptop miliknya yang menyala.

“EH, SAYANG DONG? KAU KEMARIN BANYAK DAPAT HONMEI-CHOCO, ‘KAN? AYO BALAS PERASAAN MEREKA DENGAN HONMEI-COOKIES!!!” jerit Hanaru tiba-tiba sambil bergegas mendekat ke Hanae. Kedua tangan gadis itu tanpa sengaja menggebrak meja lantaran menjadikan benda tersebut penyangga tubuh agar tidak terjatuh akibat keseimbangan tubuhnya yang tidak stabil setelah melompat dan berlari dari posisinya semula. Mendatangkan tatapan tajam dari Hanae yang terkena cipratan cokelat pada punggung tangannya.

“Eh, ups. Aku ... tidak sengaja, hehe. Maaf ....”

Hanae menyeka sekilas noda cokelat di tangannya menggunakan tangan satunya, kemudian mengacak rambutnya kesal. “Ck, bisa tidak sih sehari saja ten— tidak heboh? Apa jadinya kalau tadi bukan tanganku yang terkena cipratan cokelat, tapi malah laptopnya yang kena?”

Hanaru meneguk ludah kala matanya bertemu dengan delikan kembarannya. Gadis itu menunduk, berusaha mengurangi perasaan bersalah yang mulai merasuki diri saat mendengar nada bicara Hanae. “Y-ya, maafkan aku .... Anu, aku ... hanya ingin menyarankan, bagaimana kalau kau buat sendiri kuemu, begitu. Bukankah lebih spesial kalau kau buat sendiri kue white day-mu, Nae?”

Hanae mengembuskan napas panjang. “Tidak mau. Repot. Lebih baik waktunya aku pakai untuk hal lain.”

“Ehh, ayolah. Bagaimana kalau aku bantu membuatkan kuenya?” Hanaru mengerucutkan bibir. Gadis itu mendekat ke Hanae dan melirik layar laptop adik kembarnya. “Ayolah, setahuku tugas ini masih bisa dikumpulkan sampai akhir bulan.”

“Aku bukannya Sakuraba Hanaru yang hanya harus memikirkan manisan, mainan, dan tidur. Aku masih punya tugas OSIS yang harus aku kerjakan setelah ini,” tolak Hanae tegas sembari lanjut mengetik tugasnya yang baru selesai seperempat.

Namun, pengerjaan tugasnya tak berlangsung lama. Baru satu paragraf terbentuk, tangan kirinya ditarik oleh Hanaru.

“Hanae, ayo buat kue! Aku juga mau membuat persediaan camilanku dan kue terima kasih kepada teman-temanku yang lainnya juga!” rengek Hanaru berusaha menarik Hanae dari kursi makan.

Hanae sendiri tak mau kalah. Pemuda itu bersikeras tidak beranjak seincipun dari tempatnya duduk. “Itu kan masalahmu sendiri! Lagian bukannya berarti yang mau membuat honmei-cookies itu kau? Buat saja sendiri, jangan bawa-bawa aku!”

“Nae, tidak seru kalau buat sendiri! Ayolah, masih ada tiga hari lagi sebelum white day! Berjanjilah padaku untuk membuat kuenya nanti! Tidak harus sekarang, kok! Bisa besok atau lusa! Aku akan terus menunggumuuu!” bujuk Hanaru masih sambil menarik pergelangan tangan Hanae. Namun, gadis itu juga bahkan tidak bergerak dari tempatnya sedari tadi. Kaos kakinya yang licin berkali-kali bergesekan dengan lantai kayu menimbulkan bunyi bising yang menambah beban pikiran Hanae.

“Uwaaa!”

Bunyi dentuman seketika membuat Hanaru terkejut. Dia merintih kala merasakan perih di beberapa bagian badannya.

“Baiklah. Besok sepulang sekolah aku temani membuat kue. Jadi siapkanlah apa pun itu yang mau kau gunakan untuk membuat kue. Dan lepaskan tanganku. Aku harus lanjut menyelesaikan tugasku kalau kau ingin aku temani besok,” tutur Hanae yang berdiri menatap Hanaru dengan raut jengkel.

Berkebalikan dengan ekspresi muka saudara kembarnya, Hanaru memasang wajah gembira dan segera melepaskan genggamannya. “Oke! Aku akan menyiapkan semuanya, tenang saja! Jangan lupa dengan janjimu itu, ya!”

###

“Sudah tahu mau membuat kue macam apa?” Hanae bertanya sembari mengecek bahan-bahan yang disiapkan Hanaru di meja dapur. Pemuda bahkan itu sudah siap dengan apron terpasang di atas kaos rumahannya.

Semuanya tampak normal dan lebih dari cukup untuk membuat kue balasan atas cokelat-cokelat valentine yang mereka berdua terima bulan lalu. Hanya saja, sebuah cetakan berbentuk hati tanpa sadar membangkitkan emosinya. “Ru, ini maksudnya untuk siapa?”

Hanaru refleks menoleh dan menjawab disertai senyuman lebar, “Oh, itu. Aku pikir akan lucu kalau nanti kue white day-nya berbentuk hati, hahaha— ha .... M-maksudnya untuk teman-temanku, kau tahu? Mereka pasti suka kalau giri dan tomo-choco mereka aku balas dengan kue berbentuk hati, ‘kan?” Dengan cepat gadis itu memberi alasan saat melihat wajah tidak bersahabat dari Hanae.

“Ya, terserahlah. Ah, tumben sekali kau mau memberikan kue untuk white day. Biasanya kau memberikan permen kepada mereka,” komentar Hanae seraya mulai mencampurkan bahan-bahan untuk membuat kue.

Hanaru juga ikut membuat adonan kuenya sendiri. “Hehe, hanya ingin saja. Lagi pula aku tidak wajib memberikan mereka balasan untuk valentine. Jadi, tidak masalah.”

“Aku juga tidak wajib memberikan balasan, kalau kau lupa.”

“Hei, tapi itu kan tidak sopan, Nae! Kasihan mereka yang sudah bersusah payah berusaha memberikanmu cokelat, terutama mereka yang memberikanmu honmei-choco.”

“Ya, itu kan pilihan mereka sendiri untuk memberikan cokelat mereka kepadaku. Aku tidak pernah menyuruh mereka memberiku cokelat. Cokelat-cokelat yang aku dapat juga sebagian besar kau yang habiskan, bukan?”

“Ehehe.”

“Apa-apaan ‘ehehe’?”

“Bukan apa-apa~”

Kegiatan membuat kue mereka dilanjutkan dengan iringan karaoke akapela dari Hanaru. Gadis itu masih sempat bermain-main dengan peralatan masak. Hanae beberapa kali dia ajak untuk bernyanyi bersama. Namun, pemuda itu menolak dengan wajah yang sedikit memerah.

“Aku tahu kalau kau malu. Ayolah, tidak perlu takut begitu, kembaranku yang manis~ Kau tahu aku tidak akan mengataimu walau nyanyianmu tidak sebagus diriku nantinya, ‘kan~?”

“Pff— Hah. Teruslah bermimpi. Apanya yang nyanyianmu lebih bagus dariku?”

“Kalau begitu mau bertanding?”

“Tidak mau.”

“Hanae pengecut.”

“Kau menyebalkan.”

“Hei, omong-omong adonan ini untuk ... ?” Hanae bertanya begitu melihat dua loyang penuh dengan kue berbentuk hati dan seloyang lagi penuh dengan bentuk macam-macam. Beberapa bongkah adonan dapat dia tebak bentuknya, sementara sisanya terlalu luar biasa untuk dia terka dengan imajinasinya.

“Ah, yang itu. Itu rencananya ingin kuberikan untuk Kyou-kun dan Yuu-nii. Hanae juga jangan lupa berikan untuk mereka juga, ya!”

Kening Hanae berkerut mendengar perintah dari Hanaru. “Buat apa? Merepotkan saja. Bukankah kue darimu sudah cukup?”

“Hei! Kau juga harus memberikan sebagian kue buatanmu kepada mereka untuk menjalin hubungan yang baik dengan mereka!” tuntut Hanaru sembari memegangi kedua pundak Hanae, membuat pemuda itu menghadap kepadanya langsung.

Hanae berdecih disusul dengan embusan napas singkat. “Haah .... Iya, iya. Apa pun itu. Lagi pula hubungan apa yang kau maksud dengan mereka?”

“Hubungan antara calon adik dan kakak ipar!” balas Hanaru penuh percaya diri.

Hanae menatap kembarannya dengan ekspresi kesal, keheranan, tidak percaya, dan bingung bercampur menjadi satu tekukan wajah. “Terserah!”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top